Share

Bab 8. Hanya Pernikahan Kontrak (Revisi)

‘Aku baru menyadari jika rumah ini ternyata dikelilingi pohon yang rimbun,” komentar Leticia ketika ia keluar dari kamarnya, menelusuri lorong sambil mencari kamar Tytan.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, Leticia memutuskan untuk menemui Tytan. Tidak dipungkiri jika ia memang lelah, tetapi setelah tubuhnya terkena air, rasa lelah itu tidak terlalu terasa. Sambil melihat-lihat rumah pria itu yang ternyata lebih indah jika diperhatikan lagi. Meski kesan gelap dan suram sangat kuat karena pemilihan warna cat dan furniturenya. Ditambah lokasi dari rumah ini sendiri menambah auranya.

Alasan Leticia cukup berani untuk mencari kamar Tytan adalah karena ukuran rumah ini tidak terlalu besar. Hanya dua lantai, dimana lantai satu tidak ada kamar lagi. Bisa terlihat dari lantai dua jika hanya ada ruang tamu yang luas, dapur dan meja makan, juga satu kamar mandi. Ia bisa menebak jika Tytan ada di salah satu dari dua ruangan tersisa di lantai dua ini.

Sebelum sampai di ruangan pertama, Leticia sudah mendengar suara dari dua orang yang berbicara. Ia tidak terlalu mendengarnya dengan jelas karena bercampur suara hujan. Ketika masuk, tampaklah Tytan bersama seorang pria paruh baya yang Leticia lihat tadi di gereja.

“Tytan,” panggil gadis itu mengalihkan atensi dua orang tersebut.

Ekspresi wajah yang sangat serius itu dalam sekejap berubah menjadi lebih kaku. Leticia segera merasa bersalah karena telah ikut campur di tengah-tengah mereka yang mungkin sedang membicarakan hal penting.

“Leticia?” Akhirnya Tytan tidak membiarkan lebih lama keterdiaman di antara mereka.

"Maaf, apa aku mengganggu kalian?" tanya Leticia tak enak.

"Tidak, kemarilah." Meski dia mengatakan tidak, tetapi tetap tak bisa mengenyahkan rasa bersalah gadis itu.

Leticia tidak memiliki pilihan selain melangkah saat Tytan memberikan kode agar mendekat padanya. Sementara pria paruh baya yang namanya baru diingat bernama Gaspar, menundukkan kepala dengan sopan sebelum berpamitan.

"Saya permisi dulu, Tuan Muda, Nyonya." Pintu tertutup meninggalkan dirinya dan Tytan yang telah berhadapan.

"Ada apa, Leticia?" Tytan telah memberikan seluruh atensinya pada Leticia.

Alih-alih melakukan hal yang sama dan mengatakan apa yang sudah dipikirkan olehnya sejak tadi, Leticia mendadak tidak bisa fokus. Ia bahkan tidak tahu harus menatap kemana. Pipinya dengan cepat memerah bersamaaan dengan jantungnya yang berdegup kencang.

Bagaimana bisa ia fokus sementara suaminya ini hanya berbalut bathrobe yang menampakkan dadanya? Itu bahkan masih basah dari tetesan air di rambutnya.

"Em ... itu, Ty-tytan ... se-sebelumnya aku minta maaf jika berkeliaran di rumahmu tanpa seizinmu," ujarnya gagap.

"Ya, tidak masalah, kau tidak mendengarkan apa yang kukatakan untuk melihat-lihat setelah beristirahat." Jawabannya penuh sindirian, tetapi itu tak mengusir rasa gugup Leticia.

"Bisakah sebelumnya kau memakai bajumu dulu baru kita bicara?!" Leticia mengatakannya dalam satu tarikan napas sembari menaikkan nada suaranya tanpa sengaja. Ia membuang wajah ke samping. Tidak peduli seberapa kuat usahanya, ketampanan pria ini seolah terus menggodanya.

