Angin dingin berembus tajam di sepanjang tebing saat helikopter itu bergetar hebat, suara mesin merintih seakan mengisyaratkan adanya bahaya. Jendral Aryan, pemimpin pasukan yang dikenal luas, berpegang pada kursi, menatap ke luar jendela.
Di bawah sana, hutan lebat membentang, sementara berlayar angkasa cerah menjadi latar yang kontras dengan gelapnya presisi tugas yang dipikul di atas pundaknya. "Jendral! Kita harus segera kembali ke pangkalan!" teriak Sersan Rudi melalui interkom, suaranya fatal diselingi bunyi bergetar. "Kita tidak bisa mundur sekarang, Rudi! Misi ini adalah kunci untuk menghentikan serangan balik musuh!" jawab Aryan, suaranya tegas meski jantungnya mulai berdebar kencang. Tiba-tiba, mesin helikopter menggempur dalam getaran yang semakin ganas, dan Aryan merasakan kesedihan yang aneh saat melihat angka-angka layar instrumen berkelip kacau. Jarum penunjuk merujuk pada angka merah. "Jendral! Kita dalam masalah besar! Kita harus—" Rudi belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika helikopter itu terjun bebas. Aryan hanya sempat menarik napas sebelum semuanya menjadi gelap. --- Saat mata kembali dibuka, Aryan terbangun, tersesat dalam kepingan-kepingan memori. Dia berbaring di bibir sungai, air dingin menyentuh kulitnya. Dengan sisa-sisa tenaga, ia berusaha bangkit. Matahari menyinari wajahnya, dan saat dia memeriksa lingkungan sekitarnya, ingatan tentang helikopter dan pasukannya menyelimuti hatinya dengan kekosongan. "Dari mana aku?" gumamnya, suara teredam oleh suara gemuruh air tak jauh di sampingnya. Aryan menjelajahi lebih dalam hingga mendapati dirinya dekat dengan sungai yang deras. Ia berdiri dengan goyah, kesakitan memenuhi tubuhnya seperti ribuan jarum yang menusuk. Tapi di mana mereka? Di mana pasukannya? Dia terdiam, menggelengkan kepala untuk mengusir kesedihan yang semakin menyesakkan. Mengapa semuanya terasa gelap? Ia mencoba melangkah, namun kakinya terjerembab ke arah sungai. Dia terjatuh ke dalam arus yang kuat, air dingin langsung membawa tubuh besarnya. Namun Aryan berjuang untuk tetap di permukaan. "Sersan Rudi!" teriaknya, namun suaranya hanya teredam oleh air. Dia melawan arus, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tepi. Namun, semakin dia berjuang, semakin sulit untuk bernapas. Di satu titik, Aryan merasa putus asa. Mengapa semuanya menjadi seperti ini? Di saat nyawanya hampir lenyap, bayangan hitam mulai menyelubungi penglihatannya. Ia merasakan tubuhnya semakin lemah hingga akhirnya dikuasai gelapnya. --- Ketika Aryan kembali sadar, dia tergeletak di tanah basah, dikelilingi oleh hutan lebat dan bunyi suara burung yang riuh. Pelan-pelan, ingatannya mulai kembali, namun bayangan itu tak kunjung datang. Hanya terperosok dalam pikiran yang tidak berujung. "Apa yang terjadi padaku?" tanyanya dalam hati, meraba kepalanya yang terasa berat. "Bangsat! Bangun lagi!" Seketika, suara gesekan daun dan ranting menarik perhatiannya. Beberapa pemburu lewat di dekatnya, melihat sosok besarnya terbaring. Mereka berbisik-bisik, tampak penasaran dan waspada. "Heh, kepalamu kemana, raksasa?" tanya seorang pemuda berkaos lusuh, dia menunjuk Aryan dengan tatapan sinis. "Jangan ganggu dia! Dia terlihat seperti orang yang kehilangan jalan!" sahut yang lain. Aryan melirik ke arah mereka, namun tidak mampu berbicara. Kata-kata yang bahkan paling dasar pun tak tersusun di dalam kepalanya. Dia hanya bisa menatap mereka dengan kebingungan. "Sepertinya kita harus membawanya ke desa," kata salah satu dari mereka. “Loh, siapa yang mau menerima dia di sana? Kamu? silahkan saja,” pemuda itu melanjutkan, dengan senyuman sinis. "Jangan seperti itu kawan. bagaimana pun dia manusia juga yang harus diselamatkan," jawab