Share

Mie

Jingga menatap secara saksama perempuan yang sedang mengoceh tidak jelas di sampingnya. Perempuan yang sedang ia tatap adalah Ratu Angelina Cantika. Sahabatnya sejak SMP. Dan teman satu bangkunya.

Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju kantin sekolah, untuk membeli sebuah makanan dan minuman.

Sebenarnya, Jingga sudah menyiapkan sebuah bekal dari rumah. Tetapi karena ia lupa memasukkan bekalnya ke dalam tas, mau tidak mau ia harus makan di kantin bersama sahabatnya.

Jingga duduk di meja yang berada di bagian pinggir kantin. Sambil menunggu Ratu yang sedang memesan makanan, ia bermain permainan yang ada di ponselnya.

Sesekali ia melirik ke arah daerah taman sekolah yang terdapat banyak bunga bermekaran dan para pasangan kekasih yang sedang menghabiskan waktu sekolah bersama di taman tersebut.

Dan tepat setelah permainannya selesai, sahabatnya datang dan duduk di kursi yang ada di seberang meja. Ia masukkan ponselnya ke dalam saku baju. Lalu menatap sahabatnya itu secara saksama.

"Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Jingga merasa aneh dengan sikap Ratu.

"Tadi pagi aku ketemu kakakmu. Dan kamu tau apa yang bikin aku senang? Dia senyum ke arahku! Astaga, tidak kuat aku lihat senyumannya," jawab Ratu dengan histeris.

"Dia tau kamu sahabatku. Jadi wajar kalau dia mencoba bersikap ramah ke kamu."

"Tapi dia senyum! Senyum, loh! Laki-laki terdingin di sekolah ini senyum ke aku! Mana mungkin aku tidak bahagia setelah mendapatkan senyuman itu!"

"Dia juga senyum kali saat bersama sahabat-sahabatnya. Jadi tidak usah sombong dulu."

"Sahabat-sahabatnya 'kan laki-laki semua. Sekarang aku tanya, apa pernah dia senyum ke perempuan yang ada di sekolah ini?"

"Sepertinya tidak pernah. Tapi tidak tau juga, deh."

"Nah karena itu. Ini SMA Angkasa, lho. Banyak perempuan cantik di sini. Dan satu-satunya perempuan yang pernah lihat senyuman kakakmu cuma aku doang. Bagaimana aku tidak senang coba?! Nih tanda-tandanya aku sebentar lagi akan menjadi kakak iparmu. Jadi kalau kamu mau apa-apa langsung bilang aja ke aku."

"Jangan mimpi kamu! Dia masih kelas dua. Mana mungkin dia nikah sama kamu!"

"Heh, 'kan bisa nanti setelah lulus. Jadi kamu mana tau."

Jingga terdiam saat itu juga. Mungkin apa yang dikatakan oleh Ratu benar, mungkin bukan sekarang, tetapi nanti ada saatnya ia harus melepaskan Dalfon yang selama ini selalu berada di sisinya. Dan mungkin juga saat itu juga, ia akan mengerti apa itu rasanya kehilangan. Tetapi kalau memang itu harus terjadi, ia rasa ia tidak akan kuat. Karena selama ini, ia bisa bertahan karena ada Dalfon di sisinya.

"Mie kuah dan mie gorengnya nih, Dek," ucap Bu Mirna sambil menaruh dua mangkok pesanan Ratu ke atas meja.

"Terima kasih, Bu," ucap Ratu sambil menatap Bu Mirna.

"Sama-sama, Dek. Selamat menikmati," ucap Bu Mirna lalu melenggang pergi meninggalkan meja Ratu dan Jingga.

"Makan, oi! Jangan cuma diam saja," tegas Ratu sambil mengambil sumpit.

"Iya-iya, berisik banget sih kamu," balas Jingga dengan muka cemberut.

