Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
“Apa yang sedang kamu lakukan?”Rangga terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton khas milik Barra terdengar dari belakang tubuhnya. Lelaki muda itu masih mengawasi kepergian Mella dan Marissa, bersamaan dengan Suster yang sedang menggendong bayi mungil melambaikan tangan seperti hal yang sering dilakukan oleh anak kecil melepas ibu dan neneknya pergi.“Siap tidak ada, Kapt,” ujar Rangga sedikit canggung. Raut wajahnya melukiskan kesan tidak nyaman bertemu dengan pria yang selalu berwajah masam padanya.“Jika kamu berpikiran jahat padanya, enyahkan jauh-jauh sebelum kamu lakukan!”Tatapan yang tajam terasa seperti mengiris iris mata Rangga. Barra memang sedang mengancamnya. Rangga hanya bisa menelan air liurnya saja.“Jenderal Ramses masih memberikan kesempatan padamu, tetapi aku tidak. Aku akan percaya jika kamu membuktikan dengan perbuatan dan bukan rekayasa. Ingat feelingku akan mengetahui kamu sedang memainkan trik konyol atau memang tulus membela kebenaran!”Angin yang bere
“Anda mengetahui terlalu banyak hal, Komandan! Atasanku menginginkanmu mati!” Degh! Hegh! Hitam. *** Pagi ini hari Sabtu, di awal bulan September tahun 2020 terjadi demo besar-besaran mengelilingi area Departemen Kerakyatan Negeri Darlan. Lebih dari sepuluh ribu massa bergerak secara damai dari tugu kebangsaan hingga tepat berkumpul di tempat ini. Barra Seno Dirgantara, seorang perwira muda berusia 30 tahun, berpangkat Kapten bertindak sebagai Komandan Pengamanan Khusus hura-hara. Dengan mengenakan baju dinas khusus lengkap dengan, sosok tersebut memantau jalannya pengamanan dari radio genggam lapangannya. Matahari semakin merayap naik hingga mencapai puncaknya, peluh membanjiri siapapun yang saat itu berada di titik kumpul orasi penyeruaan suara rakyat digelar. Belum ada satupun perwakilan kabinet yang menindaklanjuti suara demonstran. “TURUNKAN HARGA BBM, TOLAK TENAGA KERJA ASING DAN NAIKAN UPAH KERJA PRIBUMI!” Demikian orasi yang menyeruakan hati rakyat. Sambutan antu
Perlahan tubuhnya yang masih terasa kaku bangkit dari posisi tidurnya. Barra memerlukan beberapa waktu hingga sedikit demi sedikit ingatannya membentuk suatu puzzle tertaut sati demi satu hingga akhirnya dia dapat menmegingat kejadian terakhir. “Bukannya seharusnya aku mati,” gumamnya ketika bayangan sosok penembaknya muncul. Ya malam itu, Barra terbangun saat menyadari seseorang masuk dalam kamar tahanannya. Kemudian mata lelaki itu tertuju pada tumpukkan surat kabar yang tertata rapi di atas nakas, samping tempat tidurnya. Tangannya terulur spontan meraih salah satunya yang berada paling atas. “Hah, 13 September 2021?” Barra terkejut saat membaca tanggal surat kabar tersebut. Barra tertegun selama itukah dia tidak sadarkan diri. Lantas siapakah yang sudah merawat dan menyiapkan semua ini. Jelas dirinya bukan berada dalam kamar perawatan rumah sakit, berarti ada yang membawa dan menyembunyikannya di tempat ini. Dia pun melangkah setelah melepas selang infus. “Apa ada orang
Jack menatap tajam sosok gagah yang duduk di ujung, tersembunyi ketika awal dia masuk kabin tersebut. “Siapa yang Anda maksud?” tanya Jack. Sosok itu pun tersenyum, auranya sangat kuat terpancar dari wajah yang sudah berumur. Sorot mata Jack secara tidak langsung bertatapan dengan netra hitam milik lelaki itu. “Tentu saja kamu, Kapten Barra Seno Dirgantara. Apa Anda sudah melupakannya?” Kedua tangan yang tergantung mengepal secara refleks, menahan sakit yang kembali mendera. “Maaf, aku tidak mengenalnya. Mungkin Anda salah orang,” ucap Jack seraya memablikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar kabin itu. “Tunggu! Aku datang menawarkan sesuatu, setidaknya sebagai warga negara yang baik sudah seyogyanya turut andil dalam menyelamatkan negeri ini, dari peng-khia-natan.” Degh. Langkah Jack terhenti. Masih tetap memebelakangi sosok yang berbicara dengannya, Jack menunggu kata-kata selanjutnya. Baginya kata terakhir yang sengaja dieja perlahan dimaksudkan untuk menarik perhatai
“Apa maksud Anda, Kapt?” Danu kebingungan saat melihat rahang Barra mengeras dengan sorot mata diliputi amarah. “Di mana kamu berdinas sekarang?” “Siap, saya sekarang dialihkan ke detasemen kemarkasan daerah , Kapt.” Jack berdiam sejenak kemudian dia pun memberi intstruksi. “Tolong carikan aku nomor kontak Jenderal Ramses, atau prajurit wanita yang bernama Marissa. Setelah itu hubungi aku.” Jack mengeluarkan sebuah ponsel edisi lama hingga Danu terkejut ketika melihat alat komunikasi seorang atasan adalah tipe yang sekarang saja sudah tidak diproduksi lagi. Ingin tertawa tapi Danu menyadari penampilan Barra diluar prediksinya, dan dia tidak berani menanyakannya. Danu mengambil ponsel Barra dan memasukkan nomonya sendiri kemudian melakukan panggilan ke ponsel pribadinya. “Anda mengenal Jenderal Ramses, Kapt?” tanyanya seraya mengembalikan ponsel Barra. “Lekaslah kembali setelah memastikan istrimu dalam keadaan aman. Aku akan menghubungi setelah bertemu dengan Jenderal Ramse