Tak lama datanglah beberapa pria tegap dengan pakaian serba hitam dan salah seorang pria berpakaian jas rapi yang menghammpiri Glara di depan ruang rawat Gama. “Permisi nona, kami sudah mengurus surat perpindahan Tuan Muda Gama dan mempersiapkan perawatan di rumah sakit baru. Sebentar lagi Tuan Muda Gama akan kami pindahkan,” lapornya seraya memberikan map berisi data-data Gama.
“Terima kasih atas bantuannya,” sahut Glara bernapas lega.
“Tuan besar berpesan agar Nona segera menjalankan bagian nona.” Glara mengangguk mendengar ucapan salah seorang kepercayaan sang kakek.
Saat Glara akan menanyakan lebih rinci tentang tugasnya, beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Gama. Glara tak begitu panik, karena ia sudah tahu jika Gama akan dipersiapkan untuk dipindahkan rumah sakit yang lebih besar dari ini.
“Pasien sudah siap dipindahkan,” ujar salah seorang perawat yang memimpin barisan perawat lainnya yang sedang mendorong brankar Gama.
Glara mengangguk dan mempersilakan tangan kanan kakeknya memimpin barisan sedangkan Glara berjalan di samping brankar Gama. Sepanjang jalan Glara tak henti-hentinya membatin sumpah serapah pada Damian sang mantan suami. Pasalnya, selama hidup berjauhan Glara tak pernah mendapatkan kabar tentang penyakit Gama. Dan sekarang, Glara nyaris terlambat memberikan pertolongan pada Gama.
Glara sendiri tak bisa menjadi pendonor hati karena setelah melakukan serangkaian pemeriksaan Glara tak memenuhi lebih dari 50% syarat sebagai pendonor hati. Beruntungnya, ia memiliki kakek Louis yang bisa dengan mudah mendapatkan pendonor tanpa menunggu lama.
“Apakah nona ingin bersama tuan muda atau menggunakan kendaraan pribadi?” tanya Danish –orang kepercayaan Louis–
“Saya bersama Gama saja.” Danish pun mengangguk merespon ucapan cucu dari bosnya itu.
Ambulance yang membawa Gama dan Glara mulai bergerak meninggalkan bangunan rumah sakit, di depan dan di belakangnya terdapat dua buah mobil mewah yang mengawal dan menjaga ambulance itu. Sepanjang jalan, Glara tak melepaskan genggaman tangannya pada Gama. Ia terus merapalkan doa-doa agar putranya diberikan kesempatan untuk bertahan hidup.
Tak lama, ambulance pun berhenti di halaman rumah sakit yang memiliki bangunan sangat mewah. Kedatangan Glara disambut oleh beberapa perawat yang sudah bersiap di depan lobby rumah sakit. Mereka mengambil alih brankar yang dibawa dari rumah sakit sebelumnya. Lantas mendorong melewati beberapa lorong dan berhenti di depan sebuah lift bertuliskan ‘khusus pasien’ mereka membawa Gama masuk dan menekan angka di mana ruangan tindakan Gama berada.
Setelah lift berdenting, tubuh lemah Gama dibawa menuju ruang intensif yang berada di paling ujung lorong itu. “Maaf ibu bisa menunggu di luar, kami akan melakukan pemeriksaan sebelum tindakan operasi dilakukan.” Glara mengangguk dan menuruti ucapan petugas rumah sakit.
Glara duduk di depan ruang tindakan, ia menunggu dengan was-was hasil pemeriksaan putranya. Ia berharap agar Gama bisa segera ditindak agar putranya tak menderita lebih lama lagi. Saat sedang menunggu proses pemeriksaan, Kakek Glara datang menghampirinya. “Kakek,” lirih Glara memeluk kakeknya erat-erat.
“Semua akan baik-baik saja, Gama akan kembali sehat. Percaya pada kakek.” Glara mengangguk merespon ucapan sang kakek.
“Jika tidak ada kendala besuk Gama akan dioperasi. Dan setelah itu, kalian berdua harus tinggal bersama kakek.” Glara lagi-lagi hanya mengangguk merespon ucapan sang kakek. Ia tak tahu lagi bagaimana nasibnya jika saja Kakeknya tak berkenan membantu karena keras kepala yang ia lakukan lima tahun silam.
