Mas Adam dan Rania telah bersahabat sejak kecil. Namun, mereka juga harus berpisah karena keluarga Fahreza yang harus pindah ke Singapura. Hingga, mereka kembali dipertemukan sekitar 10 bulan yang lalu. Setelah aku dan mas Adam dijodohkan.
Selama ini aku anggap semuanya baik-baik saja. Mas Adam yang selalu ramah dan baik pada semua orang, ternyata membuat Rania salah paham. Dia, menaruh rasa yang lebih kepada suamiku. Bahkan, perempuan itu berani menjebak mas Adam, hanya demi memenuhi ambisinya. Jika sekarang adalah 1 minggu setelah pernikahan kami, berarti masih ada banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Meskipun kami menikah karena perjodohan, tetapi mas Adam tidak pernah mengkhianati pernikahan kami. Maka, aku juga tidak akan membiarkan mas Adam menghadapi masalah ini sendirian ke depannya. "Kenapa?" tanya mas Adam yang baru saja tiba. Dia juga membawa segelas air minum dan kotak obat P3K. "Bukan apa-apa." Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara. Aku yang sibuk dengan pemikiran sendiri, sedangkan mas Adam dengan telaten mengobati benjolan di dahiku ini. "Lagian kenapa bisa kayak gini sih? Kamu masih risih kalau kita tidur seranjang?" Mas Adam meletakkan peralatan obat itu, setelahnya memintaku untuk minum air yang dibawanya tadi. "Kalau memang risih, biar kita tidur di kamar terpisah saja. Daripada kamu harus kayak gini." "Apa, tidur terpisah? Ckck, apa dia enggak peka kalau aku jatuh, bukan sengaja menjatuhkan diri. Lagian, jika kami tidur terpisah, yang ada hubungan ini semakin asing. Sama saja ngasih celah buat Rania," batinku. "Gimana? Kamu setuju?" tanyanya lagi, yang justru membuatku semakin kesal. "Ckck, mas sadar enggak sih. Aku ini tanpa sengaja jatuh lho dari tempat tidur. Bukan sengaja menjatuhkan diri atau bahkan sengaja tidur di bawah. Kenapa justru minta pisah kamar sih." Tuh kan, dia bukannya minta maaf, tapi malah ketawa. Seolah-olah perkataanku ini terdengar konyol. Sepertinya dia perlu banyak istirahat setelah ini. "Iya-iya maaf. Aku hanya memastikan kamu nyaman dengan hubungan kita saat ini. Meskipun pernikahan ini terjadi karena perjodohan kedua kakek kita, tapi kita berdua juga harus bahagia. Aku hanya memastikan jika kamu harus bahagia di sini." "Aku pasti bahagia, asal mas bisa janji tidak akan berkhianat dan selalu menjaga kepercayaan pernikahan kita." "Tentu saja. Kebahagiaanku juga tergantung kebahagiaanmu. Jadi, mari sama-sama kita menanam dan memupuk perasaan ini. Saling menjaga dan saling memberi kepercayaan." Perkataan itu sukses membuat aku tertegun. Di kehidupan dulu, aku bahkan tidak pernah mendengar kalimat ini keluar dari bibirnya. Namun, meskipun begitu, kita sama-sama saling menjaga dalam diam. "Setuju, tapi mas juga janji jaga pandangan. Jangan terlalu baik apalagi sama perempuan lain. Bisa aja mereka salah paham, dan mengartikan kebaikan kita sebagai bentuk rasa suka atau ketertarikan." "Iya, kamu tenang aja. Sekarang tidur lagi ya? Masih tengah malam dan kamu perlu istirahat. Besok kita lanjut bicara lagi." Tanpa membantah, aku segera berbaring di ranjang. Tidak lama kemudian, mas Adam juga ikut menyusul berbaring di sampingku. Tidak ada interaksi berlebihan di antara kami. Meskipun berjanji untuk memupuk rasa yang ada, tetapi rasa canggung itu juga pasti ada. "Tuhan, terima kasih atas kesempatan berharga yang engkau berikan ini. Aku janji, di kehidupan ini, aku akan mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada mas Adam. Tidak seperti di kehidupan dulu, di mana aku tidak terlalu memberikan perhatian kepadanya," batinku. "Papi dan papa, mereka adalah orang yang juga menyayangiku dengan tulus. Aku tidak akan menyia-nyiakan mereka." Kutatap sekali lagi wajah mas Adam yang sudah terlelap. Aku tersenyum, sebelum ikut memejamkan mata juga. Semoga, ini adalah awal yang baik untuk segala hal yang aku inginkan. ©©©©©©© Pagi-pagi sekali, aku sengaja bangun lebih awal. Tujuanku ialah membuat sarapan untuk mas