Olivia duduk di kursi rodanya keluar dari bandara, seorang pria berpakaian serba hitam mendorongnya dan mengantar Olivia masuk ke dalam mobil.
Pelukan Olivia pada Leary menguat, wanita itu tertunduk menatap lekat puterinya dengan nanar, mengusap wajah mungilnya dengan tangan gemetar. Olivia menutupi tubuh kecil Leary dengan jaketnya agar tidak banyak orang melihat wajah puterinya.
Mobil yang ditumpangi Olivia bergerak pergi meninggalkan bandara.
Sepanjang jalan Olivia memperhatikan setiap bangunan yang dilewatinya dengan tatapan sendu menyimpan luka.
London, tempat ini menyimpan banyak kenangan.
Di sini, Olivia sempat merasakan arti dicintai, diperlakukan begitu baik, di sini juga Olivia merasakan artinya sebuah pengkhianatan yang sangat menyakitan, dan semua yang pernah Olivia rasakan itu tidak terlepas dari sosok suaminya, Darrel McCwin.
Pria itu berhasil membuat Olivia memutuskan untuk menikah dengannya dan belajar menjadi seorang isteri juga ibu yang sempurna untuk keluarganya. Bahkan setelah menikah, Olivia mencoba untuk berhenti bekerja agar bisa mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya yang berharga.
Rumah tangga mereka begitu sempurna, sayangnya tidak berlangsung lama karena harus dihancurkan oleh pihak ketiga.
Setelah Olivia memutuskan pergi meninggalkan London dalam keadaan hamil, terkadang, di satu moment, Olivia masih sering menangis penuh penyesalan.
Olivia sangat menyesal karena sudah menikah dengan lelaki yang salah. Lelaki itu tidak pernah mengkhiantinya, dia sangat mencintai Olivia, tapi ternyata cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan rumah tangga mereka.
Darrel terlalu lemah dan egois, dia hanya mencintai Olivia saja, tidak dengan anak-anak mereka.
Jauh Olivia melewatkan perjalanan, akhirnya kini dia meninggalkan kota London karena tujuannya adalah sebuah desa yang jauh dari jangkauan keramaian.
Mobil yang ditumpangi Olivia memasuki jalanan kecil yang sering dilewati delman dan kendaraan pengangkut.
Guncangan kuat kendaraan yang melewati jalanan berbatu membuat Leary terbangun dan samar melihat ke sekitar, tangan kecilnya bergerak mengusap dan mengusap wajah Olivia, begitu dia sadar ibunya yang tengah memeluknya, Leary kembali tidur dengan nyenyak.
Pelukan Olivia mengerat, wanita itu membungkuk, mengecup puncak kepala Leary beberapa kali dan menyembunyikan kesedihan di matanya. Olivia harus tetap kuat dan tegar di hadapan puterinya.
***
Kedatangan Olivia dan Leary disambut oleh seorang wanita cantik berpakaian modis, wanita itu berdiri di pinggiran jalan tengah menunggu, di belakang wanita itu terdapat dua pria asing yang berpakaian seadanya dan terlihat seperti penduduk asli di sana.
Mobil yang mengantar berhenti, seseorang membantu mengeluarkan beberapa koper dan meletakannya di depan wanita asing yang tengah menunggu itu.
Sekelompok orang yang semula mengikuti perlahan pergi begitu mobil yang mengantar Olivia juga pergi.
Willis meminta dua pria asing di belakangnya membantu membawakan koper-koper dan tas yang dibawa Olivia menuju rumah barunya.
“Kau tidak bisa menggunakan kursi roda di jalanan seperti ini,” kata Willis, menunjuk jalanan berbatu.
“Aku tahu,” jawab Olivia singkat.
“Biar aku gendong puterimu,” tawar Willis.
“Tidak perlu Willis, aku masih cukup kuat,” tolak Olivia dengan senyuman.
Olivia berjalan dengan tongkatnya, tanpa menunjukan rasa lelahnya wanita itu memeluk erat Leary yang kini masih tertidur lelap dalam gendongannya, dia tidak membiarkan siapapun menyentuh Leary sejak keluar dari apartement di Skotlandia.
Olivia dan Willis pergi cukup jauh dari jalan raya, pergi melewati jalanan setapak dan beberapa hamparan perkebunan, baru bisa sampai ke sebuah pemukiman desa kecil yang berada di sebrang sungai.
Di desa itu terdapat beberapa kelompok rumah yang berjauhan, namun jumlahnya tidak banyak, para pemiliknya pergi sibuk bekerja di kebun dan di pasar.
Di antara beberapa rumah yang ada, Willis membawa Olivia pergi menuju rumah paling belakang dengan halaman kecil dan kebun di belakangnya. Rumah itu terletak lebih jauh dari rumah-rumah lainnya.
Rumah yang Willis tunjukan cukup kecil, sederhana, berdinding batu, dan memiliki banyak jendela sebagai pentilasi. Ketika masuk ke dalam, keadaannya jauh dari apa yang diharapkan karena lantai ubin dan tidak memiliki perabotan yang cukup.
