"Pria gila itu entah sedang membunuh siapa sekarang disaat anjing pemburunya menikah!" gerutu Gabriella, setelah satu kali percobaan telpon orang yang ditujunya tidak mengangkat.
Memilih menyerah karena dugaan di dalam pikirannya, wanita itu menghembuskan napas panjang. Membenarkan kembali penampilannya sekilas sebelum melangkah keluar.Saat kaki jenjangnya baru menginjak lantai luar gereja, getaran ponsel di tangannya menghentikan langkah. Ia melihat sekilas nama di layar ponsel pintar miliknya sebelum menggesernya."Akhirnya kau mengangkatku, Massimo," sapa Gabriella penuh penekanan akan sindiran.Semua umpatan dan kemarahan yang akan dilontarkan wanita itu tertahan karena telinganya menangkap sebuah suara bising di sebrang telpon. Seperti suara jeritan tertahan dan tembakan senjata api. Napas pria di seberang telpon juga terdengar terengah-engah."Ka-kau sibuk?" tanya Gabriella pelan, menurunkan nada suaranya hingga sangat lembut."Aku baru selesai dengan pekerjaanku, seperti yang kau duga dari sana." Kekehan terdengar dari suara berat pria tersebut.Gabriella menghela napas pelan diam-diam. Ia menyesal telah menelponnya di waktu yang tidak tepat."Ada apa, Gabriella? Oh, kau di Cathedral, 'kan? Sudah bertemu anakku yang menikah dengan putrimu?" tanyanya beruntun."Aku memang sudah bertemu dengannya, tetapi ada sedikit masalah tadi," adu Gabriella setelah ia mempertimbangkan sejenak, akankah memberitahu pria bernama Massimo ini atau tidak."Masalah apa? Tytan sudah menikah dengannya, 'kan?" Suara berat itu kali ini bernada rendah, ditekan dengan sengaja.Gabriella yakin jika perasaan Massimo kini memburuk. Salah-salah bisa ia yang terkena imbasnya. "Tentu saja mereka sudah menikah, meski Leticia sempat kabur tadi.""Kabur?" Mood Massimo sangat cepat berubah seperti roller coaster, tidak ada yang mengetahuinya pasti. Kali ini ia bertanya dengan tawa kecilnya seolah terhibur. "Kenapa dia kabur?""Aku tidak tahu, dia biasanya selalu diam menerima dan gemetar ketakutan saat aku marahi. Entah dimana otaknya tadi saat mencoba melarikan diri.""Lalu?" Massimo bertanya lagi, terdengar menikmati cerita Gabriella."Yah, dia bertemu pria itu. Kupikir dia orang asing, tetapi ternyata anakmu. Leticia mengakuinya sebagai kekasih dan ia tengah mengandung anaknya. Jadi, dia datang untuk menikah dengannya. Jika aku tidak tahu dia Tytan Castellano, aku mungkin akan percaya pada cerita karangannya. Lalu pernikahan ini akan semakin sulit," jelas Gabriella.Tidak ada suara balasan apapun dari seberang telpon. Entah bagaimana suasana hati Massimo sekarang setelah mendengar semua penjelasan darinya. Keterdiaman dalam sikap dinginnya lebih mengerikan dari apapun."Massimo, kau masih di sana?" tanya Gabriella setelah detik demi detik berlalu."Jadi, Tytan menikah dengannya di altar gereja?" sahutnya melempar balik pertanyaan, tanpa menjawab."Ya, dan sekarang mereka berdua pergi bersama. Kudengar akan ke rumah anakmu di Madrid." Lagi pria itu tidak menjawab dan Gabriella melanjutkan dengan ragu, mencoba menenangkannya. "Massimo, mereka pada akhirnya sudah menikah. Tidak perlu khawatir, kerja sama kita tetap berjalan."Suara sambungan telpon terputus sepihak oleh Massimo. Gabriella melihat ponselnya dan berdecak kesal, tetapi tak bisa melakukan apapun selain menggerutu dongkol. "Dasar pria ini!"Setelah pembicaraan singkat tersebut usai, ia melanjutkan langkahnya menuju tempat parkir. Tidak ada mobil lain selain miliknya di sana, menandakan jika Leticia dan Tytan telah pergi."Kita kembali ke mansion," perintah Gabriella pada sang supir setelah masuk ke dalam mobil.Menuruti sang majikan, supir tersebut mulai mengendarai mobilnya ke tempat yang diperintahkan. Sementara dalam perjalanan, Gabriella mengistirahtkan kepalanya. Sambil bernapas dengan tenang, ia kembali memikirkan sesuatu.Leticia mengakui Tytan sebagai kekasih. Ia bertanya-tanya lagi apa mereka memang kekasih atau hanya sebuah kebohongan. Akan tetapi, jika itu sebuah kebohongan, rasanya mustahil pria yang dingin dan angkuh itu mau mengakuinya. Bagaimanapun Tytan adalah putra yang dibesarkan Massimo. Dan lagi, mereka memang akan menikah, tidak ada alasan bagi pria itu mengikuti skenario Leticia.Tidak, tidak, Tidak mungkin mereka bisa saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Ia telah melihat gadis itu tumbuh hingga sampai saat ini. Jadi, Gabriella yakin tidak ada pria yang sampai saat ini dekat dengan Leticia. Mungkin memang Tytan adalah orang yang kebetulan bertemu Leticia. Lalu melihat gadis itu yang putus asa menginginkan pertolongan karena menolak menikah. Tytan memanfaatkan kebodohan Leticia dengan mengikuti skenario tersebut. Bagaimanapun, ini telah berakhir baik."Kita sudah sampai, Nyonya." Sang supir telah mematikan mesin mobil, lalu melirik ke arah kaca spion tengah. Mereka memang sudah berada di depan pekarangan mansion. Ia turun ketika supirnya membukakan pintu mobil."Ibu!"Begitu turun dari mobil, seorang gadis yang tampak seumuran dengan Leticia, menyambut kedatangan Gabriella. Dari mendengar panggilannya saja, siapapun sudah bisa menebak jika dia adalah putri Gabriella. Dan dari respon Gabriella, jelas gadis itu memang adalah darah dagingnya."Sofia, Darling. I'm home. Bagaimana kuliahmu hari ini?" sapa Gabriella hangat sembari memeluk putrinya yang berusia 2 tahun lebih muda dari Leticia."Yah ... begitulah, tidak ada yang menyenangkan. Tetapi ketika aku mendengar ini adalah hari itu, aku buru-buru pulang untuk bertemu Ibu!" ceritanya menggebu.Gabriella tertawa kecil sambil mengelus lembut rambut Sofia. Keduanya berjalan beriringan masuk ke dalam mansion mewah tersebut yang disambut oleh para pelayan. Mereka masing-masing mengambil tas dan melepas mantel wanita itu, sebelum membawanya."Apa Leticia sudah menikah dan resmi keluar dari rumah kita?" tanya Sofia di tengah langkah mereka, masih dengan nada ceria dan semangatnya."Ya, dia sudah menikah dan tidak akan kembali lagi kemari. Dia mungkin akan membusuk atau mati muda di samping pria itu." Jawaban dari sang ibu menambah senyuman yang terukir di wajah cantiknya."Bagus, dan aku juga berharap agar semua harta–""Gabriella ..." Suara samar seseorang yang memanggil Gabriella, membuat atensi kedua perempuan berbeda generasi itu beralih."Gabriella!" Panggilannya sedikit lebih kencang, tetapi tidak terlalu jelas."Coming, Sayang." Berbeda dengan cara bicaranya, ekspresi wajah wanita itu tampak menahan amarah."Ayah sejak tadi sudah ingin sekali bertemu dengan ibu," ucap Sofia padanya sebelum ia ditinggalkan begitu saja.Suara sepatu hak tinggi milik Gabriella terdengar nyaring berbenturan dengan lantai marmer mansion. Ia berjalan di lorong dan berhenti di depan salah satu pintu kamar. Kamar yang menjadi sumber panggilannya tadi."Ella!" Sekali lagi namanya terpanggil, kali ini lebih kencang dan jelas.Gabriella mengetuk pintu kamar di depannya sebelum masuk ke dalam. Saat pintu kamar terbuka, tampaklah seorang pria yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya kurung kering, terlihat hanya tulang dan kulitnya saja yang menonjol keriput. Berbanding terbalik dengan dirinya yang adalah istrinya. Padahal usia mereka tidak berbeda jauh.Dalam wajah yang tersenyum hangat itu, Gabriella memendam kekesalan dan kemarahannya. Ia bertanya-tanya, kapan pria yang menyandang status sebagai suaminya ini akan mati. Ia sudah membuatnya seperti mayat hidup, tetapi nyawanya belum tercabut juga."Aku di sini, kau mendengar kepulanganku tadi?" Entah sebuah keajaiban atau apa, meski kondisi tubuhnya seperti ini, seluruh indranya masih berfungsi.'Apa aku naikkan saja dosisnya? Anak itu sudah tidak ada, sekarang gilirannya,' pikirnya masih dengan senyum hangat di wajah tersebut."Bagaimana dengan Leticia? Apa dia benar sudah menikah dengan pria pilihanmu itu?" tanyanya."Iya, Leticia sudah menikah, Rafael. Dia