Rasa hangat dari sinar matahari yang masuk melalui celah-celah kisi jendela, membentuk garis-garis di permukaan lantai kayu.Sejak lama Yuwen menatap sebuah berwarna kuning gading, tebal dan halus yang di bagian tengahnya telah tersegel merah cap resmi miliknya.Tangannya menggenggam sisi meja, tetapi matanya tertuju pada segel itu. Sebuah keputusan sudah bulat diambil.Langkah kaki terdengar mendekat dari luar.“Yang Mulia,” suara Yu Yong terdengar dari balik pintu. “Tuan Han Dunrui datang. Beliau mohon izin untuk bertemu.”Yuwen tidak langsung menjawab. Matanya masih belum beranjak dari amplop itu. “Izinkan masuk.”“Baik, Yang Mulia.”Yuwen menarik napas dalam kemudian meraih amplop itu, memandangi segel merah yang telah ia tekan sendiri. Tanpa paksaan siapapun dan dalam kondisi sadar.Tangannya kemudian bergerak ke samping, membuka sebuah laci kayu yang tersembunyi di bawah meja. Suara engsel berderit pelan, disusul suara amplop yang diletakkan dengan hati-hati.Laci ditutup kembal
Malam sudah turun penuh ketika Lien Hua sampai di paviliun Yuwen. Langkahnya sempat melambat ketika mendengar suara samar dari teras belakang.Cahaya lentera temaram menyorot dua sosok di sana. Yuwen duduk di anak tangga kayu, tubuhnya condong ke depan, satu tangan memegang kendi arak besar yang sudah tinggal setengah. Di sampingnya, Yu Yong duduk bersila tanpa bicara, wajahnya waspada dan bingung.“Gege.”Suara Lien Hua terdengar ragu, tetapi cukup kuat untuk menghentikan tangan Yuwen yang baru saja hendak mengangkat kendi lagi.Yuwen menoleh setengah, tetapi tidak menjawab.Lien Hua berjalan mendekat. Sampai di dekat tangga, ia berhenti, menggenggam erat sesuatu di tangannya.“Aku bertemu dengan kakak ipar di lorong. Dia benar-benar pergi. Meski aku memohon, dia tetap pergi,” katanya pelan.Yuwen tidak bergerak. Hanya napasnya yang terdengar berat. Ia kembali meneguk arak dalam kendinya.“Gege, kenapa kau membiarkannya pergi?” bisik Lien Hua. Yu Yong yang dari tadi diam hanya mena
“Kalau nanti Kakak Ipar Yuwen datang, dia akan salah paham,” gumam Zili pelan yang duduk setengah gelisah di bangku marmer berukir itu. Sinar dari lampu menambah suram raut majahnya.Jiali, yang duduk di seberangnya berusaha tenang. Ia menyandarkan punggung pada sandaran bangku. “Jangan gugup, rencana ini pasti berhasil.”“Lalu bagaimana kalau Kakak Ipar tidak datang?” tanya Zili pelan. Sampai detik ini pun ia masih berpikir kalau ini adalah ide buruk.“Dia akan datang. Xiumei pasti menjalankan bagiannya dengan baik,” lanjut Jiali sambil meluruskan lipatan gaunnya. Zili baru hendak membuka mulut untuk menyuarakan keraguannya, atau meminta Jiali untuk berpikir ulang, tetapi ketika matanya tertumbuk pada sosok tinggi di ujung lorong, berdiri tegap dalam bayangan malam Zili refleks berdiri.“Kakak ipar datang.” bisik Zili.Refleks Jiali ikut berdiri. “Cepat,” bisiknya ke Zili sambil meraih tangan pria itu dan menempelkannya ke pinggangnya. “Pegang pinggangku.”Zili hendak menarik tanga
Malam turun dengan angin yang membawa aroma daun pinus juga bara arang dari dapur jauh di ujung paviliun.Di kamar utama, Jiali duduk di sisi ranjang, masih mengenakan jubah tidurnya yang lembut warna krem. Xiumei masuk dengan membawa wadah anyaman bambu yang dihias dengan pita. Aroma manis memenuhi ruangan ketika Xiumei membuka tutupnya. Xiumei menunduk, berbisik, “Tuan Yang menitipkan ini, Nyonya. Katanya dia ingat bahwa Nyonya menyukai kue seperti ini waktu di Guan. Pengrajin lama dari utara yang membuatnya. Beliau pesan khusus.”Jiali mengangguk, matanya berbinar samar. “Terima kasih, Xiumei. Letakkan saja di sini.”“Baik, Nyonya.”Tak lama setelah Xiumei mundur, Yuwen masuk. Wajahnya terlihat lelah tampaknya berniat langsung beristirahat, tetapi langkahnya terhenti saat mencium aroma kue manis yang menggoda. “Apa itu?”“Kue beras,” jawab Jiali, dengan nada santai. Ia mengambil sepotong kecil dan menggigitnya pelan. “Isinya biji teratai. Tidak terlalu manis, tapi lembut.”Yuwen
“Kalau dia tidak sadar-sadar juga, maka kita yang harus menyadarkannya.”Ucapan Qiaofeng menggantung di udara kamar Qing An, disambut keheningan sejenak. Hanya suara kayu terbakar di perapian yang terdengar, pelan-pelan mengisi ruang.Qing An menghela napas, lalu menoleh pada ibunya, Selir Agung Shu Qiongshing, yang sedang duduk tenang di sisi tempat tidur. “Aku rasa ide ini tidak salah.”“Kalian mau menyadarkan dia? Bagaimana?” tanya Jiali akhirnya bersuara.Qiongshing tersenyum lembut, matanya penuh pengertian. “Yuwen harus diberi dorongan kecil,” komentarnya menyulut semangat Qiofeng.Qing Qiaofeng mencondongkan tubuh, suaranya bersemangat. “Makanya kami punya rencana.”“Rencana yang sedikit berisiko,” sambung Qing An.Saat itu pintu kamar diketuk pelan, dan pelayan masuk, memberi jalan bagi seseorang yang dikenal semua orang di ruangan itu.Yang Zili yang masuk sambil membawa kotak kayu kecil. “Maaf terlambat. Aku—”“Justru tepat waktu,” potong Qiaofeng, matanya bersinar jahil. “k