Rumah itu memiliki dua kamar dengan ranjang tua dan kasur yang sedikit keras, dapur kecil dengan tungku kayu perapian sebagai penghangat di musim dingin. Beruntungnya sudah ada telepon dan listrik, meski kondisi kamar mandinya berantakan dan harus dipompa untuk mengambil air karena untuk menghemat daya listrik.
Olivia terlihat cukup kecewa karena rumah yang dibelinya tidak cukup nyaman untuk Leary, namun bila di ingat lagi, dia hanya memiliki beberapa ratus pousterling saja ketika menyerahkan uang kepada Willis.
Ada banyak hal yang harus Olivia perbaiki dengan rumahnya, terutama keamanan pintu dan jendela.
Selesai membaringkan Leary di kamar, Olivia pergi menemui Willis yang duduk di kursi rotan.
To Be Continued..
“Orang-orang gila itu masih mengikutimu?” Tanya Willis begitu Olivia muncul dan duduk di hadapannya.Samar Olivia tersenyum, “Aku akan mengatasinya secepat mungkin. Sekarang kau harus menjadi penerima beberapa senjata yang aku kirimkankan ke sini, mungkin dalam tiga hari lagi akan segera datang.”“Itu tugas terakhirku kan?”“Benar.”“Kuharap kau mulai betah tinggal di sini, tokoku berjarak satu kilometer dari sini, datanglah jika ingin,” ucap Willis seraya beranjak dan tersenyum dengan tenang.“Willis,” panggil Olivia menahan sejenak langkah Willis. Wajah Olivia terangkat, berpandangan dengan Willis. Olivia berkata, “Leary masih sangat kecil, dia pasti akan sedih jika kini harus tinggal di desa seperti ini. Kuharap kau tidak keberatan, jika aku mengatakan kepada Leary kalau kau saudaraku dan kau bibinya Leary.”Willis bersedekap, terdiam sejenak menimang-nimang keputusan apa yang harus dia ambil. “Baiklah, panggil saja aku bibi Willis,” jawab Willis.“Terima kasih sudah membantuku.”
“Lama tidak bertemu." Tubuh Olivia menegak, bahunya ikut menegang, wanita itu berekspresi dingin, namun kilatan di matanya jelas menunjukan permusuhan yang sangat kuat. “Kau tidak mau menyambut tamumu?” tanya Wony dengan senyuman mengejek melihat keterdiaman Olivia yang terkejut. “Lama sekali kita tidak bertemu,” ujar Wony lagi dengan tatapan merendahkan, melihat penampilan sederhana Olivia yang tidak ada bandingannya dengan dirinya. Genggaman Olivia menguat pada tongkatnya, rupanya Wony masih mengikuti informasinya selama ini, termasuk kedatangannya ke London. Olivia tidak menyangka jika Wony akan langsung menemuinya dalam waktu secepat ini. Olivia membuang napasnya beberapa kali, menetralkan kemarahannya agar bisa bertindak rasional. “Ada urusan apa datang ke sini?” tanya balik Olivia dengan tenang. “Aku hanya ingin bertemu denganmu. Kupikir kau akan luar biasa setelah pergi, tapi ternyata, kini menjadi seperti gelandangan.” Olivia membalasnya dengan senyuman hormat. “Sama, aku
Kesenangan Wony berakhir menjadi waspada karena pengawal yang dia andalkan tidak lebih seperti pecundang lemah yang tidak dapat menumbangkan perempuan cacat seperti Olivia.Wony sedikit mundur dan terlihat waspada, wanita itu takut jika kini giliran dia yang dihabisi Olivia.Olivia berbalik, dengan langkah gemetar dan wajah pucat pasi, Olivi mendekati Wony dengan belati yang berlumuran darah di tangannya.Olivia mengayunkan belatinya di belakang kepala Wony sampai membuat gulungan rambut Wony terlepas dan setengah dari rambut-rambutnya yang terawat berjatuhan di bahu akibat tajamnya belati.Napas Wony tertahan seketika, gertakan Olivia berhasil membuat kakinya gemetar ketakutan tidak memiliki tenaga untuk berdiri apalagi berbicara.“Berhenti mengusikku, hiduplah dengan tenang dengan semua hal yang telah kau curi. Aku sudah menganggap Darrel pria sampah, dan aku tidak mungkin memperebutkan sampah yang kubuang denganmu,” peringat Olivia tidak main-main.“Jaga bicaramu Olivia, aku bisa
Pagi-pagi Leary terbangun dan disuguhkan oleh pemandangan indah di sekitar rumahnya. Leary dapat melihat padang rumput hijau yang luas, udara segar dan gemercik suara air di sungai, tumbuhan yang tumbuh dengan baik, ini adalah pemandangan baru yang dia lihat.Leary senang jika ternyata keadaan sekitar rumahnya tidak semenakutkan apa yang telah dilihat tadi malam.Di hari kedua mereka tinggal, Olivia mengajaknya pergi menyapa beberapa tetangga baru mereka, lalu jalan-jalan untuk membeli keperluan stock makanan.Setelah sekian lama terjebak di apartement dan tempat penitipan, akhirnya kini Leary bisa berlarian dengan bebas tanpa perlu menggunakan jaket tebal dan memakai topi seperti menyembunyikan diri.Selama ini, ketika di Skotlandia, Leary tidak bisa berlarian menikmati kota Edinburg yang memiliki bangunan cantik seperti di gambar-gambar buku dongeng.Selama ini Olivia selalu berusaha menyembunyikan wajah Leary dari siapapun, karena kini dia berada di desa, Olivia mengizinkan Leary
“Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?”Olivia tersentak kaget, pupil matanya melebar, dalam beberapa detik wanita itu membeku tidak dapat berkata-kata, apalagi menjawab pertanyaan sederhana Leary. “Apa aku juga memiliki kakek nenek seperti di dalam dongeng?” tanya Leary lagi memperhatikan keterdiaman Olivia yang membeku. Keterdiaman Olivia yang tidak menjawab menambah rasa ingin tahu Leary.“Kenapa kau menanyakannya?” bisik Olivia terbata.Leary berkedip pelan, merasakan kesedihan mendalam di mata Olivia, lama anak itu terdiam sampai akhirnya dia menjawab. “Jika aku punya ayah, bukankah nanti, ayah akan memukul orang-orang yang jahat kepada kita? Aku juga mau di gendong oleh ayah, aku mau melakukan natal bersama seperti anak-anak lainnya yang berkumpul dengan keluarga, dapat hadiah dari nenek kakek mereka,” jawab Leary pelan penuh kepolosan.Hati Olivia tertohok begitu dalam sampai terasa sakit mendengar jawaban sederhana puterinya, mata Olivia mulai panas did
“Jach.”“Kau tinggal di mana? Apa aku boleh bermain denganmu?” tanya Leary lagi berantusias, anak itu tidak memahami kesibukan Jach dan sekarung arang yang harus segera di antarkan.Jach menarik tangannya, “Aku tinggal di dekat hutan, perbatasan desa, sekarang aku harus kembali bekerja membantu nenekku. Sampai nanti,” pamit Jach terburu-buru pergi meninggalkan Leary.Leary berbalik melihat kepergian Jach, kaki kecilnya berlari mengejar. “Tunggu Jach!” panggil Leary dengn teriakan.Langkah Jach kembali terhenti, menunggu Leary yang mendekat sambil merongoh sesuatu dari saku dressnya. Tangan mungil Leary terulur, menyerahkan beberapa buah permen yang dimilikinya. “Sekarang kita berteman kan?” tanya Leary.Tubuh Jach menegang kaget, anak laki-laki itu sampai mengerjap mencoba meyakinkan diri jika apa yang telah di dengarnya bukan ilusi. Dalam keraguan Jach mengangguk seraya menerima permen pemberian Leary.Bibir mungil Leary mengukir senyuman, menunjukan dua buah giginya yang ompong dan
Olivia pergi ke kota di malam itu, diam-diam dia pergi tempat Willis untuk mengambil merpati yang dia bawa bersama dengan senjatanya dari Skotlandia.Merpati itu adalah hewan peliharaan Olivia yang sudah dia rawat lebih dari empat tahun lamanya, dan merpati itu juga sudah sering membantu tugasnya.Olivia membawa merpati itu, dan pergi beberapa rumah orang penting yang berada di kota London. Dimulai dari Tery, seorang anggota parlement. Harry, seorang peminpin kepolisian, dan Dena, seorang anggota dewan dari Prancis yang saat ini sedang memiliki kunjungan khusus ke Inggris.Olivia mengirimkan suratnya melalu merpati yang dibawanya, secara terlatih, merpati itu bergerak terbang setelah di beri beberapa buah makanan. Dengan cekatan dia terbang ke lantai di mana Olivia menyorotkan senter laser merahnya sebagai petunjuk.Begitu laser merah menghilang, burung merpati itu mengetuk-ngetuk jendela sampai si pemilik rumah membuka pintu dan mengambil surat yang diberikan.Merpati itu terbang da
“Ibu menyuruhku melakukan ini semua karena ingin meninggalkan aku lebih lama lagi kan?” Protes Leary dengan wajah bercucuran air mata sampai membuat bedak di wajahnya luntur.Olivia tercekat kaget mendengar pertanyaan sederhana Leary. “Ibu memintamu melakukan ini semua bukan karena ingin meninggalkamu,” jawab Olivia serius.“Ibu bohong, semalam Ibu meninggalkan aku sendirian lagi, aku tidak percaya Ibu! Ibu pasti meninggalkan aku lagi!” debat Leary dengan teriakan dan tangisan yang semakin keras. Leary berlari pergi ke kamarnya kembali menangis karena kecewa.Semalam Leary terbangun sendirian di tengah malam, dia sempat menangis mencari ibunya, namun Olivia tidak ada seperti biasanya.Leary kecewa karena Olivia masih tidak berhenti meninggalkannya di tengah malam, padahal dia takut bermimpi buruk dan takut ada orang jahat yang datang, terlebih rumah baru mereka tidak begitu membuatnya nyaman.Tangisan Leary terdengar di kamar, Olivia hanya bisa memijat batang hidungnya dengan kuat kar