Adam. Adanya kesempatan kedua ini, tentu saja tidak akan aku sia-siakan. Mulai hari ini, aku harus bisa memanfaatkan kesempatan yang ada, memperbaiki hubungan dengan orang-orang, serta membalas perbuatan orang-orang di kehidupanku sebelumnya. "Nyonya, biar kami saja yang memasak," ucap salah seorang pelayan yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Bukan hanya itu, tetapi beberapa pelayan yang memang ditugaskan di dapur pun, tampak berdiri berjejer dan menatap segala gerak-gerikku. "Tidak apa-apa Bi. Aku hanya ingin membuat makanan untuk mas Adam. Agar, dia juga semangat kerjanya. Aku sadar, selama 1 minggu ini hampir tidak pernah memperhatikannya. "Nyonya juga tidak boleh jika terlalu kelelahan. Jadi, biarkan kami juga ikut membantu." Gerakanku yang tengah memotong cabai pun mendadak berhenti. "Oke, dengan senang hati. Mohon bantuan kalian ya," ucapku yang langsung dibalas senyum dari mereka. ©©©©©©© Menu makan untuk sarapan telah terhidang di meja. Bukan menu yang mewah, hanya nasi goreng dan juga sandwich. Karena, mas Adam sendiri enggan memakan menu yang terlalu berlebihan ketika sarapan. Dari mana aku tahu? Tentu saja selama 6 bulan kami menjalani rumah tangga di kehidupan sebelumnya. "Sarapan ini, kamu yang menyiapkan?" tanya mas Adam, yang baru saja tiba di ruang makan dan lengkap dengan setelan kerjanya. "Iya dong. Semoga kamu suka ya Mas." Bukannya menanggapi perkaanku, mas Adam justru hanya tersenyum tipis. Seolah, tengah menertawakan apa yang aku lakukan. Huh menyebalkan. "Tadi pagi kamu repot-repot menyiapkan pakaian kerja untukku. Lalu sekarang, kamu juga menyiapkan sarapan. Ada apa Clara? Selama 1 minggu ini bahkan kamu enggan melakukan pekerjaan ini." "Ckck, ini sudah kewajibanku untuk melayani kamu, Mas. Selama 1 minggu kemarin, anggap saja aku masih adaptasi sebagai seorang istri." Setelahnya, tawa mas Adam justru semakin terdengar. Heran, sebenarnya apa yang salah sih? "Yaudah, Mas mau makan pakai nasi goreng atau sandwich?" "Nasi goreng aja." Dengan cekatan, segera kuambilkan nasi goreng yang tadi kubuat, untuk mas Adam. Hening, kami sama-sama menikmati sarapan yang tersaji. Sehingga, di ruangan itu hanya terdengar suara dentingan sendok yang saling beradu. Seolah tengah menikmati suasana sarapan yang damai. "Masakan kamu, enak. Rasanya benar-benar pas untukku." Mendengar itu, tentu saja aku tersenyum puas. "Benarkah? Kalau begitu, aku akan sering masak untuk kamu, Mas," ucapku dengan semangat. "Silahkan saja, tapi jika lelah harus segera istirahat. Jangan terlalu dipaksakan." "Tenang saja. Lagian pekerjaan ini juga tidak begitu berat kok." Ting Bunyi notifikasi dari ponsel yang ada di atas meja, mengalihkan perhatianku. Segera kuambil ponsel itu dan melihat siapa yang telah mengirimiku pesan sepagi ini. Namun, seketika itu juga rasa terkejut itu datang, ketika melihat nama pengirim pesan. Rania Kak, di ulang tahun perusahaan besok lusa, jangan pergi dengan mas Adam ya? Aku kangen banget kita bisa pergi berdua.Setelah membereskan barang bawaannya, Adam segera memeluk pinggang Clara dari arah belakang. Menumpukan dagunya di pundak sang istri. Ada rasa nyaman, yang baru ia rasakan saat bermanja dengan istrinya. Salah satu hal favorit yang baru ia dapatkan setelah menikah dengan Clara. "Kenapa?" Clara menggenggam telapak tangan sang suami yang melingkar di perutnya. Kini, posisi keduanya tengah berdiri di balkon kamar yang menghadap langsung ke arah laut. "Aku, kangan banget sama kamu," gumamnya dengan pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Clara. Perempuan itu tersenyum kecil, dan segera membalikkan badannya. Menangkup kedua sisi wajah sang suami yang entah kenapa semakin hari terlihat semakin tampan. "Padahal kita tidak pernah berpisah lho. Kenapa masih aja kangen, hmm?""Entahlah, hanya saja rasanya hampa kalau lama-lama enggak lihat kamu." Kembali Adam memeluk Clara dengan erat, yang dibalas oleh Clara berupa elusan lembut di punggung laki-laki itu.
