Mizuha merasa lelah setelah berhari-hari menghadapi tantangan dan bahaya di Kastil Dragonheart. Dalam keheningan kamar mandi yang tenang, ia membiarkan dirinya melepaskan semua pakaiannya dan melihat cermin di depannya. Tubuhnya yang elegan tercermin di kaca, namun bekas luka di kulitnya juga terlihat jelas. Setiap luka itu adalah sebuah kenangan yang tak bisa ia lupakan. Saat air hangat mengalir di bak mandi, Mizuha merenung tentang masa lalu yang membawa luka-luka itu. Ia teringat akan momen saat ia berjuang melawan kekuatan jahat, saat kemenangan dan kekalahan saling berhadapan. Bekas luka di tubuhnya adalah saksi bisu dari perjuangan yang ia lalui, namun juga menjadi pengingat akan ketabahan dan tekadnya. Mizuha menghela nafas dalam-dalam, berusaha meredakan pikiran yang terus memenuhi kepalanya. Ia memilih untuk memusatkan perhatiannya pada saat ini dan menikmati momen kedamaian dalam bak mandi yang hangat. Namun, tiba-tiba, suara sirine menghentikan ketenangan tersebut. Suara
Peperangan antara pasukan kapal luar angkasa Dragonheart dan Aragorn mencapai puncaknya. Aragorn menderita kerugian besar dengan kehilangan seluruh pasukan induk mereka, sebanyak 10.381 kapal. Di sisi lain, Dragonheart tidak kehilangan kapal induk, hanya beberapa pesawat personel luar angkasa yang hilang. "Pastikan seluruh awak kapal diamankan tanpa terkecuali, dan bawa komandan mereka ke hadapanku," perintah Robot Nomor 7 tegas. "Diperintahkan dan dikonfirmasi," suara robot komandan di setiap kapal induk Dragonheart merespons. Di medan perang invasi planet Chronus, banyak pasukan Aragorn yang tewas, sementara yang masih hidup dikurung dalam penjara kekaisaran Dragonheart. Di tengah situasi tersebut, Robot Nomor 7 memimpin Von Jay dan sisa pasukan Aragorn menuju ibukota Dragonheart melalui pintu Chronus, sebuah gerbang yang menghubungkan ibukota Grand Archadia dengan planet Chronus. Dengan pesawat transportasi luar angkasa, Robot Nomor 7 membawa Von Jay dan pasukan Aragorn lainnya
"Diamlah, bocah, dan kuyakinkanlah tidurmu. Engkau akan kutuangkan sebuah khayalan," ucap Rovendum dengan lembut. Reinhard, semula merebahkan diri di atas kasurnya, menghadap langit-langit ruangannya. Di situ, tergantung sebuah cermin yang memantulkan gemerlapnya langit dan kerlipan bintang di alam semesta. Hembusan angin sejuk menerobos masuk, melintasi ruangan Reinhard, dan berhembus lembut di kulitnya. Perlahan, matanya terpejam. "Bagiku, ini adalah pertama kalinya tidur tanpa kegelisahan dan dengan damai sejak saat-saat ketika aku dan pak tua pergi berpetualang..." Saat matanya terpejam, dunia peperangan yang megah tergambar dengan jelas di hadapannya. Begitu banyak pesawat luar angkasa yang berputar mengelilingi sebuah planet yang memancarkan cahaya ungu dari kejauhan. Di antara pesawat-pesawat itu, bendera-bendera berkelebat tanpa henti, masing-masing memiliki lambang yang berbeda. Reinhard merasa seolah-olah dirinya terbang di alam semesta, melihat pesawat-pesawat yang berla
Sementara Reinhard berada di dalam kamar mandi, Xander mendengar suara cipratan air dan aliran air yang mengalir. Dia memerintahkan dua robot penjaganya untuk tetap berjaga di tempat dan memberi jalan kepadanya. Saat Xander mengamati sekeliling ruangan, dia merasakan kehadiran energi leluhur Dragonheart di sekitarnya, sesuai dengan nalurinya sebagai Grand Magus. "Hawa ini... tidak ada keraguan lagi," ujar Xander dengan wajah penuh kenangan. Xander kemudian menggerakkan tangannya secara perlahan dalam gerakan melingkar dari kanan ke kiri. Kilauan energi berwarna ungu mulai muncul, dan titik-titik berwarna ungu itu membentuk sinar ungu yang indah di sekelilingnya. Di dalam kamar mandi, Reinhard merasakan energi yang membuat kepalanya seolah-olah dipaksa untuk mengingat sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Gambar-gambar mulai muncul di benak Reinhard, sementara tangannya yang memegang kepalanya terasa pusing. Jeremy merasa bosan di dalam ruangannya dan memutuskan untuk kel
Di langit yang indah, ada seorang pemuda berambut ungu yang terbaring dan menatap bintang-bintang. Ia bertanya pada seorang pria yang berambut perak yang bersinar, "Pak Tua, mengapa langit terlihat begitu indah ketika kita melihat banyak bintang berkilau di atas sana?". "Pertanyaan yang bagus, Reinhard. Di antara bintang-bintang itu, ada makhluk hidup seperti kita yang juga memandanginya," jawab sang pria. Reinhard merasa terkesima, "Indah sekali... apakah mereka juga melihat keindahan ini, Pak Tua?" "Sangat mungkin, siapa yang tahu?" balas sang pria dengan misterius. Reinhard bertanya lagi, "Apa maksudmu?" Namun, tanpa menjawab, sang pria langsung berdiri dan masuk ke dalam rumah kayu kecil, meninggalkan Reinhard sendirian dengan pikirannya yang kian penasaran. Beberapa saat kemudian, gemuruh badai semakin keras dan air mulai turun deras dari langit. Reinhard cepat-cepat masuk ke dalam sebuah rumah kayu di belakangnya. Meskipun rumah itu kecil, hanya cukup untuk menampung dua o
"Pintu ini telah berdiri di reruntuhan ini sejak zaman dahulu kala ketika aku masih menjadi salah satu penasihat di sebuah kekaisaran..." ujar pria tua yang dipenuhi misteri dengan suara seraknya yang bergetar. Jeremy menatap pria tua itu dengan pandangan curiga. Apa yang bisa diketahui oleh pria ini tentang kalung Chronos yang dia bawa? Jeremy merasakan adrenalin mengalir dalam dirinya, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. "Setelah bertahun-tahun menunggu akhirnya pemilik kalung Chronos muncul...." kata pria tua itu sambil batuk-batuk. Jeremy melangkah maju, memegang pedangnya dengan tegang, siap untuk bertarung jika perlu. Dia ingin tahu identitas pria ini dan alasan di balik pertemuannya yang tak terduga. "Silverblade.... kau adalah Keturunan paling tidak sopan yang pernah kutemui selama hidupku... hohohoho," kata kakek tua itu sambil tertawa dengan cemoohan. Jeremy mengerutkan keningnya, memperhatikan pria tua tersebut dengan waspada. Tanpa ragu, Jeremy melesat ke arah
Di ruangan yang sangat luas, dinding-dindingnya dipenuhi oleh lampu biru yang memancarkan cahaya misterius. Xander bersandar di dekat pintu, mencermati situasi dengan serius, sementara Reinhard beristirahat di ruangan sebelah, dan Jeremy duduk di bangku di sampingnya. "Sebelumnya, aku ingin meminta maaf karena menghina keluargamu. Aku tidak pernah membayangkan bahwa kau adalah seorang Silverblade," ujar Xander sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Dan lagi, tubuh ini penuh dengan energi, seperti masa muda yang kembali hadir," tambah Xander sambil memperhatikan pantulan wajahnya di lengan tangannya. Ia terlihat gembira dengan apa yang dilihatnya. "Woah!!! Aku sungguh tampan!" "Berisiklah kamu. Ini situasi yang sangat membingungkan... Tampaknya aku juga kembali ke masa muda," ujar Jeremy, merasa heran dengan keanehan yang terjadi. "Yah, jika aku mempersingkat cerita, ini adalah awal dari kebangkitan Kekaisaran Dragonheart..." ujar Xander sambil meninggalkan Jeremy dengan perasaan penas
"Lapor, Komandan Radin! Semua kapal sudah siap berlayar," lapor seorang prajurit dengan napas terengah-engah.Wanita gagah dengan armor warna putih yang tak tergoyahkan itu menjawab dengan nada tegas, "Lima kapal, ikuti aku!"Peperangan antara Kerajaan Chronoaris dan Chronovia tak terelakkan. Laser demi laser, ledakan demi ledakan, hujanilah daratan dan lautan dengan kehancuran. Chronoaris, yang kalah dalam pertempuran di laut, tidak menyerah begitu saja. Mereka menunggu dengan sabar, menjaga kapal-kapal mereka agar tetap berada dalam jangkauan musuh, hingga akhirnya saat yang tepat tiba, mereka muncul dari jalur rahasia yang telah mereka persiapkan."Tuan Henrick, posisi kita sedang terisolasi oleh musuh," lapor seorang prajurit dengan ketegangan.Henrick, pria yang tenang namun penuh karisma, menjawab dengan keyakinan, "Kalian tidak perlu khawatir. Aku punya rencana hebat yang membutuhkan sedikit pengorbanan."Tanpa membuang waktu, Henrick menyusuri lorong gelap yang mengarah ke jal