"Kau mau ke mana pagi hari sudah bersiap?" Saat Tytan masuk ke dalam kamar untuk membangunkan Leticia, istrinya itu sudah memakai pakaian rapi.Ia melangkah menghampirinya yang berdiri di depan cermin. Ia lalu memeluknya dari belakang yang membuat Leticia protes, "Pakaianku akan kusut, Tytan!""Maaf, aku tidak tahan," ujarnya seraya tersenyum lebar dan melepas pelukannya."Kau mau ke mana?" ulang Tytan."Aku mau ke rumah Ayah dan ke kantor juga setelahnya." Leticia menjawab sambil berbalik. Ia akan melanjutkan sampai Tytan memotong perkataannya lebih dulu dengan nada tidak senang, "Sayang, kau masih harus beristirahat.""Ini sudah seminggu lebih sejak aku ke luar dari rumah sakit dan mengikuti anjuran dokter, Tytan. Bulan bahkan akan berganti!" timpalnya membantah yang membuat suaminya itu akhirnya bungkam.Leticia menambahkan, "Kau juga lihat kan bagaimana nafsu makanku belakangan? Kurasa penyakit psikologisku pun sudah membaik berkat kehamilan ini. Aku sudah baik-baik saja.""Baikla
"Leticia, aku ingin tahu apa yang kau dan D'angelo bicarakan selama aku memasak?" tuntut Tytan, melipat tangannya di depan dada sambil menatap istrinya yang merebahkan tubuhnya di atas kasur."Kau tidak bekerja?" tanya balik Leticia tanpa menatapnya."Apa yang membuatmu mengambil keputusan sebesar itu?" Baik Tytan maupun Leticia tidak ada yang mendengarkan ataupun menjawab pertanyaan satu sama lain.Leticia akhirnya lebih dulu duduk bersandar. Ia mulai menatap Tytan dengan lebih serius. Ia menunjuknya dan berkata, "Kau sendiri tidak memberitahuku atau bahkan berniat memberitahuku apa yang kalian berdua bicarakan.""Kau berencana sendiri, maka aku juga akan berencana sendiri." Giliran Leticia yang melipat tangannya dan membuang wajahnya dengan kesal."Baiklah, aku minta maaf." Tytan menghembuskan napas panjang dan menghampiri istrinya. Ia duduk di sampingnya, menyentuhnya, berusaha membuat Leticia menatapnya. "Aku minta maaf, Sayang.""Aku ... Aku mengajaknya bekerja sama, maksudku, mem
Tytan dan Leticia ke luar dari kamar mereka yang segera disambut oleh D'angelo. Leticia tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya. Ia mendadak salah tingkah dan segera menutupi lehernya dengan rambutnya yang tergerai."K-kau di sini? Se-sejak kapan?" tanya Leticia menoleh sekilas pada Tytan dengan tatapan tajam."Apa tidak ada tempat lain untukmu sendiri selain di depan kamar orang lain, huh?!" tegur Tytan menyalahkannya dan ikut kesal."Aku baru saja di sini karena mendengar suara-suara kenikmatan dari dalam kamarmu," jawab D'angelo yang semakin membuat Leticia mati kutu karena malu."D'angelo!" serunya keras.Alih-alih merasa bersalah, pria itu mengabaikan pasangan di depannya dan mengutarakan keinginannya dengan santai, "Aku lapar, Tytan."Tytan semakin naik pitam dan bersiap menghajarnya, tetapi Leticia menahannya. Meski merasa malu dan sangat ingin menghilang dari sana, ia tidak bisa memungkiri rasa laparnya. Ia tidak bisa mengabaikannya lagi karena janin di perutnya."Suda
"Angin semakin dingin. Aku ingin masuk saja." Leticia merapatkan mantelnya seraya berdiri."Biar saya antarkan sampai ke kamar Anda," ujar Diego dengan sigap.Leticia menggeleng menolak. "Aku bisa sendiri. Lakukan saja pekerjaanmu."Diego ingin membantahnya, tetapi Leticia melenggang meninggalkannya. Sebelum masuk, Leticia mendongak menatap ke arah ruang kerja suaminya. Ia menduga kedatangan D'angelo bukan tanpa alasan. Mereka pasti tengah mengobrol sesuatu di ruang kerja Tytan.Leticia pun melanjutkan langkahnya masuk. Ia perlahan menaiki undakan tangga, berusaha tidak menimbulkan suara. Sampai akhirnya di depan pintu ruang kerja Tytan, Leticia berhenti. Ia bisa mendengar suara dua orang berdialog, tetapi tidak terdengar jelas. Ia pun menempelkan telinganya."Aku tidak punya pilihan selain membunuhnya." Baru saja Leticia mendengar suara suaminya, degup jantungnya langsung berdebar hebat. Terkejut sekaligus takut."Tytan, aku memperingatkanmu, apa yang akan kau lakukan hanya merugikanm
Satu minggu kemudianSejak ke luar dari rumah sakit, Leticia harus terbiasa dengan segala sikap over protektif suaminya. Ia ingin menghindari rumah sakit karena suasana dan makanannya, tetapi di rumah, Tytan justru membuatnya merasa seperti pasien di rumah sakit."Tytan ..." Leticia menghampiri suaminya di ruang kerjanya.Tytan yang melihat Leticia di depan ruangannya, segera berdiri dan menghampirinya. "Hei, kau bisa memanggilku dari kamar. Kenapa kau ke mari? Apa ada yang kau inginkan?""Ini sudah satu minggu, aku muak di kamar terus menerus. Aku ingin ke luar." Leticia menyuarakan keinginannya.Tytan bersiap untuk menggendongnya. "Baiklah, aku-""Tidak perlu! Aku bisa ke taman sendiri!" potong Leticia segera mencegahnya. Tytan hendak berbicara, tampak tidak setuju, tetapi ia segera melanjutkan, "Bersama Diego.""Diego?" ulangnya yang terdengar masih tidak menyetujuinya."Mau bagaimana lagi jika kau sedang bekerja?" ujar Leticia sembari melirik ke arah meja kerja suaminya. Ia terseny
Leticia mengerang dalam tidurnya sebelum akhirnya terbangun karena rasa kering di tenggorokannya. Setelah membuka mata, ia menyerngit tidak nyaman oleh cahaya lampu yang menyilaukan. Ia mengerjap dan menoleh ke samping untuk menghindarinya. Lalu ia mendapati suaminya tidur di sofa."T-tytan ..." Leticia berusaha memanggil, tetapi karena suaranya yang ternyata jauh lebih kecil, membuatnya tidak terdengar.Akhirnya Leticia berusaha bangun dari tidurnya. Ia melihat ke atas nakas di mana gelas serta teko tergeletak. Ia pun berusaha mengambil gelasnya dan menuangkan air dari teko tersebut. Namun, tangannya yang tidak bertenaga membuat teko tersebut jatuh, menimbulkan suara yang bising."Hei, Sayang ..." Tytan pun terbangun. Dan seseorang menyusul masuk ke dalam ruangan. Itu adalah Diego yang kemungkinan ikut mendengar suara pecahan tekonya. "Tuan Muda, ada apa? Apa ada serangan?""Tidak, bukan. Apa kau baik-baik saja? Kau butuh sesuatu?" tanya Tytan sekali lagi pada Leticia sembari bangun d