Adam dan Clara tengah berada di dalam mobil yang akan membawa keduanya menuju ke mansion. Suasana makan malam ini, tidak pernah laki-laki itu perkirakan akan berakhir seperti ini. Entah, apa yang dipikirkan oleh maminya tersebut. Sebagai lelaki dewasa, tentu ia paham, jika sang mami hendak mendekatkannya kembali dengan Rania. Namun, apakah maminya tidak memikirkan perasaan Clara, juga kenyamanan anaknya sendiri? Apalagi Clara, Adam hanya takut jika istrinya tersebut merasa tidak nyaman. "Sayang, maafkan perilaku mami ya. Mas sama sekali tidak menyangka, jika mami bisa berbicara seperti tadi." Adam yang tengah menyetir, menolehkan kepalanya ke arah Clara. Bisa ia lihat, jika istrinya itu tengah sibuk memandangi jalanan. "Enggak masalah Mas," ucap Clara sembari menoleh ke arah Adam. "Yang penting bagi aku, kamu tidak terpengaruh dengan perkataan mami. Meskipun misalnya mami memiliki niat untuk mendekatkan kamu dengan Rania, aku harap kamu tetap
Para orang tua dan Rania, tentu saja terkejut dengan perkataan Adam. Namun, berbeda dengan para sepupu Adam lainnya Brian, Radit, dan Satya, mereka setuju dengan pernyataan Adam. Karena, Rania bukanlah anggota keluarga mereka. Sedangkan Clara, ia hanya diam, tetapi dibalik diamnya, justru merasa senang dengan perkataan suaminya tersebut. "Kamu apa-apaan sih Adam? Mami yang mengundang Rania ke sini. Karena, dia sudah mami anggap seperti anak sendiri. Lagian, Rania juga sahabat kecil kamu, jauh sebelum kamu mengenal Clara.""Mi? Aku enggak suka ada orang lain yang ikut di acara rutinan keluarga kita. Mami sadar enggak sih? Sedari tadi yang Mami perhatikan hanya Rania. Di sini, menantu Mami itu Clara, bukan Rania," ucapnya dengan tegas. Adam sangat berharap jika maminya bisa menaruh perhatian yang lebih kepada istrinya. "Udahlah Dam. Lagian kalau memang mami kamu lebih sayang dengan Rania, berarti Clara belum bisa menjadi menantu yang diinginkan mami kamu.
Siang ini Adam dan ayahnya baru saja selesai bertemu dengan klien dari China. Mereka tampak keluar dari ruang VIP Restoran bersama klien mereka, juga beberapa orang kepercayaan di belakangnya. Saat ini tujuannya ialah kembali ke perusahaan, dan mengerjakan rincian kerja sama sesuai kesepakatan bersama. "Oh iya Dam, hampir aja lupa. Nanti malam ajak Clara ke rumah. Malam ini kita akan kedatangan keluarga besar mama kamu," ucap Dimas ketika mereka telah sampai di parkiran. Sengaja memang, Adam pergi ke tempat ini bersama papinya, dan ia yang bertugas menyetir mobil. Sedangkan asisten mereka berada di mobil satunya lagi. "Kok dadakan Pi?""Sebenarnya udah agak lama papi tahu kalau mereka akan datang. Hanya saja, ternyata mami kamu lupa memberitahu kamu dan Clara.""Mami ini, ada-ada aja. Yaudah, nanti sampai di kantor, Adam akan telpon Clara." Dimas hanya mengangguk, kemudian ia masuk ke dalam mobil. Begitu juga dengan Adam yang langsung mengambil
"Guys, kapan-kapan kita liburan yuk," ucap Devano yang seolah tengah mengalihkan pembicaraan. "Boleh tuh, mending sekarang kita atur jadwal deh. Kalian kapan ada waktunya?" tanya Claudia.. "Gue dalam minggu-minggu ini kayaknya enggak bisa sih. Soalnya masih ada beberapa sidang sama klien," ucap Jesica. "Gue mulai lusa bakal sibuk sama jadwal operasi. Paling sampai 3 atau 4 hari," jawab Reno. "Kalau gue sendiri, kebetulan jadwal syuting udah selesai, promo lagu juga masih bulan depan. Jadi, kalau untuk sekarang masih ada banyak waktu."Clara yang semula nampak gugup, kini telah berhasil mengendalikan dirinya. Ia sangat berterimakasih kepada Devano dan Claudia yang bisa mengalihkan perhatian. Juga mancairkan suasana yang awalnya terasa canggung. "Kalau misal kita ambil liburan minggu depan, gimana? Kayaknya gue juga bisa sih kalau hari itu.""Lebih ke weekend minggu depan?" tanya Dimas, untuk memastikan. "Bo
"Kamu apa-apaan sih. Mama baru aja mau pergi dengan Rena, ini juga demi kamu. Sekarang, kenapa malah kamu nyuruh mama datang ke sini," ucap Vina saat ia baru saja memasuki ruang VIP di sebuah Restoran yang telah dipesan Rania. "Duduk dulu Ma. Ada hal penting yang harus kita bahas, dan ini enggak bisa ditunda.""Yaudah cepetan. Kamu mau bahas apa?""Rencana kita untuk melemahkan promosi dan citra Resort papa, semuanya gagal total." Satu kalimat yang membuat Vina tertegun. Matanya terbelalak, seolah tidak percaya dengan perkataan putrinya."Gagal total gimana maksud kamu?""Mereka membatalkan kerja sama dengan Vania, juga konsep dari Resort yang diubah keseluruhannya.""Gimana bisa? Padahal sebentar lagi seharusnya Resort sudah selesai kan? Lalu, kenapa mereka membatalkan proyek ini untuk Vania?"Rania menghela napasnya perlahan. Ia mulai menceritakan semuanya kepada sang mama. Berdasarkan penjelasan dari Vania juga seseo
"Apa? Kontrak saya dibatalkan?"Saat ini Vania dan manjernya tengah bertemu dengan dua orang perwakilan dari Raharja Group. Ratih, asisten manajer divisi pemasaran juga salah seorang dari staf divisi keuangan. Karena, setiap kerja sama dengan publik figur atau hal-hal yang berhubungan dengan promosi dan pemasaran, akan melaluinya terlebih dahulu. Tentunya setelah mendapat izin dari manajer. "Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat untuk tanda tangan kontrak hari ini?""Sekali lagi kamu mohon maaf Mbak Vania. Namun, ini sudah menjadi keputusan perusahaan. Ada beberapa hal yang kami pertimbangkan kembali, dan keputusannya adalah mengakhiri kerja sama kita.""Enggak bisa gitu dong. Ini namanya tidak profesional. Saya bisa saja memviralkan sikap buruk perusahaan kalian.""Bu Ratih, apa tidak bisa dipertimbangkan lagi? Alasan ini benar-benar tidak masuk akal. Saya rasa Vania cukup kompeten untuk bekerja sama dengan Raharja Group dalam mempromosik
"Yaudah ayo, gue penasaran banget soalnya." Segera Vania dan Rania melangkah mendekati kerumunan itu. "Permisi, tolong beri jalan dong." Tanpa sadar badan Vania terdorong seorang perempuan di sampingnya. Hal itu tentu saja sempat membuat Rania ikut oleng. "Lo kalau jalan lihat-lihat dong. Kalau gue jatuh terus muka gue lecet gimana? Lo mau ganti rugi sama Brand Ambassador yang udah endorse gue!" bentak Vania kepada seseorang itu. Hal ini tentu saja membuat kerumunan seketika hening, dan menjadikan ketiganya pusat perhatian. "Yaelah, Mbak. Namanya juga tempat ramai pasti ada aja yang kedorong. Lebay banget sih. Lagian, situ baru pertama kali minta foto artis ya? Makanya norak banget. Cuma kedorong dikit aja juga.""Lo benar-benar ya! Lo enggak tahu siapa gue?""Udah stop! Bisa enggak, jangan berantem di sini? Gue di sini karena mau menyapa kalian, bukan malah mendengarkan keributan kalian." Mendengar itu, kini semua kembali menatap ke a
Kembali, mereka terlihat saling pandang, sebelum akhirnya salah satu dari mereka berbicara, "Saya pribadi setuju dengan usul bu Clara. Sebelumnya kita memang teledor dengan tidak memerhatikan setiap sisi dengan detail. Menurut saya, apa yang disampaikan oleh bu Clara, adalah ide yang bagus.""Ya, saya juga setuju.""Saya juga.""Kami juga setuju."Mendengar mereka yang menyetujui pendapatnya, membuat Clara tidak bisa lagi menahan senyum. Akhirnya, rencana yang ia pikiran dari kemarin, bisa diterima dengan baik. Meskipun harus melalui pro dan kontra terlebih dahulu. "Baiklah, terima kasih semuanya. Nanti tim dari Divisi Pemasaran akan membuat ulang konsep pembukaan Resort ini, juga dana tambahan yang harus kita keluarkan. Untuk selanjutnya, saya akan membahas konsep ini bersama pak Roni, dan akan kami informasikan lebih lanjut." Hampir semuanya tampak mengangguk, tanda setuju, kecuali satu orang yang berada di ujung meja. ©©©©©©