Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.”
Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini harus tetap menjadi rahasia kita bertiga. Jika kabar ini bocor, semua rencana kita bisa berantakan.” Leon dan Marco mengangguk setuju. “Aku mengerti, Remus,” kata Leon. “Percayalah, aku tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun.” *** Setelah tiga tahun, akhirnya Remus bisa mengunjungi mereka. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan dulu—ia kembali bukan sebagai pria sukses yang bisa membanggakan mereka, melainkan sebagai seseorang yang harus bersembunyi dalam bayang-bayang. Setelah sekitar tiga puluh menit berkendara, mereka tiba di gerbang pemakaman tua. Tempat itu sepi dan diterangi cahaya bulan yang redup. Mereka keluar dari mobil, dan Marco berjalan lebih dulu, memimpin mereka ke arah dua makam yang berdiri berdampingan di sudut pemakaman. Batu nisan mereka sederhana, dengan tulisan yang hampir mulai pudar. Eveline Can Seorang ibu yang penuh kasih. Maria Helena Tersayang selamanya. Melihat nama-nama itu terukir di atas batu nisan, dada Remus terasa sesak. Ia berlutut di depan makam ibunya, mengusap batu nisan dengan lembut. “Ibu…” Angin malam berhembus pelan, membawa suara dedaunan yang berguguran. Remus menundukkan kepalanya, mencoba menahan emosi yang meluap di dadanya. Marco dan Leon berdiri beberapa langkah di belakang, memberi Remus ruang untuk menyendiri. “Aku minta maaf,” bisik Remus. “Aku tidak ada di sini saat itu. Aku tidak bisa melindungimu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…” Suara angin adalah satu-satunya jawaban yang ia dapatkan. Setelah beberapa saat, ia beralih ke makam Maria, tunangannya. Ia menatap nisan itu dengan mata berkaca-kaca. “Maria… aku kembali.” Kenangan tentang Maria membanjiri pikirannya—senyumnya, suaranya, cara dia tertawa ketika mereka bercanda bersama. Semua itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia masih bisa merasakan kehadirannya. “Aku berjanji, mereka yang melakukan ini padamu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja,” katanya dengan suara rendah. “Aku akan membuat mereka membayar semuanya.” Ia menutup matanya sejenak, mengatur napasnya, lalu berdiri. Leon menatapnya dengan khawatir. “Kau baik-baik saja?” Remus mengangguk pelan. “Ya.” Ia menatap kedua makam itu sekali lagi, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke mobil. Dalam perjalanan pulang, mereka tetap diam. Tidak ada yang merasa perlu untuk mengatakan apa pun. Setelah kembali ke rumah Leon, mereka duduk di ruang tamu. Leon akhirnya angkat bicara. “Apa langkah selanjutnya, Remus?” Remus menatapnya dengan serius. “Sekarang aku sudah melihat mereka untuk terakhir kali… aku harus fokus pada misiku. Aku akan menghancurkan Darius.” Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Dan bagaimana caramu melakukannya tanpa ketahuan?” Remus tersenyum kecil. “Aku punya beberapa ide.” Leon tertawa kecil. “Aku sudah bisa menebak kalau ini akan menjadi perjalanan yang gila.” Setelah semalaman menyusun strategi, Remus akhirnya memutuskan langkah berikutnya. Selain mengumpulkan informasi dari orang-orang yang masih setia, dia juga butuh seseorang yang memiliki akses lebih dalam ke jaringan Darius. Dan dia tahu siapa yang bisa membantunya. Naya! Wanita itu dulu adalah salah satu asistennya yang paling dipercaya. Cerdas, berani, dan selalu setia kepadanya. Tapi setelah Remus "menghilang," dia tidak tahu apakah Naya masih setia atau sudah berpihak kepada Darius. Leon mengerutkan kening saat mendengar rencana Remus. “Kau yakin ingin menemui Naya? Dia mungkin sudah berubah, Remus. Tidak semua orang sekuat Marco atau Martin dalam mempertahankan kesetiaannya.” Remus tersenyum tipis. “Aku harus mencobanya. Jika dia masih berada di dalam perusahaan, itu artinya dia punya akses ke informasi yang sangat berharga.” Marco menatapnya dengan