Keesokan harinya.“Pa, Papa! Lihat berita!” Mella memanggil suaminya penuh semangat.Matanya menatap antusias pada siaran langsung yang sedang dibawakan oleh presenter. Isi beritanya lah yang membuatnya histeris hingga Mella memanggil suaminya begitu antusias.Ramses usai membaca pesan pada ponsel pribadinya setelah itu segera bergabung melihat berita bersama sang istri. Senyumnya mengembang saat menyimak apa yang saat ini menjadi berita terpanas.“Mereka luar biasa jika bersatu.” Ramses bergumam dengan bangganya.“Maksud papa bagaimana? Apa maksudnya bersatu?”Ramses melirik pada sang wanitanya, dengan senyum yang tentu saja membuat Mella -sang istri- penasaran. Sejak kejadian malam itu, Mella sudah berhenti berusaha menjodohkan Barra dengan Marissa, sebab sebagai seorang yang sudah menganggap Marissa sebagai anak, Mella merasa sakit ketika anaknya itu mendapatkan perlakuan kasar.Kini mendengar kalimat bersatu tentu saja hati Mella tidak tenang, takut Marissa akan terluka untuk
Di suatu tempat lain.Brak!Ruangan yang semula riuh dengan obrolan orang-orang berkelompok dalam skala kecil seketika hening, terdiam dengan pandangan yang kini terarah pada sosok yang baru saja datang.“Siapa yang menginjinkan mengangkat berita ini!” bentak orang itu seraya menunjuk pada siaran terpanas yang sedang tayang di televisi.“Siap kami tidak tahu, Pak.”“Saya tidak mau dengar jawaban tidak tahu! Kamu cari tahu siapa yang berani mengusik kejadian setahun lalu ini!”Perintah jelas dikeluarkan oleh sosok laki-laki sekitar separuh baya, wajahnya yang memerah menahan marah menunjukkan bahwa dia tidak sedang bercanda.Semua terdiam, mulut masing-masing lidah terasa kelu.“Tuan, rencana kita gagal,” bisik seseorang yang baru saja masuk.“Apalagi ini! Rencana mana yang gagal?”“Bakti sosial di kota Baranda. Pihak partai baru saja menghubungi dan mereka menyatakan kecewa dengan kita.”“Arrrgghhh! Bodoh semua! Kalian semua BODOH!” teriakan bak suara bom meledak seketika di rua
Hari ini Marissa membantu memasak Ningsih. Setelah kedatangan Tegar, pasangan Karno dan Ningsih tidak membolehkan Marissa dan Barra mencari kontrakan. Mereka berdua tinggal tanpa harus membayar biaya menginap.“Masak apa, Sa?” Ningsih sudah berdiri di samping Marissa.Sayuran hijau baru saja di cuci, irisan bawang dan bumbu lainnya terlihat tertata rapi siap untuk diolah. Marissa tersenyum pada wanita yang juga dia anggap sebagai ibu.Marissa seorang yatim piatu, sehingga ketika merasakan kebaikan seorang wanita lebih tua darinya, dia anggap itu sabagai bentuk kasih sayang Tuhan padanya dengan memberikan sosok ibu pada setiap wanita paruh baya yang dia kenal.“Ibu suka tumis kangkung? Tadi saya lihat kangkung di kebun belakang sudah ranum.”Kangkung tidak terlalu tua sangat nikmat diolah tidak terlalu matang, sehingga tidak banyak vitamin yang hilang.“Apa ini kesukaan suamimu?” tanya Ningsih sambil tersenyum. Marissa terkejut dan tergagap, tidak menyangka Ningsih akan bertanya
Melihat siapa yang datang, Ningsih bersorak kegirangan. Karno berdiri di belakang Barra dengan tatapan bingung sekaligus marah. Lelaki tua itu pun menarik lelaki yang masih memegang alat reproduksinya.“Siapa kalian!” bentaknya dengan galak.Barra menatap pada Marissa, “Kamu tidak apa-apa?”“Tidak,” jawab Marissa seraya menggeleng.Setelah memastikan keadaan Marissa aman, Barra maju dan menarik salah satu lelaki yang tersungkur. Mengunci gerak tangannya dibelakang tubuh lelaki asing itu.Marissa mendekati satu pria penyerangnya yang lain. Kakinya menginjak tangan lelaki itu.“Masih tidak mau bilang siapa yang kalian cari!”Barra tidak mau kalah, lelaki itu menekan tangan lawan yang ada kekuasaannya dengan keras, dan berbisik.“Katakan siapa kalian, dan siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”Dengusan kasar terdengar sebagai balasan dari perkataan Barra. Walaupun kesakitan namun terlihat jelas jika lelaki itu bukanlah sosok yang mudah memberikan informasi. Barra menambah kekuata
Sore hari menjelang, Ningsih tetap memaksa Marissa untuk memeriksakan kandungannya, bahkan wanita itu menawarkan diri untuk membawa ke dokter kandungan yang cukup terkenal di kota tersebut.“Tidak perlu, Bu. Saya tidak apa-apa,” tolak Marissa halus.Seperti biasa Marissa membantu Ningsih untuk menyiapkan hidangan snack sore bagi seluruh tamu yang menginap, namun kali ini dia diperlakukan istimewa oleh Ningsih.“Tidak bisa begitu, tetap harus diperiksa, takutnya terjadi sesuatu dengan kandunganmu. Penyesalan selalu datang terlambat.”Panjang lebar Ningsih memberi nasehat pada Marissa, membuat wanita itu bingung bagaimana harus menjelaskan pada Ningsih bawa dia sama sekali tidak hamil. Semua ini gara-gara Barra, umpat Marissa dalam hati.Pucuk dicinta ulam tiba, sosok yang seharusnya bertanggung jawab atas kehebohan yang menimpa Marissa pun keluar dari kamar. Penampilan Barra sudah rapi dan jelas sekali jika dia akan pergi.Matanya beradu pandang dengan Marissa,“Ganti baju, kita a
Marissa hanya bisa pasrah. Kali ini apapun yang terjadi biarlah Barra yang menghadapi sang dokter yang kini siap memeriksanya.Gel sudah di oleskan oelh perawat ke perut Marissa, dokter mendekat dan duduk seraya memegang alat untuk dia tempelkan di area perut Marissa.“Mari kita periksa.”Tangan sang dokter yang lincah segera memutar sambil melihat ke arah layar monitor. Kemudian dia terhenti seperti mengamati sesuatu. Marissa melirik pada Barra.Saat keadaan genting bagi Marissa, namun lelaki itu entah mengapa begitu tenang. Berbanding terbalik dengan Marissa.‘Kok bisa tenang sekali dia,’ pikir Marissa.Pandangan Barra mengikuti pandangan dokter. Lelaki itu sesekali melihat pada wajah Jerry lalu beralih pada layar monitor kembali. Hingga dokter pun meminta perawat membantunya membersihkan gel pada perut Marissa.Dokter kemudian kembali pada tempat duduknya dan tangannya menulis sesuatu pada buku resep.Barra dan Marissa kembali duduk tepat di depan dokter. Menunggu apa yang
Barra tersenyum tipis tanpa melihat pada Marissa. Pukulan Marissa dinikmati sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi laki-laki itu. Barra belum pernah sedekat ini dengan wanita selain ibunya, walaupun saat sekolah banyak sekali murid perempuan yang medekati namun sikap dingin Barra membuat mereka mundur teratur.“Ada berita dari Tegar?” Marissa mengalihkan pembicaraan. Barra hanya sekilas melirik.“Kenapa menyebut pria lain saat kita berdua?”“Hah! Abang! Jangan bilang Abang cemburu!” pekik Marissa spontan. Barra hanya mengangkat bahunya tanpa menjawab.“Bang, kita ini sedang dalam misi, sudahlah jangan bercanda terus. Aku serius tanya tentang Tegar, takutnya ya dia dalam bahaya.”“Sebegitu khawatirnya istriku-““Arrghh!” seru Barra saat belum selesai kalimatnya, tangan Marissa sudah mencubit lengannya dengan keras.“Ah sudahlah. Terserah Abang saja!” Marissa mengatupkan mulutnya rapat. Wajahnya yang cemberut justru semakin membuat hasrat Barra semakin menggebu menggodanya.
Barra dan Marissa tercekat. Mengusir mereka dari penginapan? Siapa mereka ini.“Jangan didengarkan. Ayo kalian masuk, besok saja kita bersihkan. Kalian belum makan kan?” Ningsih mengalihkan perhatian Marissa dan Barra.Tangannya menggandeng tangan Marissa serta mengajaknya masuk.“Bagaimana hasil dari dokter?” celoteh Ningsih.Belum sempat Marissa menjawab, tiba-tiba.“Nah ini dia mereka sudah datang! Usir mereka dari sini, pembawa sial! Pergi dari sini!” ucap seorang laki-laki seraya menunjuk ke arah Barra, Marissa, Ningsih dan juga Karno.Dan seketika massa datang berbondong dengan teriakan menyuruh Barra dan Marissa pergi dari penginapan milik Karno dan Ningsih.Barra berbalik menghadapi teriaka massa. Matanya justru tertuju pada sang provokator yang mulai mundur perlahan. Lelaki itupun mengabaikan kerumunan Massa, dengan cepat tubuhnya berlari melesat dan menerjang si provokator.Merasa ada serangan dari belakang, lelaki itu sadar dan mencoba berlari melarikan diri, namu