Ghazam tertawa kecil.
Sejak istri dan anak bungsunya meninggal, Althar tak pernah lagi memaksakan kehendaknya pada Ghazam. Bahkan, soal pernikahan Ghazam, ia juga mengetahuinya dan tidak memprotes. Althar sadar, terlalu tamak dan memaksakan sesuatu tidak selalu membawa kebaikan.
“Aku sudah bercerai,” kata Ghazam langsung.
Setelah pintu ruangan tertutup kembali, Ghazam melangkah masuk sambil mengusap ujung bibirnya yang semakin terasa nyeri. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan tersebut, lalu menyandarkan punggungnya. Wajahnya menatap lurus ke arah langit-langit ruang kerja yang didominasi nuansa coklat gelap dan material kayu solid.
Althar bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekati Ghazam, sambil berkata, “Jadi, anakku pun menduda sekarang?”
Ghazam hanya mengangkat bahunya sekilas ketika mendengar ayahnya tertawa. Ia menutup matanya sejenak, seolah sedang melepas penat yang selama ini bersemayam di kepalanya.
“Aku bahkan belum sempat merasakan menimang cucu, tapi kau sudah bercerai, Ghazam,” kata Althar lagi dengan nada bercanda.
“Ayah saja menikah lagi, lalu buatlah bayi sendiri,” timpal Ghazam santai.
“Aku bilang cucu, bukan anak, Ghazam.” Althar berdecak pelan.
“Sama-sama bayi, tidak ada bedanya.” Ghazam membenarkan posisi duduknya, sebab sang ayah telah duduk di hadapannya. Bagaimanapun juga, ia paham yang namanya sopan santun.
“Omong-omong, siapa yang berani menghajarmu? Apa dia tidak tahu kemampuan beladirimu?” tanya Althar mengalihkan pembicaraan. Kemudian, ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang. “Dokter Pram akan segera datang.”
“Hanya kecelakaan kecil.” Ghazam berdesis pelan karena nyeri di perutnya. “Seseorang mengira aku mencuri tasnya, dan segerombolan orang langsung menghajarku.”
“Haha, malang sekali nasibmu,” sahut Althar sambil tertawa.
Ghazam berdecak pelan, lalu mengeluarkan kartu nama Cindy dari sakunya dan meletakkannya di meja. “Lihat, siapa yang menuduhku mencuri tasnya.”
Althar mengambil kartu nama itu dan mengangkat satu alisnya ketika melihat nama yang ada di sana, persis seperti Ghazam sebelumnya. “Arvenzo?”
Ghazam mengangguk pelan.
“Mereka baru mengajukan proposal kerjasama ke bidang fashion kita,” ujar Althar sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. “Untungnya, belum kusetujui. Kau mau mengurusnya?”
Ghazam menggeleng. “Tidak sekarang. Biarkan saja dulu.”
Althar mengangguk pelan, lalu kembali bertanya untuk hal lain. “Oh, aku dengar, kau beli perusahaan yang waktu itu hampir bangkrut. Untuk apa? Bukankah itu milik keluarga istrimu?”
“Mantan istri,” koreksi Ghazam cepat. “Aku hanya ingin menjalankan amanah.”
Althar mengangguk pelan, seolah tak ada masalah dengan apa yang anaknya lakukan. Lalu, berkata dengan nada bercanda, “Mulia sekali hatimu, huh?”
Sejenak, Ghazam tersenyum tipis, menatap ayahnya yang juga sedang menatapnya, lalu berkata, “Pensiunlah, aku akan urus perusahaan.”
“Ah akhirnya!” seru Althar seolah baru mendapatkan apa yang telah lama ia inginkan.
Sebagai anak sulung, Ghazam memang telah disetting sebagai penerus bisnis keluarga mereka. Dalam rencana mereka, Ghazam akan naik menjadi CEO di usia 28 tahun, yaitu tahun lalu. Namun, kematian ibu dan adiknya telah mengubah semua hal.
Saat itu juga, Ghazam langsung menghubungi Janu. Dan ketika sambungan telepon terhubung, Ghazam langsung berkata, “Siapkan pemindahan pimpinan. Besok aku akan mulai duduk di kursi CEO.”
**
Sementara di tempat lain.
Pagi itu, kediaman keluarga Galenka mendadak kacau. Belum juga jarum jam menyentuh angka sepuluh, tetapi Johan, kepala keluarga sekaligus CEO Galenka Corp, sudah membanting koran finansial pagi ke meja kaca ruang makan. Tangannya gemetar, bukan karena usia, tetapi karena kabar mengejutkan yang baru ia terima lewat panggilan telepon dari salah satu direksi internal.
JOR Industries resmi mengakuisisi Galenka Corp.
Tanpa peringatan. Tanpa negosiasi. Tanpa bisa dihentikan.
“APA MAKSUDNYA INI?!” suara Serina memecah ketegangan. Ia berjalan cepat dengan ponsel masih menempel di telinga, wajahnya pucat, rambut panjangnya masih berantakan karena belum sempat ditata. “Aku baru bangun tidur, dan tiba-tiba semua saham kita pindah tangan?!”
Soraya yang duduk di ujung sofa ikut panik. “Johan, ini serius?! Bukankah semalam kamu masih bilang semuanya aman?!”
Johan menepis keringat di pelipisnya. “Semalam ya. Tapi pagi ini, semuanya sudah terlambat. Aku dapat kabar… kita sudah diambil alih. Saham mayoritas kita tidak lagi milik kita.”
Serina memandang ayahnya tak percaya, lalu membentaknya, “Papa bilang bisa kendalikan semuanya! Papa itu CEO! Kepala keluarga! Tapi sekarang apa?! Papa bahkan tidak bisa menjaga perusahaan dari serangan diam-diam seperti ini!”
“Serina, ini bukan waktunya menyalahkan—”
“Tidak! Ini justru waktunya menyalahkan! Karena aku, Mama, seluruh keluarga kita… akan kehilangan segalanya kalau perusahaan itu benar-benar hilang! Kau gagal, Papa!”
Soraya bangkit, suaranya bergetar. “Jangan bicara seperti itu pada papamu!”
“Kenapa tidak, Mam? Karena kenyataannya memang seperti itu, kan?! Mama tahu berapa banyak saham kita yang sudah dilepas tanpa sepengetahuan kita? Kita bisa jadi gelandangan setelah ini!”
Johan memukul meja. “Cukup!”
Suasana langsung sunyi, hanya terdengar dengus napas dan detak jantung yang berpacu.
Dengan rahang mengeras, Johan akhirnya berkata, “Aku sudah tahu siapa CEO baru JOR Industries.”
Serina memicingkan mata. “Siapa?”
“JOR Industries salah satu anak perusahaan JX Global, dan hari ini kabarnya mereka baru mengganti CEO lama mereka kepada sang pewaris, seorang pemuda 29 tahun.” Johan menghela napas panjang. “Namanya... tidak terlalu dikenal di kalangan kita. Tapi katanya... dia tampan, cerdas. Dan yang jelas ... sangat kaya. Orang dalam bilang, dia yang mengatur semua ini secara pribadi.”
Serina mengernyit. “Lalu?”
Johan menatap anaknya tajam, lalu mengucapkan kalimat yang membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
“Dia masih lajang, kau harus mendekatinya, Serina. Buat dia membatalkan akuisisi ini. Rayu dia, gunakan pesonamu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” kata Johan dengan tatapan serius.
Soraya menoleh cepat. “Johan!”
Namun, Johan melanjutkan dengan nada lebih dingin, “Jika tak bisa dibatalkan... maka jadikan dia milikmu. Kalau perlu, kau harus menikah dengannya.”
Serina menatap ayahnya dengan mata melebar. “Apa? Papa … Papa menyuruhku—”
“Ya,” potong Johan. “Kalau itu satu-satunya cara agar keluarga ini tetap berdiri, maka lakukan. Lebih baik kau jadi istri pemilik perusahaan, daripada jadi wanita biasa yang kehilangan semuanya. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan banyak hal,” jelas Johan.
Soraya menutupi mulutnya dengan tangan. “Johan, itu... terlalu—”
“Terlalu apa?!” Johan membalas tajam. “Kau tahu sendiri berapa banyak yang sudah kita bangun! Rumah ini! Gaya hidup kita! Perusahaan ini adalah jantung keluarga kita, dan sekarang sudah direbut! Kalau kita tidak bertindak cepat, kita akan kehilangan semua yang kita miliki.” Johan menatap sang istri dengan tajam, sementara sang istri hanya bisa menganga tak percaya.
