Home / Romansa / Kembalinya sang Putri Pewaris / Bab 2. Bertemu Damian

Share

Bab 2. Bertemu Damian

Author: Ziya_Khan21
last update Last Updated: 2024-07-11 09:06:34

Bianna tersenyum getir ketika dengan mata kepalanya sendiri melihat mobil yang tadi dia tumpangi akhirnya jatuh dan meledak di bawah jurang. Langit malam pun berubah terang karena api yang menyala dari badan mobil itu. 

Dia beruntung karena sempat menyelamatkan diri meski blouse yang dia pakai robek di bagian lengan karena tersayat kaca jendela yang pecah. Wanita yang mengikat rambut hitam panjangnya itu pun memilih pergi dan menyingkir dari tempat itu sebelum warga sekitar mendekati lokasi kecelakaannya.

Belum lagi terlalu jauh dari tempat kecelakaan, Bianna merasa perutnya sakit sekali. Tidak ingin peduli, tetapi semakin dia berjalan, sakit itu semakin menjadi. Bianna sempatkan berhenti untuk mengatur napas.

“Tidak! Aku tidak boleh kalah. Aku masih harus kembali untuk merebut semua yang seharusnya menjadi milikku,” gumam Bianna sembari melanjutkan langkahnya, hingga entah sudah berapa lama dia berjalan tubuhnya semakin melemah dan matanya pun berkunang-kunang.

Saat Bianna mengira di seberang jalan ada sebuah kios untuk dirinya berteduh, dengan langkah sempoyongan dan juga sambil meremas perutnya yang sakit, wanita itu pun menyeberang.

Bianna terkejut ketika mendengar klakson sebuah mobil yang mendekatinya. Wanita itu menjerit sambil menutup mata yang sudah tidak pakai kacamata. Tepat saat mobil mengerem, Bianna pun jatuh tergeletak di atas aspal jalan. 

Dia tidak sadarkan diri…. 

***

Bias cahaya matahari yang menyusup melalui celah gorden ruang rawat itu menerpa wajah seorang wanita yang terbaring tidak sadarkan diri sejak satu minggu yang lalu.  

Kelopak matanya bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Bianna mengerjap berulang kali untuk menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke retinanya. Perlahan tetapi pasti dia bisa melihat sesuatu meski sedikit buram karena tanpa kacamata.

“Minum….” gumamnya lirih yang ternyata didengar oleh seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa tidak jauh dari ranjangnya. 

Pria itu segera meletakkan iPad yang dia pegang ke sisi sofa lalu beranjak berdiri menghampiri ranjang.

“Akhirnya kamu sadar juga. Sebentar saya panggilkan dokter.” 

Tanpa menunggu jawaban Bianna, pria itu beralih mendekati dan menekan tombol interkom yang terhubung dengan ruang petugas kesehatan. Setelah itu dia mengambil gelas air minum yang ada di atas nakas.

“Minumlah,” ujar pria asing itu sambil memberikan ujung sedotan ke depan mulut Bianna. 

Bianna membiarkan air mineral membasahi tenggorokannya dan merasakan sejuknya yang melegakan.

“Anda… siapa?” tanya gadis itu dengan suara serak. “Dan… di mana aku?”

Pria itu terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Saya Damian. Kamu ada di rumah sakit. Apa kamu tidak ingat apa yang terjadi pada dirimu?”

Bianna mengerjapkan kelopak matanya sekali lagi mencoba mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya sendiri. Sekelebat bayang kejadian saat dia menangis di dalam sebuah mobil lalu kecelakaan dan berakhir dirinya hampir tertabrak mobil terlintas di otaknya.

Sedetik kemudian, Bianna menangis saat ingatannya kembali pada waktu dia memergoki sang suami sedang bergumul bersama dengan sekretarisnya.

Melihatnya, Damian hanya diam dan membiarkan Bianna menumpahkan perasaannya lewat tangisan yang memilukan.

“Su-sudah berapa lama aku berada di sini?” tanya Bianna setelah tangisnya mereda.

Ekspresi Damian tidak terbaca. Dengan tenang dia menjawab, “Kamu tidak sadarkan diri sejak seminggu yang lalu.”

“A-apa?! Seminggu?” Bianna berusaha bangkit dari baringnya dan itu mengejutkan Damian.

“Hati-hati! Kamu baru saja sadar, jangan banyak bergerak dulu,” ujar pria itu sambil membantu Bianna yang memaksa untuk duduk.

“Tidak! Aku tidak boleh terus berbaring di sini. Aku harus menemui laki-laki itu dan mengambil kembali semua milikku!”

Damian mengernyitkan dahinya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh wanita itu. “Tenanglah, tunggu dokter memeriksamu.”

Bianna tak bisa memberontak saat pria itu membantunya kembali berbaring karena tenaganya sama sekali tak ada. 

Tepat saat itu, dokter memasuki ruang rawatnya bersama seorang suster. Tanpa basa-basi, Damian mempersilakan sang dokter untuk memeriksa keadaan Bianna.

“Syukurlah semua sudah kembali normal. Selamat Nyonya, kami sudah sempat khawatir kalau anda akan tidur cukup lama,” ucap dokter sambil tersenyum.

“Terima kasih, Dokter,” sahut Bianna lemah.

“Jangan terima kasih pada saya, berterima kasihlah pada Tuan yang ada di samping Anda. Jika bukan dia, mungkin nyawa Anda sudah sejak awal tidak tertolong.” 

Mendengar pernyataan dokter, Bianna langsung menoleh pada Damian.

Meski matanya sedikit kabur karena tidak memakai kacamata, Bianna bisa menilai pria di sampingnya itu sepertinya bukan pria yang jahat.

“Bisakah saya mendapatkan kacamata saya lagi? Tanpa itu saya tidak bisa melihat dengan jelas,” ungkap Bianna jujur.

“Baik Nona, kami akan menyediakan kacamata untuk Anda. Kalau begitu kami permisi dulu, selamat pagi.” Dokter dan suster yang bersamanya pun segera meninggalkan ruangan itu.

“Terima kasih, Tuan. Saya berutang budi pada Anda. Tidak… saya sudah berutang nyawa pada Anda,” ucap Bianna tulus meskipun perasaannya gundah.

Damian menatapnya lekat. “Tidak perlu berterima kasih, saya menolongmu atas dasar kemanusiaan.”

Mendengar suara tenang tapi penuh intimidasi itu membuat Bianna menelan ludah. Namun, ia memaksakan diri agar kembali bersuara. 

“Apa pun itu, saya janji setelah saya kembali normal, saya akan balas semua kebaikan Anda.”

“Tidak usah terburu-buru,” sahut Damian seolah itu bukan perkara besar. “Apa ada keluarga yang bisa kamu hubungi?” 

Bianna tersenyum getir mendengarnya. Dia anak yatim piatu, dan kini dia pun seorang janda. 

“Keluarga? Sayangnya mereka sudah musnah terbakar bersama mobil yang jatuh di jurang itu,” jawab Bianna dengan sarkas.

“Apa maksudmu, Bia?”

Sontak Bianna terbelalak. Ia menatap pria yang baru saja memanggil nama panggilan akrabnya dengan tatapan tak percaya. 

“Anda mengenal saya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (49)
goodnovel comment avatar
Bintang Ihsan
damian mengenali bianna , siapa damian ini
goodnovel comment avatar
Ratihtyas
Weh ,siapa Damian ini ...
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
oppps siapa Damian sebenarnya knp dia bisa tau NM panggilan akrabnya Bianca?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 178 Akhir yang Indah

    Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 177 Kembali ke New York

    Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 176 Haruskah?

    Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 175 Bersatu

    Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 174 Satu Keluarga

    Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 173 Steven Selamat

    Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status