Share

Bab 11

Rachel yakin seratus persen kalau pria itu adalah Ronald.

Namun, kenapa pria itu menyangkalnya?

Rachel mengingat kembali kejadian barusan. Kemudian, wajahnya menjadi muram.

Jangan-jangan Ronald mengira Rachel sengaja menggunakan Michelle untuk mendekatinya?

Bisa tidak jadi orang tidak usah senarsis itu?

Rachel memutar bola matanya dengan sangat anggun.

Rachel menunduk untuk menatap putri dalam gendongannya, lalu dia mendapati mata besar Michelle masih menatap lekat mobil Ronald yang sudah pergi jauh.

Rachel terkejut dan spontan bertanya, “Michelle, kamu kenal orang itu?”

Namun, gadis kecil itu tidak menanggapi pertanyaannya.

Sampai mobil itu telah menghilang di jalan, Michelle baru mengalihkan pandangannya dan memeluk leher Rachel dengan patuh.

Rachel melihat ke punggung telapak tangan sopirnya dan merasa sangat bersalah, “Maaf, Pak. Michelle kadang bisa gigit orang kalau lagi panik. Kita ke rumah sakit obati dulu, ya ....”

Sopir itu malah mengibaskan tangannya dan berkata, “Sangat wajar anak-anak gigit orang. Anak saya juga sering gigit saya. Tidak apa-apa. Bu Rachel masuk ke mobil saja.”

Rachel menghela napas pelan.

Dia selalu berusaha memperbaiki kebiasaan buruk Michelle ini, tapi efeknya sangat kecil.

Mobil terus melaju, sesaat kemudian mobil itu berhenti di depan pintu masuk Winata Group.

Rachel membawa kedua anaknya ke ruang tunggu. Kemudian, dia berpesan pada Michael untuk menjaga baik-baik adiknya. Setelah itu, dia baru pergi ke kantor.

Roy, kakak sepupu Rachel tertua dari keluarga Winata yang akan membawa Rachel pergi menanamkan chip hari ini.

Kakak sepupunya sekolah di luar negeri sejak usia delapan tahun. Dia hanya pulang setahun sekali. Oleh karena itu, empat tahun yang lalu pun Rachel tidak begitu akrab dengan kakak sepupunya itu.

Namun, Rachel harus mengakui kalau kemampuan kakak sepupunya itu sangat luar biasa. Kalau tidak, tidak mungkin dia bisa lebih menonjol di antara belasan generasi muda keluarga Winata.

“Rachel, kamu kasih aku lihat kode chip-nya dulu.”

Roy orang yang tegas dan profesional. Dia langsung membahas pekerjaan begitu bertemu dengan Rachel.

Rachel juga tidak bermain-main. Dia langsung duduk di depan komputer, jari-jarinya yang putih dan lentik mengetik dengan cepat di atas keyboard.

Sesaat kemudian, dia telah selesai mengetik satu halaman kode.

Roy juga belajar pemrograman.

Dia langsung tercengang begitu melihat serangkaian kode di layar komputer.

Dia terkejut karena adik sepupunya itu menggunakan bahasa pemrograman C yang paling sederhana untuk menulis kode program yang paling rumit.

Kalau rangkaian kode itu digunakan untuk mengoptimalkan chip, maka produk Winata Group pasti akan menjadi produk terbaik di pasar.

Tidak heran ayahnya begitu tidak sabar ingin menandatangani kontrak.

“Kak Roy, aku sudah masukkan kode pengoptimalan ke dalam sistem komputer, tinggal hubungkan ke bagian internal ....”

Rachel menjelaskan semuanya secara metodis, hingga ke detail terkecil.

Ada rasa kagum dalam tatapan Roy saat menatap adik sepupunya itu, “Kalau produk ini berhasil, kontribusimu nggak boleh terlupakan.”

Rachel tersenyum tipis, “Paman dan Kak Roy mau percaya sama aku, sehingga chip ini baru dapat kesempatan untuk digunakan. Bukankah seperti itu?”

Roy justru menggelengkan kepalanya.

Pria itu yakin pasti banyak perusahaan diam-diam menghubungi Rachel.

