Share

Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri
Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri
Author: Deschya.77

Ujung Pelarian

Author: Deschya.77
last update Last Updated: 2024-09-13 17:30:30

“Hoosh…Hoosh!”

Suara napas terengah-engah terdengar jelas di antara suasana hutan yang tenang. 

Seorang pria penuh luka di sekujur tubuh, kini sedang bersembunyi di balik batu besar dan melihat keadaan sekitar dari balik batu, untuk memastikan tidak ada orang yang mengejarnya. 

Feng Bingwen mencoba mengulur waktu, untuk menghindar dari teman-teman sebayanya yang membuat banyak luka ditubuhnya. 

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba dirinya dikeroyok saat di akademi tanpa bisa memberikan perlawanan. 

Beruntung dirinya berhasil meloloskan diri menuju hutan di tepi kota tidak jauh dari kerajaan, dengan tipuan sederhana yang pernah dia pelajari.

Sebenarnya, bisa saja dia berlari keluar kerajaan dan menuju kantor polisi atau rumah sakit. 

Tapi, penilaian masyarakat tentangnya tidak jauh berbeda. 

Yang dia takutkan justru orang-orang di kota, yang sudah memiliki peralatan yang serba canggih itu memanfaatkan peluang untuk menjatuhkan kerajaan.

Sebab sejak dirinya dikenal sebagai ‘Pangeran Sampah’, semua menginginkan Bingwen jatuh. Namun, dia tidak menyangka jika pada akhirnya mereka akan melakukan hal gila seperti tadi.

 ZHIIIING!

Setelah dirinya merasa aman, Bingwen menjatuhkan dirinya sambil bersandar pada batu besar di hadapannya. Ia mencoba menyerap energi yang ada disekelilingnya, namun usahanya tidak membuahkan hasil sama sekali. Padahal itu satu-satunya jalan baginya, agar dapat segera menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. 

“Sial! Kenapa aku terus gagal melakukannya!” dengusnya kesal.

 ZHIIIING!

Bingwen kembali mencoba, tetapi hasilnya masih tetap sama. 

Justru energi dan staminanya terus berkurang ditambah darah yang keluar dari semua lukanya juga tidak dapat dia hentikan.

WHUUSSH!

Tiba-tiba terdengar hembusan angin yang cukup besar, diikuti suara gemerisik dedaunan yang bergerak terkena hempasan angin tersebut. 

DEG!

Bingwen menyadari sesuatu mendekat ke arahnya.

Aura yang tidak asing untuknya karena bukan hanya sekali atau dua kali aura itu menekan dirinya selama ini. 

 'Kenapa harus saat ini?! Tubuhku sudah hampir mencapai batas. Jika harus bertambah serangan darinya, ini akan benar-benar menjadi akhir untukku! Apa memang ini semua sudah direncanakan sejak awal oleh mereka?’ pikir Bingwen dalam hati, sambil meringkuk agar tubuhnya tidak terlihat.

 BRAAAK!

 Benar saja, sebuah pukulan mendadak mendarat di salah satu pohon di hutan itu dan berhasil membuat binatang-binatang di sekitarnya berlarian mencari tempat persembunyian yang lain. 

Bingwen yang mendengarnya, semakin yakin jika seseorang yang datang itu adalah Feng Honghui, saudara sepupunya yang sangat ingin melihatnya jatuh lebih dalam lagi.

Sejak kecil, saudaranya itu  menyimpan dendam padanya karena rasa iri yang bertumpuk. 

Dan disaat dirinya jatuh dalam sekejap, Honghui tampaknya sudah menantikan ini, hingga Honghui selalu menyiksanya kapanpun ada kesempatan.

 “Apa kau akan terus bersembunyi, Bingwen?! Mana Pangeran jenius muda yang dianggap sebagai generasi yang lahir setiap 1000 tahun sekali, dan akan menjadi ahli bela diri kelas Master tingkat tertinggi?! Aku hanya melihat 'Sampah’ Feng Bingwen pengecut yang selalu bersembunyi! Hahahaha…” Teriakan Honghui yang dengan sengaja menekankan setiap katanya sembari tertawa.

Tubuh Bingwen merinding dan berkeringat dingin.

Sebenarnya, ucapan Honghui tidaklah salah, Bingwen dulunya sangat terkenal dengan kejeniusannya. Bukan karena dirinya seorang Pangeran, tapi bakat yang terlihat sejak kecil menjadikan dirinya lebih menonjol dibandingkan saudara-saudaranya.

