Share

BAB 4: Kecewa

“Orang-orang gila itu masih mengikutimu?” Tanya Willis begitu Olivia muncul dan duduk di hadapannya.

Samar Olivia tersenyum, “Aku akan mengatasinya secepat mungkin. Sekarang kau harus menjadi penerima beberapa senjata yang aku kirimkankan ke sini, mungkin dalam tiga hari lagi akan segera datang.”

“Itu tugas terakhirku kan?”

“Benar.”

“Kuharap kau mulai betah tinggal di sini, tokoku berjarak satu kilometer dari sini, datanglah jika ingin,” ucap Willis seraya beranjak dan tersenyum dengan tenang.

“Willis,” panggil Olivia menahan sejenak langkah Willis. Wajah Olivia terangkat, berpandangan dengan Willis. Olivia berkata, “Leary masih sangat kecil, dia pasti akan sedih jika kini harus tinggal di desa seperti ini. Kuharap kau tidak keberatan,  jika aku mengatakan kepada Leary kalau kau saudaraku dan kau bibinya Leary.”

Willis bersedekap, terdiam sejenak menimang-nimang keputusan apa yang harus dia ambil. “Baiklah, panggil saja aku bibi Willis,” jawab Willis.

“Terima kasih sudah membantuku.”

“Aku membantumu karena aku berhutang budi padamu, sampai jumpa,” jawab Willis lagi sebelum memutuskan pergi keluar dari kediaman Olivia.

Willis, dia dan Olivia pernah bertemu ketika mereka berada di Praha,  Belanda. Willis adalah seorang wanita penghibur yang di ambil dari negara konflik perang, bisa dikatakan dia seperti seorang budak penghibur orang-orang kaya untuk menemani mereka berpesta dan berjudi.

Willis yang tidak bisa keluar dari lingkaran dunia gelap itu dibuat putus asa, apalagi ketika dia terlilit hutang karena kegilaan orang tuanya yang serakah.

Olivia yang pada saat itu bertugas untuk membunuh seseorang, mendapatkan informasi akurat dari Willis yang kebetulan memiliki hutang besar pada orang yang tengah diincar Olivia.

Bisa dikatakan mereka saling memanfaatkan untuk sebuah keuntungan.

Sejak saat itu, Willis dan Olivia saling mengenal. Mereka tidaklah dekat dan hanya sebatas saling kenal, Willis sendiri bukanlah wanita yang baik, namun dia dapat dipercaya.

Suara hembusan napas berat terdengar dari mulut Olivia. Olivia mengedarkan pandangannya, melihat keadaan rumah yang serba sederhana dan jauh dari kata nyaman meski suasananya tenang.

Olivia khawatir, Leary akan banyak menangis karena tempat tinggalnya yang baru jauh berbeda dengan keadaan apartement mereka sebelumnya. Olivia harus mulai mengajari Leary berbagai hal karena kini dia masih harus sering meninggalkan Leary untuk menghabisi orang-orang yang selama ini mengganggu kehidupannya.

***

Suasana gelap dan  sunyi di sekitar rumah membuat Leary beberapa kali melihat keluar jendela. Berharap ada satu dua kendaraan yang lewat, namun anehnya sejak tadi tidak terlihat.

Keadaan di luar cukup hening dan sangat gelap, sementara di dalam rumah, cahaya lampu yang kekuningan terlihat tidak begitu jelas menerangi setiap sudut ruangan yang kecil.

Leary pikir, Inggris jauh lebih baik dari apartementnya, ternyata tidak.

Leary termenung tidak dapat menutupi kesedihannya karena kecewa karena tempat ini jelas tidak cocok untuknya.

Rumah yang Leary tempati sekarang terlihat jelek, jauh berbeda dari apartementnya. Tidak ada televisi, tidak ada taman bermain yang bisa dia kunjungi dikala Olivia sibuk pergi bekerja.

