“Sungguh, Tuan Ghazam akan kembali?” tanya pria bernama Janu dari seberang dengan antusias yang memuncak.
“Sejak kapan aku selalu mempermainkan ucapanku, Janu?” ujar Ghazam dingin.
Wajah sendunya berubah dingin. Sorot mata menajam, rahang mengeras. Inilah Ghazam yang sebenarnya.
Bukan pria payah, bukan suami miskin, bukan menantu benalu, dan jelas bukan pencuri.
Ghazam J. Manggala adalah pewaris tunggal keluarga Jorrel, konglomerat yang menguasai berbagai sektor bisnis di Asia, Eropa, hingga Amerika.
Lima tahun terakhir, ia memilih hidup sebagai orang biasa. Bukan tanpa alasan.
Pertama, ia muak dengan dunia kekuasaan yang merenggut ibu dan adik perempuannya. Ia ingin tahu siapa yang benar-benar tulus. Alasan kedua… masih ia simpan rapat-rapat.
“Tidak, Tuan. Kalau begitu, saya akan mempersiapkan semua,” jawab Janu akhirnya. “Oh, apa saya perlu memberitahu Tuan Besar sekarang?”
“Tidak usah, nanti aku akan muncul di hadapannya langsung,” ujar Ghazam langsung. “Satu lagi, siapkan berkas untuk membeli semua saham milik Galenka Corp.”
Janu terdiam sejenak, seperti sedang terkejut, lalu berkata dengan sedikit ragu, “Tuan, saham kita di sana sudah ada sekitar 20% dan perusahaan itu juga sepertinya tidak begitu menjanjikan di masa mendatang. Jadi, untuk apa Tuan membeli perusahaan itu?”
“Lakukan saja apa yang kuperintahkan, Janu.” Suara Ghazam terdengar lebih dingin, seperti vonis yang tak bisa lagi dibantah. Dan tanpa menunggu jawaban sang tangan kanan, Ghazam langsung memutuskan sambungan telepon itu.
Dulu, ketika Galenka Corp diambang kebangkrutan, Ghazam memang memberikan idenya untuk menolong perusahaan itu. Namun, hampir semua perusahaan tak ada yang mau bertaruh nasib untuk berinvestasi pada mereka.
Akhirnya, Ghazam terpaksa merancang ide yang sangat cocok untuk diajukan pada JOR Industries, anak perusahaan JX Global, perusahaan milik keluarga Jorrel yang bergerak di bidang properti.
Dan kini, demi menjalankan salah satu amanah terakhir Kakek Darma untuk menjaga keberhasilan Galenka Corp, terpaksa Ghazam harus menggunakan cara terakhirnya, yaitu mengambil alih perusahaan itu. Sebab, semenjak perusahaan itu dipegang oleh Johan, sebenarnya sama sekali tak ada kemajuan. Pria itu tak mengerti apa-apa soal bisnis.
**
Setelah meninggalkan kantor polisi, Ghazam pergi ibukota, tepatnya di area hunian mewah milik para elit Ibukota Asera. Taksi yang membawa Ghazam berhenti di depan sebuah gedung Penthouse.
Dengan kaos kusut, celana bahan hitam yang lusuh, juga sendal murah, wajah babak belur, dan bau amis yang menyengat, Ghazam berjalan memasuki gedung tersebut, membuat beberapa orang yang berada di halaman gedung memandangnya aneh.
“Kenapa ada pengemis di gedung mewah seperti ini?”
“Astaga, apa dia orang gila? Bau sekali tubuhnya.”
“Di mana petugas keamanan gedung? Kenapa bisa pengemis dibiarkan masuk?”
Beberapa cacian masuk ke telinga Ghazam, tetapi ia tidak peduli. Hingga akhirnya, seorang petugas keamanan menghampirinya di depan lobby gedung.
“Selamat malam, Pak. Anda sedang mencari siapa?” tanya petugas itu.
Pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan earpiece di telinga kirinya, menatap Ghazam dengan tatapan remeh, seperti sedang melihat pengemis yang menerobos masuk gedung mewah.
Namun, Ghazam tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu sejenak, lalu kembali berjalan masuk.