serius. “Jika dia setia, dia akan menjadi aset yang sangat berguna. Tapi kalau dia sudah berpaling…” “Aku yang akan menanganinya.” Remus bangkit dari kursinya. “Atur pertemuan dengannya. Aku ingin bicara dengannya secara langsung.” Leon dan Marco saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk. *** Malam itu, di sebuah restoran mewah di pusat kota Namado, Naya duduk di salah satu meja VIP, sibuk menatap layar ponselnya. Sejak kepergian Remus, dia bekerja keras untuk mempertahankan posisinya di perusahaan yang kini dikuasai oleh Darius. Dia tidak punya pilihan selain bertahan, meskipun dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Tiba-tiba, seseorang duduk di hadapannya. “Sudah lama, Naya.” Naya mendongak, dan jantungnya seolah berhenti berdetak. Di hadapannya duduk seseorang yang seharusnya sudah mati. Mata itu, wajah itu—tidak salah lagi. “R-Remus?” suaranya bergetar, dan tangannya tanpa sadar menggenggam ujung meja. “Tidak… ini tidak mungkin…” Remus tersenyum tipis. “Kau berharap aku mati?” Naya masih terkejut, matanya berkaca-kaca. “Tidak… Aku…” Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mencerna semuanya. “Bagaimana… bagaimana bisa kau masih hidup?” “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar. Tapi yang perlu kau tahu, aku kembali untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku.” Naya menatapnya lekat-lekat. Ada emosi campur aduk dalam tatapannya—kelegaan, ketakutan, dan kebingungan. “Aku butuh bantuanmu, Naya,” lanjut Remus. “Aku ingin tahu siapa saja yang ada di dalam perusahaan. Siapa yang setia, siapa yang berkhianat, dan siapa yang bisa kita gunakan.” Naya menelan ludah. “Kau tahu ini berbahaya, kan? Jika Darius tahu kau masih hidup…” “Darius akan tahu cepat atau lambat,” potong Remus. “Pertanyaannya, kau ada di pihak siapa?”Remus berdiri di atas puncak gunung, menatap cakrawala yang luas. Setelah melalui serangkaian latihan yang berat, ia kini telah menguasai kelima elemen sepenuhnya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanannya. Master Tian berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi bangga namun penuh makna. "Remus, kau telah menyelesaikan semua pelatihan yang kuberikan. Kini saatnya kau kembali ke duniamu." Remus mengangguk, tetapi ada sedikit keraguan dalam benaknya. "Apa yang akan terjadi setelah aku kembali? Apakah kekuatanku akan tetap seperti ini?" Master Tian tersenyum tipis. "Kekuatanmu akan tetap ada, tetapi ingat satu hal, dunia nyatamu berbeda dengan tempat ini. Energi di sana lebih terbatas, dan hukum alamnya lebih ketat. Kau harus belajar menyesuaikan diri kembali." Remus mengerti. Ia telah melalui begitu banyak perubahan dalam dunia pelatihan ini, tetapi dunia nyatalah tempat di mana semuanya akan diuji. "Aku siap." Master Tian menjentikka
Remus berdiri di tengah puncak gunung, merasakan angin kencang yang menerpa wajahnya. Di hadapannya, Master Tian duduk bersila di atas batu, matanya terpejam seolah sedang menyatu dengan alam.“Kau ingin menjadi yang terkuat?” suara Master Tian terdengar tenang namun tegas.Remus mengangguk. "Ya. Aku tidak akan berhenti sampai aku mencapai puncak kekuatan."Master Tian membuka matanya perlahan, tatapannya tajam seperti elang. "Maka bersiaplah. Karena mulai hari ini, kau akan merasakan penderitaan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."Tanpa peringatan, Master Tian mengangkat tangannya.BOOM!Tekanan luar biasa tiba-tiba menghantam tubuh Remus. Ia terhempas ke belakang, tubuhnya terasa seperti dihantam gunung."Apa ini...?!"Udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi berat, seolah-olah dunia menolaknya.Master Tian berdiri dari tempatnya. "Ini adalah latihan pertamamu, Remus. Aku akan membuat tubuhmu terbiasa dengan tekanan energi dunia ini. Jika kau tidak bisa bertahan, maka kau tida
Cahaya menyelimuti tubuh Remus saat ia melewati gerbang emas. Sensasi luar biasa menyerang indranya—seolah-olah ia melangkah ke dalam kekosongan tanpa batas.Tubuhnya melayang, seakan tertarik oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia mencoba mengendalikan keseimbangannya, tetapi kekuatan itu terlalu kuat."Ke mana aku dibawa?"Saat kesadarannya hampir kabur, ia tiba-tiba merasakan tanah di bawah kakinya.Dunia baru telah menyambutnya.Remus membuka matanya perlahan.Pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.Di hadapannya terbentang daratan luas yang dipenuhi gunung-gunung raksasa, dengan langit berwarna ungu keemasan. Di kejauhan, sungai-sungai mengalir dengan air bercahaya, dan udara dipenuhi dengan energi spiritual yang jauh lebih murni dibandingkan dengan dunia sebelumnya."Tempat ini... berbeda dari semua yang pernah kulihat."Ia mencoba merasakan energinya sendiri, dan ia terkejut.Tubuhnya terasa lebih ringan, lebih kuat. Bahkan tanpa ia sadari, energi dalam d
Remus menggenggam kunci bercahaya di tangannya. Energinya terasa begitu murni, seolah-olah mengandung kekuatan dunia itu sendiri."Ini bukan sekadar artefak biasa," pikirnya.Penjaga berjubah hitam itu menatapnya dengan tajam. "Kau telah berhasil melewati ujian pertama, tapi perjalananmu masih panjang, Remus Can.""Apa yang harus kulakukan selanjutnya?" tanya Remus.Penjaga itu tersenyum samar. "Kunci itu akan membimbingmu. Tapi sebelum kau bisa membuka gerbang menuju dunia yang lebih tinggi, kau harus menguasai energi di tempat ini."Remus mengangguk. Ia tahu, meskipun kekuatannya sudah melampaui batas Alam Abadi di dunia lamanya, di tempat ini ia hanyalah seorang pemula."Kalau begitu, tunjukkan jalannya."Penjaga itu mengangkat tangannya, dan seketika, ruang di sekitar mereka berubah.Mereka sekarang berdiri di sebuah lembah yang dipenuhi kristal bercahaya. Energi spiritual di tempat ini begitu pekat hingga udara bergetar karenanya."Lembah ini disebut Lembah Langit Terlarang," kat
Remus berdiri di puncak bukit, angin pegunungan bertiup menerpa wajahnya. Matanya tajam menatap cakrawala. Setelah memahami batas kekuatannya, ia menyadari bahwa dunia ini sudah terlalu kecil untuknya. Ia mengingat setiap pertarungan, setiap langkah yang membawanya ke titik ini. "Tidak ada lagi yang bisa menantangku di dunia ini." Tapi ini bukan akhir. Kaisar Abadi mengatakan bahwa ada bencana besar yang akan datang. Dan Remus tahu, jika ia tetap di levelnya sekarang, ia tidak akan cukup kuat untuk menghadapinya. "Jika aku ingin melampaui Alam Abadi, aku harus mencari sesuatu yang lebih besar dari dunia ini." Tiba-tiba, dada Remus terasa sesak. Sebuah memori asing menyeruak dalam pikirannya—bukan miliknya, tapi seolah-olah seseorang sedang mencoba berkomunikasi dengannya. Ia melihat bayangan seorang pria berjubah hitam dengan mata bercahaya keemasan. Suara itu menggema di dalam kepalanya. "Kau sudah mencapai batas dunia ini, Remus. Jika ingin menerobos lebih jauh, datanglah ke
Remus membuka matanya. Udara dingin di pegunungan menyentuh kulitnya, membawa sensasi nyata bahwa ia telah kembali dari dimensi Kaisar Abadi. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata terakhir Kaisar Abadi. "Dunia ini akan menghadapi bencana besar... Dan hanya kau yang bisa menghentikannya." Remus menghela napas pelan. Ia tahu bahwa dirinya sudah berada di puncak kekuatan yang jauh melampaui manusia biasa, tetapi ia juga sadar bahwa masih ada batas yang belum bisa ia tembus. "Aku harus lebih kuat lagi…" gumamnya. Di dalam tubuhnya, energi spiritual berputar dengan stabil. Setelah pertarungan sengit di dimensi Kaisar Abadi, cadangan energinya memang sedikit berkurang, tetapi tidak sampai melemahkannya. Ia mencoba menyerap energi alam di sekitarnya. Energi spiritual di pegunungan ini cukup tinggi, tetapi ketika ia menyerapnya, efeknya hanya sedikit. Seolah-olah seteguk air di lautan yang luas. "Seperti yang kuduga, semakin tinggi kekuatanku, semakin sulit untuk berk