Terdengar helaan napas dari Tytan, tampaknya itu membuatnya kesal. Leticia melirik sebentar pada punggungnya yang sudah melengos pergi. Dia melangkah ke arah pintu lain.

"Baiklah." Bersamaan dengan itu, suara pintu terdengar ditutup.

Barulah Leticia dapat bernapas lega dan kembali mengambil kendali atas dirinya. Ia mengatur degup jantungnya sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, suara pintu yang tiba-tiba terdengar lagi, membuat Leticia tersentak.

"Leticia, tunggulah aku di ruangan sebelah kamarku. Aku akan menyusul." Blam!

Belum sempat Leticia menjawab, pintu kembali tertutup. Bahkan ia sama sekali belum bergerak sampai beberapa detik ke depan seolah menjadi batu. Pergerakan Tytan cukup cepat dan terburu-buru. Entah kenapa dia melakukannya seperti orang yang tidak memiliki waktu. Sekilas Leticia lihat telinganya juga sangat merah. Apakah cuaca dan udara di sini begitu dingin baginya?

Mengesampingkan pertanyaan tersebut, ia keluar kamar dan pergi ke ruangan di samping kamar Tytan, sesuai dengan apa yang diinginkan olehnya. Ruangan yang tampak seperti ruang santai. Ada sofa dan karpet beludru dengan api unggun, membuat udara lebih hangat di ruangan ini.

"Kenapa masih berdiri?" Suara di belakangnya membuat gadis itu lagi-lagi tersentak. Ia diam-diam menghela napas karena Tytan selalu mengejutkannya sekarang. Secepat ini dia menyusulnya, entah langkah kakinya yang memang lambat.

"Apa kau sibuk, Tytan?" tanya Leticia sebelum menyusul Tytan yang telah duduk di sofa, berhadapan dengan api unggun.

Pria itu menggeleng yakin, sementara sikapnya membuat Leticia tidak yakin. Perasaannya dirundung rasa bersalah jika benar ia mengganggu Tytan.

"Kemarilah, aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Dia menepuk bagian sofa kosong di sampingnya yang membuat Leticia tidak memiliki pilihan.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Leticia menatap netra obsidian tersebut dengan serius, tidak ingin berlama-lama takut dia memang sibuk.

"Apa alasan terkuatmu tidak ingin menikah dengan pria pilihan keluargamu?" Pertanyaan Tytan membuat tubuh Leticia mau tak mau menegang. Ia memalingkan wajah ke depan, tidak ingin jika kebohongannya terungkap. Tidak mungkin ia mengatakan dirinya mengetahui masa depan dan akan mati jika menikah dengan Castellano, 'kan?

"Aku membencinya," jawab Leticia singkat.

Itu tidak bisa dikatakan bohong sepenuhnya karena memang Leticia membenci pria itu. Selain membuat dirinya menderita, dia juga tidak pernah sekalipun mengunjunginya untuk sekedar memperkenalkan diri. Jika dia tidak ingin pernikahan ini, maka Leticia akan dengan senang hati bekerja sama dengannya agar mereka bisa bercerai. Namun, tidak, sampai akhir ia mati muda, dia tidak sedikitpun menunjukkan batang hidungnya. Mengingatnya saja membuat Leticia tidak bisa tidak membenci pria itu.

Ketika Tytan tidak kunjung merespon, ia kembali mengalihkan atensi padanya. Menatapnya dengan bingung sebab suaminya ini tampak terkejut. "Tytan? Ada apa?"

"Kenapa kau membencinya? Bukankah kalian tidak saling mengenal bahkan tidak pernah bertemu?" tanya Tytan bernada penasaran.

"Karena dia bahkan tidak datang ke pernikahan kami dan hanya akan menandatangani surat pernikahan tanpa mengucapkan ikrar suci. Dari sana aku sudah yakin jika dia pria dingin dan kejam." Entah hanya perasaan atau bukan, wajah Tytan tampak semakin datar.

"Ty-tytan?" panggil Leticia sekali lagi, merasa sedikit takut Tytan tersinggung, meski ia sendiri tidak tahu karena apa. Seolah yang ia bicarakan adalah pria ini sendiri.