Serina diam. Rahangnya mengeras, matanya menajam, campuran antara amarah, kebingungan, dan... rasa kalah. Ia mungkin sering menganggap dirinya di puncak kasta, tetapi kali ini, ia tak lebih dari pion yang hendak dikorbankan.
Bahkan, sebelumnya ia juga seolah ditumbalkan sebagai ucapan terima kasih sang kakek kepada Ghazam. Lalu sekarang, ia juga diperintahkan untuk melakukan hal serupa?
Namun, perlahan Serina mengepalkan tangan. Bagaimanapun juga, selama ini ia telah hidup dalam kekayaan. Ia tak sanggup jika harus hidup miskin.
Jika ini satu-satunya jalan…
Maka Serina akan memainkannya.
Dengan bibir menipis dan tatapan menusuk ke arah ayahnya, Serina berkata dingin, “Baiklah. Aku akan cari tahu siapa dia... dan pastikan dia tidak akan pernah bisa menolak pesonaku.”
Johan tersenyum puas. Ia tahu, anaknya pasti akan memilih jalan yang tepat.
Sementara Soraya hanya bisa diam pasrah. Meskipun rasanya tak tega mengorbankan sang anak, tetapi jika yang ingin diraih adalah berlian, maka itu bukan seharusnya bukan masalah.
“Bersiaplah untuk pergi ke ibukota, datangi kantor pusat JX Global, dan tunjukkan siapa dirimu,” kata Johan dengan mata penuh kemenangan, seolah setelah ini semua dunia akan masuk ke dalam genggamannya.
Langkah sepatu kulit Ghazam bergema di sepanjang lorong hotel bintang lima, seiring pintu kamar yang menutup perlahan di belakangnya.Aroma tubuh Cindy masih tertinggal samar di udara, bercampur bau lembut sprei hotel dan keringat gairah yang belum reda. Namun tak ada satu pun yang menempel di tubuh Ghazam. Bahkan rasa pun tak ada.Sementara itu di dalam kamar, Cindy masih terbaring lemas dengan tubuh telanjang, dadanya masih naik turun. Namun, bukan kepuasan yang ia rasakan. Justru kehampaan yang menyesakkan karena pria yang tadi berdiri di hadapannya pergi tepat saat dirinya mencapai klimaks seorang diri.Cindy benar-benar merasa dipermainkan dan dipermalukan sedalam-dalamnya. Sebab, wanita sewaan pun biasanya masih disentuh, sementara dirinya? Tidak sama sekali. Namun, jelas Cindy tidak bisa melakukan apapun.**Ponsel Ghazam bergetar. Ia tak berhenti berjalan. Jemarinya menekan tombol hijau, menyambungkan panggilan dari Janu yang selalu tahu kapan harus muncul.“Tuan, laporan leng
Avenhall Hotel, salah satu hotel bintang lima milik keluarga Jorrel.Di salah satu kamar tipe Royal Suite, Cindy telah berdiri dengan gelisah. Ia benar-benar hanya memakai pakaian dalam renda berwarna merah, sangat kontras dengan kulit putihnya.Dadanya yang penuh terlihat sangat menantang, seolah ingin segera keluar dari bra yang mengikat. Pun pantatnya yang menonjol juga seolah tak mampu ditutupi celana dalam kecil itu.Sejujurnya, ia ingin pergi, tetapi baginya kerjasama ini adalah harga mati. Sebab, brand fashion miliknya telah banyak mengalami penurunan. Dan jika ia mampu bekerjasama dengan JXVAIN, jelas itu akan membawa pengaruh besar.Setelah hampir 15 menit Cindy menunggu, pintu kamar hotel dibuka. Ghazam masuk masih dengan pakaian kerjanya. Wajahnya dingin, seolah semakin mengintimidasi kegugupan Cindy.Pandangan Ghazam langsung menangkap sosok Cindy yang berdiri kaku di depan ranjang king size itu. Matanya menyapu tubuh Cindy dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Cind
Serina terdiam. Hatinya mencelos. Bukan karena takut, tapi karena ia sadar bahwa ini bukan lagi pria yang bisa ia atur dengan ego atau air mata. Ghazam yang dulu ia remehkan, kini mengunci langkahnya hanya dengan satu kalimat.Serina menggigit bibir bawahnya, berusaha menjaga wibawa. Namun, gengsi yang dulu kokoh mulai runtuh. Perlahan, ia duduk kembali di kursi, meski dadanya bergemuruh tak karuan.Tok! Tok!Pintu kembali diketuk. Suara hak tinggi terdengar cepat, lalu pintu terbuka. Seorang wanita muda melangkah masuk dengan anggun, percaya diri, dengan aura fashionista papan atas. Ia mengenakan gaun pastel sedikit di atas lutut yang membungkus tubuhnya dengan pas, membuat lekuk tubuhnya menonjol sempurna. Rambutnya dibiarkan tergerai rapi.Namun, langkahnya langsung terhenti begitu melihat siapa yang ada di balik meja CEO.Wajahnya mendadak pucat."Cindy Marella Arvenzo," gumam Ghazam pelan, menyebut nama itu seperti membaca ulang catatan utang.Cindy terpaku. Mulutnya terbuka, tap
Serina terdiam. Tubuhnya menegang seketika, mata membesar, dan napas tercekat di tenggorokan. Ucapan Ghazam baru saja melemparkan dirinya ke jurang antara harga diri dan keputusasaan.Serina mencoba membuka mulut, tetapi tak satu kata pun keluar. Tenggorokannya kering, matanya menatap pria di depannya, antara syok, bingung, dan terluka. Ia bahkan tak yakin apakah yang ia dengar itu nyata.Namun, Ghazam tetap menatapnya tanpa goyah.Tatapannya datar, tak ada sedikit pun amarah dan justru karena itulah Serina merasa makin kecil. Tak dianggap penting, tak dilihat sebagai seseorang, hanya simbol dari masa lalu yang kini ia kuasai.Ghazam menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis tipis.“Kenapa?” tanya Ghazam pelan, nyaris seperti ejekan. “Tidak sanggup? Bukankah kau bilang akan melakukan apa pun?”Serina masih membeku. Hatinya seperti dihantam badai, dan logikanya mulai kabur. Yang ia tahu… permainannya barusan baru saja berbalik arah dan ia sekarang bukan
JX Global gempar.Sang pewaris yang menghilang lima tahun terakhir kini kembali dan langsung mengambil alih tahta.“Ruang konferensi telah siap, Tuan,” kata Janu langsung.Pagi itu, seremonial pemindahan jabatan dari Althar kepada Ghazam akan berlangsung di ruang konferensi megah berlapis kaca kristal dan kayu walnut.Namun, bukan kemewahan ruangan atau nama besar Althar yang menyita perhatian, melainkan sosok muda yang melangkah masuk dengan tenang.Ghazam J. Manggala.Sorot matanya dingin dan tak terbaca. Luka di wajahnya telah sepenuhnya hilang. Setelan jas hitam membalut tubuh tegapnya, memancarkan kekuasaan dan ancaman diam bagi siapa pun yang berniat melawan.Satu per satu petinggi berdiri, bukan karena sopan santun, tetapi tekanan tak kasat mata yang menggantung di udara. Bahkan para komisaris asing pun bungkam.“Lima tahun menghilang, dan kembali seperti raja.” “Dia bahkan lebih menakutkan dari kabar yang beredar.”Tanpa perlu banyak ucapan, Althar hanya menyerahkan pin emas
Ghazam tertawa kecil.Sejak istri dan anak bungsunya meninggal, Althar tak pernah lagi memaksakan kehendaknya pada Ghazam. Bahkan, soal pernikahan Ghazam, ia juga mengetahuinya dan tidak memprotes. Althar sadar, terlalu tamak dan memaksakan sesuatu tidak selalu membawa kebaikan.“Aku sudah bercerai,” kata Ghazam langsung.Setelah pintu ruangan tertutup kembali, Ghazam melangkah masuk sambil mengusap ujung bibirnya yang semakin terasa nyeri. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan tersebut, lalu menyandarkan punggungnya. Wajahnya menatap lurus ke arah langit-langit ruang kerja yang didominasi nuansa coklat gelap dan material kayu solid.Althar bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekati Ghazam, sambil berkata, “Jadi, anakku pun menduda sekarang?”Ghazam hanya mengangkat bahunya sekilas ketika mendengar ayahnya tertawa. Ia menutup matanya sejenak, seolah sedang melepas penat yang selama ini bersemayam di kepalanya.“Aku bahkan belum sempat merasakan menimang cucu, tapi kau