Home / Urban / Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin / BAB 4. Rencana-Rencana Baru

Share

BAB 4. Rencana-Rencana Baru

Author: o.vian
last update Last Updated: 2025-07-19 14:46:56

Ghazam tertawa kecil.

Sejak istri dan anak bungsunya meninggal, Althar tak pernah lagi memaksakan kehendaknya pada Ghazam. Bahkan, soal pernikahan Ghazam, ia juga mengetahuinya dan tidak memprotes. Althar sadar, terlalu tamak dan memaksakan sesuatu tidak selalu membawa kebaikan.

“Aku sudah bercerai,” kata Ghazam langsung.

Setelah pintu ruangan tertutup kembali, Ghazam melangkah masuk sambil mengusap ujung bibirnya yang semakin terasa nyeri. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan tersebut, lalu menyandarkan punggungnya. Wajahnya menatap lurus ke arah langit-langit ruang kerja yang didominasi nuansa coklat gelap dan material kayu solid.

Althar bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekati Ghazam, sambil berkata, “Jadi, anakku pun menduda sekarang?”

Ghazam hanya mengangkat bahunya sekilas ketika mendengar ayahnya tertawa. Ia menutup matanya sejenak, seolah sedang melepas penat yang selama ini bersemayam di kepalanya.

“Aku bahkan belum sempat merasakan menimang cucu, tapi kau sudah bercerai, Ghazam,” kata Althar lagi dengan nada bercanda. 

“Ayah saja menikah lagi, lalu buatlah bayi sendiri,” timpal Ghazam santai.

“Aku bilang cucu, bukan anak, Ghazam.” Althar berdecak pelan.

“Sama-sama bayi, tidak ada bedanya.” Ghazam membenarkan posisi duduknya, sebab sang ayah telah duduk di hadapannya. Bagaimanapun juga, ia paham yang namanya sopan santun.

“Omong-omong, siapa yang berani menghajarmu? Apa dia tidak tahu kemampuan beladirimu?” tanya Althar mengalihkan pembicaraan. Kemudian, ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang. “Dokter Pram akan segera datang.”

“Hanya kecelakaan kecil.” Ghazam berdesis pelan karena nyeri di perutnya. “Seseorang mengira aku mencuri tasnya, dan segerombolan orang langsung menghajarku.”

“Haha, malang sekali nasibmu,” sahut Althar sambil tertawa.

Ghazam berdecak pelan, lalu mengeluarkan kartu nama Cindy dari sakunya dan meletakkannya di meja. “Lihat, siapa yang menuduhku mencuri tasnya.”

Althar mengambil kartu nama itu dan mengangkat satu alisnya ketika melihat nama yang ada di sana, persis seperti Ghazam sebelumnya. “Arvenzo?”

Ghazam mengangguk pelan.

“Mereka baru mengajukan proposal kerjasama ke bidang fashion kita,” ujar Althar sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. “Untungnya, belum kusetujui. Kau mau mengurusnya?”

Ghazam menggeleng. “Tidak sekarang. Biarkan saja dulu.”

Althar mengangguk pelan, lalu kembali bertanya untuk hal lain. “Oh, aku dengar, kau beli perusahaan yang waktu itu hampir bangkrut. Untuk apa? Bukankah itu milik keluarga istrimu?”

“Mantan istri,” koreksi Ghazam cepat. “Aku hanya ingin menjalankan amanah.”

Althar mengangguk pelan, seolah tak ada masalah dengan apa yang anaknya lakukan. Lalu, berkata dengan nada bercanda, “Mulia sekali hatimu, huh?”

Sejenak, Ghazam tersenyum tipis, menatap ayahnya yang juga sedang menatapnya, lalu berkata, “Pensiunlah, aku akan urus perusahaan.”

“Ah akhirnya!” seru Althar seolah baru mendapatkan apa yang telah lama ia inginkan.

Sebagai anak sulung, Ghazam memang telah disetting sebagai penerus bisnis keluarga mereka. Dalam rencana mereka, Ghazam akan naik menjadi CEO di usia 28 tahun, yaitu tahun lalu. Namun, kematian ibu dan adiknya telah mengubah semua hal.

Saat itu juga, Ghazam langsung menghubungi Janu. Dan ketika sambungan telepon terhubung, Ghazam langsung berkata, “Siapkan pemindahan pimpinan. Besok aku akan mulai duduk di kursi CEO.”

**

Sementara di tempat lain.