Ketika Yuwen melangkah tenang memasuki aula utama, langkah-langkahnya menggema lembut di lantai batu yang telah dibersihkan. Di tangannya ada sebuah kotak persembahan berbalut kain emas. Semua orang menoleh penasaran.Dengan hormat, Yuwen melangkah ke hadapan Kaisar Tao lalu menyerahkan kotak itu. Sang Kaisar mengerutkan dahi, menatap kotak tersebut sejenak sebelum menerima dan membukanya. Pandangannya langsung berubah dari bahagia hingga heran.“Ini?” tanya Kaisar, matanya kini menatap lurus ke arah Yuwen.Yuwen menundukkan kepala sedikit, suaranya mantap dan dingin. “Mei Qilan membatalkan pernikahan ini, Yang Mulia.”Ruangan langsung hening. Seolah seluruh udara diserap oleh pernyataan itu. Beberapa tamu saling berpandangan, beberapa lainnya menutup mulut mereka yang ternganga.Jiali yang mendengar itu hanya bisa membeku. Matanya menatap Yuwen, seakan tidak percaya. Tidak ada Qilan. Tidak ada pengantin perempuan. Dan sekarang, tidak ada pernikahan.Lien Hua menarik tangan Jiali hing
Jiali tidak menyangka kalau dirinya terbujuk rayu Lien Hua dan Qiaofeng untuk mau ikut dalam acara menyedihkan ini. Suasana aula utama ramai dan penuh semarak. Para pejabat, tetua keluarga, dan tamu kehormatan sudah duduk di tempatnya masing-masing. Genderang dan alat musik tradisional berhenti sesaat, menandakan upacara akan segera dimulai. Yuwen duduk di kursi utama, mengenakan pakaian resmi berwarna merah tua. Raut wajahnya terlalu tenang malah cenderung terkesan tidak peduli. Ia menoleh ke arah di mana seharusnya Qilan berada, tetapi sang mempelai belum juga tiba. Tiba-tiba, Kasim Hong datang dengan tergesa, wajahnya menyiratkan panik yang tidak sanggup disembuhkan. Ia menghampiri Yuwen lantas membungkuk, berbisik di dekat telinga. Yuwen mengangguk singkat. Tatapannya sempat beralih ke arah Jiali sebelum akhirnya ia berdiri lalu berjalan keluar aula, meninggalkan tatapan heran para tamu. Pandangan Jiali mengikuti gerak langkah Yuwen, ketika punggung suaminya tidak lag
Langkah Xiumei tergesa membawa dua kendi arak seperti yang diperintahkan. Namun, senyum kecil yang sempat muncul lenyap saat mendapati bangku telah kosong.Ia menoleh ke kiri dan kanan. Tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Jiali sampai pandangan matanya menyapu ke arah kolam.Airnya masih beriak, seolah baru saja diganggu.Kendi-kendi porselen itu terlepas begitu saja dari tangan Xiumei, pecah di tanah, serpihannya tersebar memantulkan cahaya bulan yang separuh tertutup awan.“Nyonya?” lirih Xiumei, nyaris tak terdengar.Ia berlari ke tepi kolam.“Nyonya!” jeritnya, lebih keras kali ini, lututnya jatuh menghantam batu.“JANGAN! JANGAN, NYONYA!!”Tangisnya pecah. Hatinya serasa ikut hancur membayangkan hal yang mungkin nekat Jiali lakukan. Tangan mungilnya mencengkeram batu-batu pembatas, tubuhnya menggigil hebat.“NYONYA!!” Tiba-tiba, suara petasan kembali meledak di langit seperti tawa kemenangan kejam.Xiumei bangkir, diam sejenak menatap kolam kemudian berlari seperti orang gila
“Bagaimana?” Kali ini Yuwen yang bertanya dengan wajah lebih serius.Tabib menatap Yuwen lalu menjawab. “Mohon maaf, Yang Mulia, dari pemeriksaan hamba. Detak nadi Nyonya belum menunjukkan tanda kehamilan. Bila Nyonya tidak datang bulan dalam dua pekan ini, mohon panggil hamba kembali.”Yuwen hanya menarik napas kemudian menatap istrinya yang kini hanya menunduk kecewa.Tabib menutup kotak perlengkapannya, memberi hormat sebelum meninggalkan kamar.Yuwen menoleh ke arah Xiumei. “Pergilah, tinggalkan kami sendiri.”Xiumei menggigit bibir sempat menatap sejenak Jiali lalu membungkuk hormat. “Baik, Yang Mulia.”Setelah Xiumei menutup pintu, Yuwen kembali menatap Jiali. “Apa kau bisa menjelaskan?” Jiali terdiam. “Kau bertingkah aneh sejak kembali dari paviliun An. Kalau kau diam, maka aku akan bertanya pada An.”Cepat Jiali menarik lengan baju Yuwen ketika suaminya itu hendak bangkit.“Baiklah, aku akan ceritakan semuanya.”Yuwen kembali menatap Jiali. “Baik.”Jiali menarik napas. “Ibu be