“Ah… Sayang, bagaimana kalau istrimu datang?”
Deg! Jantung Bianna Arzenia Harland seolah mencelos mendengar suara itu dari dalam kamar. Tangannya yang gemetar menutup mulut agar tidak menimbulkan suara. Telinganya seperti berdenging saat desahan demi desahan dari hasil pergulatan di dalam sana terdengar hingga keluar kamar. “Jangan pedulikan wanita bodoh itu, Sayangku…” Apa katanya?! Wanita bodoh?! Dada Bianna langsung bergemuruh disesaki amarah. Teganya Kevin melakukan ini di belakangnya?! Padahal, sesaat yang lalu, Bianna merasa ada sedikit keraguan dalam hatinya. Bagaimana mungkin, seorang Kevin Jeremy, suaminya yang selama ini begitu mencintainya, mengkhianatinya? Kabar burung itu pasti salah! Namun, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri…. hatinya hancur berkeping-keping. Bianna tak bisa lagi menahan rasa sesak dalam dadanya. Dia tak mungkin berpaling dan berpura-pura tidak melihat apapun. Karena itu, dia menyentak pintu lebih kuat hingga terbuka. Dua manusia yang bergumul tanpa sehelai benang pun di dalam sana tampak terkejut dan buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuh keduanya. “Bianna?! Bagaimana bisa kamu—” “Teganya kamu melakukan ini padaku, Kevin!” sentak Bianna dengan bibir gemetar, menyela ucapan suaminya. Sekeras apapun mencoba tegar, Bianna tak bisa menahan air mata yang jatuh menetes di balik kacamatanya. Sementara sang suami, yang tadinya kelihatan panik, kini tampak tenang seolah tak terjadi apapun. Dengan santainya, Kevin beringsut dan memakai kimono tidur yang tersampir di kursi meja rias. “Tadinya aku tidak ingin percaya berita yang kudapatkan selama ini. Tadinya aku berharap kalau kamu tetaplah laki-laki dan suami yang bisa aku percaya, tapi apa ini, Kevin! Tega, kamu mengkhianati aku sama—” Bianna mengalihkan pandangannya pada wanita yang tengah duduk bersandar headboard ranjangnya dengan selimut menutupi tubuh polosnya. “Leony? Kamu ….” Bianna melangkah mendekat ke ranjang. Amarah di dadanya membuat Bianna ingin menjambak rambut wanita itu! Namun, Kevin dengan cepat menahan langkah Bianna yang akan menyerang Leony. “Jangan salahkan dia, Bia! Kalau ada orang yang harus disalahkan dalam hal ini adalah kamu! Paham!?” Bianna terbelalak mendengar tuduhan Kevin. “Aku? Kenapa jadi aku yang salah padahal jelas-jelas kamu yang sudah selingkuh dengan sekretarismu itu! Jadi, ini alasan kamu memecat Eluza dan menjadikan dia sekretarismu? Iya, Vin? Jawab!” “Tidak usah teriak!” sentak Kevin kesal, membuat Bianna langsung terdiam. Selama ini, Kevin tidak pernah membentaknya sedikit pun … “Aku sudah bosan padamu yang selalu tampil sederhana dan tidak pandai berdandan. Leony lebih segala-galanya darimu, Bia. Itu kenapa aku sudah menikahinya,” ucap Kevin tanpa beban, seolah apa yang ia ucapkan bukan hal besar. “Apa kamu bilang!?” Rasanya seolah ada ribuan pisau yang menusuk hati Bianna. Bagaimana bisa pria biasa yang dia angkat derajatnya menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya, ternyata tidak menghargainya sebagai seorang istri. “Tidak usah menangis. Karena kamu sudah ada di sini, maka sudah waktunya juga kamu tahu hal ini.” Kevin menjeda ucapannya hanya untuk mengambil map yang ada di atas meja rias lalu menyerahkannya pada Bianna. “Kamu punya dua pilihan, Bia. Rela dimadu dan tetap hidup mewah bersamaku, atau bercerai tapi semua harta kekayaanmu jadi milikku. Silakan pilih.” Mata Bianna membelalak tak percaya dengan semua ucapan Kevin. Namun, bukannya melihat isi dari map itu, wanita itu justru merobek dan melemparkannya tepat ke wajah Kevin. “Dasar laki-laki tak tahu diri! Aku sudah menjadikanmu pengusaha hebat tapi apa balasanmu padaku? Dan dengan mudahnya kamu mau menguasai harta warisan ayahku? Jangan mimpi kamu Kevin! Justru aku yang akan menendangmu dari kehidupanku sekarang juga!” Bianna berkata dengan mata yang basah, tetapi bara amarah jelas terlihat di sana. Sementara itu, Kevin bukannya takut, dia justru tertawa terbahak-bahak mendengar ancaman dari istri tuanya itu. Dia segera mengambil satu map lagi yang ada di dalam laci meja rias lalu kembali memberikannya pada Bianna. “Aku sudah menduga kamu akan menolak permintaanku, itu sebabnya aku sudah lebih dulu mempersiapkan surat-surat yang seharusnya kamu tandatangani dan lihatlah map itu,” ujar Kevin dengan tenang. “Di sana kamu sudah menandatangani surat perceraian kita sekaligus surat peralihan kekayaan dari almarhum ayahmu padaku. Itu artinya mulai sekarang semua harta ini sudah jatuh ke tanganku, kamu dengar, Bia?” jelas Kevin dengan seringai senyum kembali tercetak di bibirnya. Tangan Bianna gemetar melihat dokumen itu. Kapan ia menandatangani surat itu?! “I-ini tidak mungkin terjadi…” Wanita berkacamata itu membolak-balik lembaran kertas di tangannya dengan panik. Dia terkejut kala melihat sudah ada dua kertas yang terdapat tanda tangannya. “Kamu benar-benar berengsek, Kevin! Kamu gunakan kesempatan di saat aku lengah!” salak Bianna dengan berurai air mata. “Sekarang kamu sudah tahu ‘kan? Kalau kamu bukan lagi pemilik dari Harland Group dan juga bukan istriku lagi. Jadi, saat ini juga aku minta kamu keluar dari tempat ini!” Kevin menunjuk pintu dengan tangan kirinya. Tatapannya tajam dan tanpa belas kasihan sama sekali. “Tidak! Kamu tidak bisa melakukan ini padaku, Kevin!” protes Bianna sambil mencengkeram kimono pria itu. “Ini semua milik orang tuaku, kamu tidak berhak atas semuanya!” Namun, dengan kasar, Kevin tepis tangannya hingga wanita itu jatuh terduduk di lantai. Kevin segera menghubungi keamanan villa tempatnya tinggal melalui ponselnya. Tidak berapa lama, dua orang satpam datang di depan pintu kamarnya. “Seret wanita ini keluar dan jangan biarkan dia masuk villa ini tanpa seizinku!” titahnya dengan suara tegas. “Baik, Tuan!” sahut kedua satpam itu sambil memapah berdiri Bianna. “Lepaskan aku!” Bianna menarik tangannya dari kedua orang itu lalu dia menatap pada Kevin. “Baik, Kevin. Aku terima semua ini. Tapi ingat, aku tidak akan membiarkan kamu hidup dengan tenang, lihat saja!" Setelah berkata seperti itu, Bianna pun meninggalkan kamar itu dengan hati yang tidak lagi utuh juga air mata yang kembali menetes. Dia benar-benar terluka dan kehilangan arah saat ini. Bagaimana mungkin pria yang dia nikahi karena cinta justru mengkhianatinya setega ini? Ternyata selama ini dia hanya dijadikan alat untuk mendapatkan kekuasaan saja. Pantas saja sejak kematian sang ayah, perilaku Kevin berubah 180 derajat, dan selalu saja mengabaikan dirinya sebagai istri. Dengan perasaan terluka dan tidak tahu harus ke mana, Bianna melajukan mobilnya membelah jalanan malam dengan sangat kencang. Matanya dia biarkan basah karena air mata. Dalam hati dia berjanji akan membalas pengkhianatan, penipuan dan penghinaan yang dia dapatkan dari pria itu. Tanpa sadar Bianna menekan pedal gas terlalu dalam, entah apa yang ada di dalam pikirannya, yang pasti saat ini dia hanya ingin pergi meninggalkan semuanya. Hingga saat berada di pertigaan, Bianna yang tidak memperhatikan jalan pun tidak menyadari sebuah truk yang lewat berlawanan arah. Bianna kaget saat truk itu sudah dekat dan dia tidak bisa menghindar begitu saja. Alhasil dia banting stir ke kanan. Namun, naas dia menabrak mobil yang ada di depannya hingga mobilnya sendiri terguling dua kali dan berakhir dengan posisi terbalik dan berhenti tepat di bibir jurang. “Tidak! Aku tidak boleh mati lebih dulu, aku harus menuntut balas pada mereka….”Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b