sudah bersama suaminya sekarang di Madrid dan akan bahagia. Tuan Castellano adalah orang yang baik dan juga kaya. Pria itu akan membahagiakannya."Wajahnya yang tirus, tampak tersenyum lega. Begitu juga dengan Gabriella yang tersenyum membalasnya. "Ini adalah pilihan yang baik bagi keluarga kita dan Leticia. Dia seorang pengusaha besar juga yang akan membantu kita, apalagi Leticia di masa depannya."Rafael menghela napas dalam. "Semoga saja Leticia tidak menganggap jika pernikahan ini adalah untuk menjualnya.""Mana mungkin, dia pasti akan bahagia. Suaminya juga sangat tampan," ungkapnya."Aku bahagia jika putri dan keluargaku juga bahagia.""Karena itulah sekarang kau beristirahat saja. Pulihkan tubuhmu, untuk sekarang aku akan mengurus perusahaan sebelum Leticia memegang semua kendali.""Ya ..." Rafael menyetujui tanpa protes dan mulai memejamkan matanya.Gabriella beranjak dari duduknya kemudian membenarkan selimut di tubuh sang suami. Setelah itu keluar dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu pintu tertutup, wajah Gabriella yang halus, ramah, dan penuh senyuman hangat, berubah kala ia telah benar-benar di luar. Wajahnya berubah datar dengan alis berkerut, giginya bergemelutuk, dan tangannya mengepal. Ia mencoba mati-matian menahan emosinya karena ucapan dari pria tua yang sekarat itu.Dia memberikan banyak pekerjaan, tetapi sama sekali tidak memberikan harta miliknya. Selalu mengatakan jika perusahaan itu adalah milik Leticia, seakan dirinya dan putrinya bukanlah bagian dari Ramona. Bekerja keras untuk perusahaan besar keluarga ini tanpa mendapatkan hartanya. Sekalian saja Gabriella mengambil seluruh harta keluarga ini seperti tujuan awalnya."Kak Lucia, kau benar-benar beruntung. Dan aku lebih beruntung karena kau sudah mati lalu memberikan posisi ini padaku."---To be continued"Leticia, aku ingin tahu apa yang kau dan D'angelo bicarakan selama aku memasak?" tuntut Tytan, melipat tangannya di depan dada sambil menatap istrinya yang merebahkan tubuhnya di atas kasur."Kau tidak bekerja?" tanya balik Leticia tanpa menatapnya."Apa yang membuatmu mengambil keputusan sebesar itu?" Baik Tytan maupun Leticia tidak ada yang mendengarkan ataupun menjawab pertanyaan satu sama lain.Leticia akhirnya lebih dulu duduk bersandar. Ia mulai menatap Tytan dengan lebih serius. Ia menunjuknya dan berkata, "Kau sendiri tidak memberitahuku atau bahkan berniat memberitahuku apa yang kalian berdua bicarakan.""Kau berencana sendiri, maka aku juga akan berencana sendiri." Giliran Leticia yang melipat tangannya dan membuang wajahnya dengan kesal."Baiklah, aku minta maaf." Tytan menghembuskan napas panjang dan menghampiri istrinya. Ia duduk di sampingnya, menyentuhnya, berusaha membuat Leticia menatapnya. "Aku minta maaf, Sayang.""Aku ... Aku mengajaknya bekerja sama, maksudku, me
Tytan dan Leticia ke luar dari kamar mereka yang segera disambut oleh D'angelo. Leticia tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya. Ia mendadak salah tingkah dan segera menutupi lehernya dengan rambutnya yang tergerai."K-kau di sini? Se-sejak kapan?" tanya Leticia menoleh sekilas pada Tytan dengan tatapan tajam."Apa tidak ada tempat lain untukmu sendiri selain di depan kamar orang lain, huh?!" tegur Tytan menyalahkannya dan ikut kesal."Aku baru saja di sini karena mendengar suara-suara kenikmatan dari dalam kamarmu," jawab D'angelo yang semakin membuat Leticia mati kutu karena malu."D'angelo!" serunya keras.Alih-alih merasa bersalah, pria itu mengabaikan pasangan di depannya dan mengutarakan keinginannya dengan santai, "Aku lapar, Tytan."Tytan semakin naik pitam dan bersiap menghajarnya, tetapi Leticia menahannya. Meski merasa malu dan sangat ingin menghilang dari sana, ia tidak bisa memungkiri rasa laparnya. Ia tidak bisa mengabaikannya lagi karena janin di perutnya."Suda
