Share

Khawatir?

Dalfon, Adit, dan Ansel sedang membakar ikan di halaman belakang rumah Dalfon. Mereka bertiga saling berbagi tugas, supaya bisa lebih menghemat waktu dan tenaga.

Dalfon bertugas untuk melumuri ikan dengan bumbu yang sudah mereka bertiga racik sebelumnya. Adit bertugas untuk membakar ikan. Sedangkan Ansel bertugas untuk menyiapkan nasi dan daun pisang untuk alas mereka nanti makan.

Mereka kali ini akan makan di halaman belakang, karena di ruang tamu sedang ada Jingga dan teman-teman sekelasnya yang sedang mengerjakan tugas kelompok.

Sebenarnya mereka bisa saja mengambil piring di dapur untuk menjadi alas mereka makan. Tetapi mereka lebih memilih makan beralaskan daun pisang karena biar lebih terasa solidaritasnya.

Adit berusaha membuat ikan bakar mereka seenak mungkin. Karena nanti bukan cuma mereka bertiga saja yang makan ikan tersebut. Tetapi teman Jingga juga ikut makan bersama mereka. Jadi mereka sebisa mungkin akan membakar ikan tersebut seenak mungkin, supaya mereka tidak menghancurkan ekspektasi teman Jingga mengenai rasa ikan bakar mereka.

Kalau soal membakar ikan, Adit lah juaranya. Ia memang selalu jadi andalan saat ada acara bakar-bakar. Dan sudah terbukti berkali-kali bahwa ikan bakarnya selalu terasa sedap. Bukan cuma Ansel dan Dalfon yang mengakui hak tersebut. Tetapi para teman tongkrongan mereka juga mengakuinya.

Adit yang sedang sibuk mengelap daun pisang, tiba-tiba teringat bahwa mereka belum membeli es batu untuk membuat minuman dingin nanti. Sebenarnya Adit ingin langsung membelinya tanpa memberitahu sahabat-sahabatnya terlebih dahulu. Tetapi ia teringat ada perempuan di ruang tamu dan sekarang ia sedang membakar ikan. Jadi ia tidak bisa dan tidak mau meninggalkan tempatnya yang sekarang.

"Woi, Nyet. Kita belum beli es batu. Salah satu keluar sana, beli es batu terlebih dahulu," cetus Adit sambil mengibaskan kipasnya.

"Aku lagi sibuk menyiapkan nasi dengan daun pisang, nih. Kamu saja yang keluar, Nyet," balas Ansel yang sedang sibuk mengelap daun pisang.

"Kamu lupa atau bagaimana? Di ruang tamu banyak cewek. Mana mau aku lewat sana," ucap Adit.

"Tenang-tenang. Biar aku saja. Kalian fokus aja tugas kalian sendiri," ucap Dalfon lalu melenggang pergi meninggalkan ruangan tengah.

Dalfon melangkah menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ia ingin mengambil jaketnya sebelum ia pergi ke toko untung membeli es batu.

Dan saat ia sudah berhasil menggapai jaketnya, ia baru ingat bahwa sama sekali tidak ada uang di dalam dompetnya. Ia baru ingat bahwa semua uangnya sudah ia gunakan tadi pagi.

Tangannya menjulur masuk ke dalam kantong jaket, untuk mencari uang yang mungkin terselip. Tetapi ia tidak berhasil menemukan apa-apa selain dompetnya.

Matanya membulat sempurna saat tiba-tiba ia merasa bahwa dompetnya lebih tebal dibandingkan tadi pagi. Untuk memastikan, ia putuskan untuk mengeluarkan dompetnya dari kantong jaketnya. Lalu melihat ke dalam isi dompet tersebut.

Betapa terkejutnya dirinya, saat mengetahui bahwa di dalam dompetnya terdapat banyak uang. Uang itu bernilai ratusan. Dan sudah bisa dipastikan bahwa uang-uang itu bukan miliknya.

