“Leticia …”
“Leticia!”Ingin sekali Leticia membuka kedua matanya dan melihat siapa gerangan yang memanggil, tetapi tidak bisa. Rasanya terlalu berat dan sulit, seperti tubuhnya yang sudah sangat kaku.Suara asing yang memanggil itu bisa dipastikan milik seorang pria. Dari nada suaranya, ia terdengar sangat mencemaskan dirinya. Tidak ada sosok pria yang dikenalnya dengan baik selain ayahnya. Namun sayang, suara tersebut bukanlah milik sang ayah."Leticia.""Leticia, kau baik-baik saja?" Sebuah tepukan pelan terasa di pipinya.Leticia sekali lagi berusaha untuk membuka mata perlahan meski rasa kantuk masih terasa. Tubuhnya kali ini tidak kaku ataupun kesakitan seperti sebelumnya. Pandangan buram miliknya perlahan semakin jelas memperlihatkan siluet wajah seorang pria tampan."Leticia, kau baik-baik saja? Kau sudah bangun?" tanya suara tersebut terdengar kembali.Rasa pening menghantam kepala Leticia. Ia mengingat sebuah kilas balik masa lalu dimana dirinya sekarat tadi. Kini ia mendengar lagi suara yang sama dengan nada yang sama dari pria di depannya. Leticia belum bisa menyusun semua ini dan menyimpulkan."Leticia," panggilnya sekali lagi."Tytan?" jawab Leticia kebingungan."Ya, kau baik-baik saja?" Tytan masih melontarkan pertanyaan yang sama padanya."Aku pusing," adu Leticia lirih sembari memegangi kepalanya."Kau mungkin sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan selama 3 jam lebih di dalam mobil." Begitu mendengar jawaban Tytan, ingatan Leticia seakan ter-refresh.Dirinya dan Tytan sebelumnya pergi menuju Kota Madrid dimana pria itu tinggal, menaiki sebuah mobil. Ia yang mengantuk akhirnya tertidur, lalu bermimpi. Mimpi atau masa depan yang akan terjadi jika ia mengikuti skenario yang sama dengan masa lalunya.Itu semua tidak akan terjadi karena sekarang pada kenyataannya Leticia sudah mengulang waktu. Ia menikah dengan Tytan dan tinggal di Madrid, bukan menikahi Castellano dan tinggal di Granada. Ia tidak akan kesepian dan berharap seorang diri di mansion megah yang lebih seperti penjara baginya."Aku akan mengantar ke kamarmu dan kau bisa melanjutkan istirahatmu," ucap Tytan seraya menggendong Leticia kembali.Leticia yang melamun, tersentak dan segera melingkarkan tangannya pada leher sang suami. Ia baru menyadari jika sejak tadi Tytan memangkunya. Degup jantung yang tenang itu kembali memompa darah dengan cepat. Secara alami bersamaan dengan pipinya yang memanas. Kali ini, Leticia tidak menolak lagi karena merasa suaminya tidak akan mendengarkan.Netra gadis itu melarikan diri ke arah sekitar mereka. Semua perasaan seketika terdistraksi saat Leticia melihat interior rumah yang baru disinggahinya ini. Ia menjadi sibuk menelisik seluruh yang dilewati mata birunya."Kau boleh melihat-lihat sepuasnya setelah beristirahat." Perkataan Tytan menarik semua atensi Leticia. Ia sekali lagi merasa malu karena tertangkap basah. Apakah semua terlalu jelas, padahal pria itu terlihat seakan-akan tidak memperhatikannya?Setelah sampai di sebuah kamar yang cukup besar bergaya minimalis, Tytan menurunkan istrinya di atas kasur. Leticia melepaskan sandal miliknya dan menatap pergelangan kakinya yang telah membengkak cukup besar. Ia mengaduh saat menyentuhnya