JX Global gempar.
Sang pewaris yang menghilang lima tahun terakhir kini kembali dan langsung mengambil alih tahta.
“Ruang konferensi telah siap, Tuan,” kata Janu langsung.
Pagi itu, seremonial pemindahan jabatan dari Althar kepada Ghazam akan berlangsung di ruang konferensi megah berlapis kaca kristal dan kayu walnut.
Namun, bukan kemewahan ruangan atau nama besar Althar yang menyita perhatian, melainkan sosok muda yang melangkah masuk dengan tenang.
Ghazam J. Manggala.
Sorot matanya dingin dan tak terbaca. Luka di wajahnya telah sepenuhnya hilang. Setelan jas hitam membalut tubuh tegapnya, memancarkan kekuasaan dan ancaman diam bagi siapa pun yang berniat melawan.
Satu per satu petinggi berdiri, bukan karena sopan santun, tetapi tekanan tak kasat mata yang menggantung di udara. Bahkan para komisaris asing pun bungkam.
“Lima tahun menghilang, dan kembali seperti raja.”
“Dia bahkan lebih menakutkan dari kabar yang beredar.”
Tanpa perlu banyak ucapan, Althar hanya menyerahkan pin emas bertuliskan JX ke tangan putranya.
“Mulai hari ini, JX Global adalah milikmu sepenuhnya,” ucap Althar, suaranya dalam, tetapi ringkas.
Ghazam menerimanya dengan tenang, menyematkan pin itu sendiri di kerah jasnya. Lalu ia bicara, pelan, tegas, dan tak lebih dari dua kalimat. Namun, seluruh ruangan seolah berhenti bernapas saat suara itu terdengar.
“Saya tak peduli bagaimana perusahaan ini berjalan selama saya pergi. Tetapi mulai hari ini, setiap keputusan, setiap langkah, akan melewati tanganku.”
Tak ada tepuk tangan. Tak ada suara.
Hanya kesadaran bahwa sang pewaris telah kembali ke tahtanya.
Dan di luar ruangan, dunia mulai gemetar.
[The Phantom Heir Returns.]
[The Young Tyrant of JX Global.]
Pasar saham, media internasional, hingga para pesaing bisnis mulai bergerak… tetapi tak satupun dari mereka siap menghadapi sosok baru di puncak kekuasaan.
**
Usai seremoni, Ghazam langsung naik ke lantai tertinggi gedung JX Global. Ruang CEO berdinding kaca antipeluru, menghadap panorama Ibukota Asera dari ketinggian.
Di atas meja hitam mengkilap, tumpukan berkas baru sudah menunggu.
Tanpa banyak kata, Ghazam melepas jas, menyisakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, lalu membuka map pertama. Tangan kirinya menggenggam pena digital. Matanya tajam, membaca cepat, tanpa jeda.
Sebuah layar di sisi kirinya menayangkan berita terbaru. Ia tak menoleh sedikit pun.
Dunia boleh gempar. Namun, Ghazam tak hidup untuk sorotan.
Tiba-tiba pintu diketuk dua kali. Tak lama, Janu masuk dengan langkah cepat, wajahnya terlihat sedikit ragu. “Maaf mengganggu, Tuan.”
Ghazam mengangkat kepala, diam.
Janu menelan ludah sebelum berkata, “Ada seorang wanita… di lobby depan. Mengaku sebagai putri keluarga Galenka.”
Sekilas, tak ada reaksi dari wajah Ghazam.
“Namanya Serina Galenka. Dia bilang ingin bicara langsung dengan Anda mengenai akuisisi perusahaan mereka,” lanjut Janu.
Suasana ruang itu mendadak hening beberapa detik.
Kemudian, Ghazam menyandarkan punggung ke kursi kerjanya. Jemarinya saling bertaut, dagunya bertumpu pada ibu jari.
“Send her up,” ucap Ghazam pelan, tetapi dalam. “Pastikan tidak ada satu pun kamera di lantai ini yang menyala.”
Janu mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Saat pintu tertutup, Ghazam menoleh ke jendela. Tatapannya dingin, tapi dalamnya masih menyala bara. Ia memutar kursi, membelakangi pintu, lalu membuka laman berita tanpa banyak ekspresi.
Dua ketukan. Pintu terbuka. Suara hak tinggi menggema di ruang CEO yang mewah.
Serina Galenka masuk penuh percaya diri. Rambut panjangnya ditata sempurna, riasan flawless khas sosialita papan atas. Gaun pastel selutut membalut tubuh rampingnya, menonjolkan lekuk yang pas di semua sudut, elegan, tapi tetap menggoda.
Di tangannya, seikat lily putih terbungkus kertas emas tipis. Senyumnya manis, tajam, dan berbahaya, seperti wanita yang yakin dunia akan bertekuk lutut padanya.
Serina berdiri sejenak, menatap ruangan, sebelum akhirnya berkata dengan nada semanis mungkin, “Selamat sore... Tuan CEO.”
Serina melangkah masuk dengan anggun, lalu meletakkan bunga di sudut meja, tanpa menyadari siapa yang tengah ia hadapi.
“Saya Serina Galenka,” lanjut Serina lembut, senyumnya menawan. “Saya harap Anda tidak keberatan dengan kedatangan saya yang tiba-tiba. Saya hanya... ingin membicarakan sesuatu tentang perusahaan kami yang baru saja Anda akuisisi.”
Tak ada respons langsung.
Serina mencondongkan sedikit tubuhnya, mencoba melihat sekilas ekspresi di balik punggung itu, tetapi gagal.
Serina tersenyum lagi, lalu menambahkan dengan suara yang lebih lembut, “Dan mungkin... kita bisa mulai dari perkenalan yang lebih personal. Saya bawakan bunga. Lily. Simbol awal yang bersih... dan damai.”
Masih tak ada respons.
Lalu, perlahan… kursi itu berputar.
Serina membeku. Napasnya tercekat. Dunia seolah jungkir balik saat kursi itu berputar dan menampakkan wajah pria yang dulu ia hina habis-habisan.
“Gh–Ghazam …” ucap Serina lirih.
Ghazam hanya tersenyum tipis, berdiri, dan berjalan santai ke sofa. Duduk tanpa tergesa, seolah pertemuan ini hanya sekadar formalitas.
“Kenapa terkejut, Serina?” tanya Ghazam datar seolah ini hanya hal kecil.
Serina menelan ludah. Sosok itu tak berubah banyak, tapi aura yang mengelilinginya kini jauh berbeda. Dingin, tegas, tak tersentuh. Seperti batu permata gelap yang berkilau, tetapi bisa melukai siapa pun yang menyentuhnya.
Ghazam menjatuhkan tubuhnya santai ke sofa, menyilangkan kaki, lalu menatap Serina sejenak. Tatapannya tenang, tak ada sedikit pun kemarahan atau kebencian yang justru membuat tekanan di dada Serina makin menjadi-jadi.
“Silakan duduk, Serina,” ucap Ghazam ringan. “Aku tahu kakimu sedang gemetar.”
Serina membuka mulut, menutupnya lagi. Napasnya pendek, tetapi kemudian, dalam sekejap, ia menarik napas panjang dan berubah.
Meskipun Serina masih tak bisa mencerna semua ini, tetapi kali ini tujuannya hanya satu.
Serina meletakkan tas kecilnya dengan pelan di meja, lalu berjalan mendekat, duduk di sofa seberang Ghazam. Senyumnya kembali, kali ini lebih lembut, lebih hangat, lebih... manipulatif. Seolah mencoba menghidupkan kembali peran lamanya sebagai istri sempurna yang manis.
“Ghazam…” kata Serina pelan. “Aku tahu... semua ini pasti terasa aneh bagimu. Tapi aku benar-benar ingin bicara dari hati ke hati.”
Ghazam hanya menaikkan satu alis, memberi ruang.
Serina menunduk sejenak, lalu menatap mata Ghazam dengan tatapan yang sengaja dibuat penuh rasa.
“Aku... aku minta maaf. Atas semua yang sudah terjadi. Caraku memperlakukanmu... kata-kata yang dulu pernah kuucapkan...” Serina menggigit bibir bawahnya sedikit, lalu menghela napas. “Semua itu... hanya karena aku terlalu malu. Terlalu takut pada perasaanku sendiri. Aku... sebenarnya mencintaimu, Ghazam. Tapi aku terlalu bodoh untuk mengakuinya.”
Ghazam hanya menatap Serina, diam. Tidak menunjukkan apakah ia percaya atau mencibir. Wajahnya tetap netral, tidak terbaca.
Serina melanjutkan, suaranya mulai lebih cepat, seolah tahu waktu yang dimilikinya tak banyak.
“Aku tahu... mungkin sekarang kamu membenciku. Mungkin kamu pikir aku hanya datang karena perusahaan keluarga kami di ambang kehancuran. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Aku... aku sungguh ingin memperbaiki semuanya.”
Serina mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap pria itu lurus-lurus. “Ghazam, tolong. Tolong... kembalikan Galenka Corp. Aku akan melakukan apapun untuk menebusnya.”
Suasana ruangan menjadi senyap. Hanya detik jam digital yang berdetak di layar kaca belakang Ghazam.
“Kau yakin akan melakukan apapun?” tanya Ghazam memastikan, nadanya datar, dingin, dengan senyum tipis menghias bibirnya, senyuman yang lebih menyerupai tebing tajam daripada keramahan.
Serina mengangguk penuh keyakinan.
Ghazam menatap Serina dalam diam, lalu perlahan berkata dengan suara rendah dan tegas, “Tidurlah denganku sekali lagi, merayaplah ke ranjangku seperti seorang istri yang rindu tubuh suaminya setiap malam.”
Ghazam melirik ayahnya sekilas, lalu berdiri, menarik kursi untuk mempersilakan Freya duduk di sampingnya.Melihat itu, Freya tersenyum dan menyambut maksud Ghazam dengan baik. Namun, sebelum ia duduk, ia lebih dulu menyapa Althar. “Om, maafkan aku membuat makan malam kalian terganggu.”Althar menggelengkan kepala, masih dengan senyum di wajahnya. “Tidak mengganggu sama sekali. Malah Om senang melihat kamu lagi. Bagaimana kabarmu?”“Aku baik, Om. Om Althar sendiri gimana?” Freya tersenyum hangat sambil mengatur posisi duduknya.“Om baik, biarpun belakangan pusing karena ditinggal anak Om yang hobinya berkelana ini.” sahut Althar sambil sedikit melirik Ghazam.Freya terkekeh kecil, menutup mulutnya sopan. “Bukannya anak Om ini memang dari dulu nggak bisa diam ya? Selalu saja ada yang dia kejar.”Ghazam mengangkat alis sambil menatap Freya sekilas, lalu menyiapkan piring dan alat makan untuk Freya.“Kalau nggak dikejar, nggak akan dapat, kan?” sahut Ghazam ringan, seolah menanggapi deng
Ghazam menghela napas.Sejak dulu, Althar memang seolah ingin menjadikan Freya sebagai menantunya. Padahal, Ghazam sudah berkali-kali mengatakan bahwa mereka berdua hanya teman biasa. Namun, tetap saja itu tidak membawa pengaruh apa-apa.Meski awalnya Althar terkesan hanya bercanda, tetapi setelah melihat bagaimana kedekatan Ghazam dan Freya, terutama ketika melihat putranya berdiri dengan Freya, ia merasa mereka berdua sangat cocok. Maka sejak itu, Althar terus mencoba membuat keduanya semakin dekat. Namun, setelah Ghazam memutuskan untuk keluar sejenak dari kehidupan mewahnya, Althar tak lagi ikut campur.“Ayah,” kata Ghazam malas.“Coba bayangkan akan sesempurna apa hidupku. Anakku adalah CEO perusahaan besar dunia, punya kemampuan khusus di dunia mi—”“Ayah, sudahlah,” potong Ghazam langsung. Ia berdiri dan berjalan keluar ruangan. “Anak-anak itu sudah menunggu di meja makan, kalau kita masih terus bicara di sini, aku rasa mereka bisa masuk rumah sakit karena kelaparan.”Althar te
Ghazam bangkit dari kursinya, lalu berjalan tenang ke arah Serina yang masih berdiri di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan senyum sinis, sangat berbanding terbalik dengan Serina yang tampak tegang dan penuh amarah.“Kau yang memulai, kenapa aku yang kau sebut gila?” kata Ghazam dengan tajam.Serina menggertakkan giginya “Kau …”“Kenapa? Tidak menyangka kalau aku akan langsung tahu bahwa ini semua ulahmu?” sahut Ghazam langsung, sorot matanya menusuk ke arah Serina, seolah tak memberi celah untuk Serina melawan.“Kamu memasang kamera pengawas di rumahku sejak dulu? Itu melanggar hukum, Ghazam!” seru Serina, seolah tak peduli dengan ucapan Ghazam sebelumnya.Ghazam terkekeh. “Aku tidak memasang kamera pengawas, Kakek Damar sendiri yang menyuruh memasang CCTV di rumah, apa kau lupa?”Serina membulatkan matanya. Jelas ia ingat dengan hal itu.Beberapa bulan setelah Ghazam dan Serina menikah, Ghazam memang mengusulkan pada Tuan Damar untuk memasang beberapa kamera CCTV di sudut rumah denga
Suasana ruang konferensi semakin hening. Bahkan, suara ketikan dari wartawan pun tak ada. Semua pandangan tertuju pada Ghazam yang berdiri penuh percaya diri di tengah podium.Kemudian, Ghazam melangkah keluar dengan mantab tanpa peduli dengan wartawan yang mulai memanggilnya.Tak lama kemudian, hasil konferensi telah sepenuhnya menyebar di semua kanal berita. Lagi-lagi, nama Ghazam J. Manggala menduduki posisi pertama di jajaran berita terpanas.[Ghazam J. Manggala Dianggap Menantu Benalu oleh Keluarga Galenka][Fakta Baru: Ghazam Bukan Ingin Merebut Galenka, Justru Menghidupkan Galenka Kembali, Tetapi Malah Diusir?][Keluarga Galenka Memutar Fakta Soal Ghazam J. Manggala. Benarkah Itu?]Namun, beberapa menit kemudian, semua kembali heboh setelah ada sebuah akun media sosial yang mengunggah rekaman Ghazam dipukuli segerombolan orang di area pemakaman mewah dengan baju kusut, basah, dan bau.“Wah sepertinya, rekaman konferensi pers itu benar. Video ini diambil pada tanggal yang sama d
Suasana lobby IGD sontak gaduh. Beberapa orang berbisik-bisik, bahkan ada yang menatap ke arah Ghazam yang hanya berdiri kaku di tempat.“Tuan …” gumam Janu lirih. Jelas ia sudah tahu soal pernikahan Ghazam, tetapi ia tidak menyangka akan ada yang memelintir berita itu untuk menjatuhkan Ghazam.Namun, belum sempat Ghazam merespon, tiba-tiba Freya telah kembali datang dengan ponsel yang menampilkan laman berita serupa dengan di televisi.“Zam …” lirih Freya.Sebenarnya, meskipun Freya tidak sedekat itu dengan Ghazam, tetapi dia bisa menilai bahwa Ghazam bukan tipe pria yang seperti itu. Apalagi, Ghazam ini orang kaya. Mana mungkin ia rela menikah hanya untuk menguasai satu perusahaan kecil?Namun, ucapan Ghazam selanjutnya cukup membuat Freya tercengang.“Aku memang pernah menikah dengannya,” ujar Ghazam dingin dengan sorot mata tajam.“Tapi … tidak dengan pernyataan soal menguasai perusahaan mereka, kan?” tanya Freya memastikan dengan ragu.“Apa aku tampak seperti orang yang melakukan
Freya sempat tertegun mendengar ucapan spontan itu, lalu tak kuasa menahan tawa kecilnya. Pipi tipisnya merona samar, sesuatu yang jarang sekali terlihat dari seorang dokter yang biasanya begitu tegas.Ghazam, di sisi lain, hanya bisa menghela napas pendek sambil menatap Alin dengan tatapan setengah heran. “Alin…” suaranya berat, bernada seperti hendak menegur, tapi sulit menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Apa? Kan bener,” jawab Alin polos, matanya berbinar. “Kalau Kakak Azam sama Ibu Dokter kerja sama nolongin anak-anak, pasti tambah banyak yang bahagia.”Freya melirik sekilas pada Ghazam, lalu tersenyum lembut pada Alin. “Terima kasih, Alin. Kamu pintar sekali melihat hal yang baik.”Alin mengangguk puas, merasa kata-katanya tidak ditolak. Ia pun akhirnya benar-benar berjalan ke sisi ranjang Nina.Setelah gadis kecil itu menjauh, suasana antara Ghazam dan Freya sempat hening beberapa detik. Keduanya saling menatap singkat, lalu buru-buru memalingkan wajah. A