Share

Bab 2

Author: Sarana
last update Last Updated: 2025-03-19 00:21:38

"Tante, aku mau ke toilet dulu, ya?" ucap Sienna setelah selesai salat. Dengan cepat, ia melepaskan mukena merah mudanya dengan gerakan yang sedikit tergesa-gesa.

"Baik, Tante akan menunggumu di kamar. Setelah itu, kita lanjutkan pelajarannya," jawab Eliana.

Sienna mengangguk cepat, namun sebelum melangkah pergi, ia memohon, "Tapi, setelah belajar, antar aku beli cokelat ya, Tante?"

Eliana menatapnya sejenak, terperangah oleh paksaan kecil dari anak itu. Akhirnya, ia mengangguk. "Oke, setelah belajar selesai, Tante antar."

Sienna tersenyum lebar, lalu berlari keluar dengan ceria. Eliana tersenyum tipis melihat tingkah gadis kecil itu.

Dengan tenang, Eliana mulai melipat mukenanya. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

Seseorang sudah berdiri di sana, di ambang pintu kamar.

Adrian.

Pria itu bersandar santai pada dinding, kedua tangan terlipat di depan dada.

"Apa kabar, Eliana?" suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka.

Tubuh Eliana kaku sejenak. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, meski di dalam hatinya, beragam perasaan mengalir begitu cepat. Sudah bertahun-tahun, dan tiba-tiba dia kembali hadir di sini, di hadapannya.

Namun, alih-alih menjawab atau memberikan reaksi apa pun, Eliana memilih untuk melangkah pergi. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang mungkin datang kembali jika ia terlalu lama berhadapan dengan Adrian. Kehadirannya tak lagi memiliki arti apa pun, dan ia berniat membuktikannya.

Adrian mengernyit, merasa tersinggung dengan sikap Eliana yang memilih mengabaikannya begitu saja. Tubuhnya tegak, menatap punggung wanita itu yang berjalan menjauh.

"Kau–" Adrian membuka mulutnya, mencoba menghentikan langkah Eliana dan mendapatkan perhatian darinya.

Namun, sebelum kata-kata itu keluar lebih jauh, langkah Laras terdengar mendekat. Dengan cepat, ia muncul di hadapan Adrian, menatapnya tajam dan memberi peringatan.

"Adrian, sudah Kakak bilang jangan ganggu Sienna, dia sedang belajar," ujar Laras tegas sambil menarik lengan adiknya untuk mengajaknya pergi. 

"Aku… Aku hanya—" 

Ucapan Adrian terputus saat matanya tak sengaja bertemu dengan Eliana, yang kini sudah berada di ambang pintu kamar Sienna. 

Namun detik berikutnya, Eliana mengalihkan pandangannya begitu saja. 

Adrian terdiam, dadanya terasa sesak. Langkahnya terhenti, dan untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di tempat, membiarkan Laras menggenggam lengannya tanpa perlawanan. 

Apa dia benar-benar tak mengenaliku? Atau memang sengaja bersikap seperti itu? 

Dulu… dia yang selalu mengejarku. Selalu tersenyum bahkan saat aku menyakitinya. Tapi sekarang…

Harga dirinya terhina. Bukan karena makian. Tapi karena sikap dingin Eliana.

Sikap diam Eliana berbicara lebih lantang daripada apa pun. 

***

Adrian berjalan mondar-mandir di ruang tengah, gelisah. Pikirannya tak henti memutar ulang sikap dingin Eliana yang baru saja ia temui. Terlalu tenang, terlalu jauh… dan sangat berbeda dengan Eliana yang ia kenal sepuluh tahun lalu. 

Gadis yang dulu lugu, kini menjelma menjadi sosok tenang yang sulit ditebak—dan lebih menyakitkannya, ia bersikap seolah Adrian hanyalah bayangan masa lalu yang tak layak diingat. 

Adrian mengusap wajahnya kasar, berusaha mengusir kegelisahan. Namun, lamunannya terputus oleh suara gemericik hujan yang mulai turun membasahi halaman rumah. Ia menoleh ke arah jendela—hujan turun dengan deras. 

Tiba-tiba, ingatan akan permintaan Sienna menyambar pikirannya. Cokelat. Minimarket. Eliana.

Belum sempat ia bereaksi, suara langkah cepat terdengar dari arah tangga. 

"Yeay! Akhirnya belajarnya selesai juga! Tante, ayo kita pergi sekarang sebelum hujannya makin besar!" seru Sienna riang. 

Eliana muncul tak jauh di belakangnya, langkahnya tenang seperti biasa. Namun sebelum ia sempat berbicara, Adrian sudah lebih dulu menghampiri keduanya. 

"Hujan. Kalian mau ke minimarket saat cuaca begini?" ucap Adrian cepat, menatap Eliana lalu Sienna bergantian. 

"Iya, cuma sebentar kok," jawab Sienna sambil menggenggam tangan Eliana. 

"Tunggu dulu," potong Adrian. "Biar Om saja yang antar."

Namun, Sienna langsung menggeleng cepat. "Enggak mau! Aku mau sama Tante Eliana aja!"  

Adrian menahan napas. Ia menatap tangan kecil Sienna yang menggenggam erat tangan Eliana.

Eliana hanya diam. Tak menolak, tak menyetujui. Seperti biasa—dingin dan sulit ditebak. 

Adrian akhirnya bersuara lagi, namun lebih pelan dari sebelumnya. "Hujannya deras, Siena. Setidaknya tunggu reda dulu." 

Sienna mendesah, terlihat kesal, tapi akhirnya mengangguk enggan. 

"Ya udah… tapi nanti tetap Tante Eliana yang antar ya, bukan Om." 

Lalu ia berbalik, kembali ke ruang tamu untuk menunggu. 

Adrian menatap Eliana. Ia ingin mengatakan sesuatu—apapun—tapi tak tahu harus mulai dari mana. 

Namun seperti tadi, Eliana hanya menunduk sedikit, memberi isyarat sopan, lalu mengikuti Sienna tanpa sepatah kata pun. 

***

Eliana duduk di salah satu sudut restoran, menyesap teh hangatnya dengan tenang. Tempat ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pegawai kantor yang menikmati waktu istirahat mereka. 

Langkah seseorang mendekat, lalu berhenti tepat di depan mejanya. 

"Eliana?" 

Eliana mendongak, matanya membelalak sejenak sebelum senyumnya muncul perlahan. "Kirana?" 

Sosok wanita berambut sebahu itu menatapnya dengan ekspresi tak percaya sebelum menarik kursi di depan Eliana dan duduk tanpa menunggu persetujuan. 

"Astaga… ini benar-benar kamu?" 

Eliana tersenyum kecil. "Ya, ini aku." 

Kirana menggeleng pelan, masih terlihat sulit mempercayai apa yang ia lihat. "Sepuluh tahun, Eliana. Ke mana saja kau selama ini?" 

Eliana menunduk, jemarinya menggenggam cangkir teh yang mulai kehilangan kehangatannya. Suaranya pelan saat ia menjawab, "Banyak hal terjadi, Kirana. Maaf aku pergi tanpa kabar." 

Kirana menghela napas, matanya menatap Eliana penuh makna. "Kau tidak berubah… masih suka menghilang begitu saja. Masih suka memendam semuanya sendiri." 

Eliana tersenyum tipis, kali ini ada getir yang tersembunyi di baliknya. "Aku tak bermaksud membuat siapa pun khawatir. Saat itu… aku hanya perlu menjauh." 

Kirana menatap sahabat lamanya itu lebih dalam, seolah ingin membaca semua luka yang tak sempat diceritakan. 

"Kalau begitu, bolehkah sekarang aku tahu alasannya?" 

Eliana tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. Pandangannya jatuh ke cangkir teh yang kini hanya menyisakan sisa hangat. Ia diam sejenak, seolah sedang memilah kata yang tepat—atau mungkin sedang mencari keberanian yang entah terselip di mana. 

Kirana menatapnya lekat-lekat, lalu bertanya hati-hati, "Apa ini… karena Adrian?" 

Eliana tertawa kecil, namun ada nada getir yang menyusup di balik suara itu. "Kau masih sama seperti dulu, Kirana. Selalu ingin tahu segalanya." 

"Tentu saja! Karena aku peduli!" sahut Kirana cepat sambil menyilangkan tangan di dada, ekspresinya serius. "Aku mencarimu ke mana-mana, Eliana. Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?" 

"Maaf." 

"Sekarang kau kembali. Apa kau akan menetap di sini?" tanya Kirana.

Eliana mengangkat bahu santai. "Aku belum tahu. Bisa jadi."

Kirana menyipitkan mata, tak puas dengan jawaban itu. "Jujur saja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?"

Eliana tidak langsung menjawab. Pandangannya menerobos kaca jendela restoran yang sedikit buram, mengamati lalu lalang orang di trotoar.


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 15

    Setelah semalaman menyisir setiap sudut kamar, membongkar laci, bahkan memeriksa kolong ranjang dan sela-sela lemari, liontin itu tetap tak ditemukan. Mata Eliana tampak sayu pagi harinya, namun ia tetap turun ke ruang makan seperti biasa.Saat semua sudah berkumpul di meja makan, ia bertanya, "Melani... Apa kau melihat liontin milikku?”Melani yang sedang mengoleskan selai ke roti hanya menggeleng santai. “Nggak, aku nggak lihat. Memangnya hilang?”Eliana mengangguk samar.Melani menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki. “Mbok Inah!” panggilnya. Sang pembantu yang lewat pun menghampiri.“Mbok, lihat liontin milik Eliana?"Mbok Inah mengerutkan dahi sejenak, lalu menggeleng. “Maaf, Non, Mbok nggak lihat. Mungkin jatuh di kamar?”Sebelum Eliana menjawab, Vio yang duduk di ujung meja ikut menimpali, “Mungkin kamu lupa naruh, El. Bisa aja terlepas waktu tidur.”Eliana hanya menunduk. Tak mungkin ia lupa. Ia tak pernah melepas liontin itu—tidak sedetik pun, bahkan saat tidur.

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 14

    Selesai fitting, Adrian segera meninggalkan butik, langkahnya terburu-buru, seolah tak ingin berlama-lama di sana. Ia membiarkan Lydia, Melani, dan Vio tetap sibuk memilih gaun, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Begitu sampai di luar, ketika hendak membuka pintu mobil, pandangannya tertumbuk pada sosok yang berdiri di tepi jalan. Damar.Adrian berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. Bukankah seharusnya Damar sudah pergi bersama Eliana? Kenapa dia masih berdiri di sini, sendirian?Dengan cepat, Adrian berjalan mendekat. “Kak Damar?”Damar menoleh, tersenyum santai begitu melihat Adrian. “Kenapa kamu di sini?” tanya Adrian penasaran.Damar kembali menatap layar ponselnya. “Nunggu kolega. Ada urusan kerjaan yang ingin dibicarakan."Adrian menatap sekeliling dengan cepat, matanya mencari sosok Eliana di antara orang-orang yang berlalu lalang. “Eliana mana? Bukankah seharusnya dia pergi bareng Kak Damar?” “Eliana hanya bilang ada urusan dan menolak aku antar."Adrian hanya me

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 13

    “Sepertinya kau sangat mengenalnya…”Adrian tak menanggapi. Diamnya seolah membenarkan pernyataan itu. Ia meneguk habis isi gelas di tangannya, lalu meletakkannya di pagar balkon dengan napas tertahan.“Melani… Mari kita hentikan semua ini," ucap Adrian akhirnya.Melani menoleh, mengerutkan kening sejenak. “Kenapa harus dihentikan? Apa salahnya dicoba dulu?”Adrian mendengus kecil, kepalanya menggeleng kasar.“Apa kau pikir pernikahan itu permainan?"Melani menarik napas, tapi tak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan atau membela diri, ia justru melirik ke arah halaman dan melambaikan tangan.“Eliana!” panggilnya.Adrian sontak menoleh ke belakang. Langkah Eliana yang sebelumnya santai kini melambat begitu tatapan mereka bertemu. Ia tampak ragu, tapi tetap melangkah mendekat.Melani menoleh perlahan, dan saat itu ia menangkap jelas ekspresi Adrian—tatapan pria itu tak pernah berubah, hanya pada Eliana. Bukan pada dirinya. Bukan pada wanita yang seharusnya menjadi calon istrinya.“

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 12

    SebelumnyaSeorang EO pria mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Adrian."Setelah tukar cincin, silakan cium kening Melani untuk diabadikan, ya. Itu bagian dari momen spesialnya."Adrian menegang. Ia menoleh pelan ke arah Melani yang tersenyum kikuk di sampingnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan napasnya terasa berat. Ia tidak langsung mengangguk.Namun, tatapannya lalu jatuh pada Lydia yang memberikan isyarat tegas dengan anggukan kepala dan senyum lebar, seolah mengatakan “Lakukan.”Akhirnya, Adrian menoleh kembali ke Melani dan perlahan mengangkat tangannya ke wajah sang tunangan. Semua kamera sudah siap. Para tamu diam sejenak, menunggu adegan romantis itu terjadi.Tapi tepat ketika bibirnya hanya beberapa inci lagi mendarat di kening Melani, pandangan Adrian secara tidak sengaja melintas ke arah bangku tamu—dan ia melihat Eliana berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi dari keramaian.Seperti disengat sesuatu, Adrian menghentikan gerakannya. Ia menarik diri, dan

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 11

    “Bagaimana dengan ini?” tanya Lydia sambil menunjuk salah satu gambar cincin berlian di ponselnya.Melani tampak ragu. Ia menoleh ke arah Eliana, hendak meminta pendapat sepupunya. “El, menurut kamu yang ini bagus nggak, ya?”Namun kata-katanya terhenti begitu melihat Eliana sedang beradu pandang dengan Adrian. Tatapan keduanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.Melani terdiam sejenak, namun Eliana langsung menyadarinya. Ia mengalihkan pandangan dari Adrian dan menoleh ke arah Melani. “Ada apa, Mel?” Melani tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.“Enggak apa-apa. Cuma ingin tahu pendapat kamu soal cincin ini,” ujarnya, menyodorkan ponsel Lydia ke arah Eliana.Baru saja Eliana ingin memberikan pendapatnya, suara Lydia memotong tiba-tiba.“Eliana?” seru Lydia dengan dahi berkerut. “Astaga.. Tante nggak tahu kalau kamu di sini juga."Eliana langsung tersenyum sopan. “Oh iya! Bagaimana kalau kalian berdua sekalian makan malam

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 10

    Mobil Adrian perlahan berhenti di depan kediamannya. Begitu mesin mati, Adrian segera turun dari kursi kemudi.Saat itu juga, Melani—yang tampaknya sudah menunggu di halaman depan—bergegas mendekatinya."Adrian!" panggil Melani sambil melambaikan tangan. Begitu dekat, ia mengangkat sebuah ponsel di tangannya. "Sepertinya... ponsel kita tertukar. Ini punyamu."Adrian mengangkat alis, lalu mengambil ponsel itu dan memeriksa sekilas. "Oh, ini... ponsel keduaku," ucapnya santai. Ia pun mengembalikan ponsel Melani.Mereka baru saja selesai bertukar ponsel, tiba-tiba suara pintu mobil terbuka.Melani refleks menoleh dan membelalakkan mata saat melihat Eliana keluar dari mobil Adrian—menggendong tubuh kecil Sienna yang tengah tertidur lelap di pundaknya."Eliana... apa yang kau lakukan di—?" Melani menggantungkan ucapannya, matanya bergerak cepat menatap Eliana dan mobil Adrian secara bergantian, penuh dengan rasa heran.Melihat sepupunya keluar dari mobil bersama calon suaminya memb

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 9

    Sesampainya di antrean Sky Twister, seorang petugas mendekat sambil membawa alat pengukur tinggi badan."Ayo, dek, berdiri tegak ya," kata petugas ramah.Sienna berdiri tegap. Namun setelah diukur, petugas tersenyum canggung lalu menggeleng."Maaf, dek. Tinggi kamu masih kurang untuk naik wahana ini. Nanti kalau sudah lebih tinggi, boleh ya."Wajah Sienna langsung merengut."Beneran nggak boleh?" tanyanya sedih, matanya berkaca-kaca.Petugas itu mengangguk sambil tetap tersenyum. "Iya, belum aman untuk anak seusiamu."Melihat Sienna cemberut, Eliana cepat-cepat berjongkok di depannya, mencoba menenangkan. "Hei... Nggak apa-apa, sayang. Kalau kamu udah lebih tinggi, kamu bisa naik sepuasnya," ujarnya sambil mengusap kepala Sienna.Adrian ikut menimpali, "Iya, Sienna. Nanti pas kamu sudah cukup tinggi, Om antar naik sepuluh kali kalau mau."Namun, Sienna tampaknya punya ide lain. Ia menunjuk ke arah Eliana dengan antusias. "Kalau aku nggak bisa naik, Tante aja yang naik! Terus ceri

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 8

    Drt... Drt... Drt...Tiba-tiba ponsel Eliana bergetar di dalam tasnya. Ia buru-buru merogoh dan melihat layar yang menampilkan nama Laras. Tanpa pikir panjang, Eliana segera berdiri."Maaf, aku keluar sebentar," bisiknya pada Melani.Melani hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, sementara Adrian sekilas mengikuti gerak Eliana dengan pandangan matanya.Eliana berjalan cepat keluar dari ruangan. Begitu berada di koridor, ia segera mengangkat panggilan itu."Assalamu'alaikum. Ada apa, Kak Laras?" Dari seberang, suara Laras terdengar tergesa. "Wa'alaikumsalam, El. Maaf, kamu sibuk nggak? Kakak butuh bantuan banget. Bisa nggak kamu temani Sienna ke taman bermain siang ini? Kakak ada meeting dadakan yang belum bisa Kakak tinggal."Eliana sempat diam, mempertimbangkan. Ini sebenarnya di luar tugasnya sebagai guru privat Sienna. Namun, belum sempat ia memberikan jawaban, Laras buru-buru menambahkan, suaranya setengah memohon, "Nanti Kakak bayar tiga kali lipat dari biasanya, El. Tolong

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 7

    Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status