Rachel, wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya kini ada dihadapannya. Namun, mengapa dia ada di sini?Wanita itu seolah sadar sedang diperhatikan. Perlahan, ia menoleh ke arah Damar, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Bibirnya sedikit melengkung, bukan dalam senyum ramah, tetapi lebih seperti ekspresi penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.Damar masih terdiam, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi ini. Apakah dia benar-benar nyata? Ataukah ini hanya ilusi karena pikirannya masih kacau setelah semua yang terjadi?Damar masih memandang Rachel dengan tatapan tak percaya. Wanita itu, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana dan penuh kesopanan, kini berdiri di depannya dengan senyum genit dan penuh percaya diri.“Tuan Arman Wijaya,” suara Rachel terdengar manis namun mengandung nada menggoda. “Sudah lama sekali kita tak bertemu.”Damar sedikit tersentak. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena caranya berbicar
Malam itu, Damar sudah berdandan dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang telah disiapkan oleh para pelayan. Kemejanya berwarna putih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang sempurna di lehernya. Namun, butuh waktu lama bagi Damar untuk akhirnya bisa mengenakan dasi itu dengan benar. Ia sama sekali tidak terbiasa memakainya, dan sempat kesulitan hingga akhirnya salah satu pelayan membantunya.Saat keluar dari kamar, ia melihat Wilona, Zizi, dan Zicho yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Ketiganya tampak elegan dalam pakaian resmi. Wilona mengenakan gaun hitam panjang yang berkilauan dengan aksesoris berlian yang mencerminkan status sosialnya. Zizi dengan gaun merah marun pendek yang anggun, sementara Zicho mengenakan jas biru tua dengan wajah bosan.Wilona mendengus begitu melihat Damar mendekat. “Kau butuh waktu lama sekali. Kita hampir terlambat,” katanya dengan nada ketus.Damar hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia memang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena ke
Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”Wilona menghel
Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik."Anda siapa?" tanya polisi itu.Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri."Saya Arman Wijaya," katanya.Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu."Itu anak Anda, Zic
Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”Wilona yang sedang memakai anting langsung be
Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesua