Share

Kemah

Jingga sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas sekolahnya di kamar. Ia berusaha sangat fokus, walau ada suara gaduh dari ruangan sebelah.

Ruangan sebelah adalah kamar milik Dalfon. Sekarang di ruangan itu ada Dalfon, Adit, dan Ansel. Ketiga orang itu sedang bermain game ponsel. Dan terus-menerus berteriak sesuka mereka, tanpa memperdulikan Jingga yang sedang mencoba fokus mengerjakan tugas sekolahnya.

Jingga memang bisa sabar. Tetapi kesabarannya juga bisa habis. Dan karena kesabaran Jingga sudah habis, ia memutuskan untuk keluar dari kamar, lalu mengetuk pintu kamar Dalfon.

Anehnya, saat ia mengetuk pintu ruangan tersebut, tiba-tiba suara bising yang tadi ia dengar, langsung hilang seketika.

Dan karena ia merasa aneh, ia memutuskan untuk membuka pintu itu secara paksa. Lalu ia mendapati tiga orang laki-laki yang sedang tertidur di atas lantai ditemani dengan kulit kacang yang berserakan di mana-mana.

Jingga yakin bahwa ketiga laki-laki itu cuma pura-pura tidur. Makanya ia terus menatap wajah ketiga laki-laki itu secara bergantian. Menunggu ketiga laki-laki itu membongkar kebohongan mereka sendiri.

Dan benar, tidak lama setelah itu, Adit tertawa terbahak-bahak. Membuat Ansel dan Dalfon juga ikut tertawa.

"Oi, bodoh! Kamu kenapa ketawa, sih?!" tegas Ansel di tengah-tengah tawanya.

"Ya mana tahan aku dilihatin kayak begitu," balas Adit setelah puas tertawa.

"Oi! Ini sudah jam sepuluh malam! Kalau mau ketawa jangan keras-keras, nanti tetangga terganggu!" tegas Jingga memperingati Dalfon, Ansel, dan Adit.

"Iya-iya. Sudah kamu sana balik belajar sana," usir Dalfon sambil menyalakan televisi kamarnya.

"Awas aja kalau kalian sampai berisik lagi, aku usir kalian dari rumahku!" tegas Jingga lalu menutup kembali pintu kamar Dalfon.

"Main lagi, Nyet. Mumpung dia sudah pergi," ucap Dalfon sambil mengambil tiga buah ponsel yang tadi ia sembunyikan di bawah bantal.

"Oi, pintunya terbuka lagi," gumam Ansel saat melihat pintu kamar Dalfon mulai terbuka lagi.

Sontak Dalfon langsung menyembunyikan kembali ketiga ponsel yang tadi sudah ia pegang. Secepat mungkin ia berbalik arah dan menatap secara saksama siaran televisi yang ada di hadapannya.

"Kak, internet Wi-Fi mulai melambat. Kayaknya sudah waktunya bayar lagi, deh," ucap Jingga saat pintu kamar Dalfon sudah terbuka lebar.

"Iya, 'kah? Besok Kakak bayar, deh. Kamu balik saja sana ke kamar kamu. Soal Wi-Fi biar Kakak urus besok," ucap Dalfon dengan santainya.

"Besok sore teman-teman Jingga bakalan ke sini buat ngerjain tugas kelompok. Jadi masalah internet Wi-Fi harus selesai sebelum sore," ucap Jingga lalu melenggang pergi.

"Lah, bukannya besok sore kita juga akan bakar ikan di halaman belakang rumahmu?" tanya Adit sambil menatap Dalfon.

"Ya 'kan mereka belajarnya di ruang tamu. Jadi kita tidak akan berbenturan dengan mereka," jawab Dalfon sambil mengambil ponselnya.

"Kayaknya kita besok pagi harus mancing banyak ikan, nih. Biar besok bisa dibagi-bagikan ke teman-teman Jingga," ucap Ansel dengan semangat.

"Oh, iya. Bicara-bicara tentang mancing besok pagi, aku kayaknya akan telat. Soalnya aku harus bayar Wi-Fi rumahku dulu," cetus Dalfon.

"Santai aaja, kali. Tanpa kamu, aku dengan Ansel pasti bisa mendapatkan banyak ikan," sahut Adit sambil tersenyum.

Sebenarnya akan sangat susah bagi Adit dan Ansel untuk mendapatkan ikan banyak tanpa kehadiran Dalfon, karena memang Dalfon lah yang paling bisa diandalkan saat memancing ikan. Tetapi walau begitu, Adit mempunyai rencana lain kalau memang jumlah ikan yang ia dapatkan kurang dari jumlah yang sudah ditentukan.

Rencananya adalah pergi ke pasar tradisional, lalu membeli ikan yang masih hidup. Dan dengan begitu, ikan yang ia beli di pasar itu bisa menutupi kekurangan ikan yang ia pancing bersama Ansel.

"Aku malam ini tidur di sini, ya, Fon. Aku malas pulang ke rumah," cetus Ansel sambil loncat ke arah atas kasur Dalfon.

"Kenapa? Apa mereka tidak pulang lagi malam ini?" tanya Dalfon sambil menatap saksama layar televisinya.

"Ya seperti yang kamu tau. Mereka tidak pernah pulang," jawab Ansel sambil memeluk erat guling Dalfon.

"Aku juga menginap di sini, deh. Biar besok pagi, bisa langsung ke pemancingan sama Ansel," cetus Adit sambil mengambil sebuah bantal yang ada di atas kasur.

"Lah, bodoh! Kalau kalian semua tidur di sini, aku tidur di mana coba?!" tanya Dalfon dengan nada keras.

"Tidur di bawah, lah," jawab Ansel dengan santainya.

"Eh, Nyet. Dari pada tidur di kamar, mending kita tidur di luar," cetus Dalfon yang baru saja mendapatkan ide bagus.

"Jangan aneh-aneh kamu! Sudah malam, nih. Mau emang ditemani mbak kunti?" sahut Adit sambil merebahkan tubuhnya di samping tubuh Ansel.

"Kita kemah, Nyet. Jarang-jarang 'kan kita kemah. Mumpung ada gitar. Kan lumayan bisa nambah-nambah kenangan," jawab Dalfon sambil mengambil gitar milik Ansel yang ada di dekat almari baju.

"Emang ada tenda, Nyet?" tanya Ansel sambil bangun dari posisi tidurnya.

"Karena ini acara dadakan, aku tidak sempat sewa tenda. Nah karena itu kita pakai selimut saja. Sebisa mungkin kita bikin tendanya pakai selimut. Kayaknya di samping rumah ada tali sama kayu, jadi bisa digunain buat bikin pondasi," jawab Dalfon sambil memainkan gitar yang sedang ia pegang.

"Emangnya bisa, Nyet?" tanya Adit sambil mengambil selimut biru milik Dalfon.

"Bisa kalau kamu pakai otak," jawab Dalfon.

"Otak kamu tidak ketinggalan di rumah 'kan, Nyet?" tanya Ansel sambil menatap Adit.

"Kayaknya sih tidak. Kepala aku rasanya berat. Jadi kemungkinan besar, otakku masih ada di dalam kepala," jawab Adit.

"Nah, berarti bisa, nih. Ayo berangkat ke halaman rumah," ucap Dalfon lalu melenggang pergi meninggalkan kamarnya.

"Oi, bego! Satu selimut mana cukup!" tegas Adit sambil berlari menyusul Dalfon.

"Sudah, kamu ke halaman dulu aja sama Ansel. Aku pinjam selimut punyanya Jingga," balas Dalfon tanpa menoleh ke arah belakang.

Sepertinya perkataan Dalfon tadi. Sekarang Dalfon berjalan menuju ke arah kamar adiknya. Dengan gitar di tangan sebelah kanannya, ia perlahan mengetuk pintu kamar Jingga, menunggu izin masuk dari Jingga yang ada di dalam kamar.

Dan saat Jingga sudah mengizinkan Dalfon masuk, Dalfon pun tanpa mengulur waktu lagi, langsung masuk ke kamar Jingga.

"Kenapa, Kak?" tanya Jingga sambil menutup buku tugasnya.

"Selimut cadangan kamu mana?" tanya Dalfon sambil menatap ke arah atas kasur Jingga.

"Selimut cadangan Jingga 'kan kemarin Kakak suruh buang."