"Sudahlah, jadi, apa yang ingin kau katakan padaku saat kau seharusnya beristirahat?" Helaan napas yang kesal terdengar darinya.

"Ah, ini soal pernikahan kita. Bukankah kita seharusnya menandatangani kontrak agar tidak melanggar peraturan di dalamnya?"

"Kenapa harus?"

Leticia menyerngit bingung pada pertanyaan Tytan. "Karena kita menikah untuk saling membantu, 'kan? Aku tidak akan membebanimu hanya karena pernikahan ini. Kau bisa menaruh aturan apapun di dalamnya, termasuk aku yang tidak akan mengganggu urusanmu."

Ekspresi Tytan menjadi semakin datar, seolah tingkat kekesalannya bertambah. Leticia sampai kini tidak mengerti apa penyebabnya.

"Baiklah, aku akan membuat suratnya," kata Tytan dengan nada malas.

"Oke, hanya itu saja yang ingin kukatakan. Maaf aku sudah mengganggumu," ucap Leticia merasa bersalah.

"Aku akan menjelaskan tentang hal di gereja tadi," balasnya mengalihkan pembicaraan, mengabaikan permintaan maaf Leticia.

"Iya, apa?" Leticia mengurungkan niatnya yang hendak berdiri.

Tytan belum mengatakan apapun, selain menatap lekat wajahnya. Cukup lama hingga rasanya canggung. Sebelum Leticia menegurnya, dia lebih dulu membuka mulutnya. "Keluargaku sangat berbahaya, bahkan di dalam rumah ini sekalipun. Jadi, kurasa kau juga memang perlu pengawalan kemanapun. Aku melakukan ini demi dirimu."

Leticia memang sudah mengerti dengan fakta yang bisa sangat terjadi itu. Ia memang akan terlibat dengan sesuatu yang tidak diinginkannya, sejak dirinya mengenal Tytan. Satu pertanyaan di dalam kepalanya, seberapa berbahayanya itu?

"Baiklah, aku akan menerima siapapun yang akan menjagaku." Leticia tidak bisa menolak, meski ingin.

"Diego, anak itu pasti bisa menjagamu. Apa kau mengingatnya?" Ingatan Leticia segera melayang pada wajah-wajah asing tadi di gereja. Satu yang paling menarik perhatiannya sejak awal. Ia mengangguk. "Iya."

"Aku akan memberitahu Diego dan menulis surat kontrak itu." Sekali lagi Leticia mengangguk. Merasa pembicaraan telah selesai, ia akhirnya berdiri. "Kalau begitu aku akan beristirahat, kau juga beristirahatlah. Sekali lagi aku minta–"

"Leticia, berhenti meminta maaf. Aku tidak keberatan sama sekali mengobrol denganmu. Sibuk atau tidak." Perkataan Leticia belum sempat selesai, tetapi Tytan telah memotongnya. Ucapannya membuat jantung gadis itu lagi-lagi menggila. Tanpa membalasnya, Leticia melengos pergi terburu-buru. Tepat ketika hendak keluar, ia menggumamkan sesuatu. "Selamat malam, Tytan."

Tingkah istrinya itu tidak bisa untuk tidak menerbitkan senyum tipis di bibir pria tersebut. Ia menggaruk telinganya masih sambil menatap pintu yang beberapa detik lalu telah tertutup kembali.

"Kenapa dia selalu berhasil membuatku aneh?" gumam Tytan pada dirinya sendiri setelah berpikir secara rasional.

Tytan menggeleng pelan dan mengambil ponselnya. Ia menempelkannya pada telinga setelah menekan nomor seseorang.

"Tuan Muda, saya di sini." Suara tersebut segera menjawab.

"Gaspar, aku ingatkan sekali lagi untuk tidak membiarkan Leticia mengetahui jika aku Castellano. Terutama Diego. Suruh anak itu kemari sekarang."

-

-

-

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status