"Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."
Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan.
Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.
Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar.
"Ta-Tapi apa salahku—"
"Maaf, Eliana."
Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara.
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.
Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sekali lagi—tapi suaranya tak keluar.
Adrian benar-benar pergi.
Meninggalkannya tanpa alasan.
Meninggalkannya tanpa jawaban.
Dan saat akhirnya kesadaran itu benar-benar menghantamnya, perlahan sesuatu yang hangat jatuh dari sudut matanya.
Sebuah akhir yang datang terlalu cepat.
Atau mungkin… sebuah awal yang tak pernah ia bayangkan.
Eliana menyeka air matanya dengan punggung tangan. Dadanya masih sesak, tapi ia menegakkan punggungnya, memaksa kakinya melangkah pergi. Namun, saat melewati area parkiran sekolah, langkahnya terhenti.
Suara yang begitu familiar terdengar dari balik mobil yang terparkir di dekatnya.
"Sudah, kan? Aku menang taruhan ini. Jangan lupa transfer uangnya."
Jantung Eliana seakan mencelos. Itu suara Adrian.
Ia menahan napas, berdiri kaku di tempatnya.
"Serius? Semudah dan secepat itu?" tanya salah satu teman Adrian, terdengar sedikit terkejut.
Adrian terkekeh. "Ya iyalah. Lagipula, ngapain lama-lama sama cewek kumal dan aneh itu? Yang ada dia yang kesenengan deket-deket ama orang kayak aku, makanya gampang banget tuh, manfaatin dia."
Gelak tawa pecah di antara mereka.
"Hahaha! Gila! Kau memang tidak ada tandingannya!!"
"Si cupu itu bahkan sampai benar-benar jatuh cinta denganmu, kan? Kasihan sekali, emangnya dia gak ngaca, ya? Hahaha!"
Sesuatu dalam diri Eliana runtuh saat itu juga. Tangannya gemetar, pandangannya kabur.
Jadi… semua ini hanya permainan? Semua perhatian, tatapan lembut, janji-janji yang diucapkan Adrian—hanya bagian dari sebuah taruhan murahan?
Setelah Eliana pikir, memang dirinya juga salah. Angannya terlalu tinggi. Benar kata Adrian, pria yang menawan, atletis, tampan, yang dikejar banyak wanita di sekolah, jelas tak mungkin menyukai Eliana yang dianggap kumal oleh teman-temannya.
Saat ini, Eliana hanya bisa menelan pahit-pahit kesedihannya. Lututnya terasa lemas, tapi hatinya justru mulai dipenuhi sesuatu yang lain.
Bukan hanya luka.
Bukan hanya pengkhianatan.
Tapi amarah yang perlahan membakar.
Eliana mengeratkan jemarinya, menahan gejolak emosinya. Ia ingin berbalik, ingin melabrak Adrian di depan teman-temannya, ingin menuntut penjelasan—tapi untuk apa?
Mereka hanya akan menertawakannya lebih keras.
Dengan napas yang mulai berat, Eliana memilih untuk melangkah pergi. Tapi di dalam hatinya, ia berjanji satu hal:
Adrian Mahendra akan menyesali ini.
Dan Eliana tidak akan pernah menjadi gadis yang sama lagi.
***
Sepuluh tahun kemudian
Kemacetan ibu kota tak banyak berubah—bahkan bisa dibilang memburuk. Lampu hijau menyala, namun kendaraan di depan masih menolak bergerak. Adrian duduk di kursi penumpang dengan posisi bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Gedung-gedung pencakar langit, papan iklan menyala, dan trotoar yang padat tak menyentuh hatinya sedikit pun.
Di balik kemudi, Arya melirik sahabatnya yang tampak lelah. Sebuah tawa pelan keluar dari bibirnya. “Eh, tadi siang aku ketemu Kirana,” ucapnya, mengisi jeda sunyi.
Adrian hanya mengerutkan alis, lalu menoleh sedikit. “Kirana?”
“Iya, Kirana. Teman sebangkunya Eliana. Masih nggak ingat?”
Nama itu membuat dada Adrian sedikit mencelos.
Arya melanjutkan, “Ngomong-ngomong, kamu pernah dengar kabar Eliana?”
Adrian menggeleng pelan. “Nggak,” jawabnya pendek.
“Jangan-jangan... dia pindah sekolah waktu itu karena kamu?” Arya terkekeh sambil menoleh.
Adrian tak membalas. Tatapannya kembali lurus ke depan, dan Arya tahu kapan harus berhenti bercanda.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah berarsitektur modern minimalis yang dihiasi tanaman rambat di sisi pagar. Adrian turun sambil melepas jas dan mengibas-ngibaskan kerah bajunya.
“Sienna!” panggilnya saat membuka pintu rumah.
Langkahnya tertahan saat Laras muncul dari ruang tengah, mengangkat telunjuk di depan bibir. “Ssst... Jangan berisik. Sienna lagi belajar.”
“Belajar? Jam segini?” Adrian mengangkat alis, heran.
“Sekarang dia rutin les. Kakak panggil guru privat buat bantu dia persiapan masuk SD.”
“Oalah... serius banget anak kecil zaman sekarang,” gumam Adrian sambil melangkah masuk.
Laras berjalan lebih dulu ke arah dapur. “Kamu mandi dulu sana. Nanti kita makan bareng.”
Adrian mengangguk dan melepas sepatu, hendak menuju kamarnya. Tapi saat ia hendak berbalik ke arah lorong, suara langkah kaki pelan menghentikan gerakannya.
Seorang wanita melintas sambil membawa sajadah yang dilipat rapi di lengannya. Gamis hitam panjang membalut tubuhnya, dan hijab lebar menutupi hampir seluruh rambut dan bagian dada. Ia tak menoleh sedikit pun, hanya lewat menuju ruang salat di sisi rumah.
Adrian menatap punggung wanita itu beberapa detik.
Jantungnya berdegup aneh.
Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Gerakan itu, caranya melangkah, aura keanggunan yang begitu familiar namun sudah terlalu lama tidak ia temui.
Dan tepat sebelum wanita itu menghilang di balik pintu, bayangan masa lalu menghantamnya seperti badai.
Itu Eliana.
Tangannya yang semula santai di sisi tubuh kini mengepal perlahan. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Otaknya menolak percaya, namun hatinya berkata sebaliknya.
Adrian melangkah, berniat mengikuti wanita itu ke arah ruang salat. Namun, baru beberapa langkah ia ambil, suara kecil menahannya.
“Om... mana cokelat yang Sienna minta?” tanya Sienna sambil menarik ujung kemeja Adrian dari belakang.
Adrian terhenti. Ia menunduk, menatap wajah kecil keponakannya yang tampak kecewa.
“Maaf.. Om lupa beli."
Sienna langsung mencibir kecil. “Huh, Om janji loh tadi,” gerutunya. Tapi tanpa menunggu tanggapan, gadis kecil itu berbalik pergi sambil membawa mukena merah muda dari meja.
“Sienna mau ke mana?” tanya Adrian.
“Mau minta Tante Eliana anter ke minimarket. Sienna beli sendiri aja cokelatnya,” jawabnya sambil melangkah pergi.
Adrian tertegun. Nafasnya tercekat.
“Apa? Siapa tadi kamu bilang?” tanyanya buru-buru sambil mengejar Sienna. “Tante... Eliana?”
Sienna mengangguk polos. “Iya. Tante yang tadi lewat. Yang pakai baju hitam dan hijab panjang itu.”
Adrian berdiri mematung. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Napasnya memburu.
Wanita itu memang Eliana. Bukan sekadar kemiripan. Bukan bayangan masa lalu. Tapi benar-benar Eliana. Eliana yang dulu ia jadikan bahan taruhan, Eliana yang dulu ia kecam sebagai wanita cupu dan kumal, kini berdiri tepat di hadapannya. Dan ia .... terlihat jauh berbeda.
"Tante,aku mau ke toilet dulu, ya?" ucap Sienna setelah selesai salat. Dengancepat, ia melepaskan mukena merah mudanya dengan gerakan yang sedikittergesa-gesa."Baik,Tante akan menunggumu di kamar. Setelah itu, kita lanjutkan pelajarannya,"jawab Eliana.Siennamengangguk cepat, namun sebelum melangkah pergi, ia memohon, "Tapi,setelah belajar, antar aku beli cokelat ya, Tante?"Elianamenatapnya sejenak, terperangah oleh paksaan kecil dari anak itu. Akhirnya, iamengangguk. "Oke, setelah belajar selesai, Tante antar."Siennatersenyum lebar, lalu berlari keluar dengan ceria. Eliana tersenyum tipismelihat tingkah gadis kecil itu. Dengantenang, Eliana mulai melipat mukenanya. Namun, langkahnya terhenti saat iamendengar suara langkah kaki yang mendekat. Seseorangsudah berdiri di sana, di ambang pintu kamar.Adrian.Priaitu bersandar santai pada dinding, kedua tangan terlipat di depan dada."Apakabar, Eliana?" suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka.TubuhEliana kaku
“Jujursaja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?”“Mungkinsemesta yang membawaku kembali.”Kiranamendengus pelan. “Jawaban yang terlalu klise.”Merekaberdua tertawa kecil, namun, tawa itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba suara seorangpria terdengar dari samping mereka.“Kirana?”Kiranadan Eliana serempak menoleh. Arya berdiri di sana bersama seorang pria yanglangsung membuat napas Eliana tertahan—Adrian.Tatapanmata Adrian langsung mengunci pada sosok Eliana, seolah ia tengah melihat hantudari masa lalu. Sorot matanya tajam, namun ada riak emosi yang sulitdisembunyikan.Aryamelirik cepat ke arah Kirana, Eliana, dan Adrian, lalu bergumam pelan,“Sepertinya aku melewatkan sesuatu yang menarik di sini.”Ialangsung menarik kursi dan duduk tanpa menunggu persetujuan. “Boleh kamibergabung?”Kiranatersenyum dan mengangguk ringan. “Tentu, kalau Eliana tidak keberatan.”Elianamenatap Adrian sekilas, lalu mengangguk. “Silakan.”Adrianduduk dengan perlahan, nam
"Maafya, Kirana. Aku ke meja sebelah dulu, Satriya sudah menungguku," kataEliana.Kiranatersenyum, mengangguk. "Silakan, El. Santai saja, nanti kita lanjutngobrol.""Terimakasih," ujar Eliana sebelum beranjak menuju meja tempat Satriya duduk.Berbedadari Kirana yang tampak santai, Adrian justru menatap Eliana lekat-lekat.Pandangannya mengikuti setiap langkah wanita itu, seolah ada magnet yangmenahannya untuk tidak berpaling. Ia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu dalamdiri Eliana yang... berubah. Dan entah kenapa, itu terasa asing baginya.Elianatiba di meja Satriya. Wajahnya berseri saat menyapa pria itu, lalu merekaterlibat dalam percakapan yang tampak akrab dan penuh tawa. Suara tawaEliana—yang tak dibuat-buat membuat Adrian terdiam.Beberapadetik kemudian, Adrian bangkit dari kursinya tanpa mengatakan apa pun."Adrian?"Arya memanggil, bingung.TapiAdrian tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja mereka dan langsung duduk dikursi kosong tanpa meminta izin.Elianadan Sa
Malamitu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saatmobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungisebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk disampingnya di kursi mobil.“Inirumah siapa, Ma?” Lydiamelepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."Adrianmengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.“Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."“Kamuakan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.“Ck!”Denganmalas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subratayang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaanbingung.Sesampainyadi depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata,dan istrinya, Vio. “Selamatdatang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak
"Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" "Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.Prang!Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. "Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. "Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. "Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."Eliana menoleh, semp
Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang
Drt... Drt... Drt...Tiba-tiba ponsel Eliana bergetar di dalam tasnya. Ia buru-buru merogoh dan melihat layar yang menampilkan nama Laras. Tanpa pikir panjang, Eliana segera berdiri."Maaf, aku keluar sebentar," bisiknya pada Melani.Melani hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, sementara Adrian sekilas mengikuti gerak Eliana dengan pandangan matanya.Eliana berjalan cepat keluar dari ruangan. Begitu berada di koridor, ia segera mengangkat panggilan itu."Assalamu'alaikum. Ada apa, Kak Laras?" Dari seberang, suara Laras terdengar tergesa. "Wa'alaikumsalam, El. Maaf, kamu sibuk nggak? Kakak butuh bantuan banget. Bisa nggak kamu temani Sienna ke taman bermain siang ini? Kakak ada meeting dadakan yang belum bisa Kakak tinggal."Eliana sempat diam, mempertimbangkan. Ini sebenarnya di luar tugasnya sebagai guru privat Sienna. Namun, belum sempat ia memberikan jawaban, Laras buru-buru menambahkan, suaranya setengah memohon, "Nanti Kakak bayar tiga kali lipat dari biasanya, El. Tolong
Sesampainya di antrean Sky Twister, seorang petugas mendekat sambil membawa alat pengukur tinggi badan."Ayo, dek, berdiri tegak ya," kata petugas ramah.Sienna berdiri tegap. Namun setelah diukur, petugas tersenyum canggung lalu menggeleng."Maaf, dek. Tinggi kamu masih kurang untuk naik wahana ini. Nanti kalau sudah lebih tinggi, boleh ya."Wajah Sienna langsung merengut."Beneran nggak boleh?" tanyanya sedih, matanya berkaca-kaca.Petugas itu mengangguk sambil tetap tersenyum. "Iya, belum aman untuk anak seusiamu."Melihat Sienna cemberut, Eliana cepat-cepat berjongkok di depannya, mencoba menenangkan. "Hei... Nggak apa-apa, sayang. Kalau kamu udah lebih tinggi, kamu bisa naik sepuasnya," ujarnya sambil mengusap kepala Sienna.Adrian ikut menimpali, "Iya, Sienna. Nanti pas kamu sudah cukup tinggi, Om antar naik sepuluh kali kalau mau."Namun, Sienna tampaknya punya ide lain. Ia menunjuk ke arah Eliana dengan antusias. "Kalau aku nggak bisa naik, Tante aja yang naik! Terus ceri
“Sepertinya kau sangat mengenalnya…”Adrian tak menanggapi. Diamnya seolah membenarkan pernyataan itu. Ia meneguk habis isi gelas di tangannya, lalu meletakkannya di pagar balkon dengan napas tertahan.“Melani… Mari kita hentikan semua ini," ucap Adrian akhirnya.Melani menoleh, mengerutkan kening sejenak. “Kenapa harus dihentikan? Apa salahnya dicoba dulu?”Adrian mendengus kecil, kepalanya menggeleng kasar.“Apa kau pikir pernikahan itu permainan?"Melani menarik napas, tapi tak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan atau membela diri, ia justru melirik ke arah halaman dan melambaikan tangan.“Eliana!” panggilnya.Adrian sontak menoleh ke belakang. Langkah Eliana yang sebelumnya santai kini melambat begitu tatapan mereka bertemu. Ia tampak ragu, tapi tetap melangkah mendekat.Melani menoleh perlahan, dan saat itu ia menangkap jelas ekspresi Adrian—tatapan pria itu tak pernah berubah, hanya pada Eliana. Bukan pada dirinya. Bukan pada wanita yang seharusnya menjadi calon istrinya.“
SebelumnyaSeorang EO pria mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Adrian."Setelah tukar cincin, silakan cium kening Melani untuk diabadikan, ya. Itu bagian dari momen spesialnya."Adrian menegang. Ia menoleh pelan ke arah Melani yang tersenyum kikuk di sampingnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan napasnya terasa berat. Ia tidak langsung mengangguk.Namun, tatapannya lalu jatuh pada Lydia yang memberikan isyarat tegas dengan anggukan kepala dan senyum lebar, seolah mengatakan “Lakukan.”Akhirnya, Adrian menoleh kembali ke Melani dan perlahan mengangkat tangannya ke wajah sang tunangan. Semua kamera sudah siap. Para tamu diam sejenak, menunggu adegan romantis itu terjadi.Tapi tepat ketika bibirnya hanya beberapa inci lagi mendarat di kening Melani, pandangan Adrian secara tidak sengaja melintas ke arah bangku tamu—dan ia melihat Eliana berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi dari keramaian.Seperti disengat sesuatu, Adrian menghentikan gerakannya. Ia menarik diri, dan
“Bagaimana dengan ini?” tanya Lydia sambil menunjuk salah satu gambar cincin berlian di ponselnya.Melani tampak ragu. Ia menoleh ke arah Eliana, hendak meminta pendapat sepupunya. “El, menurut kamu yang ini bagus nggak, ya?”Namun kata-katanya terhenti begitu melihat Eliana sedang beradu pandang dengan Adrian. Tatapan keduanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.Melani terdiam sejenak, namun Eliana langsung menyadarinya. Ia mengalihkan pandangan dari Adrian dan menoleh ke arah Melani. “Ada apa, Mel?” Melani tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.“Enggak apa-apa. Cuma ingin tahu pendapat kamu soal cincin ini,” ujarnya, menyodorkan ponsel Lydia ke arah Eliana.Baru saja Eliana ingin memberikan pendapatnya, suara Lydia memotong tiba-tiba.“Eliana?” seru Lydia dengan dahi berkerut. “Astaga.. Tante nggak tahu kalau kamu di sini juga."Eliana langsung tersenyum sopan. “Oh iya! Bagaimana kalau kalian berdua sekalian makan malam
Mobil Adrian perlahan berhenti di depan kediamannya. Begitu mesin mati, Adrian segera turun dari kursi kemudi.Saat itu juga, Melani—yang tampaknya sudah menunggu di halaman depan—bergegas mendekatinya."Adrian!" panggil Melani sambil melambaikan tangan. Begitu dekat, ia mengangkat sebuah ponsel di tangannya. "Sepertinya... ponsel kita tertukar. Ini punyamu."Adrian mengangkat alis, lalu mengambil ponsel itu dan memeriksa sekilas. "Oh, ini... ponsel keduaku," ucapnya santai. Ia pun mengembalikan ponsel Melani.Mereka baru saja selesai bertukar ponsel, tiba-tiba suara pintu mobil terbuka.Melani refleks menoleh dan membelalakkan mata saat melihat Eliana keluar dari mobil Adrian—menggendong tubuh kecil Sienna yang tengah tertidur lelap di pundaknya."Eliana... apa yang kau lakukan di—?" Melani menggantungkan ucapannya, matanya bergerak cepat menatap Eliana dan mobil Adrian secara bergantian, penuh dengan rasa heran.Melihat sepupunya keluar dari mobil bersama calon suaminya memb
Sesampainya di antrean Sky Twister, seorang petugas mendekat sambil membawa alat pengukur tinggi badan."Ayo, dek, berdiri tegak ya," kata petugas ramah.Sienna berdiri tegap. Namun setelah diukur, petugas tersenyum canggung lalu menggeleng."Maaf, dek. Tinggi kamu masih kurang untuk naik wahana ini. Nanti kalau sudah lebih tinggi, boleh ya."Wajah Sienna langsung merengut."Beneran nggak boleh?" tanyanya sedih, matanya berkaca-kaca.Petugas itu mengangguk sambil tetap tersenyum. "Iya, belum aman untuk anak seusiamu."Melihat Sienna cemberut, Eliana cepat-cepat berjongkok di depannya, mencoba menenangkan. "Hei... Nggak apa-apa, sayang. Kalau kamu udah lebih tinggi, kamu bisa naik sepuasnya," ujarnya sambil mengusap kepala Sienna.Adrian ikut menimpali, "Iya, Sienna. Nanti pas kamu sudah cukup tinggi, Om antar naik sepuluh kali kalau mau."Namun, Sienna tampaknya punya ide lain. Ia menunjuk ke arah Eliana dengan antusias. "Kalau aku nggak bisa naik, Tante aja yang naik! Terus ceri
Drt... Drt... Drt...Tiba-tiba ponsel Eliana bergetar di dalam tasnya. Ia buru-buru merogoh dan melihat layar yang menampilkan nama Laras. Tanpa pikir panjang, Eliana segera berdiri."Maaf, aku keluar sebentar," bisiknya pada Melani.Melani hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, sementara Adrian sekilas mengikuti gerak Eliana dengan pandangan matanya.Eliana berjalan cepat keluar dari ruangan. Begitu berada di koridor, ia segera mengangkat panggilan itu."Assalamu'alaikum. Ada apa, Kak Laras?" Dari seberang, suara Laras terdengar tergesa. "Wa'alaikumsalam, El. Maaf, kamu sibuk nggak? Kakak butuh bantuan banget. Bisa nggak kamu temani Sienna ke taman bermain siang ini? Kakak ada meeting dadakan yang belum bisa Kakak tinggal."Eliana sempat diam, mempertimbangkan. Ini sebenarnya di luar tugasnya sebagai guru privat Sienna. Namun, belum sempat ia memberikan jawaban, Laras buru-buru menambahkan, suaranya setengah memohon, "Nanti Kakak bayar tiga kali lipat dari biasanya, El. Tolong
Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang
"Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" "Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.Prang!Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. "Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. "Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. "Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."Eliana menoleh, semp
Malamitu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saatmobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungisebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk disampingnya di kursi mobil.“Inirumah siapa, Ma?” Lydiamelepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."Adrianmengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.“Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."“Kamuakan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.“Ck!”Denganmalas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subratayang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaanbingung.Sesampainyadi depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata,dan istrinya, Vio. “Selamatdatang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak