Pendekar Rajawali Dari Andalas itu membayangkan betapa menderitanya para warga desa di seluruh kawasan Pulau Dewata itu atas kekejaman Kerajaan Dharma yang dipimpin oleh Saka Galuh, dan memang perlakuan tidak manusiawi yang kerap diterima oleh para warga yang terlambat membayar upeti apalagi tidak dapat membayarnya sama sekali dalam bulan tertentu.
Para prajurit utusan Kerajaan bukan hanya akan mengambil paksa persediaan makanan berupa padi dan beras di rumah warga yang tidak mampu membayar upeti pada bulan itu, mereka juga akan mendapat penyiksaan terlebih jika warga itu berusaha menghalang-halangi para prajurit dalam melakukan tindakan pemaksaan itu.
Karena membayangkan betapa menderitanya para warga di bawah kepemimpinan Saka Galuh yang merupakan raja sebuah Kerajaan besar, sedangkan seorang Adipati yang pernah ia temui dulu di Tanah Minang saja yang hanya seorang Adipati dapat membuat warga desa semenderita begitu apalagi seorang raja yang kejam seperti Saka Galuh itu.
“Keparat..! Tak di mana-mana selalu saja ada pemimpin yang serakah..! Demi kesenangannya dia sampai hati membuat raktyatnya menderita..! Aku harus membuat perhitungan dengan Saka Galuh biadab itu...!” geram Arya dalam hati, kedua tangannya terlihat mengepal, kalau saja saat itu orang yang dimaksud ada di depannya mungkin saat itu juga sang pendekar akan menghajarnya.
Saat itu pulalah timbul di hati Arya untuk mengurungkan niatnya untuk segera kembali ke Tanah Jawa, Arya memilih bertahan di Desa Kuta itu dan tentu saja akan menyusun rencana untuk membebaskan penderitaan para warga desa di seluruh kawasan Pulau Dewata dari kebiadaban pihak istana Kerajaan Dharma yang di pimpin Saka Galuh itu.
Sekembalinya dari rumah Wijaksa kepala Desa Kuta, Arya dan Wayan Bima duduk di pendopo rumah tempat tadi sore murid Nyi Konde Perak itu terbaring pingsan. Arya bertanya secara lengkap mengenai keluarga Wayan Bima itu yang dikatakan Wijaksa mantan penghuni istana sebelum Saka Galuh memimpin, atau pada waktu itu di bawah kepemimpinan Prabu Swarna Dipa.
Wayan Bima pun bercerita kalau dia dan istrinya sengaja pergi dari istana itu dan secara diam-diam mendirikan pemukiman di pinggiran pantai itu memilih menjadi seorang nelayan, Wayan Bima juga mengatakan jika Sekar bukanlah putri kandungnya melainkan putri mahkota Prabu Swarna Dipa hanya saja antara dia dan Saka Galuh berbeda Ibu sebab pada waktu Sekar masih berusia 5 tahun Ibundanya wafat dan Prabu Swarna Dipa menikah kembali dengan Ibu dari Saka Galuh itu.
“Aku sengaja meminta istri dan keponakanku untuk ikut serta dalam obrolan kita di pendopo ini Arya, karena ada hal penting yang ingin aku ceritakan,” ulas Wayan Bima.
“Hal penting apa itu, Paman?”
“Begini Arya, Sekar bukanlah keponakan kandungku melainkan keponakan angkat yang kami bawa melarikan diri dari istana Kerajaan Dharma beberapa tahun yang lalu. Kami juga dulunya bagian dari istana Kerajaan itu,” tutur Wayan Bima.
“Apa? Kalian merupakan bagian dari istana Kerajaan Dharma? Lalu kenapa musti pergi apalagi melarikan diri dari sana, Paman?” Arya terkejut lalu ingin tahu cerita selengkapnya.
“Aku merupakan orang kepercayaan Baginda Prabu Swarna Dipa dulunya, namun sejak permaisuri Ayu Bestari yaitu Ibu kandung dari Sekar wafat dan Prabu menikah lagi kondisi Kerajaan berubah sangat menguatirkan, terutama saat putra mahkota Saka Galuh telah dewasa. Permaisuri yang baru sekaligus Ibunda dari Saka Galuh itu mengatur strategi licik untuk merebut kekuasaan dari tangan Prabu Swarna Dipa dengan bermaksud menjadikan Saka Galuh sebagai Raja,” tutur Wayan Dipa.
“Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Paman?” Arya makin penasaran.
“Mereka berhasil menjebak Prabu Swarna Dipa dengan mengajaknya pergi berburu, dan di tempat berburu itulah Prabu Swarna Dipa tewas diserang oleh seorang yang berilmu sangat tinggi, para prajurit tak mampu melindungi Prabu Swarna Dipa sementara Saka Galuh yang saat itu juga ikut berburu tidak melakukan tindakan apa-apa terkesan membiarkan penyerangan itu hingga Prabu Swarna Dipa tewas,” lanjut Wayan Bima.
“Ada yang tidak beres dengan Saka Galuh itu, Paman. Aku curiga sosok yang menyerang Prabu Swarna Dipa itu adalah orang suruhannya,” Arya menduga.
“Aku juga mengira demikian, salah seorang prajurit istana menceritakan semuanya itu saat dia dan prajurit lainnya berusaha menghadang si penyerang Prabu Swarna Dipa, Saka Galuh hanya diam saja bahkan tersenyum senang,” Wayan Bima terlihat gusar jika ingat saat salah seorang prajurit memberi laporan padanya penyebab Prabu Swarna Dipa tewas di tempat ia pergi berburu.
“Tidak salah lagi berarti sosok yang menyerang Prabu Swarna Dipa itu adalah orang suruhan Saka Galuh, lantas setelah kejadian itu apa tindakan Paman dan anggota istana lainnya?”
“Aku bermaksud hendak mengumpulkan seluruh anggota istana termasuk juga dengan para prajurit untuk membicarakan hal itu, akan tetapi Saka Galuh melarangku untuk tidak memperpanjang masalah yang terjadi hingga tewasnya Prabu Swarna Dipa.”
“Lantas Paman menuruti keinginan Saka Galuh itu?”
“Aku terpaksa mengikutinya, Arya. Karena sebelumnya ternyata Saka Galuh telah mengatur siasat itu dengan mengancamku untuk tidak membahas tewasnya Prabu Swarna Dipa,” jawab Wayan Bima sedih.
“Jadi Sekar dan Saka Galuh saudara tiri?”
“Benar Mas Arya,” kali ini Sekar yang menjawab.
“Keparat..! Saudara tiri macam apa itu, tega-teganya membunuh Ayah kandung sendiri demi merebut tahta Kerajaan,” Arya benar-benar gusar.
“Aku sendiri sempat akan dibunuh Mas, beruntung Paman Wayan dan Bi Lasmi melarikan aku dari istana itu dan membawaku tinggal di desa ini,” ujar Sekar.
“Benar-benar manusia berhati iblis dia..! Aku akan bantu kamu Sekar untuk membalaskan dendam Ayahmu sekaligus merebut kembali tahta Kerajaan Dharma dari tangan iblis saudara tirimu itu,” tutur Arya penuh semangat berapi-api.
“Jangan Mas, itu sangat berbahaya. Para prajurit yang jumlahnya ratusan pasti akan menghadang Mas Arya saat hendak masuk ke istana,” cegah Sekar.
“Parjurit di depan mengatakan jika Kisanak bertiga ini merupakan sahabat Kanjeng Sultan Demak, benarkah demikian?” tanya Sowan Broto kepala Desa Rowo itu saat menerima kedatangan dan mengajak mereka masuk ke rumah tepatnya di ruangan tamu.“Benar Mas, Saya Arya, ini Bidadari Selendang Biru dan ini Dewa Pengemis.”“Perkenalkan juga nama Saya Sowan Broto dan saya sebagai kepala desa di sini,” mereka saling berjabatan tangan.“Benarkah di desa ini telah terjadi tindakan pemerkosaan oleh dua orang pria yang tak dikenal Mas Sowan?”“Benar Arya, makanya kami langsung memberi laporan pada Kanjeng Sultan di istana mengenai hal itu. Dan beliau mengirimkan sejumlah prajurit istana ke sini,” jawab Sowan Broto.“Lalu di mana sosok perempuan tua yang juga datang bersama prajurit ke desa ini?”“Oh, Nyi Intan yang Arya maksudkan?” Arya hanya mengangguk.“Beliau dan Panglima serta sejumlah prajurit bergerak ke arah utara setelah menyisir kawasan desa ini tak menemukan dua orang pria yang telah melaku
Setelah puas melakukan aksinya menggagahi kedua wanita itu secara bergiliran, Pangeran Durjana dan Setan Tanduk Neraka segera meninggalkan desa itu. Jika para wanita yang telah menjadi korban kebiadaban mereka selalu melaporkan pada suami atau warga yang lain, tidak demikian dengan dua orang wanita yang baru saja digagahi itu.Tak diketahui alasannya kenapa mereka hanya diam saja setelah diperlakukan seperti binatang itu, mungkin karena merasa ketakukan akan ancaman Pangeran Durjana dan Gurunya tadi, atau juga tak mau bicara karena malu sebab itu merupakan aib keluarga mereka jika diceritakan dan diketahui orang lain.Yang pasti setelah kedua wanita itu dapat bangkit berdiri dan membenahi pakaian, mereka pun menuju rumah masing-masing dan ikut beristirahat siang bersama anak-anak.“Tinggal satu wanita lagi di kawasan tengah ini yang musti kita gagahi Guru, setelah itu kita akan kembali ke kawasan timur.”“Benar bocah bejad..! Di kawasan timur nanti tentunya tidak akan sesulit ini kita
Rontaan dan pekik minta tolong dari sepasang petani itu tidak mereka hiraukan, justru hal itu makin menambah semangat kedua pria itu melakukan perbuatan bejad mereka. Setelah puas menggagahi wanita petani itu ditinggalkan begitu saja, kedua pria bejad itu pun pergi dengan tawa terbahak-bahak dan menghilang di balik semak-semak dan pepohonan kecil di kawasan itu.Beberapa saat kemudian wanita petani berusaha bangkit sambil membenahi pakaiannya terlebih dahulu, sambil menangis ia berdiri dan berjalan gontai ke arah suaminya yang terikat di batang pohon. Dengan sisa tenaganya wanita itu pun berusaha melepaskan tali dari akar-akaran yang mengikat kedua tangan suaminya, setelah tali terlepas wanita itu jatuh pingsan.Tak terbayangkan betapa pilunya hati pria petani di depan matanya istrinya itu digagahi secara bergiliran oleh dua orang pria yang tak ia kenal, ia lalu memeluk tubuh istrinya yang saat itu terkulai lemas, terdengar kembali teriakan pilu minta pertolongan dari sang suami.Kedu
“Ha.. ha.. ha..! Ya benar, kenapa? Kau terkejut saya bisa kenal dan berteman dengannya?”“Tidak begitu Kangmas, terakhir saya bertemu dengannya saat Adipati Gadra gagal melakukan pemberontakan ke istana Kerajaan Kediri. Saat itulah Arya muncul membongkar kebusukan seorang Welung Pati yang telah menghasut Adipati Gadra untuk memberontak,” jelas Dewa Penangis.“Bukankah saat itu kau bersamanya? Kenapa tidak kau cegah Adipati Gadra itu untuk tidak mempercayai Welung Pati?” Dewa Pesing terlihat agak gusar.“Saya sama sekali tidak tahu jika keinginan keras Adipati Gadra untuk memberontak ke istana Kediri dikarenakan hasutan dari Welung Pati, setahu saya Adipati Gadra mengatakan jika Ayahandanya adalah raja sebelum Sang Prabu Jayabaya memimpin Kerajaan Kediri itu, dan Sang Prabu itulah yang telah membunuh Ayahnya demi merebut tahta Kerajaan,” tutur Dewa Penangis.“Seorang Dewa Penangis bisa tidak mengetahui jika semua itu adalah fitnahan belaka? Apakah itu disebabkan karena kau kebanyakan m
Cukup lama mereka bercakap-cakap di ruangan istana itu, hingga akhirnya Intan Kasturi dipersilahkan untuk beristirahat di salah satu kamar yang memang di khususkan bagi tamu kehormatan Kesultanan Demak.Sementara di istana Kerajaan Mandalu, Arya, Bidadari Selendang Biru serta Dewa Pengemis yang belum mengantuk dan ingin beristirahat tampak duduk di bagian samping istana yang di sana terdapat ruang terbuka yang di depannya ada kolam ikan serta tumbuhan-tumbuhan hias.Agaknya tempat itu berupa taman yang kerap dimanfaatkan bagi petinggi istana termasuk juga Sang Raja berserta keluarganya untuk bersantai, tempat itu sangat nyaman hingga Arya, Bidadari Selendang Biru dan Dewa Pengemis betah berlama-lama duduk di sana.“Sudah tiga hari lebih kita di sini Arya, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Bidadari Selendang Biru sembari arahkan pandangan ke depan ke arah kolam.“Saya belum tahu, kita tunggu kabar dari Satrio Mandalu yang memerintahkan utusannya untuk datang ke Kerajaan-kerajaan wilaya
Keterangan yang didapatkan dari dua orang wanita warganya itu hanya sebatas ciri-ciri mereka saja, berupa berpakaian merah dan berbaju coklat. Dan kedua wanita itu juga mengatakan jika dua orang pria yang memperkosa mereka bukanlah pria dari warga desa, melainkan orang yang datang dari luar desa itu.Pihak Kerajaan Pajajaran telah mengirim sejumlah prajuritnya untuk menyisir kawasan desa tempat dua orang wanita di perkosa di hutan kecil, hingga sore itu semua kawasan telah mereka lalui tapi tak kunjung menemui dua orang pria pelaku pemerkosaan itu.Dengan tidak menemukan kedua pria itu tidak lantas para prajurit yang diutus langsung kembali ke istana, mereka untuk sementara waktu berada di pemukiman desa sekaligus bermalam di sana. Besok pagi mereka kembali akan menyisir kawasan desa itu, jika nanti tak jua menemukan dua pria yang mereka cari barulah para prajurit akan kembali ke istana memberi laporan.Belum lagi tengah hari saat mencari di hari kedua, sejumlah prajurit yang baru kem