“Pak, tunggu … Anda tidak bisa masuk tanpa izin,” cegah petugas keamanan tersebut, bahkan ia tak segan menarik tangan Ghazam untuk menghentikan langkahnya, meskipun sambil menahan napas karena bau dari tubuh Ghazam. “Selagi saya masih bersikap sopan, tolong ikuti aturan di gedung ini.”
Ghazam menatap pria itu sekilas dengan dingin, lalu berkata, “Kau orang baru di sini?”
Pria itu mengernyitkan dahinya. Ia memang baru bekerja satu bulan. Namun, sekarang itu bukanla masalah yang utama, bukan?
“Itu tidak penting untuk Anda, Pak,” jawab pria itu, lalu kembali menyeret Ghazam untuk keluar dari area gedung. “Sebaiknya Anda cepat pergi dari sini, atau manajemen gedung akan menyeret Anda ke Dinas Sosial.”
Beberapa orang yang ingin keluar atau masuk gedung berhenti sejenak untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sebagian kembali berjalan dan tidak peduli, tetapi sebagian kembali berbisik-bisik.
“Ada apa ini?”
Suara seorang wanita tiba-tiba muncul, membuat penjaga tersebut melepas cengkramannya pada Ghazam dan langsung membungkuk memberi salam.
“Bu Diana,” sapa petugas tersebut. “Ada pengemis yang memaksa masuk, Bu.”
Diana, manajer Seraphine Tower, mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?”
Namun, ketika Diana melihat Ghazam yang berdiri di belakang petugas keamanan tersebut, ia langsung membelalakkan matanya.
“Tuan Muda?” kata Diana tak percaya. Awalnya, ia memang tidak begitu mengenali Ghazam karena penampilannya yang sangat berbeda, bahkan kini terlihat jauh lebih kurus dari ketika terakhir kali mereka bertemu sebelum Ghazam benar-benar menghilang dari kehidupan mewahnya.
Diana langsung menarik petugas keamanan tersebut dan menatapnya dengan tajam. “Siapa yang kau sebut pengemis? Ini adalah Tuan Muda Ghazam, putra Tuan Althar Jorrel, pemilik gedung ini!”
Begitu mendengar ucapan Diana, petugas keamanan itu langsung membelalakkan matanya. Ia langsung berlutut di depan Ghazam.
“Tuan Muda, maafkan saya karena tidak mengenali Anda,” ucap petugas keamanan tersebut, ia bahkan hampir bersujud karena takut. Bagaimana tidak, orang yang ia kira pengemis bahkan ia seret keluar itu ternyata adalah putra pemilik gedung tempat ia bekerja.
“Tuan Muda, mohon maafkan staf baru kami. Dia baru bekerja selama satu bulan, jadi belum banyak tahu,” sahut Diana, mencoba membela staf barunya meskipun rasanya hampir tidak bisa diselamatkan.
“Bangunlah, kau malah semakin memancing keributan,” kata Ghazam dingin.
Pada dasarnya, Ghazam memang bukan tipikal orang yang dengan mudah naik darah atau membalas jika ia direndahkan. Ia memiliki ukuran sendiri untuk hal-hal yang perlu dibalas dengan sesuatu yang lebih kejam. Terlebih, ia memiliki cara sendiri untuk membalas.
Mendengar ucapan Ghazam, beberapa orang yang ada di sekitar tampak terkejut. Terutama, wanita-wanita yang tadinya menatap remeh, kini justru berbanding terbalik.
Pun dengan si penjaga keamanaan. Ia langsung berdiri dan beberapa kali membungkukkan badan kepada Ghazam, sambil berkata, “Tuan Muda, sekali lagi maafkan kelalaian saya.”
“Setelah ini, pastikan semua staf baru mendapat pelatihan yang intens,” kata Ghazam pada Diana, sambil melirik petugas baru tersebut.
Diana mengangguk, “Baik, Tuan Muda.”
Setelah itu, Ghazam langsung melangkah meninggalkan keduanya. Ketika mereka mengucapkan terima kasih, Ghazam bahkan hanya mengangguk pelan tanpa menoleh sedikitpun.
Lift melaju menuju lantai paling atas, salah satu Super Penthouse yang ada di gedung ini. Perlu diketahui, di gedung ini hanya memiliki 15 lantai. Masing-masing lantai memiliki 2 Penthouse, sementara di lantai 14 dan 15 adalah Super Penthouse.
Ketika pintu itu dibuka, Ghazam terdiam sejenak. Pandangannya menyapu sekeliling. Hampir lima tahun ia absen dari rumah mewahnya ini. Dan kini, rumah itu ternyata terasa lebih dingin.
Langkah Ghazam berlanjut ke arah sebuah ruangan, ruang kerja sang ayah. Ia tahu, di jam seperti ini ayahnya pasti ada di sana.
Ketika pintu itu terbuka, pria paruh baya yang semua fokus pada layar tablet di mejanya langsung beralih. Dahinya mengernyit, lalu bibirnya mengulas senyum tipis, seolah tak terkejut dengan kemunculan Ghazam. Namun, ia tetap mengernyit ketika melihat keadaan Ghazam yang kacau.
“Setelah bertahun-tahun pergi, kau kembali dengan keadaan seperti ini, anakku?”
Ghazam melirik ayahnya sekilas, lalu berdiri, menarik kursi untuk mempersilakan Freya duduk di sampingnya.Melihat itu, Freya tersenyum dan menyambut maksud Ghazam dengan baik. Namun, sebelum ia duduk, ia lebih dulu menyapa Althar. “Om, maafkan aku membuat makan malam kalian terganggu.”Althar menggelengkan kepala, masih dengan senyum di wajahnya. “Tidak mengganggu sama sekali. Malah Om senang melihat kamu lagi. Bagaimana kabarmu?”“Aku baik, Om. Om Althar sendiri gimana?” Freya tersenyum hangat sambil mengatur posisi duduknya.“Om baik, biarpun belakangan pusing karena ditinggal anak Om yang hobinya berkelana ini.” sahut Althar sambil sedikit melirik Ghazam.Freya terkekeh kecil, menutup mulutnya sopan. “Bukannya anak Om ini memang dari dulu nggak bisa diam ya? Selalu saja ada yang dia kejar.”Ghazam mengangkat alis sambil menatap Freya sekilas, lalu menyiapkan piring dan alat makan untuk Freya.“Kalau nggak dikejar, nggak akan dapat, kan?” sahut Ghazam ringan, seolah menanggapi deng
Ghazam menghela napas.Sejak dulu, Althar memang seolah ingin menjadikan Freya sebagai menantunya. Padahal, Ghazam sudah berkali-kali mengatakan bahwa mereka berdua hanya teman biasa. Namun, tetap saja itu tidak membawa pengaruh apa-apa.Meski awalnya Althar terkesan hanya bercanda, tetapi setelah melihat bagaimana kedekatan Ghazam dan Freya, terutama ketika melihat putranya berdiri dengan Freya, ia merasa mereka berdua sangat cocok. Maka sejak itu, Althar terus mencoba membuat keduanya semakin dekat. Namun, setelah Ghazam memutuskan untuk keluar sejenak dari kehidupan mewahnya, Althar tak lagi ikut campur.“Ayah,” kata Ghazam malas.“Coba bayangkan akan sesempurna apa hidupku. Anakku adalah CEO perusahaan besar dunia, punya kemampuan khusus di dunia mi—”“Ayah, sudahlah,” potong Ghazam langsung. Ia berdiri dan berjalan keluar ruangan. “Anak-anak itu sudah menunggu di meja makan, kalau kita masih terus bicara di sini, aku rasa mereka bisa masuk rumah sakit karena kelaparan.”Althar te
Ghazam bangkit dari kursinya, lalu berjalan tenang ke arah Serina yang masih berdiri di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan senyum sinis, sangat berbanding terbalik dengan Serina yang tampak tegang dan penuh amarah.“Kau yang memulai, kenapa aku yang kau sebut gila?” kata Ghazam dengan tajam.Serina menggertakkan giginya “Kau …”“Kenapa? Tidak menyangka kalau aku akan langsung tahu bahwa ini semua ulahmu?” sahut Ghazam langsung, sorot matanya menusuk ke arah Serina, seolah tak memberi celah untuk Serina melawan.“Kamu memasang kamera pengawas di rumahku sejak dulu? Itu melanggar hukum, Ghazam!” seru Serina, seolah tak peduli dengan ucapan Ghazam sebelumnya.Ghazam terkekeh. “Aku tidak memasang kamera pengawas, Kakek Damar sendiri yang menyuruh memasang CCTV di rumah, apa kau lupa?”Serina membulatkan matanya. Jelas ia ingat dengan hal itu.Beberapa bulan setelah Ghazam dan Serina menikah, Ghazam memang mengusulkan pada Tuan Damar untuk memasang beberapa kamera CCTV di sudut rumah denga
Suasana ruang konferensi semakin hening. Bahkan, suara ketikan dari wartawan pun tak ada. Semua pandangan tertuju pada Ghazam yang berdiri penuh percaya diri di tengah podium.Kemudian, Ghazam melangkah keluar dengan mantab tanpa peduli dengan wartawan yang mulai memanggilnya.Tak lama kemudian, hasil konferensi telah sepenuhnya menyebar di semua kanal berita. Lagi-lagi, nama Ghazam J. Manggala menduduki posisi pertama di jajaran berita terpanas.[Ghazam J. Manggala Dianggap Menantu Benalu oleh Keluarga Galenka][Fakta Baru: Ghazam Bukan Ingin Merebut Galenka, Justru Menghidupkan Galenka Kembali, Tetapi Malah Diusir?][Keluarga Galenka Memutar Fakta Soal Ghazam J. Manggala. Benarkah Itu?]Namun, beberapa menit kemudian, semua kembali heboh setelah ada sebuah akun media sosial yang mengunggah rekaman Ghazam dipukuli segerombolan orang di area pemakaman mewah dengan baju kusut, basah, dan bau.“Wah sepertinya, rekaman konferensi pers itu benar. Video ini diambil pada tanggal yang sama d
Suasana lobby IGD sontak gaduh. Beberapa orang berbisik-bisik, bahkan ada yang menatap ke arah Ghazam yang hanya berdiri kaku di tempat.“Tuan …” gumam Janu lirih. Jelas ia sudah tahu soal pernikahan Ghazam, tetapi ia tidak menyangka akan ada yang memelintir berita itu untuk menjatuhkan Ghazam.Namun, belum sempat Ghazam merespon, tiba-tiba Freya telah kembali datang dengan ponsel yang menampilkan laman berita serupa dengan di televisi.“Zam …” lirih Freya.Sebenarnya, meskipun Freya tidak sedekat itu dengan Ghazam, tetapi dia bisa menilai bahwa Ghazam bukan tipe pria yang seperti itu. Apalagi, Ghazam ini orang kaya. Mana mungkin ia rela menikah hanya untuk menguasai satu perusahaan kecil?Namun, ucapan Ghazam selanjutnya cukup membuat Freya tercengang.“Aku memang pernah menikah dengannya,” ujar Ghazam dingin dengan sorot mata tajam.“Tapi … tidak dengan pernyataan soal menguasai perusahaan mereka, kan?” tanya Freya memastikan dengan ragu.“Apa aku tampak seperti orang yang melakukan
Freya sempat tertegun mendengar ucapan spontan itu, lalu tak kuasa menahan tawa kecilnya. Pipi tipisnya merona samar, sesuatu yang jarang sekali terlihat dari seorang dokter yang biasanya begitu tegas.Ghazam, di sisi lain, hanya bisa menghela napas pendek sambil menatap Alin dengan tatapan setengah heran. “Alin…” suaranya berat, bernada seperti hendak menegur, tapi sulit menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Apa? Kan bener,” jawab Alin polos, matanya berbinar. “Kalau Kakak Azam sama Ibu Dokter kerja sama nolongin anak-anak, pasti tambah banyak yang bahagia.”Freya melirik sekilas pada Ghazam, lalu tersenyum lembut pada Alin. “Terima kasih, Alin. Kamu pintar sekali melihat hal yang baik.”Alin mengangguk puas, merasa kata-katanya tidak ditolak. Ia pun akhirnya benar-benar berjalan ke sisi ranjang Nina.Setelah gadis kecil itu menjauh, suasana antara Ghazam dan Freya sempat hening beberapa detik. Keduanya saling menatap singkat, lalu buru-buru memalingkan wajah. A