Tetapi di sisi lain, ia merasa bingung dengan asal uang tersebut. Sejak awal ia datang ke rumah dan mencopot jaketnya, kondisi pintu kamarnya selalu terkunci. Jadi mustahil sahabat-sahabatnya yang memasukkan uang tersebut ke dalam dompetnya.

Setelah diingat-ingat lagi, hari ini ada satu orang yang pernah menyentuh dompetnya. Orang itu adalah Alice. Dan Dalfon sangat yakin bahwa uang tersebut adalah milik perempuan tersebut.

Dalfon memastikan jumlah uang tersebut, supaya saat ia mengembalikan uang tersebut, tidak ada uang yang hilang. Dan saat ia sedang menghitung uang tersebut, ia menemukan sebuah kartu nama yang terselip di tengah-tengah uang tersebut.

Ia mengambil kartu nama tersebut, lalu membaca apa yang tertulis di kartu tersebut. Dan akhirnya ia tau tempat di mana ia harus mengembalikan uang-uang tersebut.

Dalfon langsung bergegas menyembunyikan dompetnya ke dalam kantong jaket, saat mendengar ada suara langkah kaki mendekat.

Dengan sikap setenang mungkin, ia berjalan ke luar dari kamarnya. Dan saat ia baru saja mengalahkan kakinya ke luar kamar, ia sudah berpapasan dengan Jingga yang sedang membawa beberapa buku.

"Kak, bisa belikan makanan ringan untuk teman-teman aku tidak?" tanya Jingga sambil menatap wajah Dalfon.

Dalfon terdiam sejenak. Ia saja bahkan tidak mempunyai uang untuk membeli es batu. Dan sekarang tiba-tiba Jingga meminta jajanan untuk teman-temannya. Dalfon tadinya memang tidak mau menggunakan uang yang ada di dalam dompetnya. Tetapi karena sekarang kondisinya Jingga sedang membutuhkan sesuatu, maka mau tidak mau ia harus menggunakan uang tersebut. Soal uang Alice, entah dengan cara apa caranya mengembalikannya, tetapi ia bisa pastikan bahwa besok ia akan kembalikan dengan jumlah yang sama.

"Mau beli seberapa banyak?" tanya Dalfon sambil mengambil alih buku yang sedang dibawa oleh Jingga.

"Terserah Kakak, sih," jawab Jingga sambil berjalan ke arah tangga.

"Emangnya ada berapa orang?"

"Yang datang cuma Ratu, kok. Kalau sama Jingga, berarti totalnya dua orang."

"Lima cemilan cukup, 'kah?"

"Cukup-cukup."

"Nanti Kakak belikan. Jadi tenang aja."

Sikap lembut Dalfon langsung berubah menjadi dingin saat Dalfon sudah mulai memasuki ruang tamu. Memang seperti itulah Dalfon setiap harinya. Ia selalu bersikap dingin para orang-orang baru yang ada di sekitarnya. Sejauh ini cuma baru Ansel, Adit, Ratu, Jingga, dan para teman-teman tongkrongannya yang bisa melihat sisi lembutnya.

Dalfon menaruh buku Jingga di atas meja yang ada di ruang tamu. Lalu melenggang pergi tanpa mengucapkan satu patah kata pun pada Ratu yang masih menatapnya. Sedangkan Jingga hanya bersikap santai sambil duduk di sebelah Ratu yang masih menatap kepergian Dalfon.

"Kakak kamu mau ke mana?" tanya Ratu sambil mengalihkan pandangannya ke arah Jingga.

"Mau beli cemilan buat kita," jawab Jingga sambil membuka buku tugasnya.

"Lah, tumben dia di rumah. Biasanya dia main sama sahabat-sahabatnya di warung dekat sekolah."

"Mereka bertiga akan mengadakan pesta di halaman belakang. Sepertinya sih si Ansel dengan Adit sekarang sedang sibuk bakar ikan. Tapi nanti kalau sudah selesai, kita akan ikut buat makan bersama mereka."

"Mengadakan pesta? Memperingati apa emang?"

"Tidak tau, deh."

Sebenarnya Jingga tau bahwa pesta tersebut diselenggarakan untuk Adit yang besok lusa akan tunangan dengan Lucia. Ia tau hal tersebut karena memang ia juga diundang untuk hadir di dalam acara pertunangan tersebut bersama Dalfon. Tetapi Jingga sengaja tidak memberitahu Ratu mengenai hal tersebut, karena memang hal tersebut harus dirahasiakan supaya tidak ada berita yang menyebar mengenai pertunangan Adit dengan Lucia.

"Apa kamu tidak khawatir dengan kakakmu?" tanya Ratu membuat Jingga langsung terheran-heran.

"Kenapa emang?" tanya Jingga kebingungan karena tiba-tiba Ratu menanyakan hal tersebut.

"Kakakmu akhir-akhir ini sering bertengkar dengan laki-laki yang membicarakanmu kamu di belakang. Dan bahkan beberapa hari yang lalu, dia memukuli laki-laki yang dengan sembrononya deketin kamu di depan dia. Kalau seandainya tiba-tiba kakakmu dikeroyok sama mereka yang tidak terima karena sudah dipukuli bagaimana?"

"Kakakku ilmu bela dirinya sudah di atas rata-rata. Jadi tidak akan terjadi apa-apa. Lagipula Adit dan Ansel juga selalu di samping dia. Jadi kalau ada orang yang cari gara-gara, pasti Adit sama Ansel langsung bantuin Kakakku."

"Adit pintar masak. Kakakmu pintar bela diri. Kalau Ansel pintar apa? Pintar gombalin perempuan?"

"Kehebatan Ansel? Orang itu ilmu bela dirinya masih jauh di atas kakakku. Aku juga tidak tau pasti, sih. Tapi Kakakku pernah bilang, kalau di antara mereka bertiga yang ilmu bela dirinya paling hebat ya Ansel."

"Masa? Buaya darat seperti dia masa bisa bela diri? Tidak percaya aku."

"Aku juga sebenarnya tidak percaya. Tapi setahuku, kakakku tidak pernah membohongiku. Jadi kemungkinan besar Ansel benar-benar bisa bela diri."

Ratu dan Jingga terus menerus membahas tentang Ansel dan Dalfon. Tanpa mereka sadari Ansel sedang menguping pembicaraan mereka di balik tembok dapur.

Sebenarnya Ansel sama sekali tidak punya niatan untuk menguping pembicaraan mereka. Tadi ia hanya kebetulan ada di dapur untuk mengambil sendok. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ratu dan Jingga sedang membahas tentang dirinya. Jadi ia putuskan untuk menguping sebentar, untuk mengetahui apa yang sebenarnya kedua perempuan tersebut bahas.

Ansel tersenyum kecil saat mendengar Jingga mengatakan bahwa Dalfon tidak pernah membohonginya. Bagaimana mungkin perempuan tersebut berkata seperti itu, padahal kenyataannya yang ada malah sebaliknya.

Dalfon sudah sejak lama membohongi Jingga. Dalfon berbohong tentang dirinya yang selalu mendapatkan kiriman uang dari kedua orang tuanya. Dalfon berbohong tentang dirinya yang masih mempunyai banyak tabungan. Tetapi sayang, semua kebohongan itu belum bisa terbongkar sekarang.

Ansel yakin pasti ada saatnya Jingga tau semua itu. Dan saat Jingga tau tentang semua itu, ia penasaran dengan ekspresi dan tanggapan Jingga saat itu. Apakah nanti Jingga akan marah karena ternyata Dalfon sudah membohonginya selama ini? Atau malah Jingga akan terharu karena mengetahui bahwa yang sebenarnya membiayai hidupnya adalah Dalfon bukan kedua orang tuanya?

Ansel sudah sangat-sangat menantikan saat-saat itu.

"Astaga, Nyet, Nyet. Sampai kapan kamu mau berbohong? Sebenarnya apa yang sedang kamu lindungi? Kedua orang tua kamu saja sudah tidak peduli sama kamu, kenapa kamu masih peduli sama tanggapan Jingga kepada mereka? Sebenarnya apa yang sedang kamu tunggu?" gumam Ansel lalu melenggang pergi dari area dapur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status