"Angin semakin dingin. Aku ingin masuk saja." Leticia merapatkan mantelnya seraya berdiri."Biar saya antarkan sampai ke kamar Anda," ujar Diego dengan sigap.Leticia menggeleng menolak. "Aku bisa sendiri. Lakukan saja pekerjaanmu."Diego ingin membantahnya, tetapi Leticia melenggang meninggalkannya. Sebelum masuk, Leticia mendongak menatap ke arah ruang kerja suaminya. Ia menduga kedatangan D'angelo bukan tanpa alasan. Mereka pasti tengah mengobrol sesuatu di ruang kerja Tytan.Leticia pun melanjutkan langkahnya masuk. Ia perlahan menaiki undakan tangga, berusaha tidak menimbulkan suara. Sampai akhirnya di depan pintu ruang kerja Tytan, Leticia berhenti. Ia bisa mendengar suara dua orang berdialog, tetapi tidak terdengar jelas. Ia pun menempelkan telinganya."Aku tidak punya pilihan selain membunuhnya." Baru saja Leticia mendengar suara suaminya, degup jantungnya langsung berdebar hebat. Terkejut sekaligus takut."Tytan, aku memperingatkanmu, apa yang akan kau lakukan hanya merugikanm
Satu minggu kemudianSejak ke luar dari rumah sakit, Leticia harus terbiasa dengan segala sikap over protektif suaminya. Ia ingin menghindari rumah sakit karena suasana dan makanannya, tetapi di rumah, Tytan justru membuatnya merasa seperti pasien di rumah sakit."Tytan ..." Leticia menghampiri suaminya di ruang kerjanya.Tytan yang melihat Leticia di depan ruangannya, segera berdiri dan menghampirinya. "Hei, kau bisa memanggilku dari kamar. Kenapa kau ke mari? Apa ada yang kau inginkan?""Ini sudah satu minggu, aku muak di kamar terus menerus. Aku ingin ke luar." Leticia menyuarakan keinginannya.Tytan bersiap untuk menggendongnya. "Baiklah, aku-""Tidak perlu! Aku bisa ke taman sendiri!" potong Leticia segera mencegahnya. Tytan hendak berbicara, tampak tidak setuju, tetapi ia segera melanjutkan, "Bersama Diego.""Diego?" ulangnya yang terdengar masih tidak menyetujuinya."Mau bagaimana lagi jika kau sedang bekerja?" ujar Leticia sembari melirik ke arah meja kerja suaminya. Ia terseny
Leticia mengerang dalam tidurnya sebelum akhirnya terbangun karena rasa kering di tenggorokannya. Setelah membuka mata, ia menyerngit tidak nyaman oleh cahaya lampu yang menyilaukan. Ia mengerjap dan menoleh ke samping untuk menghindarinya. Lalu ia mendapati suaminya tidur di sofa."T-tytan ..." Leticia berusaha memanggil, tetapi karena suaranya yang ternyata jauh lebih kecil, membuatnya tidak terdengar.Akhirnya Leticia berusaha bangun dari tidurnya. Ia melihat ke atas nakas di mana gelas serta teko tergeletak. Ia pun berusaha mengambil gelasnya dan menuangkan air dari teko tersebut. Namun, tangannya yang tidak bertenaga membuat teko tersebut jatuh, menimbulkan suara yang bising."Hei, Sayang ..." Tytan pun terbangun. Dan seseorang menyusul masuk ke dalam ruangan. Itu adalah Diego yang kemungkinan ikut mendengar suara pecahan tekonya. "Tuan Muda, ada apa? Apa ada serangan?""Tidak, bukan. Apa kau baik-baik saja? Kau butuh sesuatu?" tanya Tytan sekali lagi pada Leticia sembari bangun d
"Tuan Muda, bagaimana keadaan Nyonya Muda?" Begitu ke luar dari ruang rawat Leticia, Tytan disambut oleh pertanyaan Diego."Di mana dokter itu? Apa dia mengatakan sesuatu yang lain padamu?" tanya balik Tytan, mengabaikan pertanyaannya."Dokter menyarankan agar Nyonya Muda dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Jika tidak mau, pastikan untuk beristirahat total di rumah setidaknya selama seminggu ke depan. Jangan membuatnya stres dan jaga pola makan." Tytan mengangguk atas pernyataan yang dikatakan dokter itu melalui bawahannya.Ia menepuk pundaknya dan memberikan perintah, "Bawa barang-barang keperluan Leticia dan aku di rumah.""Baik," jawab Diego tanpa membantah. Namun, pria muda itu tak urung segera pergi. Ia menatap atasannya dengan sungkan dan memanggilnya pelan, "Tuan Muda.""Ada apa lagi?" tanya Tytan balas menatapnya."Nyonya mungkin mengalami syok berat setelah mengetahui identitas Anda. Jadi ...""Aku mengerti, aku tahu apa yang harus kulakukan. Sekarang pergi dan lakuka