Pria itu memiliki postur tinggi menjulang, berpakaian jas rapi membalut tubuhnya yang atletis, terlihat makin berwibawa dengan cambang tipisnya.
Meskipun buram, tapi Bianna yakin dia adalah pria yang tampan.
Hanya saja, Bianna juga yakin ia tidak mengenali pria itu seumur hidupnya.
“Saya mencari tahu siapa dirimu saat kamu masih koma.”
Bianna tertegun mendengar jawaban Damian. “Semua? Apa keluarga saya tahu saya di sini?” tanyanya memastikan.
Damian tidak langsung menjawab. Dia memilih mengambil iPad yang ada di atas sofa lalu membuka laman portal berita bisnis hari ini. Setelah ketemu yang dia cari, pria tampan itu mengulurkan benda pintar itu pada Bianna.
“Suamimu sudah menganggapmu mati dalam kecelakaan itu.”
Bianna terkejut dengan pernyataan Damian. Dia bawa matanya melihat layar sebelas inch tersebut. Seketika bola matanya membulat sempurna membaca headline news pagi ini.
Kevin, sang suami mengumumkan pernikahannya dengan Leony setelah memastikan dirinya tewas dalam kecelakaan malam itu.
“I-ini tidak mungkin!” pekik Bianna tak percaya.
Matanya yang buram semakin tidak jelas membaca semua tulisan yang terlalu kecil itu, Bianna hanya bisa menangis menahan sesak dan sakit hati karena tidak lagi dianggap keberadaannya.
Damian menyambar iPad itu dan meletakkannya begitu saja di atas nakas.
“Bukan itu saja,” ujar Damian lagi. Sikapnya masih begitu tenang padahal berita yang dibawanya begitu mencengangkan. “Apa kamu tahu kalau kamu dalam keadaan hamil saat mengalami kecelakaan itu?”
Bianna refleks menatap pria yang berwajah dingin karena pelit tersenyum itu. “Hamil? Kata siapa saya hamil?”
Damian tidak langsung menjawab. Sepasang manik matanya menelisik Bianna begitu tajam. “Kamu hamil enam minggu. Tapi karena terjadi benturan keras mengenai perutmu, janin itu tidak terselamatkan. Kamu bahkan hampir mati karena pendarahan hebat malam itu.”
Untuk kesekian kalinya Bianna dibuat terperangah. Apalagi ini? Dia hamil dan tak tahu sama sekali?!
“Kamu tidak sedang membohongi saya, kan? Saya tidak mungkin ham—”
“Tidak ada alasan untuk saya berbohong.”
Bianna menggeleng cepat. “Tidak! Ini tidak mungkin! Saya tidak mungkin membunuh anak sendiri!”
Bianna berteriak histeris. Hamil adalah keinginannya sejak lama. Akan tetapi, karena kecerobohannya, dia kehilangan anak yang bahkan belum sempat lahir itu.
Damian hanya diam melihat Bianna meraung dan menyalahkan dirinya sendiri. Dia ingin mendekat, tapi akal sehat menahan langkahnya.
“Saya sudah tidak punya keluarga, suami pun menganggap saya mati. Dan sekarang… saya harus terima kenyataan kalau saya keguguran.…”
Bianna menatap pria di hadapannya dengan matanya yang basah. Tatapannya tampak begitu putus asa.
“Apa gunanya saya hidup? Saya sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Tanpa Bianna sadari, rahang Damian tampak mengeras, seolah tengah menahan diri setelah Bianna mengucapkan kalimat itu.
“Jadi kamu akan membiarkannya begitu saja?” tanya Damian dengan nada tajam.
Wanita cantik itu menatap pria di hadapannya dengan pandangan bertanya. “Apa maksud—”
“Setelah hampir meregang nyawa, kamu hanya diam dan tidak melakukan apapun?”
Nada dingin sekaligus menekan dari pria itu membuat Bianna meremang. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Tenggorokannya pun terasa kering.