Mata Leary berkaca-kaca terlihat ingin menangis, anak itu melompat turun dari ranjang dan berlari ke dapur melihat Olivia yang berdiri dengan tongkatnya tengah memasak.

“Ibu, kapan kita pulang?” Tanya Leary menyiratkan rasa tidak sukanya dengan tempat barunya. Belum sehari penuh mereka tinggal, Leary sudah ingin pulang.

Olivia berhenti dengan kesibukannya yang tengah memasak, wanita itu memperhatikan kesedihan di mata Leary yang terlihat tidak nyaman. Leary bukanlah anak yang suka merengek dan manja, namun jika dia bisa sampai bertanya seperti ini, itu artinya Leary memang benar-benar tidak suka.

“Kita belum sehari penuh berada di sini, kenapa kau ingin kembali pulang?”

“Aku tidak suka tempat di sini,” jawab Leary dengan jujur. “Aku ingin kembali pulang, besok bisa kan?”

 “Setelah urusan ibu di sini selesai, kita akan pulang.”

“Apa pekerjaan Ibu akan lama?”

“Ibu akan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin.”

Leary merangkak ke kursi dan menopang dagunya, melihat kembali keluar jendela. Tidak hanya di luar saja yang gelap, lampu-lampu yang ada di rumahnya juga tidak begitu terang. “Kenapa di sini sangat gelap? Bagaimana jika ada hantu?”

Olivia tertawa pelan. “Ibu akan memperbaiki semua lampunya besok.”

“Bagaimana jika malam ini hantu dan monsternya datang? Aku kan takut.”

“Ibu kan sudah bilang kepadamu, pekerjaan ibu adalah membasmi hantu dan monster, jadi jangan takut apapun karena mereka sudah tidak ada. Hal yang paling harus kau waspadai adalah orang asing.”

“Aku paham Bu,” jawab Leary sambil menguap.

Olivia menyelesaikan masakannya lebih cepat dan menghidangkannya di meja.

Leary yang sempat sedih mulai tersenyum lebar mengambil sendok dan makan dengan lahap, keterbiasaannya dengan pindah-pindah tempat asing membuat Leary mudah melupakan kekecewaannya.

Suara ketukan di pintu terdengar ketika Leary dan Olivia baru selesai makan.

Olivia dan Leary saling melihat begitu suara ketukan di pintu kembali terdengar. Olivia tahu betul, jika yang datang adalah temannya, ketukan di pintu akan menggunakan pola, namun kini yang terdengar cukup berbeda.

“Ibu,” bisik Leary memanggil.

Olivia segera berdiri dan memasukan piring makanannya ke laci. “Bersembunyilah,” pinta Olivia pelan.

Tanpa perlu arahan lebih jauh, Leary melompat turun dan berlari pergi masuk ke dalam sebuah lemari kecil di dapur, bergabung dengan tumpukan buku usang yang berdebu.

Dari sikap Leary yang sigap dan tidak banyak bertanya, bisa dipastikan bahwa anak itu sudah menghadapi situasi yang seperti ini bukan untuk pertama kalinya.

Olivia berjalan keluar dengan tongkatnya, sorot matanya yang tajam melihat ke sekitar, memperhatian satu sampai dua jendela yang terlewati untuk memastikan tidak ada orang yang mengepungnya.

Olivia menarik sebuah belati di balik pot bunga imitasi dan meletakannya di bawah pegangan tongkatnya, dalam beberapa langkah kecilnya, tangan Olivia kembali menjangkau belati lain yang disimpan di bawah tumpukan buku, lalu menyimpannya di belakang tubuhnya.

Suara ketukan di pintu kembali terdengar, Olivia memutar kunci di pintu dan membukanya.

Ketengan Olivia berubah begitu dia melihat siapa tamunya yang datang.

“Lama tidak bertemu,” sapa seorang wanita cantik berambut merah dengan senyuman manisnya. Di belakang terdapat tiga pria berpakaian serba hitam mengawalnya.

To Be Continued..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status