Tepat pukul tiga sore, dokter mendatangi Glara dan mengajaknya berbicara di ruangannya. Glara dan Louis menghampiri ruangan dokter yang berada tak jauh dari ruang rawat Gama.
“Jadi bagaimana dok?”
Dokter tersebut tersenyum dan berkata, “Kondisi Gama memang mengkhawatirkan akan tetapi kami tidak bisa menindak langsung. Mengingat usia dan tubuh Gama yang tidak memenuhi syarat.”
Bahu Glara melemah ia memejamkan mata dan menghela napas berat. “Tetapi, ibu dan Tuan Louis tidak perlu khawatir. Karena kami akan tetap melakukan perawatan intensif sampai Gama memenuhi persyaratan untuk dilakukan tindakan operasi.”
“Apa yang harus kami lakukan, Dok?” tanya Glara setelah mendengarkan secercah harapan dari dokter itu.
“Kita akan melakukan perawatan di gizi Gama terlebih dahulu. Setelah berat badan Gama ideal kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan.”
Glara sedikit bernapas lega. “Lantas untuk beberapa waktu ini apa Gama akan sadar?”
“Setelah kondisinya stabil, Gama akan sadar akan tetapi dia belum bisa dibawa pulang ke rumah. Karena kami harus memantau dalam kurun waktu dua minggu ke depan. Selama kurun waktu itu, usahakan Gama mengkonsumsi makanan yang bergizi dan tidak berjumpa banyak orang untuk menghindari terjangkit virus lain.”
Glara mengangguk ia pun berpesan pada sang dokter jika dirinya sudah memasrahkan semua kesembuhan Gama pada pihak rumah sakit dan berharap putranya dapat kembali sembuh seperti awal Glara tinggal dulu. “Setelah Gama sadar kami akan memindahkan ke ruang intensif lainnya yang lebih ramah untuk anak-anak demi menghindari stress pada Gama.”
“Terima kasih, Dok.” Dokter yang menangani Gama pun tersenyum merespon ucapan Glara dan Louis.
Sesuai perkataan dokter tadi, setelah Gama sadar ia pun dipindahkan ke ruangan intensif khusus anak-anak yang ada di lantai 4 rumah sakit. “Ibu,” lirih Gama ketika melihat Glara duduk di samping ranjangnya.
“Iya nak, apa yang sakit? Gama mau minta apa? Gama mau makan apa nak?” tanya Glara dengan suara parau dan mata berkaca-kaca.
Gama menggeleng dan tersenyum tipis, bahkan sangat tipis hingga nyaris tak terlihat pandangan. Glara memalingkan wajahnya ia tak sanggup melihat netra abu Gama yang terlihat kesakitan. “Jangan pergi lagi ya, Bu,” ujarnya lemah.
Glara mencoba tersenyum dan mengangguk, ia menggenggam erat tangan kecil Gama dan mengecupnya berkali-kali. “Ibu tidak akan pergi lagi, Nak. Ibu akan di sini selamanya bersama kamu. Gama cepat sembuh ya, Gama berjuang ya.” Gama mengangguk dan berusaha tersenyum.
Waktu terus berlalu, sesuai kesepakatan yang ia buat bersama dengan Louis. Kini Glara tengah bersiap mengenakan pakaian kantoran dan mulai menjalankan tugasnya. “Hari ini, ibu pergi bekerja sebentar ya. Nanti setelah semuanya selesai ibu akan segera kembali ke sini. Gama mau ibu bawakan apa?” tanya Glara mendekati ranjang putranya yang sedang bermain game di tablet pemberian Louis.
“Apapun yang ibu bawakan, Gama pasti makan,” balasnya dengan suara yang lebih baik dari sebelumnya.
Glara tersenyum ia pun mengecup kening Gama dan menghampiri perawat yang baru saja datang. “Saya titip Gama ya, kabari saya jika terjadi sesuatu. Saya tidak lama.”
“Baik, nyonya,” sahutnya seraya menganggukkan kepala sopan. Glara menepuk bahu babysitter yang usianya tak jauh berbeda darinya.
Glara pun segera keluar dari ruangan Gama, di depan sana sudah menunggu beberapa pengawal juga tangan kanan Glara yang dulu pernah melayani kegiatan perusahaan Glara. Glara tersenyum dan menganggukkan kepala.
Sepanjang perjalanan menuju halaman parkir, assisten Glara menjelaskan beberapa proyek yang akan dan sedang berlangsung. Glara menyimak semua yang disampaikannya dengan penuh perhatian dan tak melewatkan satu kata pun. Setibanya di halaman parkir, seorang pengawal membukakan pintu untuknya dan mempersilakan Glara masuk.
Tak lama, mobil pun melaju membelah jalanan pagi itu. Glara sengaja membuka kaca mobilnya, ia ingin menghirup udara pagi di kota kelahirannya dulu, setelah dua tahun berkerja di luar negeri. Tepat pukul 9 pagi, mobil Glara tiba di sebuah gedung tinggi yang tampak megah dan mewah.
Mobil berhenti tepat di depan lobby, Glara turun dari mobil dan menatap ke arah lobby. Di dalam sana sudah berbaris rapi jajaran karyawan juga Louis yang menanti kedatangannya.
Glara berjalan masuk, melewati karyawan yang membungkukkan kepala memberi hormat pada Glara. “Selamat datang, Glara,” sapa Louis ketika Glara berdiri tepat di depannya. “Perhatian semuanya‼! Mulai hari ini, seluruh operasional perusahaan ini dan cabang lain akan dihandle oleh cucu tunggal saya yaitu Glara Latusha Seraphine.”
Suara gemuruh tepuk tangan menutup ucapan Loius mereka tersenyum senang mendengar kabar yang Louis sampaikan, mereka merasa kembali ke lima tahun silam saat Glara memimpin perusahaan. Membangun dan meniti karir perusahaan membesarkan namanya hingga terkenal ke seluruh manca negara.
“Silakan kembali ke posisi kerja kalian,” ujar Loius setelah menutup pengumumannya. Ia juga mengajak Glara masuk ke ruang kerjanya.
“Hari ini, kamu bisa datang meeting dengan perusahaan Norush grup, ‘kan?” tanya Kakek setibanya di ruangan millik Glara beberapa tahun silam.
“Norush Grup? Bukankah itu perusahaan… ?”
“Kamu cantik sekali,” puji Lana menatap Glara dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. “kamu benar-benar ratu hari ini.” Glara semakin tersipu malu mendengar pujian Lana.“Tante bisa aja, Glara jadi malu,” ujar Glara menundukkan kepala.“Sebelum turun, boleh kami ambil gambar untuk portofolio?” tanya salah satu perias meminta izin pada Glara dan Lana.Glara pun mengangguk dan mengikuti arahan dari perias untuk mengambil beberapa pose di dekat jendela kamar villanya. “Terima kasih, Bu,” ujar perias itu seusai mengambil gambar Glara dari beberapa angle.“Saya juga berterima kasih sudah menyulap saya jadi seperti ini,” balas Glara dengan senyum manis di wajahnya.Setelah perias tadi selesai merapikan barangnya dan berpamitan keluar ruangan, Lana duduk di samping Glara. “Glara, terima kasih sudah menerim
“Pihak kepolisian hanya meminta bantuan untuk menyampaikan permintaan janji, Tuan.”Bhuvi menganggukkan kepala. “Oh iya, besuk pagi sebelum ke villa saya akan ke sana. Glara apa kamu mau ikut?” tanya Bhuvi pada Glara yang menatapnya.Glara terdiam sejenak, “iya,” sahut Glara seraya menganggukkan kepala.Bhuvi tersenyum mendengar jawaban Glara. Ia lantas mengusap puncak kepala Glara lembut. “Paman Leo‼ kita main lagi . Paman Leo yang berjaga aku dan Erina yang bersembunyi‼” pekik Gama seraya berdiri di dekat Leo.Leo tampak ragu namun akhirnya ia mengangguk setelah mendapatkan persetujuan dari Bhuvi. kini Gama, Erina, Leo dan Boy sedangkan Tasha ia sedang ditugaskan untuk mengurus persiapan pernikahan Glara di villa tempat proyeknya dulu dibangun, tentu saja dengan Tiffany yang menjadi event organizernya.Glara menarik napas dalam-da
