"Angin semakin dingin. Aku ingin masuk saja." Leticia merapatkan mantelnya seraya berdiri."Biar saya antarkan sampai ke kamar Anda," ujar Diego dengan sigap.Leticia menggeleng menolak. "Aku bisa sendiri. Lakukan saja pekerjaanmu."Diego ingin membantahnya, tetapi Leticia melenggang meninggalkannya. Sebelum masuk, Leticia mendongak menatap ke arah ruang kerja suaminya. Ia menduga kedatangan D'angelo bukan tanpa alasan. Mereka pasti tengah mengobrol sesuatu di ruang kerja Tytan.Leticia pun melanjutkan langkahnya masuk. Ia perlahan menaiki undakan tangga, berusaha tidak menimbulkan suara. Sampai akhirnya di depan pintu ruang kerja Tytan, Leticia berhenti. Ia bisa mendengar suara dua orang berdialog, tetapi tidak terdengar jelas. Ia pun menempelkan telinganya."Aku tidak punya pilihan selain membunuhnya." Baru saja Leticia mendengar suara suaminya, degup jantungnya langsung berdebar hebat. Terkejut sekaligus takut."Tytan, aku memperingatkanmu, apa yang akan kau lakukan hanya merugikanm
Satu minggu kemudianSejak ke luar dari rumah sakit, Leticia harus terbiasa dengan segala sikap over protektif suaminya. Ia ingin menghindari rumah sakit karena suasana dan makanannya, tetapi di rumah, Tytan justru membuatnya merasa seperti pasien di rumah sakit."Tytan ..." Leticia menghampiri suaminya di ruang kerjanya.Tytan yang melihat Leticia di depan ruangannya, segera berdiri dan menghampirinya. "Hei, kau bisa memanggilku dari kamar. Kenapa kau ke mari? Apa ada yang kau inginkan?""Ini sudah satu minggu, aku muak di kamar terus menerus. Aku ingin ke luar." Leticia menyuarakan keinginannya.Tytan bersiap untuk menggendongnya. "Baiklah, aku-""Tidak perlu! Aku bisa ke taman sendiri!" potong Leticia segera mencegahnya. Tytan hendak berbicara, tampak tidak setuju, tetapi ia segera melanjutkan, "Bersama Diego.""Diego?" ulangnya yang terdengar masih tidak menyetujuinya."Mau bagaimana lagi jika kau sedang bekerja?" ujar Leticia sembari melirik ke arah meja kerja suaminya. Ia tersen
Leticia mengerang dalam tidurnya sebelum akhirnya terbangun karena rasa kering di tenggorokannya. Setelah membuka mata, ia menyerngit tidak nyaman oleh cahaya lampu yang menyilaukan. Ia mengerjap dan menoleh ke samping untuk menghindarinya. Lalu ia mendapati suaminya tidur di sofa."T-tytan ..." Leticia berusaha memanggil, tetapi karena suaranya yang ternyata jauh lebih kecil, membuatnya tidak terdengar.Akhirnya Leticia berusaha bangun dari tidurnya. Ia melihat ke atas nakas di mana gelas serta teko tergeletak. Ia pun berusaha mengambil gelasnya dan menuangkan air dari teko tersebut. Namun, tangannya yang tidak bertenaga membuat teko tersebut jatuh, menimbulkan suara yang bising."Hei, Sayang ..." Tytan pun terbangun. Dan seseorang menyusul masuk ke dalam ruangan. Itu adalah Diego yang kemungkinan ikut mendengar suara pecahan tekonya. "Tuan Muda, ada apa? Apa ada serangan?""Tidak, bukan. Apa kau baik-baik saja? Kau butuh sesuatu?" tanya Tytan sekali lagi pada Leticia sembari bangun d
"Tuan Muda, bagaimana keadaan Nyonya Muda?" Begitu ke luar dari ruang rawat Leticia, Tytan disambut oleh pertanyaan Diego."Di mana dokter itu? Apa dia mengatakan sesuatu yang lain padamu?" tanya balik Tytan, mengabaikan pertanyaannya."Dokter menyarankan agar Nyonya Muda dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Jika tidak mau, pastikan untuk beristirahat total di rumah setidaknya selama seminggu ke depan. Jangan membuatnya stres dan jaga pola makan." Tytan mengangguk atas pernyataan yang dikatakan dokter itu melalui bawahannya.Ia menepuk pundaknya dan memberikan perintah, "Bawa barang-barang keperluan Leticia dan aku di rumah.""Baik," jawab Diego tanpa membantah. Namun, pria muda itu tak urung segera pergi. Ia menatap atasannya dengan sungkan dan memanggilnya pelan, "Tuan Muda.""Ada apa lagi?" tanya Tytan balas menatapnya."Nyonya mungkin mengalami syok berat setelah mengetahui identitas Anda. Jadi ...""Aku mengerti, aku tahu apa yang harus kulakukan. Sekarang pergi dan lakuka
"T-tunggu, apa yang kau maksud, Tytan?" Leticia bangun, menghentikan suaminya yang hendak ke luar.Tytan dengan cepat segera membantunya untuk duduk lebih nyaman. Leticia yang tidak sabar mendesak sekali lagi, "Jawab aku, Tytan!""Kau baru bangun, tetapi suaramu sungguh berenergi." Tytan terkekeh pelan sebelum akhirnya melanjutkan, "Persis seperti yang kukatakan. Selamat telah menjadi Ibu."Tangan Tytan menyentuh perut Leticia. Ekspresinya tampak begitu bahagia ketika memberitahunya. Namun, berbeda dengannya, Leticia memasang ekspresi yang sama ketika Tytan mengetahui kabar itu pertama kali dari dokter."Y-ya tuhan ..." Leticia menatap kosong ke depan. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya setetes air mata jatuh ke pipinya. Tytan menjadi cemas atas reaksi istrinya, "Hei, apa kau tidak bahagia dengan kabar anak ini?" Leticia menoleh dan bertanya balik, "Bagaimana denganmu? Apa kau bahagia? Apa kau tidak cemas?""Aku sangat cemas! Aku sangat takut! Aku ... Aku ... Aku akan mati ka
“Aku bertanya seberapa banyak yang kau sembunyikan dariku?!” Nada suara Leticia meninggi sekaligus bergetar karena air mata yang telah jatuh membasahi wajahnya. “Kapan kau akan menjelaskannya padaku? Apa kau tidak menganggapku istrimu, wanita yang katamu sangat kau cintai dan tidak bisa hidup tanpanya?” Isakan tangis mulai terdengar bersamaan dengan Leticia yang kesulitan menarik napas. Ia berusaha mengendalikan dirinya yang sangat sesak saat berhadapan dengan Tytan yang hanya bergeming. Entah apa yang tengah dipikirkan olehnya. Suaminya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaannya. Entah merasa bersalah hingga tidak bisa menyangkal, entah juga tengah memikirkan alasan lain untuk menyangkal. “Sayang, aku akan menjelaskannya padamu sekarang,” kata Tytan lemah. Ia berniat mendekati istrinya, tetapi suara Leticia sekali lagi menghentikannya. “Apa kau baru akan menjelaskan setelah aku mengetahuinya, lalu aku marah, dan aku memohon padamu untuk menceraikanku?” “Leticia,