Pagi itu, kediaman keluarga Galenka mendadak kacau. Belum juga jarum jam menyentuh angka sepuluh, tetapi Johan, kepala keluarga sekaligus CEO Galenka Corp, sudah membanting koran finansial pagi ke meja kaca ruang makan. Tangannya gemetar, bukan karena usia, tetapi karena kabar mengejutkan yang baru ia terima lewat panggilan telepon dari salah satu direksi internal.

JOR Industries resmi mengakuisisi Galenka Corp.

Tanpa peringatan. Tanpa negosiasi. Tanpa bisa dihentikan.

“APA MAKSUDNYA INI?!” suara Serina memecah ketegangan. Ia berjalan cepat dengan ponsel masih menempel di telinga, wajahnya pucat, rambut panjangnya masih berantakan karena belum sempat ditata. “Aku baru bangun tidur, dan tiba-tiba semua saham kita pindah tangan?!”

Soraya yang duduk di ujung sofa ikut panik. “Johan, ini serius?! Bukankah semalam kamu masih bilang semuanya aman?!”

Johan menepis keringat di pelipisnya. “Semalam ya. Tapi pagi ini, semuanya sudah terlambat. Aku dapat kabar… kita sudah diambil alih. Saham mayoritas kita tidak lagi milik kita.”

Serina memandang ayahnya tak percaya, lalu membentaknya, “Papa bilang bisa kendalikan semuanya! Papa itu CEO! Kepala keluarga! Tapi sekarang apa?! Papa bahkan tidak bisa menjaga perusahaan dari serangan diam-diam seperti ini!”

“Serina, ini bukan waktunya menyalahkan—”

“Tidak! Ini justru waktunya menyalahkan! Karena aku, Mama, seluruh keluarga kita… akan kehilangan segalanya kalau perusahaan itu benar-benar hilang! Kau gagal, Papa!”

Soraya bangkit, suaranya bergetar. “Jangan bicara seperti itu pada papamu!”

“Kenapa tidak, Mam? Karena kenyataannya memang seperti itu, kan?! Mama tahu berapa banyak saham kita yang sudah dilepas tanpa sepengetahuan kita? Kita bisa jadi gelandangan setelah ini!”

Johan memukul meja. “Cukup!”

Suasana langsung sunyi, hanya terdengar dengus napas dan detak jantung yang berpacu.

Dengan rahang mengeras, Johan akhirnya berkata, “Aku sudah tahu siapa CEO baru JOR Industries.”

Serina memicingkan mata. “Siapa?”

“JOR Industries salah satu anak perusahaan JX Global, dan hari ini  kabarnya mereka baru mengganti CEO lama mereka kepada sang pewaris, seorang pemuda 29 tahun.” Johan menghela napas panjang. “Namanya... tidak terlalu dikenal di kalangan kita. Tapi katanya... dia tampan, cerdas. Dan yang jelas ... sangat kaya. Orang dalam bilang, dia yang mengatur semua ini secara pribadi.”

Serina mengernyit. “Lalu?”

Johan menatap anaknya tajam, lalu mengucapkan kalimat yang membuat udara di ruangan itu seolah membeku.

“Dia masih lajang, kau harus mendekatinya, Serina. Buat dia membatalkan akuisisi ini. Rayu dia, gunakan pesonamu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” kata Johan dengan tatapan serius.

Soraya menoleh cepat. “Johan!”

Namun, Johan melanjutkan dengan nada lebih dingin, “Jika tak bisa dibatalkan... maka jadikan dia milikmu. Kalau perlu, kau harus menikah dengannya.”

Serina menatap ayahnya dengan mata melebar. “Apa? Papa … Papa menyuruhku—”

“Ya,” potong Johan. “Kalau itu satu-satunya cara agar keluarga ini tetap berdiri, maka lakukan. Lebih baik kau jadi istri pemilik perusahaan, daripada jadi wanita biasa yang kehilangan semuanya. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan banyak hal,” jelas Johan.

Soraya menutupi mulutnya dengan tangan. “Johan, itu... terlalu—”

“Terlalu apa?!” Johan membalas tajam. “Kau tahu sendiri berapa banyak yang sudah kita bangun! Rumah ini! Gaya hidup kita! Perusahaan ini adalah jantung keluarga kita, dan sekarang sudah direbut! Kalau kita tidak bertindak cepat, kita akan kehilangan semua yang kita miliki.” Johan menatap sang istri dengan tajam, sementara sang istri hanya bisa menganga tak percaya.

Serina diam. Rahangnya mengeras, matanya menajam, campuran antara amarah, kebingungan, dan... rasa kalah. Ia mungkin sering menganggap dirinya di puncak kasta, tetapi kali ini, ia tak lebih dari pion yang hendak dikorbankan.

Bahkan, sebelumnya ia juga seolah ditumbalkan sebagai ucapan terima kasih sang kakek kepada Ghazam. Lalu sekarang, ia juga diperintahkan untuk melakukan hal serupa?

Namun, perlahan Serina mengepalkan tangan. Bagaimanapun juga, selama ini ia telah hidup dalam kekayaan. Ia tak sanggup jika harus hidup miskin.

Jika ini satu-satunya jalan…

Maka Serina akan memainkannya.

Dengan bibir menipis dan tatapan menusuk ke arah ayahnya, Serina berkata dingin, “Baiklah. Aku akan cari tahu siapa dia... dan pastikan dia tidak akan pernah bisa menolak pesonaku.”

Johan tersenyum puas. Ia tahu, anaknya pasti akan memilih jalan yang tepat.

Sementara Soraya hanya bisa diam pasrah. Meskipun rasanya tak tega mengorbankan sang anak, tetapi jika yang ingin diraih adalah berlian, maka itu bukan seharusnya bukan masalah.

“Bersiaplah untuk pergi ke ibukota, datangi kantor pusat JX Global, dan tunjukkan siapa dirimu,” kata Johan dengan mata penuh kemenangan, seolah setelah ini semua dunia akan masuk ke dalam genggamannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 24. Lagi-lagi

    Ghazam melirik ayahnya sekilas, lalu berdiri, menarik kursi untuk mempersilakan Freya duduk di sampingnya.Melihat itu, Freya tersenyum dan menyambut maksud Ghazam dengan baik. Namun, sebelum ia duduk, ia lebih dulu menyapa Althar. “Om, maafkan aku membuat makan malam kalian terganggu.”Althar menggelengkan kepala, masih dengan senyum di wajahnya. “Tidak mengganggu sama sekali. Malah Om senang melihat kamu lagi. Bagaimana kabarmu?”“Aku baik, Om. Om Althar sendiri gimana?” Freya tersenyum hangat sambil mengatur posisi duduknya.“Om baik, biarpun belakangan pusing karena ditinggal anak Om yang hobinya berkelana ini.” sahut Althar sambil sedikit melirik Ghazam.Freya terkekeh kecil, menutup mulutnya sopan. “Bukannya anak Om ini memang dari dulu nggak bisa diam ya? Selalu saja ada yang dia kejar.”Ghazam mengangkat alis sambil menatap Freya sekilas, lalu menyiapkan piring dan alat makan untuk Freya.“Kalau nggak dikejar, nggak akan dapat, kan?” sahut Ghazam ringan, seolah menanggapi deng

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 23. Anak Sotong

    Ghazam menghela napas.Sejak dulu, Althar memang seolah ingin menjadikan Freya sebagai menantunya. Padahal, Ghazam sudah berkali-kali mengatakan bahwa mereka berdua hanya teman biasa. Namun, tetap saja itu tidak membawa pengaruh apa-apa.Meski awalnya Althar terkesan hanya bercanda, tetapi setelah melihat bagaimana kedekatan Ghazam dan Freya, terutama ketika melihat putranya berdiri dengan Freya, ia merasa mereka berdua sangat cocok. Maka sejak itu, Althar terus mencoba membuat keduanya semakin dekat. Namun, setelah Ghazam memutuskan untuk keluar sejenak dari kehidupan mewahnya, Althar tak lagi ikut campur.“Ayah,” kata Ghazam malas.“Coba bayangkan akan sesempurna apa hidupku. Anakku adalah CEO perusahaan besar dunia, punya kemampuan khusus di dunia mi—”“Ayah, sudahlah,” potong Ghazam langsung. Ia berdiri dan berjalan keluar ruangan. “Anak-anak itu sudah menunggu di meja makan, kalau kita masih terus bicara di sini, aku rasa mereka bisa masuk rumah sakit karena kelaparan.”Althar te

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 22. Mantan Calon Menantu

    Ghazam bangkit dari kursinya, lalu berjalan tenang ke arah Serina yang masih berdiri di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan senyum sinis, sangat berbanding terbalik dengan Serina yang tampak tegang dan penuh amarah.“Kau yang memulai, kenapa aku yang kau sebut gila?” kata Ghazam dengan tajam.Serina menggertakkan giginya “Kau …”“Kenapa? Tidak menyangka kalau aku akan langsung tahu bahwa ini semua ulahmu?” sahut Ghazam langsung, sorot matanya menusuk ke arah Serina, seolah tak memberi celah untuk Serina melawan.“Kamu memasang kamera pengawas di rumahku sejak dulu? Itu melanggar hukum, Ghazam!” seru Serina, seolah tak peduli dengan ucapan Ghazam sebelumnya.Ghazam terkekeh. “Aku tidak memasang kamera pengawas, Kakek Damar sendiri yang menyuruh memasang CCTV di rumah, apa kau lupa?”Serina membulatkan matanya. Jelas ia ingat dengan hal itu.Beberapa bulan setelah Ghazam dan Serina menikah, Ghazam memang mengusulkan pada Tuan Damar untuk memasang beberapa kamera CCTV di sudut rumah denga

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 21. Terseret

    Suasana ruang konferensi semakin hening. Bahkan, suara ketikan dari wartawan pun tak ada. Semua pandangan tertuju pada Ghazam yang berdiri penuh percaya diri di tengah podium.Kemudian, Ghazam melangkah keluar dengan mantab tanpa peduli dengan wartawan yang mulai memanggilnya.Tak lama kemudian, hasil konferensi telah sepenuhnya menyebar di semua kanal berita. Lagi-lagi, nama Ghazam J. Manggala menduduki posisi pertama di jajaran berita terpanas.[Ghazam J. Manggala Dianggap Menantu Benalu oleh Keluarga Galenka][Fakta Baru: Ghazam Bukan Ingin Merebut Galenka, Justru Menghidupkan Galenka Kembali, Tetapi Malah Diusir?][Keluarga Galenka Memutar Fakta Soal Ghazam J. Manggala. Benarkah Itu?]Namun, beberapa menit kemudian, semua kembali heboh setelah ada sebuah akun media sosial yang mengunggah rekaman Ghazam dipukuli segerombolan orang di area pemakaman mewah dengan baju kusut, basah, dan bau.“Wah sepertinya, rekaman konferensi pers itu benar. Video ini diambil pada tanggal yang sama d

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 20. Fakta Baru

    Suasana lobby IGD sontak gaduh. Beberapa orang berbisik-bisik, bahkan ada yang menatap ke arah Ghazam yang hanya berdiri kaku di tempat.“Tuan …” gumam Janu lirih. Jelas ia sudah tahu soal pernikahan Ghazam, tetapi ia tidak menyangka akan ada yang memelintir berita itu untuk menjatuhkan Ghazam.Namun, belum sempat Ghazam merespon, tiba-tiba Freya telah kembali datang dengan ponsel yang menampilkan laman berita serupa dengan di televisi.“Zam …” lirih Freya.Sebenarnya, meskipun Freya tidak sedekat itu dengan Ghazam, tetapi dia bisa menilai bahwa Ghazam bukan tipe pria yang seperti itu. Apalagi, Ghazam ini orang kaya. Mana mungkin ia rela menikah hanya untuk menguasai satu perusahaan kecil?Namun, ucapan Ghazam selanjutnya cukup membuat Freya tercengang.“Aku memang pernah menikah dengannya,” ujar Ghazam dingin dengan sorot mata tajam.“Tapi … tidak dengan pernyataan soal menguasai perusahaan mereka, kan?” tanya Freya memastikan dengan ragu.“Apa aku tampak seperti orang yang melakukan

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 19. Berita Sensasional

    Freya sempat tertegun mendengar ucapan spontan itu, lalu tak kuasa menahan tawa kecilnya. Pipi tipisnya merona samar, sesuatu yang jarang sekali terlihat dari seorang dokter yang biasanya begitu tegas.Ghazam, di sisi lain, hanya bisa menghela napas pendek sambil menatap Alin dengan tatapan setengah heran. “Alin…” suaranya berat, bernada seperti hendak menegur, tapi sulit menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Apa? Kan bener,” jawab Alin polos, matanya berbinar. “Kalau Kakak Azam sama Ibu Dokter kerja sama nolongin anak-anak, pasti tambah banyak yang bahagia.”Freya melirik sekilas pada Ghazam, lalu tersenyum lembut pada Alin. “Terima kasih, Alin. Kamu pintar sekali melihat hal yang baik.”Alin mengangguk puas, merasa kata-katanya tidak ditolak. Ia pun akhirnya benar-benar berjalan ke sisi ranjang Nina.Setelah gadis kecil itu menjauh, suasana antara Ghazam dan Freya sempat hening beberapa detik. Keduanya saling menatap singkat, lalu buru-buru memalingkan wajah. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status