Namun, semua langsung berubah saat dirinya mengikuti ujian kenaikan tingkat. Harapan semua orang pupus, saat dirinya hanya bisa membangkitkan kelas Pemula tingkat 1.

Dalam sekejap, sebutan ‘Pangeran Jenius’ langsung berubah menjadi 'Pangeran Sampah’, dan hujatan serta hinaan tidak henti dia terima. Bahkan, rakyat biasa memandang rendah dirinya, karena Bingwen tidak memiliki kekuatan apapun dengan tubuh yang semakin lemah.

“Keluarlah!” Honghui kembali berteriak. “Bukankah setidaknya kau harus memperlihatkan martabat seorang pangeran, sebelum kau mati ditanganku?!” lanjutnya sambil terus mendekat kearah Bingwen berada.

‘Sial! Aku tidak bisa terus berada disini. Aku yakin dia sudah mengetahui keberadaan ku!’ pikir Bingwen sambil memikirkan cara untuk melarikan diri.

Honghui semakin mendekat ke arah batu besar di hadapannya, dengan sebuah seringai mengembang di wajahnya. Dia sangat yakin jika Bingwen berada di balik batu itu, dan kesempatan yang ditunggu-tunggunya akan segera dia gunakan sebaik mungkin.

Namun, saat Honghui melihat di balik batu untuk mengagetkan Bingwen, malah dirinya yang merasa tertipu. 

Di balik batu itu hanya ada tulisan menggunakan darah. Dan saat membaca tulisannya, mata Honghui membelalak dengan rahang yang mengeras.

 [ Honghui Bodoh ]

Tulisan itu berhasil membuat Honghui naik pitam. Dia semakin tidak sabar untuk membunuh Bingwen dengan tangannya sendiri, untuk melancarkan rencananya dengan sang ayah!

  ***

Di tempat lain, Bingwen yang berhasil melarikan diri hanya bisa berlari dengan tertatih. Dirinya tahu jika perbuatannya tadi, akan membuat Honghui tersulut emosi. Tapi, dia tidak bisa menyerah begitu saja, dan membiarkan Honghui berbuat seenaknya.

Bingwen terus berlari tanpa arah, dengan mata yang mulai kabur karena darah yang terus berkurang. Dia sudah yakin jika memang inilah akhir untuknya, namun dia tidak sudi harus meregang nyawa karena saudaranya itu. Dia berpikir jika lebih baik mati kehabisan darah, dibandingkan mati di tangan Honghui dan membuatnya semakin besar kepala.

Namun, dengan kemampuan yang Honghui miliki, tidak membutuhkan waktu lama untuk dirinya dapat menemukan Bingwen. Bingwen yang menyadari kehadiran saudaranya itu, masih terus berlari tanpa melihat ke arah belakang.

Langkahnya terhenti saat dirinya berada di ujung tebing. Honghui yang menyadari kesempatannya sudah di depan mata, mulai mendekat dengan sorot mata yang penuh semangat.

“Seharusnya sejak awal kau tidak perlu repot-repot melarikan diri seperti tadi! Jika kau meminta, aku akan dengan senang hati membunuhmu tanpa merasakan sakit!” ucap Honghui sarkas.

Bingwen tidak langsung menanggapi, dirinya mencoba melirik ke arah dasar jurang. Dirinya berharap akan ada dasar yang sedikit rendah, untuk dapat dia gunakan untuk melarikan diri. Namun, sayangnya dia tidak melihat ujungnya sama sekali, dan hanya melihat kabut yang menutupi.

“Cuih! Aku tidak Sudi mati di tanganmu!” sungut Bingwen sambil menatap tajam ke arah Honghui.

“Hahahaha…,” Honghui tertawa terbahak-bahak. “Sepertinya kau benar-benar sudah mendalami menjadi sampah! Apa kau tidak melihat kondisi dan situasimu saat ini?!” sahut Honghui sambil menaikkan sebelah alisnya.

 “Sebenarnya apa salahku, sampai kau sangat ingin membunuhku seperti ini?!” teriak Bingwen yang menyadari akhir untuknya, setidaknya dia mengetahui alasan dirinya harus mati saat ini.

“Kau terlalu munafik! Apa kau pikir aku perlu memiliki alasan?! Aku hanya ingin kau mati, jadi jangan terlalu marah padaku dan beristirahatlah dengan tenang!” jawab Honghui sambil menendang tubuh Bingwen agar jatuh ke dasar jurang.

“Tidaaaakk!”

Bingwen mencoba meraih tangan Honghui untuk berpegangan. Namun, Honghui sengaja menghindar dan membuat Bingwen jatuh ke dasar jurang.

“Ingat, jangan terlalu membenciku!” ucap Honghui saat tubuh Bingwen masih terlihat, sambil menyeringai puas dengan apa yang dia lakukan.

Setelah memastikan tubuh Bingwen menghilang, Honghui tersenyum puas.

Dengan menggunakan jurus meringankan tubuh miliknya, ia melesat menghilang dalam sekejap dari ujung tebing itu.

“Dengan ini rencana kami akan berhasil,” pikirnya, bergegas untuk kembali ke kerajaan, untuk melaporkan kejadian yang baru saja terjadi dan kematian Bingwen kepada ayahnya

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Langkah yang Menggetarkan Tanah

    Malam telah jatuh. Langit hanya menampilkan bintang-bintang kecil, tertutup awan tipis yang menyapu perlahan. Tak ada angin. Hanya suara debu yang merayap di tanah kering, seperti bisikan lembut dunia yang menyimpan rahasia.Bingwen duduk di tempat yang sama. Pohon kecil yang mati kini tak lagi menemaninya. Tapi di sampingnya, kecambah baru itu tetap tumbuh, seolah tak peduli dengan dunia. Cahaya tipis dari batu giok kecokelatan masih mengendap di telapak tangannya, berdenyut pelan seperti nadi bumi.Ia tak tidur. Tak lapar. Tak haus.Entah kenapa, setelah keluar dari celah tanah itu, tubuhnya seperti diselaraskan. Energi mengalir dalam aliran-aliran halus, bukan dari kekuatan luar, tapi dari dalam dirinya sendiri.Namun, malam ini berbeda.Tanah di bawahnya terasa gelisah.Awalnya, hanya getaran kecil. Tapi kemudian, seperti langkah kaki. Berat. Perlahan. Tapi pasti.Bingwen membuka mata. Ia tak bergerak, hanya mendengarkan.Satu... dua... tiga langkah.Tanah bukan hanya berbicara pa

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Bumi yang Menyimpan Ingatan

    Tanah masih diam. Sunyi. Namun bukan lagi sunyi yang dingin dan menakutkan seperti awal kedatangannya. Sekarang, keheningan itu terasa seperti pelukan. Bukan pelukan hangat, tapi pelukan yang jujur. Yang membuat seseorang tak bisa lari dari dirinya sendiri. Bingwen duduk bersila di samping pohon kecil yang perlahan menguning. Akarnya menggenggam bumi, meski kering dan rapuh. Seperti satu-satunya saksi perjalanan Bingwen dalam penguasaan Elemen Tanah. Ia menutup mata. Tak ada mantra. Tak ada jurus. Hanya napas yang diselaraskan dengan denyut bumi. Dulu, ia berpikir bahwa menguasai elemen berarti menaklukkannya. Sekarang, ia tahu, tanah tak bisa ditaklukkan. Ia hanya bisa diterima. Keheningan itu mulai bergeser. Ada getaran halus yang menjalar dari bawah. Bingwen membuka mata perlahan. Pohon itu bergetar. Daun-daunnya yang tersisa menggigil, lalu satu per satu jatuh ke tanah. Dari akar pohon, tanah merekah. Sebuah celah terbuka—sempit, gelap, dan dalam. Bukan retakan biasa, tapi sema

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Nafas Tanah, Nafas Jiwa

    Tangannya gemetar saat memegang batu tajam yang dipakai menggali. Jemari yang dulu lincah menangkis serangan kini pecah-pecah, penuh luka dan debu. Setiap goresan di kulitnya seolah mengingatkan bahwa ia bukan lagi murid di bawah naungan Kakek Guozhi. Di sini, di tempat sunyi dan tandus ini, dia bukan siapa-siapa. Hanya manusia biasa yang berhadapan dengan batas tubuh dan pikirannya sendiri.Ia berhenti sejenak, mengangkat wajah yang kotor dan penuh peluh ke arah langit yang tak bergerak. Tak ada awan. Tak ada angin. Hanya langit kaku seperti dinding batu yang mengawasinya tanpa simpati.Tapi tanah… tanah terasa berbeda.Dengan gemetar, Bingwen menempelkan telinga ke permukaan keras itu. Ia pejamkan mata, meredam seluruh hiruk-pikuk pikirannya. Dalam diam itulah, ia merasakannya: denyut samar seperti detak jantung yang dalam dan berat. Seolah tanah sedang bernafas.Ia menahan napas, takut mengusik keheningan itu. Getaran itu nyata. Aliran energi yang perlahan mengalir jauh di bawah sa

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Rasa Haus Dan Lapar

    Bingwen berdiri di atas tanah kering dan retak, tatapannya menyapu sekeliling. Gunung gersang ini tidak seperti tempat-tempat sebelumnya yang pernah dia lalui. Tidak ada pepohonan yang bisa memberinya naungan, tidak ada sungai yang bisa memberinya seteguk air, dan yang paling membuatnya gelisah—tidak ada tanda-tanda keberadaan Kakek Guozhi.“Kakek?” panggilnya, berharap suara berat gurunya akan menyahut. Namun, yang terdengar hanya suara angin yang menyapu debu dan kerikil di sekelilingnya.Dia sama sekali tidak menyangka jika sang guru telah pergi, karena sejak awal Chi milik Kakek Guozhi tidak pernah terasa oleh Bingwen. Dan dalam waktu sekejap, dirinya harus dihadapkan rintangan yang harus dia hadapi seorang diri tanpa arahan dari sang guru lagi.Bingwen mengepalkan tangan, menenangkan dirinya. Ini adalah ujian. Kakek Guozhi telah mengatakan bahwa untuk benar-benar memahami Elemen Tanah, dia harus menyatu dengannya, memahami bagaimana tanah bernapas, bagaimana ia menyimpan kekuatan

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Kesombongan Dan Kecerobohan

    Bingwen berdiri dengan penuh percaya diri di atas tanah yang kini seolah menjadi bagian dari dirinya. Setelah mengalahkan puluhan Golem Tanah, ia merasa bahwa dirinya telah berkembang pesat. Dulu, ia harus bersusah payah untuk sekadar bertahan, tetapi kini ia dapat mengendalikan tanah dengan lebih mudah. Senyum puas terukir di wajahnya.Kakek Guozhi mengamatinya dari kejauhan, tatapannya tajam. Ia bisa melihat perubahan dalam diri muridnya—bukan hanya kekuatan yang meningkat, tetapi juga sikapnya. Bingwen tampak terlalu percaya diri, bahkan ada sedikit kesombongan dalam sorot matanya. Ini adalah hal yang wajar bagi murid yang mulai merasakan kekuatannya, tetapi jika dibiarkan, bisa menjadi kelemahan yang fatal.“Kau merasa sudah menguasai Elemen Tanah?” tanya Kakek Guozhi tiba-tiba.Bingwen menoleh dengan ekspresi percaya diri. “Aku rasa begitu, Guru. Aku bisa merasakan aliran Chi di dalam tanah, menggunakannya untuk menyerang dan bertahan. Aku bahkan bisa bergerak melalui tanah seper

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Penguasaan Elemen

    Bingwen berdiri dengan kaki yang masih menjejak kuat ke tanah yang kering dan retak. Napasnya masih terengah setelah pertarungan melawan lima Golem Tanah, namun matanya tetap berbinar penuh semangat. Ia merasa bahwa tubuhnya mulai selaras dengan elemen baru ini, namun dirinya tahu bahwa pemahaman tersebut masih sangat dangkal.Kakek Guozhi berjalan mendekat, tatapannya tajam namun penuh kebanggaan. "Kau telah melakukan langkah pertama dengan baik, Bingwen. Namun, mengendalikan Elemen Tanah bukan hanya tentang menggunakan kekuatan tanah untuk menyerang atau bertahan. Kau harus bisa menyatu dengannya, merasakan aliran Chi yang ada di dalam tanah, dan memanfaatkannya dengan cara yang lebih cermat."Bingwen mengangguk penuh perhatian. "Apa yang harus kulakukan, Guru?"Kakek Guozhi menepukkan tangannya ke tanah dengan lembut. "Duduk dan tutup matamu. Rasakan dunia di bawah kakimu. Tanah yang kau pijak bukan hanya sekadar benda mati. Ia memiliki Chi sendiri, energi yang terus mengalir di da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status