Tanpa keluarga Winata, masih akan ada banyak perusahaan dari keluarga Mahesa atau keluarga lainnya berebut untuk bekerja sama dengan Rachel.

Winata Group mendapat kesempatan ini hanya karena Rachel adalah cucu dari keluarga Winata.

Roy dan Rachel hendak pergi melihat sampel yang dibuat oleh perusahaan. Namun, sekretaris Roy tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.

“Pak Roy, Bu Shania datang untuk membahas kerja sama.”

Rachel spontan menyipitkan matanya.

Bu Shania?

Shania adik tirinya?

Benar juga, keluarga Winata-lah yang memberikan dukungan saat awal berdirinya Hutomo Group.

Kedua perusahaan memiliki ikatan yang kuat.

Meskipun empat tahun yang lalu keluarga Winata dan keluarga Hutomo mengalami pertengkaran dan berakhir dengan tidak menyenangkan, bukan hal mudah untuk memisahkan diri dengan jelas dalam dunia bisnis.

Rachel menoleh dan bertanya, “Kak Roy, sekarang Winata Group masih ada kerja sama bisnis apa saja dengan Hutomo Group?”

“Hutomo Group ingin mendapat bagian dari produk pintar kali ini. Mereka ingin terus bekerja sama dengan kita,” kata Roy. “Tapi Hutomo Group nggak bisa menunjukkan ketulusan yang cukup. Jadi Papaku masih ragu-ragu, sampai sekarang kontrak belum ditandatangani.”

Rachel mengetuk meja dengan jarinya dan berkata, “Kak Roy, kalau kamu percaya sama aku, boleh nggak serahkan masalah ini padaku?”

Rachel menatap Roy, ada ketenangan di dalam mata perempuan itu.

Akan tetapi, Roy bisa membayangkan apa yang ada di balik ketenangan itu.

Tadi malam, Roy sudah mendengar dari neneknya apa yang terjadi pada Rachel empat tahun yang lalu. Rachel memiliki dendam besar terhadap keluarga Hutomo karena telah membunuh putranya.

Seandainya tidak ada yang terbunuh, keluarga Winata bisa saja menutup mata dan terus bekerja sama dengan keluarga Hutomo.

Akan tetapi, masalah di antara mereka sudah menyangkut dua nyawa bayi tak berdosa.

Sekalipun Roy tidak memiliki perasaan terhadap adik sepupunya itu, dia tetap tidak bisa menutup mata begitu saja.

Roy pun berkata dengan suara berat, “Rachel, kamu menginvestasikan teknologi dalam proyek ini. Karena itu, kamu punya hak untuk memutuskan apa pun. Aku serahkan masalah ini padamu.”

“Terima kasih, Kak Roy.”

Rachel pun menghela napas lega.

Pada saat ini, area resepsionis.

Shania duduk bersandar di sofa, wajahnya penuh dengan ketidaksabaran.

Perempuan itu telah menunggu selama 20 menit. Keluarga Winata tidak mengutus siapa pun untuk menemuinya. Berani-beraninya mereka mengabaikannya begitu saja.

Keluarga Winata, keluarga nenek Rachel si jalang itu. Dia tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengan keluarga Winata seumur hidupnya.

Namun, apa daya ....

Sekarang Shania adalah pewaris keluarga Hutomo. Hutomo Group mulai mengalami penurunan lagi. Oleh karena itu, semua yang dia lakukan harus mempertimbangkan kepentingan perusahaan terlebih dahulu.

Shania berpikir, alangkah baiknya kalau Ronald bersedia mengungkapkan statusnya.

Mungkin akan ada banyak orang datang untuk cari muka di depannya.

Akan tetapi, Ronald menyuruhnya untuk tidak membicarakan soal anak-anak, apalagi terlibat dengan keluarga Tanjaya.

Dengan kata lain, meskipun dia berhasil membuat Ronald mengira dia adalah ibu dari anak-anak, dia tetap tidak mendapat keuntungan apa pun dari keluarga Tanjaya.

Hal ini benar-benar membuatnya sangat kesal.

Shania menghabiskan kopinya sekaligus dengan emosi. Tiba-tiba, suara sepatu hak tinggi terdengar dari luar ruangan.
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Trias Alexander
kerenn nih ceritanya, koin jgn mahal ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status