Share

Bab 5

"Apa kau baik-baik saja?"

Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.

Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.

Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi.

"Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.

Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali bila ada kesempatan dia akan membalas perbuatan Dante padanya.

"Lizzy .... Jangan pernah mengira hubungan kita telah berakhir," ucap Ben pada Lizzy dengan sorot mata memerah. Setelah itu dia bergegas menyingkir dari sana.

Sepeninggal Ben, Dante menghadap pada Lizzy lagi. Dia mengulurkan tangannya, lalu menarik tangan Lizzy kuat. Dengan sigap dia merangkul pinggang Lizzy karena kaki gadis itu lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.

"Sepertinya kau tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini," gumam Dante setelah melihat keadaan Lizzy yang menyedihkan.

Wajah Lizzy terlihat pucat, dan rambutnya sedikit berantakan. Telapak tangannya tergores dan memerah. Baju atasan Lizzy sedikit terkoyak bagian depannya. 

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih atas bantuanmu," balas Lizzy dengan suara lemah.

"Siapa namamu? Di mana kau tinggal?" Dante benar-benar mengkhawatirkan Lizzy meskipun mereka baru pertama kali bertemu.

"Elizabeth Lizzy Young. Kau bisa memanggilku Lizzy," jawab Lizzy lalu menyebutkan alamat tempat tinggalnya.

Setelah mengatakan itu mata Lizzy melebar. Tanpa Lizzy duga Dante langsung menggendongnya, lalu mendudukkannya di bangku taman. Selama beberapa saat otak Lizzy membeku, membuat dia kehilangan kata-kata.

"Aku akan mencari obat. Tunggu di sini sampai aku kembali."

Dante membalikkan tubuhnya. Dia berlari kencang meninggalkan Lizzy yang masih membisu. Bayangannya menghilang dari pandangan Lizzy  dalam hitungan detik di kegelapan malam.

Pelan-pelan hati Lizzy mulai menghangat. Belum pernah dia menerima perhatian seintens ini dari seorang laki-laki yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Termasuk dari kekasihnya sendiri, Ben. Selama ini Ben selalu bersikap dingin padanya, dan sering berkata kasar tanpa pernah peduli perasaan Lizzy yang terluka oleh kata-katanya. 

"Maaf menunggu lama."

Mata Lizzy mengerjap beberapa kali. Lamunannya buyar seketika saat menyadari Dante telah berada di depannya. Laki-laki itu menuang cairan dalam botol ke atas kapas, lalu mengoleskannya di sudut bibirnya yang terluka.

"Auw ...." Lizzy merintih setelah merasakan perih di bibirnya.

Tidak berhenti di sana. Dante menarik tangan Lizzy, lalu melakukan hal yang serupa pada telapak tangannya yang tergores. Dengan hati-hati Dante mengoleskan kapas itu sehingga Lizzy tidak mengaduh kesakitan.

"Sudah selesai," ucap Dante, lalu membereskan perlengkapannya dan melemparkannya ke dalam tempat sampah yang terletak tidak jauh dari mereka. "Aku akan mengantarmu pulang."

"Tidak usah. Kau telah banyak membantuku. Aku bisa pulang sendiri," tukas Lizzy cepat. Dia buru-buru bangkit dari bangku taman, dan menatap Dante lurus.

"Jangan keras kepala. Mungkin laki-laki tadi masih menunggumu di suatu tempat, lalu menyerangmu saat kau lengah."

Lizzy tertegun selama beberapa saat. Kata-kata Dante memang ada benarnya. Dia sangat mengenal Ben. Mantan kekasihnya itu memiliki temperamen yang tinggi dan seorang pendendam.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas bantuanmu," kata Lizzy mengalah. Lizzy menyadari dia tidak mungkin membantah kata-kata Dante. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

"Dante .... Corradeo." Dante mengucapkan namanya dengan kaku karena belum terbiasa dengan perubahan nama belakangnya. Lalu dia melepaskan jaketnya, dan menyampirkannya ke pundak Lizzy. "Kau bisa memakai ini untuk menutupi bajumu yang koyak."

Meskipun merasa canggung akbat perlakuan Dante, Lizzy tetap memakai jaket laki-laki itu. Tanpa berbicara lagi dia mengikuti Dante yang telah berjalan di depannya. Baru beberapa langkah Lizzy berjalan, seketika dia berhenti setelah menubruk punggung Dante. Dia tidak sempat melihat Dante yang telah berhenti terlebih dulu.

Dante naik ke atas motornya dan memasang helmnya dengan cekatan. "Naiklah ke atas sini." Dia menepuk bagian jok belakang motornya. Dengan isyarat matanya dia menyuruh Lizzy naik ke motor itu.

Tidak lama berselang motor itu melaju kencang membelah kegelapan malam. Karena baru pertama kali dia naik motor, ada rasa takut yang menggelayuti hatinya. Lizzy lalu melingkarkan lengannya di pinggang Dante erat, dan menyandarkan kepalanya di punggung Dante.

Lima belas menit berselang Dante menghentikan motornya di depan rumah Lizzy. Lizzy langsung turun, dan mengembalikan jaket Dante. Selama beberapa saat mereka hanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

"Terima kasih. Sampai jumpa lagi," ucap Lizzy akhirnya, dan berhasil memecah keheningan di antara mereka.

"Sampai jumpa," balas Dante tidak yakin akan ada pertemuan selanjutnya di antara mereka berdua. Dia mengangguk singkat, lalu membawa motornya meninggalkan Lizzy yang masih berdiri terpaku di belakangnya.

Tiga bulan kemudian.

“Dante ….” Benigno telah menunggu di ruangan Dante saat cucunya itu masuk ke dalam sana.

Dante tidak mampu berkata-kata karena masih terkejut dengan kedatangan kakeknya tanpa sepengetahuannya.

"Kapan kau datang? Berapa lama kau akan tinggal di sini?" tanya Dante tanpa basa-basi setelah berhasil menguasai keadaan. Sejujurnya dia tidak terlalu senang dengan keberadaan kakeknya di sekitarnya.

"Dua hari. Aku ke sini hanya ingin mengetahui keadaanmu secara langsung." Benigno menjawab sambil menghisap cerutunya.

Benigno datang ke London tidak setiap hari. Bila ada urusan mendesak, dia baru datang ke sini, dan menempati salah satu apartemen mewah miliknya tanpa harus mengganggu kehidupan pribadi Dante. Dia akan membiarkan Dante tinggal seorang diri di penthouse pemberiannya.

"Aku sempat mengira kau akan berkunjung ke sini dalam kurun waktu yang lama." Dante lalu duduk di sofa tidak jauh dari Benigno.

"Kau bersikap seolah-olah sangat mengharapkan kehadiranku di sini, padahal kita tahu kebenarannya seperti apa," celetuk Benigno.

"Aku tidak seburuk itu. Bagaimana pun juga kau adalah keluargaku satu-satunya yang masih ada di dunia ini," timpal Dante.

Kemudian mereka berdua sama-sama tertawa. Mereka sangat menyadari bahwa di permukaan saja keduanya terlihat saling membenci satu sama lain, tapi sebenarnya saling menyayangi.

"Kapan kau berencana meluncurkan koleksi musim gugurmu?" tanya Benigno setelah mereka terdiam cukup lama.

"Satu minggu lagi. Aku dan timku telah mempersiapkan ini mati-matian. Doakan saja semua bisa berjalan dengan lancar," jawab Dante setenang mungkin.

Memikirkan tentang peluncuran koleksi baju musim gugur perusahaannya, membuat Dante merasa sangat gugup dan tidak sabar. Momen itu telah dia nantikan sebagai penanda bahwa dia berhak diperhitungkan dalam dunia fashion. Terlebih karena dia baru terjun di bidang tersebut.

“Baiklah, aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi.” Benigno beranjak dari kursi, dan berniat meinggalkan Dante segera.

“Ada hal lain yang ingin aku bicarakan denganmu.” Ucapan Dante berhasil menghentikan Langkah Benigno.

Benigno memutar tubuhnya, lalu menatap Dante sambil mengerutkan keningnya. “Katakan saja apa keinginanmu.”

“Rumahmu terlalu besar, dan aku merasa tidak nyaman tinggal di sana.”

“Lalu ….”

“Aku ingin pindah ke rumah yang lebih kecil tanpa ada orang lain yang menatap ke manapun aku pergi,” sahut Dante putus asa.

“Lakukan saja yang kau mau.” Setelah itu Benigno bergegas meninggalkan Dante sendirian.

Dante langsung meraih ponselnya, lalu menghubungi agen real estate kenalannya. Beberapa hari yang lalu Dante sempat mengunjungi salah satu penthouse di tengah kota London bersama agen itu. Dia sangat tertarik dan berniat membelinya. Sekarang setelah Bnigno menyetujui permintaannya, dia akan membeli tempat itu dan pindah ke sana sesegera mungkin.

Satu jam setelah itu asisten pribadi Dante masuk ke dalam ruangannya dengan wajah pucat pasi. Wanita itu tidak langsung berbicara. Dia terlihat kebingungan dan gugup.

"Ada apa?" tanya Dante dengan raut kesal.

"Ada tamu yang ingin bertemu ...."

Belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, seorang laki-laki asing menerobos masuk ke ruangan itu lalu berdiri di depan Dante. Laki-laki itu masih muda, dan terlihat masih seumuran dengan Dante. Perbedaan keduanya adalah laki-laki itu  memiliki tinggi badan melebihi Dante.

"Selamat siang, Dante," ucap laki-laki itu sambil menyeringai lebar.

"Siapa kau sebenarnya?"

"Aku Luca Massimo. Saudara tirimu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status