pelan."Aku akan memanggil dokter kemari," ujar Tytan menyarankan yang membuat Leticia menatapnya lalu menggeleng. "Tidak, Tytan, maksudku, terima kasih atas niat baikmu. Kurasa aku bisa mengatasinya, aku hanya membutuhkan kotak obat saja. Kau pasti lelah juga, beristirahatlah."Tytan masih diam memperhatikan kaki Leticia. Ia mulai merasa was was jika pria itu melakukan sesuatu lagi untuk menolongnya. Leticia sudah merasa sangat banyak berhutang padanya."Baiklah." Pikiran Leticia tidak terjadi, dia pergi setelah mengatakannya.Pintu kamar tertutup begitu pria itu keluar. Sementara Leticia bernapas lega dan menyandarkan punggungnya. Ia memejamkan matanya namun tak benar-benar tertidur. Tiba-tiba, Leticia menegakkan tubuhnya kala mengingat dan menyadari sesuatu.***Bagaimana aku harus menangani semua variabel ini?' Itulah pertanyaan yang kini terngiang di dalam kepala Tytan.Pria itu mendongak, membiarkan wajahnya terguyur air shower sambil terus memikirkan hal tersebut. Setelah beberapa kali menyugar rambutnya, memastikan rambut itu sudah bersih, ia mematikan keran air. Tytan lantas mengambil bathrobe berwarna hitam yang tergantung dan memakainya, lalu mengambil handuk kecil untuk menggosok kepalanya.Hembusan napas keras Tytan keluarkan, ia melangkah keluar kamar mandi sambil terus menggosok rambutnya. Membuka lemari kaca, tangannya terulur mengambil salah satu botol whiskey. Menuangkan cairan tersebut ke dalam gelas sebelum menenggaknya. Ia melanjutkan langkah menuju kamarnya, mengacuhkan tubuhnya yang masih berbalut bathrobe dan rambutnya yang basah.Langkah kaki Tytan berhenti di depan jendela besar yang menampilkan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Daun serta batangnya basah oleh rintikan air hujan, sehingga menghasilkan suara yang khas. Tytan kembali melamun cukup lama, memikirkan perubahan yang terjadi tidak sesuai sama sekali dengan rencananya.Tok tok tok!"Masuk!" sahut Tytan pada suara ketukan pintu tersebut yang memecah lamunan panjangnya."Gaspar?" Tytan berbalik dan bertanya tentang kedatangan salah satu bawahannya ini.Pria setengah baya yang tampak masih sangat bugar dengan tubuhnya yang kekar itu membungkuk, sebelum mengatakan laporan yang dibawanya. "Tuan Muda, kami sudah memastikan area perjalanan. Tidak ada yang mengikuti kita kemari.”“Bagaimana dengan sekitar rumah?” tanya Tytan setelah sebelumnya menganggukkan kepala.“Kami juga sudah memeriksanya dua kali, tidak ada keberadaan siapapun.” Sekali lagi Tytan mengangguk.Tatapan pria itu turun pada gelas whiskey yang dipegangnya. Ia belum memerintahkan Gaspar untuk pergi, menandakan jika masih ada sesuatu yang ingin dikatakan. Dalam sudut pandang Gaspar sebagai bawahan yang setia dan berloyalitas tinggi, itu bukan sesuatu yang biasanya terlihat dari bosnya ini. Tytan tidak pernah bimbang atau ragu untuk mengambil keputusan dan memberikan perintah. Seolah seperti ada sesuatu yang menahannya.“Tuan Muda, apa ada yang ingin Anda perintahkan lagi?” tanya Gaspar melakukan inisiatif lebih dulu.“Leticia …” Perkataan Tytan tertahan di tenggorokan, tetapi membuat sang bawahan sekaligus tangan kanan dari pria itu segera menyadarinya. Alasan kenapa bosnya begitu kentara gelisah.