rekannya. Lantas mereka membawanya ke desa kecil di pinggiran hutan. Begitu tiba, Aryan merasakan tatapan penuh keingintahuan dari orang-orang desa. Dia bersandar pada dinding kayu sebuah rumah, keengganan tampak menyelip di antara mereka. Setelah beberapa kali dicokek dengan ejekan, Aryan mulai mengerti bahwa tidak ada yang bisa mengenalinya. "Kau ini dari mana? Kok pakaianmu seperti pakaian dinas seorang Jendral?" tanya seorang nenek yang penasaran dengan melihat lencana di baju Aryan. Dia berusaha menemukan suara dan menjelaskan, "Aku... aku tidak ingat. Aku... Jendral?" Orang-orang tersebut saling memandang, sebagian tertawa merendahkan. "Dari penampilanmu, mana mungkin? Kau malah terlihat seperti pengembara yang kehilangan jalan," celetuk pemuda tadi, menghujani kata-kata pahit. --- Dari hari ke hari, Aryan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di desa. Kini dia bekerja sebagai buruh bangunan. Tidak ada yang mempercayainya, bahkan di balik seragam lusuh yang menyamarkan identitasnya. Ia berinteraksi dengan para pekerja lain, tetapi setiap kali dia mencoba menjelaskan siapa dirinya, senyuman dan tawa tak henti-hentinya berderai. "Jendral bilang apa, ya?" ejek salah satu dari mereka sambil mencemooh. "Apa kau juga masih yakin dirimu bukan hanya semut?" Waktu berlalu, namun ingatan tentang pasukannya semakin pudar, tenggelam dalam kesedihan dan ejekan. Aryan hanya bisa berharap akan hari di mana hidupnya akan kembali normal. Seperti yang dia ketahui di pepatah, "Waktu akan menyembuhkan." Namun dalam hatinya, dia merindukan pengakuan pangkat dan kedudukan. Dia berharap bisa menemukan jalan pulang, tidak hanya kepada dirinya, namun juga kepada mereka yang mengandalkannya. "Siapa pun diriku. Aku tidak boleh menyerah," bisik Aryan kepada dirinya sendiri. "Suatu saat, kebenaran ini akan terungkap." Dan dengan tekad baru, Aryan melangkah melalui kehidupan barunya, berharap bahwa satu hari nanti, dia akan menemukan jawabannya. Dia tak tahu seberapa jauh perjalanan ini, namun dia merasa, dengan setiap langkah, dia semakin mendekat untuk menemukan kembali dirinya.Dengan napas yang masih terengah-engah dan jantung berdebar, Aryan mengarahkan pandangnya ke Clara. “Kita tidak bisa terus melarikan diri selamanya,” ujarnya, otaknya bekerja cepat. “Kita harus menemukan Yoshua, dan kita harus melakukannya sekarang. Jika Zareth berhasil menemukan kita lagi, maka kita tidak akan memiliki kesempatan untuk melawan.”Clara mengangguk, mengerti akan kepanikan yang mendasari keputusan Aryan. Mereka berdua baru saja keluar dari kegelapan, dan kembali terjerumus dalam rasa takut yang membayangi akan takdir orang yang mereka cintai. “Tapi, Aryan, kita tidak tahu di mana dia berada. Kita mungkin hanya akan lebih dekat ke Jari Zareth.”“Justru itu, Clara,” jawab Aryan tegas. “Semakin cepat kita bergerak, semakin cepat kita bisa menemukan dia. Dan jika kita menemukan Yoshua, dia akan membawa banyak pengetahuan dan pengalaman yang bisa membantu kita menghentikan Zareth.”Clara merasa ada kebenaran dalam kata-kata Aryan, tetapi rasa takut akan keselamatan mereka te
Cahaya yang berkedip di kejauhan semakin jelas seiring langkah Clara dan Yoshua yang semakin mendekat, menciptakan harapan dalam kegelapan yang mencekam. Setiap langkah bergetar penuh ketegangan, diiringi dengan detakan jantung yang terengah-engah. Clara merasakan keberanian mengalir di dalam dirinya, meskipun ketakutan akan nasib Aryan terus menghantuinya. “Cahaya itu tampaknya berasal dari tengah laut,” kata Yoshua sambil melangkah perlahan, mengamati ombak yang bergejolak. “Apakah kau yakin kita harus pergi ke sana, Clara?” “Aku harus tahu. Jika Aryan ada di sana…” Clara menggigit bibirnya, menahan emosi yang menghantui. “Kita tidak bisa membiarkannya sendirian.” Mereka berdua akhirnya tiba di tepi air. Cahaya itu tampak bergerak, menari di atas permukaan laut yang gelap. Clara merasakan denyut kesadaran di dalamnya, seolah cahaya itu menyampaikan pesan, sesuatu yang mendesak untuk ditangkap. Mereka menatap ke laut, berharap untuk melihat lebih dekat. Hampir tidak ada suara
Dunia berputar liar, seolah alam semesta sedang bergejolak dalam pusaran emosi Aryan yang tak terkendali. Di saat ia berusaha mencengkram. Seorang anak buah Zareth' tiba-tiba melepaskan tembakan, membuat cengkeramannya pada helikopter terlepas. Zareth' tersenyum puas menyaksikan. Aryan merasakan sensasi jatuh bebas yang memilukan, sensasi yang mengancam untuk merenggut nafasnya. Tawa Zareth yang terbahak-bahak. Kini hanya menjadi gema samar, hilang tertelan deru angin dan hempasan ombak. Tubuh Aryan menghantam permukaan air, dingin dan gelap, sebuah benturan keras yang merenggut kesadarannya. Air laut yang dingin menerjang, memaksa paru-parunya untuk berkontraksi. Dunia di sekelilingnya berubah menjadi kegelapan pekat, terisi oleh suara gemuruh air dan detak jantungnya yang menggila. Ia berjuang, berupaya untuk membuka mata, tetapi kegelapan terus memburunya, seperti bayang-bayang yang enggan melepaskannya. Otot-ototnya menegang, tubuhnya meronta dalam usaha sia-sia untuk naik ke
Udara malam yang begitu pekat, sarat dengan aroma garam dan misteri. Di bawah langit yang bertabur bintang, di antara gemuruh ombak yang tak pernah lelah, Aryan dan Clara tiba di pantai terpencil yang telah menjadi lokasi pertemuan mereka. Malam tanpa bulan, hanya sedikit cahaya dari bintang yang menembus kegelapan, menciptakan suasana yang mencekam. "Ini pasti jebakan," gumam Clara, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru ombak. Ia memandang sekeliling dengan waspada, matanya menelusuri kegelapan, mencari tanda-tanda kehadiran musuh. Aryan mengangguk, meskipun hatinya juga diliputi keraguan. Namun, ia harus mengambil risiko ini. Yoshua, ayahnya, berada dalam bahaya. Ia tidak punya pilihan lain. "Mungkin memang jebakan," jawab Aryan. "Tapi kita harus tetap waspada." Mereka berdiri di tepi pantai, menunggu dengan sabar. Jantung mereka berdebar-debar, dipenuhi campuran harapan dan ketakutan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detik terasa seperti menit. Tiba-tiba, di
"Tidak mungkin! Mereka melarikan diri!" teriak Aryan, matanya menyapu sekeliling dengan marah. Udara dipenuhi dengan asap dan debu, sisa-sisa kehancuran yang ditinggalkan oleh kemarahannya. Clara, yang masih dalam pelukan Aryan, melepaskan dirinya. Ia menatap Aryan dengan tatapan khawatir. "Tenang, Aryan. Mereka akan mendapatkan balasan." Aryan mengangguk, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa amarah dan frustrasi masih membara di dalam dirinya. Ia tidak akan membiarkan Zareth dan Liana lolos begitu saja. Desir angin menerpa wajah Aryan dan Clara, membelai rambut mereka saat mereka berdiri di dermaga yang hancur. Matahari senja mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu, menciptakan pemandangan yang indah namun menyimpan rasa getir. Zareth dan Liana, bersama sisa-sisa pasukannya, telah lenyap. Jejak mereka hilang seperti buih di lautan. "Sialan," gumam Aryan, suaranya sarat kekecewaan. Ia mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan yang baru saja ia kendalikan mulai merayap k
Ancaman Liana bagaikan bara api yang membakar amarah Aryan. Mendengar kata-kata pengkhianatan itu, hatinya hancur berkeping-keping. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena luka fisik, tetapi karena luka batin yang lebih dalam. Pengkhianatan Liana adalah pukulan yang tak terduga, menikam lebih dalam daripada pedang. "Kau… kau akan menyesal!" teriak Aryan, suaranya dipenuhi kemarahan yang meledak. Matanya berkilat, dan di saat itu, sesuatu dalam dirinya berubah. Sesuatu yang telah lama terpendam, kekuatan yang selama ini hanya ia gunakan untuk membela diri, kini bangkit dengan dahsyat. Ia bukan lagi hanya seorang pemuda dengan perisai energi. Ia adalah seorang prajurit, seorang pejuang yang telah memenangkan ribuan pertempuran, seorang mesin pembunuh yang dilatih untuk menghancurkan. Kemarahan Aryan mengamuk seperti badai. Ia melupakan luka-lukanya, melupakan rasa sakitnya. Ia melupakan segalanya kecuali satu tujuan, membalas dendam atas kebiadaban terhadap manusia yang tak
Saat tangan Aryan terangkat, bersiap untuk menghukum Zareth, suara yang begitu dikenalnya memecah keheningan yang mencekam."Hentikan!"Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri di ambang lorong. Liana. Wanita yang pernah menjadi sekutu mereka, yang pernah berbagi senyum dan harapan, kini berdiri di sana, dengan mata yang dingin dan benci. Ia mengenakan seragam hitam para pengawal Zareth, sebuah pengkhianatan yang menikam Aryan lebih tajam daripada pedang.Wajah Aryan membeku. "Liana?"Liana melangkah maju, dengan gerakan yang anggun namun penuh ancaman. "Kau tidak bisa mengalahkannya, Aryan. Kau tidak mengerti kekuatan yang ia miliki.""Kekuatan yang telah menghancurkan begitu banyak kebahagiaan?" balas Aryan, matanya tak lepas dari Liana. Liana menggelengkan kepalanya. "Kau terlalu naif. Zareth menawarkan kedamaian. Ia menawarkan stabilitas. Kau hanya melihat kekacauan.""Kedamaian?" Aryan tertawa getir. "Ia menawarkan kekuasaan atas mayat-mayat korbannya!"Liana menghela napas, t
Saat suara Zareth menggema di lorong, getaran amarah dan tekad mengeras di jiwa Aryan. Ia memandang ayahnya, Yoshua, yang tampak lemah namun matanya memancarkan keberanian. "Ayah, jaga dirimu," kata Aryan, suaranya tenang namun tegas. Yoshua mengangguk, lalu mundur selangkah, mencari perlindungan di balik bayangan. Zareth tersenyum sinis, matanya menyiratkan arogansi. "Kau pikir kau bisa mengalahkanku, anak bodoh?" "Aku akan menghentikanmu," balas Aryan, merentangkan tangannya. Perisai energi berwarna perak mulai terbentuk di sekelilingnya, memancarkan cahaya yang menyilaukan. Zareth tertawa. "Mari kita lihat seberapa kuat perisaimu itu." Pertarungan dimulai dengan cepat dan brutal. Para pengawal Zareth menyerbu dengan senjata mereka, namun Aryan dengan lincah bergerak, memanfaatkan perisai energinya untuk menangkis serangan. Ledakan energi menghantam para pengawal, melontarkan mereka ke belakang. Di tengah kekacauan itu, Zareth melangkah maju. Ia bergerak secepat kilat, berusa
Udara dingin dan lembap di lorong rahasia menusuk hingga ke tulang. Langkah Aryan dan Clara terhenti saat mereka melihat ruangan di ujung lorong, sebuah sel rahasia. Di dalam, seorang pria meringkuk, terikat rantai besi. Cahaya redup dari obor yang dipasang di dinding hanya mampu menerangi sebagian ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari-nari."Siapa... siapa dia?" gumam Clara, suaranya berbisik.Aryan terdiam, jantungnya berdebar tak karuan. Ada sesuatu yang familiar dari sosok pria itu, sebuah bayangan ingatan yang samar namun kuat. Perlahan, ia mendekat, matanya berusaha menembus kegelapan.Saat ia semakin dekat, keraguan itu sirna. Wajah yang dulu ia kenal, kini dipenuhi luka dan bekas siksaan, namun tetap tak dapat disangkal."Ayah...?" gumam Aryan, suaranya bergetar.Pria itu mengangkat kepalanya, matanya yang sayu menatap ke arahnya. Sebersit harapan muncul di matanya, lalu berubah menjadi rasa bersalah yang mendalam."Aryan...?" Yoshua, ayah Aryan, menjawab dengan s