Dalfon terdiam sejenak. Mencoba mengingat-ingat lagi kejadian tersebut. Tidak butuh waktu lama, ia pun langsung bisa mengingat kejadian tersebut. Kejadian di mana ia menyuruh Jingga untuk membuang selimut cadangan milik Jingga karena selimut itu sudah terkena bercak darah Jingga saat menstruasi. Dan sampai sekarang Dalfon belum sempat membelikan adik perempuannya itu selimut baru untuk dijadikan selimut cadangan.

"Oh, iya. Besok Kakak beliin selimut baru. Lanjutin aja belajar kamu," ucap Dalfon sambil mengalihkan pandangannya ke arah Jingga.

"Kalau mau pinjam, pakai aja selimut Jingga yang itu," ucap Jingga sambil menunjuk selimut berwarna merah muda yang terlipat rapi di samping bantal.

"Jangan bodoh. Kalau Kakak pinjam itu, kamu nanti tidurnya pakai apa? Sudah, lanjutin aja belajar kamu. Kakak sama yang lainnya mau kemah di halaman depan, kalau ada apa-apa panggilan aja Kakak dari balkon."

Setelah mengucapkan itu, Dalfon langsung keluar dari kamar Jingga, menutup pintu kamar adiknya itu rapat-rapat supaya adiknya itu bisa melanjutkan tugasnya dengan tenang dan tanpa gangguan apa pun.

Sekarang Dalfon kebingungan, pasalnya selimut yang dibutuhkan sekarang sangatlah kurang. Selimutnya sudah dipakai dan selimut milik Jingga tidak bisa ia pinjam. Dan tidak mungkin ia meminjam selimut tetangga.

Sebenarnya ada dua buah selimut lagi di dalam kamar yang letaknya ada di lantai satu. Tetapi Dalfon sangat enggan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Karena kamar tersebut adalah kamar milik orang tuanya.

Dalfon mencoba untuk tetap tenang dan mencoba untuk berpikir tenang. Kalau memang satu-satunya cara supaya rencana kemahnya bisa tercapai, maka mau tidak mau ia harus masuk ke dalam kamar kedua orang tuanya untuk mengambil dua buah selimut yang ada di dalam sana.

Setiap Dalfon melangkahkan kakinya, entah kenapa muncul rasa benci yang teramat dalam di lubuk hatinya. Membuat semakin tidak rela masuk ke dalam ruangan tersebut. Tetapi ia coba untuk teguhkan hatinya dan mencoba untuk tetap tenang.

Dan akhirnya sekarang ia sudah sampai di depan pintu berwarna cokelat yang ada di lantai satu. Sekarang ia sudah ada di depan kamar kedua orang tuanya. Sebenarnya ia hanya perlu masuk dan mengambil selimut yang ada di dalam kamar tersebut, lalu selesai. Tetapi entah kenapa, ia masih merasa berat hati untuk melakukan hal tersebut.

Semakin lama Dalfon berada di depan pintu ruangan tersebut, membuat rasa benci yang ada di benaknya semakin menjadi-jadi. Karena itulah Dalfon memutuskan untuk membuka pintu tersebut dalam hitungan detik, lalu masuk ke dalam kamar.

Tetapi saat tangan Dalfon mau menyentuh gagang pintu tersebut, ada seseorang dari sebelah kanan Dalfon mencengkeram erat tangan Dalfon. Menghalangi niatan Dalfon untuk membuka pintu ruangan tersebut.

Dan saat Dalfon melihat ke arah kanan. Betapa terkejutnya dirinya, saat mengetahui bahwa Adit lah orang yang menghalanginya untuk membuka pintu ruangan tersebut.

"Semua yang sudah tertutup biarkan aja tertutup. Tidak perlu dibuka lagi, karena itu cuma akan memberi luka," cetus Adit sambil melepaskan cengkeramannya.

"Terima kasih," ucap Dalfon lalu tersenyum.

"Aku sama Ansel sudah buat tendanya. Karena kamu lama, kami pakai jas hujan kami buat bahan tambahannya. Dan aku di sini buat memberitahukan kamu tentang hal itu."

"Ya, sudah. Ayo ke sana, tunggu apalagi."

Dalfon sudah melenggang pergi meninggalkan Adit yang masih berdiri tegak di dekat pintu kamar kedua orang tua Dalfon. Sedangkan Adit masih menatap pintu kamar tersebut dengan tatapan sinis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status