“Aku ingin mengajak Tiffany bekerja di perusahaan. Aku tahu dia memiliki kemampuan yang memadai dan setelah menikah nanti aku ingin membatasi pekerjaan jadi aku rasa aku butuh Tiffany untuk membantu menghandle. Bagaimana menurutmu?”Bhuvi terdiam sejenak ia tampak berpikir sejenak. “kita coba bicarakan padanya nanti.” Glara tersenyum senang mendengar balasan Bhuvi yang ternyata mendukung permintaannya.Mobil pun kembali hening hingga tiba di kantor Glara. Setibanya di sana, Glara dan Bhuvi bergegas menuju ke ruang meeting. Beberapa dewan direksi sudah menunggu kehadiran mereka, Glara pun segera memulai meeting yang membahas perihal penemuan untuk bahan produk yang batal dulu.“Maaf sudah menunggu lama,” ujar Glara seraya membungkukkan tubuhnya. “Pertama-tama, terima kasih atas kehadirannya. Selanjutnya, saya akan menjelaskan tentang hasil riset yang saya temukan dalam penyelidika
Semua orang yang berada di dalam ruang sidang pun menatap kehadiran wanita dengan sorot mata bertanya-tanya. “Tiffanny?” lirih Glara kala melihat sosok wanita muda yang berdiri di antara puluhan orang yang hadir di dalam sana.“Siapa orang ini? Dan saksi dari pihak mana?” tanya Hakim pada pengacara Damian maupun Robert.“Saya Tiffany Magdalena, anak dari Daniel Woody. Politikus yang meninggal di dalam sel tahanan karena tuduhan tak beralasan.”Hakim pun mempersilakan wanita muda itu untuk maju ke depan dan dilakukan sumpah. Setelah melakukan sumpah, hakim dan jaksa penuntut mulai menginterogasinya.“jadi apa yang anda ketahui atau apa yang ingin anda sampaikan?” tanyanya pada Tiffany yang berdiri di depan mic dan menatap lurus ke arah hakim.Tiffany menarik napas dalam-dalam ia menatap Damian dan Robert bergantian. “Robertinus
“Erina yang akan melakukannya,” jawaban singkat Bhuvi membuat Glara dan Darel mengerutkan kening bingung. “Erina pernah berkata, dia ingin menjadi pengacara dan membersihkan nama ibunya. Itu salah satu tujuanku mengadopsi Erina.”Darel pun mengangguk. “Semoga masih ada waktu untuk membuka kembali kasus itu.” Bhuvi mengangguk. “Oh iya, kalian kapan akan menikah? Lamaran kan sudah.”Glara tersedak salivanya sendiri sedangkan Bhuvi hanya menatap Darel tenang. “Setelah semua masalah selesai aku akan menyiapkannya. Bagaimana Glara?” tanya Bhuvi menatap Glara yang sedang menyembunyikan raut wajah malunya.“Em, aku ikut saja,” sahut Glara singkat masih dengan posisinya.“Aku akan membantu persiapannya, jangan sungkan beri kabar padaku apa yang bisa aku bantu,” ujar Darel dengan senyum bahagia yang terus terpancar di wajahnya
“Damian sudah mengatakan siapa orang yang menyuruh dan membiayai perbuatannya.” Manik coklat Glara membulat sempurna kala mendengar ucapan Bhuvi.“Kok bisa?”Bhuvi tersenyum tipis. “Mungkin dia sudah sadar kalau perbuatannya salah.”“Bagaimana dengan hukumannya?” tanya Glara masih menatap serius ke arah Bhuvi.Bhuvi menggeleng. “untuk bebas kemungkinannya kecil. Tetapi untuk meringankan hukuman munngkin bisa. Apapun itu, yang terpenting sekarang ini dia sudah memutuskan hal yang tepat.”Glara pun mengangguk. “Setelah sidang putusan nanti. Entah dia bebas atau tidak, dia meminta untuk bertemu dengan anaknya Martha.”Kening Glara berkerut mendengar ucapan Bhuvi. “Beberapa hari lalu aku dan Leo mendatanginya. Dan menawarkan kerja sama. Bagaimana pun juga, Damian adalah saksi kunc