“Sa-saya….” Bianna tergagap. Kepalanya pening menerima begitu banyak informasi dalam satu waktu.
Sedangkan pria di hadapannya itu tampak sangat tenang tapi begitu mengintimidasi. Mungkin karena dia hanyalah orang asing. Orang seperti Damian tidak akan tahu bagaimana rasanya berada di posisi Bianna.
Wanita itu praktis sudah tidak punya apa-apa lagi. Sekeras apapun ia ingin membalas semua perbuatan mantan suaminya, ia tak punya kuasa untuk itu.
Dengan keadaan ekonominya yang sekarang, bagaimana dia akan melawan Kevin yang kaya raya itu?
“Saya bisa membantumu.”
Damian tiba-tiba bersuara, memecah keheningan yang panjang.
Bianna mendongak menatapnya. Meskipun tidak terlalu jelas, namun ekspresi datar pria itu tampak sangat serius.
“Membantu saya?” tanya Bianna memastikan.
Damian tampak menyeringai tipis. Ia menatap Bianna dengan lekat. “Kamu ingin membalas semua perbuatan suami, bukan?”
Bianna menelan ludah. Tentu saja dia ingin membalas Kevin. Dia tak ingin berdiam diri dan membiarkan pria berengsek itu hidup tenang.
Tapi—
“Kamu bisa menggunakan saya untuk membalas pria itu.”
Bianna terperangah mendengarnya. “Menggunakan kamu?” tanyanya tak percaya.
Dia bahkan tidak mengenal pria ini, tapi mengapa Damian bersedia diperalat untuk balas dendamnya?
“Ya. Saya punya resource yang kamu butuhkan.”
Bianna terdiam. Ia mengerti maksud pria itu.
Damian memiliki sumber daya untuk mengalahkan orang seperti Kevin, berarti dia bukan orang sembarangan.
Sebenarnya siapa pria ini?
“Tapi kenapa?” tanya Bianna dengan mata memicing curiga. “Kenapa kamu ingin membantu saya?”
Seputus asa apapun dirinya, Bianna tidak ingin jatuh ke lubang singa setelah keluar dari lubang buaya.
Namun, kecurigaan Bianna nyatanya tidak mempengaruhi Damian sama sekali. Aura dingin dan tenangnya itu benar-benar tampak mematikan.
Damian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia menatap Bianna lekat.
“Kamu akan mendapatkan satu posisi penting di perusahaan saya,” ujar Damian tanpa menjawab pertanyaan Bianna sebelumnya.
“Saya akan bimbing kamu untuk menjadi pemimpin yang disegani, agar kamu bisa tampil di depan mantan suamimu itu dan melakukan pembalasan sesuai rencanamu.”
“Hah?” Kerutan di dahi Bianna bertambah banyak. Ia menatap Damian, mencoba mencari keseriusan di sana dan ia menemukannya.
“Bagaimana?”
Bianna menelan ludah. “Lalu apa yang harus saya lakukan sebagai gantinya?”
Damian tersenyum tipis mendengar ucapan Bianna. “Sudah saya duga, kamu bukan wanita bodoh.”
Bianna tidak menanggapi. Dia tahu, untuk bantuan sebesar itu, tidak mungkin bisa ia dapatkan secara cuma-cuma.
“Menikahlah denganku, Bianna.”
Mata Bianna langsung membola sempurna. “A-apa?!”
“Kamu mendengarnya,” sahut Damian, masih tampak tenang. Seolah ia baru saja mengatakan sesuatu yang remeh tentang cuaca.
Bagaimana mungkin Bianna menikah dengan pria yang baru ia temui beberapa menit yang lalu?!
“Saya beri waktu sampai kamu keluar dari rumah sakit nanti,” ujar Damian, membuat Bianna kembali menatapnya.
Setelah itu, Damian keluar dari ruangan inapnya.
“Menikah katanya? Apa dia sudah gila?!”
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha