Jiali terus berlari, sekuat tenaga, meskipun kakinya terasa lemas dan gaunnya semakin membebani langkahnya. Setiap suara di hutan menjadi semakin mengerikan—ranting patah, daun bergesekan, dan napasnya yang terengah-engah seolah menjadi bagian dari kegelapan itu. Ia merasakan ada sesuatu yang mengikuti, mendekat, semakin dekat.Instingnya semakin tajam, dan tanpa disadari, ia berlari lebih cepat, menembus kegelapan dengan tubuh yang hampir terjatuh. Di tengah kebingungannya, pikirannya terus berputar. Wajah Yuwen adalah yang pertama kali tergambar dalam benaknya. Suara langkah berat terdengar semakin jelas.. Dada Jiali sesak, napasnya terputus-putus. Matanya terus melirik ke belakang, tetapi tidak bisa melihat jelas apa yang mengejarnya. Hanya bayangan besar yang bergerak cepat, semakin mendekat, dan semakin menekan rasa takutnya.Tiba-tiba, ada sebuah suara rendah mengerikan yang terdengar tepat sangat dekat di belakangnya. Sesuatu yang besar, seperti hewan buas. Terdengar mencakar
Setibanya di kamar, Yuwen membuka pintu dengan kakinya. Xiumei dan Yu Yong menyambut dengan cemas. Yuwen membaringkan Jiali di atas pembaringan.Yuwen coba mengatur deru napasnya sementara matanya terus mengamati wajah pucat Jiali. Dahi Jiali tampak memar dengan bekas darah kering yang tampak jelas. Noda darah di pakaiannya yang robek membuat Yuwen mengepalkan tangan. "Yu Yong!" Yuwen memanggil dengan nada mendesak. “segera panggil Wang Sanlao!”"Baik, Yang Mulia,” jawab Yu Yong yang segera berlari keluar.Yuwen kembali menatap Jiali. Tangannya dengan lembut menyelipkan rambut yang berantakan dari wajah Jiali.Tangisan Xiumei membuat Yuwen menoleh. “Xiumei, cepat bawakan pakaian untuk Jiali.”Xiumei menyeka air matanya. “Baik, Yang Mulia.”Beberapa saat kemudian, Wang Sanlao tiba, membawa kotak obatnya. Ia melangkah dengan cepat ke arah Yuwen dan langsung memeriksa Jiali tanpa banyak berkata-kata.Yuwen berdiri di sisi tempat tidur, memperhatikan setiap gerakan tabib itu. "Bagaimana
Kaki Yuwen melangkah mantap menuju taman utama, melewati paviliun utama dan paviliun Jiali. Di tengah perjalanan, ia berhenti sejenak dan duduk di bangku panjang gajebo berubin hijau, atap merahnya membingkai langit biru yang cerah. Di bawahnya, kolam tenang lotus membentang. Aroma bunga yang menyegarkan itu, bahkan tak mampu mengusir pikirannya. Ucapan Jiali yang didengarnya terus terngiang di telinga.Aku tidak menginginkan pernikahan ini karena bagaimanapun Yuwen adalah adik dari Kakak Yunqin, aku yakin kalau aku akan menyusahkan semuanya.Yuwen menarik napas panjang. Berbagai pertanyaan menghampirinya dan yang paling mengganggu adalah satu pertanyaan. Apakah Jiali akan menerima pernikahan mereka bila Yuwen bukanlah adik Yunqin?Ia tahu betul bahwa Jiali juga bukanlah pilihan yang diinginkannya, tetapi mengapa hati ini terasa nyeri? Perjodohan ini adalah keputusan yang diambil semata-mata karena perintah Kaisar, bukan keinginannya. Tak ada emosi yang melibatkan hati, hanya kewajib
Setelah Lu Nan pergi, Yuwen tetap berdiri di sana, matanya terfokus pada tempat kosong yang ditinggalkan oleh bupati itu. Tak lama setelahnya, ia mendorong cawan yang ada di meja dengan ujung jarinya. Cawan itu terguling, jatuh ke lantai dan pecah. Suara pecahnya porselen itu mengisi ruang taman yang sunyi.Ia tahu, kondisi dirinya sama dengan Lu Nan. Setiap gerakannya diawasi. Bahkan, sekarang tak hanya oleh Wei Junsu, tetapi juga oleh Yunqin. Semua langkahnya harus penuh perhitungan. Bila sedikit saja ada kesalahan, maka setiap keputusan yang ia buat, setiap kata yang diucapkan, pasti akan berbalik menekan dirinya.Pandangan matanya tanpa sengaja tertuju pada paviliun Jiali. Entah kebetulan atau Dewa sengaja merancangnya. Mata Jiali juga balas menatapnya dari jauh. Sejak kejadian kemarin, Jiali memang sudah kembali ke paviliunnya dan, mereka belum bertemu. Jiali tampak tersenyum ceria sembari melambaikan tangan lalu keluar dari paviliunnya.“Yang Mulia, Tuan Lu Nan sudah meninggalka
Udara malam diselimuti angin dingin yang menggigit tengkuk. Sesekali Hui Fen mengusapnya lantas menoleh ke kiri dan kanan. Cemas kalau ada yang mencuri dengar, terutama Yuwen.Dari kejauhan, pertemuan kali ini memang lebih mirip perbincangan minum teh di gazebo dekat danau bagian belakang karesidenan. Sekilas, seharusnya tidak ada yang curiga.Chu Hua duduk di tengah gazebo. Jubah satin warna merah muda serta perhiasan yang mencolok menegaskan posisinya sebagai selir pertama. Selir lain mendengarkan tiap ucapannya dengan serius, mengakui kalau opini Chu Hua memang benar. “Keterlaluan! Aku yakin dia tahu aturannya! Melarikan diri jelas adalah satu penghinaan! Kekaisaran bisa menghukum kita semua!” tegas Chu Hua menatap tiap-tiap wajah.“Benar sekali. Bagaimana mungkin seorang istri sah bisa begitu tidak tahu aturan? Kalau dia tidak dihukum, apa kata dunia?” timpal Chun Dong Hua penuh semangat.“Kita harus meminta Yang Mulia segera ambil tindakan!” Dong Dai Lu diam sejenak. Matanya men
“Nyonya! Nyonya!”Jiali yang sedang duduk termenung mengamati pucuk-pucuk pohon di pelataran paviliun tersentak kaget. “Ada apa?” Melihat wajah Xiumei panik dan matanya merah menahan air mata, Jiali mendekati Xiumei. “Ada apa? Kamu menangis?”“Nyonya,” Xiumei menyeka air mata yang lolos. “Tuan Lao Fu ….”“Lao Fu? Ada apa dengan kepala pelayan itu? Bicaralah yang benar!”“Dia memintaku membantu Yang Mulia mandi,” jawab Xiumei yang akhirnya tidak bisa menahan air matanya.“A-apa?” Jiali bangkit lalu mencengkeram kedua bahu Xiumei. “Coba katakan lagi! Apa maksudnya? Jangan mengigau!”Xiumei mengangguk. “Selir, Selir Chu Hua menolak melakukannya dan Yang Mulia meminta Tuan Yu Yong mengatakan pada Tuan Lao Fu kalau hamba yang diminta membantu Yang Mulia mandi,” jelas Xiumei, “hamba … hamba tidak bisa menolak, tapi Nyonya, ini … ini ….”Jiali melepaskan cengkeramannya lalu tergesa berjalan menuju paviliun Yuwen.“Cih, seharusnya dia bisa mandi dan berpakaian sendiri! Aku tidak bisa membia
Jiali memejamkan mata, menahan napas sampai tiba-tiba dekapan di pinggangnya terasa melonggar. Ketika akhirnya terdengar riak air, ia tahu Yuwen telah keluar dari kolam. "Pergilah, aku sudah selesai." Jiali membuka mata, punggung Yuwen semakin menjauh. Jiali menggigit bibirnya gemas. Ada hal yang tidak ia mengerti. Mengapa rasanya seperti diabaikan? Tersaruk-saruk dengan pakaian basah, Jiali berusaha mengejar Yuwen. Suaminya itu tampak meraih jubahnya. "Tunggu!" cegat Jiali. Yuwen berbalik, dahinya mengerut. Bingung mengapa Jiali malah mengejarnya. "Pergilah." "Kau tidak bisa mengusirku begitu saja!" tegas Jiali. Dengan cermat Yuwen menatap Jiali dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pakaian merah muda yang Jiali kenakan tampak semakin transparan karena basah. Perasaan aneh itu kembali datang. Yuwen tidak mau hanyut di dalamnya. Yuwen melepaskan jubah lantas menyampirkannya di bahu Jiali. "Ganti pakaianmu." Jiali terdiam sesaat sebelum melepaskan jubah Yuwen lalu membuangnya.
“Apa Jiali kembali ke paviliunnya?”Yu Yong diam sejenak sebelum akhirnya bersuara. “Hamba belum memeriksa, tapi sepertinya begitu, Yang Mulia.”“Minta Xiumei membawakannya teh herbal.”"Baik.” Ada jeda sebentar sebelum Yu Yong melanjutkan. “Hamba mendengar banyak saudagar dirampok ketika mereka melintasi pegunungan. Sebagian dari mereka melaporkan kejadian ke kantor bupati.”“Apa Lu Nan sudah melaporkan kejadian ini ke istana?”“Hamba belum mendapatkan informasi tentang itu.”"Jangan gegabah. Wilayah istana hanya sampai dinding perbatasan. Para saudagar itu pun seharusnya tahu kita tidak bertanggung jawab atas keselamatan mereka di luar tembok perbatasan.""Baik Yang Mulia.""Aku akan mengirimkan surat pada Kaisar Sun Hua. Bandit-bandit di wilayah mereka mulai meresahkan. Tetap pasang matamu di sekitar Bupati Lu Nan. Aku mendengar kalau anak menantunya adalah saudagar yang sering bepergian ke Zijian.""Baik Yang Mulia.""Soal bubuk racun itu, kita harus mencari tahu darimana Chu Hua
Aula utama istana dipenuhi ketegangan yang begitu pekat hingga suara napas pun terdengar seperti dentuman. Lentera-lentera diganti dengan pelita bersumbu lebar, memancarkan cahaya kekuningan yang menyorot pilar-pilar batu hingga menimbulkan bayangan panjang yang menari di dinding. Para pejabat berpakaian resmi berdiri di sisi aula, sementara beberapa pengawal berdiri siaga di tiap pintu masuk. Ketegangan dimiliki setiap wajah, tanpa terkecuali.Kaisar Tao pun telah duduk di singgasana. Di bawah sorotan lampu, sorot matanya tajam seperti pedang yang sudah diasah. Ia tak berkata apapun, hanya menatap satu per satu wajah tampak bersiaga bila dipanggil ke tengah aula.Qilan berdiri paling dekat dengan panggung utama. Jubah birunya kini berganti dengan pakaian kasual sutra putih. Noda darah yang tersisa di sudut lengan kirinya sengaja tidak ia sembunyikan. Kepalanya tertunduk, tetapi semua orang tahu isyarat tubuh yang ditunjukkan Qilan tidak mengandung rasa takut.Di sisi lain, Yuwen ber
Suara denting lonceng pengiring kereta klan Mei mulai terdengar mendekat. Pelayan-pelayan berdiri berbaris di sepanjang jalan utama menuju aula penyambutan, lentera-lentera digantung tinggi. Pantulan cahayanya tampak berkilau di permukaan batu dan logam.Permaisuri Agung telah berdiri di ujung tangga utama. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya memperhatikan tiap-tiap wajah di sekitarnya.Di sisi kirinya berdiri Sun Li Wei, sang menantu mengenakan jubah hijau zamrud dengan perhiasan juga mahkota di kepala. Sementara di sisi kanan, sedikit lebih jauh, berdiri Jiali—istri sah Yuwen, wajahnya menyiratkan keteguhan sekaligus ketegangan.Yuwen berdiri setengah langkah di belakang Permaisuri Agung. Mengenakan pakaian kebesaran resmi berwarna gelap, dengan bordir naga hitam di ujung lengan yang selaras dengan Jiali. Sikapnya tetap tenang, nyaris beku, tetapi tatapannya sesekali melirik ke arah Jiali.Kereta utama berhenti tepat di depan tangga. Tirai disibak pelan, dan dari dalam keluar seo
“Sungguh? Aku menyebutnya begitu?” Xiumei mengangguk, “Apa … dia marah?” Kali ini Xiumei tidak berkomentar bahkan tidak memberikan reaksi apa-apa. Jiali mendesah, terdiam sesaat lalu melipat lengan di atas dada. “Ah, sudahlah, dia memang bedebah sialan. Seharusnya dia minta maaf padaku atau setidaknya menjelaskan tentang alasannya dia tidak mau membatalkan pernikahannya dengan Qilan. Xiumei, apa kau sudah mencari tahu siapa Mei Qilan?” Xiumei mengangguk kecil. Tangannya bergerak ke sisi pinggang, menarik selembar catatan kecil yang terselip rapi di balik ikat kainnya. Ia membukanya perlahan dan mulai membaca dengan suara pelan, tetapi jelas. "Mei Qilan. Putri dari Klan Meiyang. Klan tua yang dulu dikenal sebagai pelindung utara kekaisaran. Dia adalah perempuan pertama yang diizinkan mengikuti pelatihan militer penuh di keluarga itu, tapi juga yang pertama diusir." Jiali mengangkat dagunya sedikit. "Kenapa?" "Karena dia membentuk kelompok sendiri tanpa izin. Pasukan yang tidak tun
“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
Qiongshing tiba kamar Kaisar, tapi di ambang pintu langkahnya tertahan karena matanya menangkap sosok lain selain sang Kaisar.Permaisuri Wei Junsu tengah duduk anggun di sisi tempat tidur, menatap tabib yang sedang meracik ramuan di mangkuk porselen. Kaisar sendiri bersandar lemah di bantal, wajahnya pucat, dahi sedikit basah oleh peluh.Qiongshing berdiri diam. Belum sempat ia mengucapkan salam atau pertanyaan apapun, suara serak Kaisar memecah keheningan.“Aku tidak apa-apa,” ucapnya pelan, seolah memahami apa yang terlintas di benak Qiongshing. “hanya sedikit pusing.”Qiongshing menunduk sopan, tetapi matanya tak lepas dari Permaisuri Junsu. Ia segera memalingkan wajah dan hendak mundur keluar ruangan, tak ingin terlihat lancang atau menyela kebersamaan pasangan utama istana.Namun, sebelum ia bisa berbalik sepenuhnya, suara Junsu terdengar, tenang, tetapi penuh selidik.“Kedatanganmu pasti membawa kabar penting, bukan begitu, Qiongshing?” ucapnya dengan senyum tipis. “terlebih, k
"Nyonya, tadi pagi Tuan Gu Yu Yong datang,” ungkap Xiumei hati-hati sembari menyisir pelan rambut Jiali. Xiumei terdiam menunggu Jiali berkomentar lalu meletakkan sisir giok di meja. “Nyonya, katanya ... Yang Mulia Kaisar memerintahkan Yang Mulia kembali ke istana untuk persiapan pernikahan,” lanjut Xiumei ragu.Tetap tidak ada reaksi dari Jiali.Xiumei menelan ludah, lalu melanjutkan, “Tuan Gu juga bilang, kalau Nyona tak ingin ikut ... itu tidak apa. Yang Mulia tidak memaksa.”Diam. Hening yang menggantung seolah membuat waktu terhenti.Xiumei mulai panik dalam hati. Ia takut Jiali akan meledak, meneriaki, memecahkan cermin, atau kembali menghilang seperti sebelumnya. Namun, Jiali hanya menoleh perlahan, menatap Xiumei dalam-dalam.“Bersiaplah,” ucapnya mantap. “Aku akan ikut tinggal di istana. Aku akan menemui ayah untuk berpamitan.”Xiumei menegang. Tangannya refleks meremas sisi jubahnya sendiri. Entah mengapa Xiumei berharap Nyonya-nya itu berteriak, menangis, membalikkan meja
Langit belum sepenuhnya gelap ketika Yuwen kembali ke kediaman keluarga Han. Jejak langkahnya terlihat cepat, seolah berharap dirinya sampai sebelum semuanya terlambat.Begitu melewati lorong panjang menuju kamar Jiali, pandangannya langsung tertarik pada sosok di kejauhan. Istrinya tampak duduk sendiri di dalam gajebo yang terletak di tengah taman kecil, dikelilingi semak dan pohon-pohon muda yang sedang merekah. Bahunya merunduk, dan dari tempatnya berdiri, Yuwen bisa melihat betapa kosongnya sorot mata Jiali. Ia tidak pernah melihat Jiali seperti itu sebelumnya. Yuwen hendak kembali melangkah, tetapi lengannya ditarik oleh seseorang. Yuwen menoleh.“Jangan dekati dia dulu,” ujar Dunrui.Ayah mertuanya berdiri di sisinya, pandangannya lurus ke arah gajebo. Di belakangnya, Xiumei berdiri menunduk, membawa baki berisi mangkuk kecil dan semangkuk bubur hangat yang mulai kehilangan uap.“Dia baru kembali tadi sore. Tak bilang apa-apa soal ke mana perginya,” lanjut Dunrui pelan, sepert
“Yang Mulia, kamar sudah disiapkan. Yang Mulia sudah bisa beristirahat,” ujar Yu Yong yang muncul dari arah selatan kediaman Keluarga Han.Yuwen tidak menjawab, hanya mengangkat dagu ke arah kursi kosong di depannya. “Duduklah. Temani aku minum.”Tanpa banyak tanya, Yu Yong duduk. Yuwen mengambil cawan kosong dan menuangkannya penuh, lalu dengan tenang mengisi cawan miliknya yang nyaris kering.“Katanya malam ini, aku tidak memiliki Istri,” lanjut Yuwen sambil menatap permukaan arak.“Yang Mulia, hamba dengar dari Xiumei, Nyonya menyukai—”“Sebaiknya kau tidak menikah,” potong Yuwen memutar cawan di jemari lantas meneguk isinya hingga tak bersisa.“Mohon ampun Yang Mulia, tapi hba rasa sepertinya lebih baik Yang Mulia mulai membujuk nyonya,” sarannya.Yuwen memiringkan kepala, menatap Yu Yong dengan mata setengah menyipit lalu tertawa pelan. “Aku? Membujuknya?”Yu Yong terdiam. Belakangan ini, Yu Yong lega karena sepertinya Yuwen mulai membuka diri. Meskipun Yuwen masih mencurigai Jia
Semua orang waspada ketika sosok berpakaian hitam melompat turun dari plafon lalu mendarat tanpa suara di depan mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng kain hitam yang hanya menyisakan sorot matanya saja.Yu Yong langsung melangkah maju. Pedangnya dicabut ketika lelaki bertopeng itu mengangkat tangan lantas melepas penutup wajahnya.Topeng hitam itu jatuh ke lantai. Semua terdiam.Jiali membeku seolah seluruh dunia berhenti berputar.“Yuwen?” bisiknya nyaris tak terdengar.Mata mereka bertemu. Tak ada senyum dan tentu saja akan ada yang menuntut penjelasan pada akhirnya. Yuwen menyapu pandangannya ke seluruh ruangan sebelum berhenti pada Qilan sementara Qilan maju mendekat lantas tersenyum. “Baiklah, aku rasa semua sudah lengkap. Jadi, mari ikut aku.”Mei Qilan berbalik pergi meninggalkan keheningan canggung. Tak seorang pun bergerak, hingga akhirnya Yuwen mendahului langkah, menyusulnya tanpa berkata sepatah kata pun.Jiali menatap punggung suaminya yang menjauh, dadanya sesak