Baru saja Jingga ingin menikmati mie rebus miliknya, tiba-tiba ada seseorang yang menarik mangkoknya menjauh dari hadapannya. Dan dengan perasaan kesal, ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah wajah orang yang menarik mangkoknya. Betapa terkejutnya Ratu dan Jingga, saat melihat Dalfon, Ansel, dan Adit ada di dekat meja mereka.

"Jangan makan mie, usus kamu nanti keriting kayak rambut Adit," ucap Dalfon sambil mengangkat mangkok berisi mie milik Jingga lalu menyerahkannya pada Ansel.

"Lah, kenapa jadi rambut aku yang kamu bawa-bawa," ucap Adit sambil mengusap rambut keritingnya.

"Rambut kamu keriting tidak?" tanya Ansel sambil menatap Adit.

"Keriting, sih," jawab Adit dengan wajah polosnya.

"Ya sudah. Begitu saja repot," sahut Ansel.

"Ini kotak bekal kamu, 'kan? Kamu masih remaja, jadi jangan pikun," ucap Dalfon sambil menyerahkan sebuah kotak makan berwarna merah muda ke Jingga.

"Eh, kamu yang di sana. Tangan kamu sakit tidak?" tanya Ansel sambil menunjuk Ratu.

"Tangan? Tidak sakit, deh. Emang kenapa?" jawab Ratu diakhiri dengan sebuah pertanyaan.

"Kalau begitu bisa jalan, dong," ucap Ansel dengan semangat.

"Bisa. Tapi bukannya jalan pakai kaki?" ucap Ratu dengan wajah polosnya.

"Lah, iya juga, ya," ucap Ansel sambil menatap Dalfon.

"Kamu dari tadi mikirin gombalan cuma dapat itu doang, Nyet? Dan itu pun gombalanmu salah sasaran? Astaga! Mending kamu sekarang cari meja buat kita duduk," ucap Dalfon dengan wajah kesal.

"Santai aja kali, Nyet. Aku 'kan belum nyerah. Eh, omong-omong terima kasih mienya. Yok, Dit," ucap Ansel lalu melenggang pergi bersama Adit mencari meja kosong untuk tempat duduk mereka bertiga.

Dalfon menatap kepergian Ansel dan Adit. Kedua sahabatnya itu memang bisa dibilang bodoh dalam pelajaran. Tetapi sangat pintar dalam mendekati perempuan. Apalagi Ansel yang sudah terkenal sebagai buaya darat. Sahabatnya itu memiliki banyak pacar, saking banyaknya sampai ia tidak tau lagi yang mana pacar Ansel yang sebenarnya. Sedangkan Adit cuma memiliki dua perempuan di dalam hidupnya. Perempuan pertama adalah ibu Adit sendiri. Dan perempuan yang kedua adalah Lucia. Perempuan yang sudah dijodohkan dengan Adit sejak kecil. Dan karena perjodohan itu, Adit sampai sekarang tidak pernah mencoba mendekati perempuan yang ada di sekitarnya. Membuatnya terlihat seperti seorang jomblo.

"Kamu juga makan mie?" tanya Dalfon sambil menatap Ratu.

"Eh, iya, Kak," jawab Ratu dengan perasaan gugup.

"Ini kotak bekalku, kamu makan aja. Biar mie kamu, aku yang makan," ucap Dalfon sambil memberikan kotak bekalnya pada Ratu, lalu mengambil mangkok berisi mie milik Ratu.

"Bu Mirna, makanan dua orang ini masukin ke dalam tagihan saya. Nanti saya bayar sehabis makan," teriak Dalfon sambil menatap Bu Mirna yang sedang melayani para pembeli.

"Siap, Dek," ucap Bu Mirna sambil menatap Dalfon.

Dalfon memakan sedikit mie yang ada di dalam mangkok yang sedang ia pegang. Dan ia tersenyum kecil, saat merasa bahwa mie rebus tersebut lebih enak dibandingkan dengan mie rebus yang sering dimasak oleh Adit untuknya.

"Eh, Kak. Itu sudah aku makan sedikit," ucap Ratu saat melihat Dalfon memakan mie rebusnya.

"Enak. Terima kasih," ucap Dalfon lalu melenggang pergi meninggalkan meja Ratu dan Jingga.

"Kakakmu tidak sadar atau bagaimana? Itu sumpitku dipakai dia buat makan. Yang artinya ciuman tidak langsung," tanya Ratu sambil menatap secara saksama wajah Jingga.

"Kenapa kamu sebegitu histerisnya? Masih ciuman tidak langsung, 'kan?" tanya Jingga dengan santainya.

Jingga merasa sangat kesal. Ia merasa kesal karena Dalfon memakan mie milik Ratu, bukan mie miliknya. Seharusnya kakaknya itu lebih paham tentang ciuman tidak langsung, supaya hal bodoh seperti tadi tidak terjadi. Dan tidak menyebabkan sahabatnya merasa bahagia karena hal bodoh seperti tadi.

Sedangkan di sisi lain. Ansel sudah bersiap-siap menikmati mie goreng yang sekarang ada di hadapannya. Saat ia sudah siap dengan sumpitnya. Tiba-tiba Dalfon muncul dan merebut mangkok mienya.

"Tukar," ucap Dalfon sambil memberikan mangkok miliknya pada Ansel.

"Lah, oi! Aku tidak suka mie rebus," tegas Ansel sambil menatap Dalfon.

"Berarti mie ini buat Adit. Kamu pesan lagi sana. Nanti aku yang bayar," ucap Dalfon sambil duduk di samping Adit.

"Seriusan, nih ya? Kamu yang bayarin, nih? Tunggu-tunggu, aku pesan dulu," ucap Ansel lalu lari ke arah Bu Mirna untuk memesan mie rebus.

Adit tersenyum kecil melihat Ansel yang sedang memesan mie goreng. Sahabatnya itu memang paling semangat saat sedang ditraktir oleh Dalfon. Sedangkan dirinya sangat berbanding terbalik dengan Ansel. Bukan karena ia tidak suka ditraktir atau apa. Tetapi karena ia tau, kondisi ekonomi Dalfon tidak sebagus ekonomi. Jadi ia sangat terharu, saat Dalfon memutuskan untuk membayari makanannya dan Ansel.

"Terima kasih lho, Nyet," ucap Adit sambil mengambil mangkok mie rebus yang ada di hadapannya.

"Untuk apa?" tanya Dalfon sambil memakan mie gorengnya.

"Untuk mie ini."

"Santai aja. Lagian cuma mie, harganya tidak seberapa. Oh, iya, bagaimana kabar Lucia? Aku dengar-dengar, kalian akan tunangan minggu depan? Apa tidak masalah? Kan kalian berdua masih sekolah."

"Kayaknya sih tidak masalah. Lagian 'kan cuma tunangan. Belum sampai ke pernikahan."

"Aku cuma mau memastikan, nih. Aku sama Ansel kamu undang, 'kan?"

"Ya, iyalah. Kalian tuh sahabatku, mana mungkin aku tidak undang kalian di acara sepenting itu."

"Aku sama Ansel akan bawa hadiah yang bagus. Jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Menurutku, kamu tidak perlu bawa apa-apa, sih. Selama kamu datang, itu sudah cukup bagiku."

"Aku tau kamu bisa beli semua barang yang kamu mau pakai uangmu dan pasti barang yang nanti aku sama Ansel kasih tidak ada artinya dibandingkan barang-barangmu yang lain. Tapi mau bagaimana pun, acara itu adalah acara yang sangat penting bagimu. Dan acara yang sangat kami nanti-nantikan. Melihat sahabat kita tunangan sama perempuan, mana mungkin kita bakalan diam saja saat lihat itu. Tenang, kado buatmu nanti aku pastiin adalah kado yang tidak bakalan bisa kamu dapatin di mana-mana pun juga."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status