“Ada apa dengan Nyonya?” Gaspar menunggu sambil mendorong Tytan untuk mengatakan yang sebenarnya."Ini tidak seperti yang kita rencanakan," ucap Tytan dalam gumaman, tetapi masih dapat didengar.Gaspar akhirnya mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh Tytan. Tidak seperti Diego atau bawahan-bawahan lain yang sebagian mempercayai perkataan Leticia, ia tidak demikian. Sepanjang menjadi bawahan Tytan, tidak mungkin bosnya ini yang tampak tidak tertarik dengan apapun dapat memiliki kekasih. Apalagi ditambah kesibukan yang ia miliki, atau identitas yang dimiliki, atau sifat kejamnya, dan beribu alasan lain yang membuat perkataan Leticia lebih tidak mungkin.Karena itulah sejak awal Tytan hanya berniat menikahi Leticia secara hukum dan mengirimnya untuk tinggal di Granada, mansion yang sudah dipersiapkan untuknya. Selain demi keselamatan Leticia, tetapi itu juga karena Tytan tidak benar-benar tertarik pada pernikahan ini.“Gaspar, menurutmu, adakah alasan untuk tidak menikah dengan pria berprofil seorang pebisnis kaya raya di negara ini?” Pertanyaan Tytan mengalihkan atensi Gaspar yang memasang ekspresi bingung. “Maaf?”“Kenapa Leticia sangat tidak ingin menikah denganku?” tanya Tytan mengulangi pertanyaannya.“Apa Anda bertanya karena tidak mengetahuinya?” tanya balik Gaspar yang lantas membuat Tytan menyerngit. “Tentu saja dialah yang aneh karena menolak pernikahan saling menguntungkan ini, ‘kan?”“Dari sudut pandang Nyonya Leticia, itu mungkin tidak menguntungkannya sama sekali kecuali keluarganya.” Dan melihat dari bagaimana ibunya memperlakukan gadis itu, dia memang lebih terlihat ‘dijual’ daripada menikah.Tytan mengesampingkan pertanyaan tersebut. Ia kembali memfokuskan atensi pada apa yang sejak tadi mengganggunya. Semua sudah tidak sesuai dengan rencana yang ia siapkan. Leticia ada di sini bersamanya dan itu bisa membahayakan dirinya sewaktu-waktu. Jika gadis itu mati, Massimo tidak akan membiarkan. Meski sampai saat ini pria itu belum menghubunginya. Hanya tinggal menunggu waktu sampai Massimo bertanya.“Perketat lagi penjagaan rumah ini dan sekitarnya dalam radius jarak 500 meter. Tidak boleh ada yang mengetahui tempat ini.” Akhirnya titah Tytan keluar, tetapi membuat Gaspar memasang ekspresi terkejut.“Leticia sudah ada di sini, tidak ada pilihan lain. Satu hal lagi, jangan sampai dia mengetahui jika kita adalah Castellano.”Dari berbagai sudut pandang pun keputusan ini terlalu beresiko, baik itu untuk Leticia ataupun Tytan sendiri. Akan lebih baik jika Tytan mengakui identitasnya dan menjelaskan pernikahan ini lalu mengirim Leticia ke Granada, seperti rencana awal. Masih ada berbagai pilihan lain, tetapi alih-alih melakukannya, untuk pertama kalinya pria itu mengambil keputusan yang berbeda. Entah apa yang mendasari keputusannya, tidak ada yang mengetahui."Tytan." Suara tersebut sontak membuat keduanya tersentak dan segera beralih ke arah pintu."Leticia," sahut Tytan masih dalam keterdiamannya yang syok. Meski ekspresinya tidak menggambarkan hal tersebut, tetapi otaknya bekerja keras menebak apakah Leticia mendengar pembicaraan mereka atau tidak."Maaf, apa aku mengganggu kalian?" Leticia tersenyum canggung, sangat kentara terlihat merasa bersalah."Tidak, kemarilah." Tytan menyimpan gelas yang sejak tadi masih dipegangnya lalu menggerakkan tangannya. Memberikan kode pada Leticia sekaligus Gaspar melalui lirikan mata."Saya permisi dulu, Tuan Muda, Nyonya." Dengan patuh dan penuh pengertian, Gaspar keluar kamar Tytan, sementara Leticia melangkah mendekat."Ada apa, Leticia?" tanya Tytan segera begitu gadis itu ada di depannya.---To be continued"Leticia, aku ingin tahu apa yang kau dan D'angelo bicarakan selama aku memasak?" tuntut Tytan, melipat tangannya di depan dada sambil menatap istrinya yang merebahkan tubuhnya di atas kasur."Kau tidak bekerja?" tanya balik Leticia tanpa menatapnya."Apa yang membuatmu mengambil keputusan sebesar itu?" Baik Tytan maupun Leticia tidak ada yang mendengarkan ataupun menjawab pertanyaan satu sama lain.Leticia akhirnya lebih dulu duduk bersandar. Ia mulai menatap Tytan dengan lebih serius. Ia menunjuknya dan berkata, "Kau sendiri tidak memberitahuku atau bahkan berniat memberitahuku apa yang kalian berdua bicarakan.""Kau berencana sendiri, maka aku juga akan berencana sendiri." Giliran Leticia yang melipat tangannya dan membuang wajahnya dengan kesal."Baiklah, aku minta maaf." Tytan menghembuskan napas panjang dan menghampiri istrinya. Ia duduk di sampingnya, menyentuhnya, berusaha membuat Leticia menatapnya. "Aku minta maaf, Sayang.""Aku ... Aku mengajaknya bekerja sama, maksudku, me
Tytan dan Leticia ke luar dari kamar mereka yang segera disambut oleh D'angelo. Leticia tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya. Ia mendadak salah tingkah dan segera menutupi lehernya dengan rambutnya yang tergerai."K-kau di sini? Se-sejak kapan?" tanya Leticia menoleh sekilas pada Tytan dengan tatapan tajam."Apa tidak ada tempat lain untukmu sendiri selain di depan kamar orang lain, huh?!" tegur Tytan menyalahkannya dan ikut kesal."Aku baru saja di sini karena mendengar suara-suara kenikmatan dari dalam kamarmu," jawab D'angelo yang semakin membuat Leticia mati kutu karena malu."D'angelo!" serunya keras.Alih-alih merasa bersalah, pria itu mengabaikan pasangan di depannya dan mengutarakan keinginannya dengan santai, "Aku lapar, Tytan."Tytan semakin naik pitam dan bersiap menghajarnya, tetapi Leticia menahannya. Meski merasa malu dan sangat ingin menghilang dari sana, ia tidak bisa memungkiri rasa laparnya. Ia tidak bisa mengabaikannya lagi karena janin di perutnya."Sud
"Angin semakin dingin. Aku ingin masuk saja." Leticia merapatkan mantelnya seraya berdiri."Biar saya antarkan sampai ke kamar Anda," ujar Diego dengan sigap.Leticia menggeleng menolak. "Aku bisa sendiri. Lakukan saja pekerjaanmu."Diego ingin membantahnya, tetapi Leticia melenggang meninggalkannya. Sebelum masuk, Leticia mendongak menatap ke arah ruang kerja suaminya. Ia menduga kedatangan D'angelo bukan tanpa alasan. Mereka pasti tengah mengobrol sesuatu di ruang kerja Tytan.Leticia pun melanjutkan langkahnya masuk. Ia perlahan menaiki undakan tangga, berusaha tidak menimbulkan suara. Sampai akhirnya di depan pintu ruang kerja Tytan, Leticia berhenti. Ia bisa mendengar suara dua orang berdialog, tetapi tidak terdengar jelas. Ia pun menempelkan telinganya."Aku tidak punya pilihan selain membunuhnya." Baru saja Leticia mendengar suara suaminya, degup jantungnya langsung berdebar hebat. Terkejut sekaligus takut."Tytan, aku memperingatkanmu, apa yang akan kau lakukan hanya merugikanm
Satu minggu kemudianSejak ke luar dari rumah sakit, Leticia harus terbiasa dengan segala sikap over protektif suaminya. Ia ingin menghindari rumah sakit karena suasana dan makanannya, tetapi di rumah, Tytan justru membuatnya merasa seperti pasien di rumah sakit."Tytan ..." Leticia menghampiri suaminya di ruang kerjanya.Tytan yang melihat Leticia di depan ruangannya, segera berdiri dan menghampirinya. "Hei, kau bisa memanggilku dari kamar. Kenapa kau ke mari? Apa ada yang kau inginkan?""Ini sudah satu minggu, aku muak di kamar terus menerus. Aku ingin ke luar." Leticia menyuarakan keinginannya.Tytan bersiap untuk menggendongnya. "Baiklah, aku-""Tidak perlu! Aku bisa ke taman sendiri!" potong Leticia segera mencegahnya. Tytan hendak berbicara, tampak tidak setuju, tetapi ia segera melanjutkan, "Bersama Diego.""Diego?" ulangnya yang terdengar masih tidak menyetujuinya."Mau bagaimana lagi jika kau sedang bekerja?" ujar Leticia sembari melirik ke arah meja kerja suaminya. Ia tersen
Leticia mengerang dalam tidurnya sebelum akhirnya terbangun karena rasa kering di tenggorokannya. Setelah membuka mata, ia menyerngit tidak nyaman oleh cahaya lampu yang menyilaukan. Ia mengerjap dan menoleh ke samping untuk menghindarinya. Lalu ia mendapati suaminya tidur di sofa."T-tytan ..." Leticia berusaha memanggil, tetapi karena suaranya yang ternyata jauh lebih kecil, membuatnya tidak terdengar.Akhirnya Leticia berusaha bangun dari tidurnya. Ia melihat ke atas nakas di mana gelas serta teko tergeletak. Ia pun berusaha mengambil gelasnya dan menuangkan air dari teko tersebut. Namun, tangannya yang tidak bertenaga membuat teko tersebut jatuh, menimbulkan suara yang bising."Hei, Sayang ..." Tytan pun terbangun. Dan seseorang menyusul masuk ke dalam ruangan. Itu adalah Diego yang kemungkinan ikut mendengar suara pecahan tekonya. "Tuan Muda, ada apa? Apa ada serangan?""Tidak, bukan. Apa kau baik-baik saja? Kau butuh sesuatu?" tanya Tytan sekali lagi pada Leticia sembari bangun d
"Tuan Muda, bagaimana keadaan Nyonya Muda?" Begitu ke luar dari ruang rawat Leticia, Tytan disambut oleh pertanyaan Diego."Di mana dokter itu? Apa dia mengatakan sesuatu yang lain padamu?" tanya balik Tytan, mengabaikan pertanyaannya."Dokter menyarankan agar Nyonya Muda dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Jika tidak mau, pastikan untuk beristirahat total di rumah setidaknya selama seminggu ke depan. Jangan membuatnya stres dan jaga pola makan." Tytan mengangguk atas pernyataan yang dikatakan dokter itu melalui bawahannya.Ia menepuk pundaknya dan memberikan perintah, "Bawa barang-barang keperluan Leticia dan aku di rumah.""Baik," jawab Diego tanpa membantah. Namun, pria muda itu tak urung segera pergi. Ia menatap atasannya dengan sungkan dan memanggilnya pelan, "Tuan Muda.""Ada apa lagi?" tanya Tytan balas menatapnya."Nyonya mungkin mengalami syok berat setelah mengetahui identitas Anda. Jadi ...""Aku mengerti, aku tahu apa yang harus kulakukan. Sekarang pergi dan lakuka