Share

Part 6. Kost Rasa Hotel

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-06-22 21:37:56

Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana.

Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor.

Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul.

“Ini kost?” Aku bertanya memastikan.

Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang.

“Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil.

Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya.

“Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan.

Aku hanya mengangguk setuju.

“Untuk tidur juga sudah disediakan. Bantal dan selimut yang lebih bagus dari ini.” Ia kembali menerangkan.

Aku hanya mengangguk setiap kali ia menjelaskan. Apalagi yang bisa kulakukan? Bukankah yang ia tawarkan adalah sebuah kemewahan yang sangat aku inginkan?

“Pilih barang yang masih ingin kau pakai.” Sergio memberikan instruksi.

Aku terdiam sejenak. Rasanya sayang jika dibuang. Meskipun sudah tidak terlihat baru, tapi barang-barang itu adalah saksi bisu ketika aku melewati masa-masa sulit di tempat sebelumnya.

“Sisanya akan aku bawa ke tempat pembuangan.” Sergio seolah memberikan instruksi agar aku lekas memilih barang yang diinginkan.

Aku terdiam sejenak, lalu menghela napas dalam. “Buang saja semua.” Aku menjawab dengan berat.

Aku ingin meninggalkan jejak Dinda, ingin memulai hidup baru dengan nama Cindy.

“Baiklah.” Lelaki bertubuh tegap itu kembali memasukkan semua barang ke bagasi.

Sergio memandu jalan menuju bangunan yang mirip dengan rumah mewah itu. Aku mengikuti di belakang dengan menjinjing beberapa paper bag.

Ruang pertama yang kami masuki ketika melewati pintu layaknya sebuah lobi. Ada sofa dan meja yang tertata dengan rapi di sana. Tanpa ada ruang pembatas.

Maju sedikit lebih jauh ke arah kanan, ada tangga yang menjembatani kami menuju lantai atas. Lelaki berkaos hitam itu berjalan layaknya sudah hapal setiap inci bagian dari bangunan ini.

Sergio memang tidak mengenakan seragam dengan lengkap ketika ia menemuiku. Hanya mengenakan celana army, dengan atasan kaus hitam. Mungkin akan diganti ketika ia kembali ke kantor nanti.

“Ini kamarmu.” Sergio berucap ketika ia berhenti di depan pintu nomor 25.

Sebuah kartu ia keluarkan dari kantung. Hanya dengan menggesek, pintu bisa dibuka tanpa membutuhkan kunci lagi.

Aku mengekor di belakang setelah ia masuk lebih dulu. Kartu itu ia letakkan di sebuah tempat kecil yang membuat lampu langsung menyala saat itu juga. Semuanya dirancang secara mesin dan otomatis.

Menakjubkan!

Kamar yang Sergio berikan layaknya sebuah hotel. Sebuah ranjang yang begitu empuk. Dua buah bantal, juga sebuah guling yang bersih tertata rapi di sana. Aku suka saat duduk di tepian ranjang, sebab kasurnya langsung naik dan turun dengan lembat.

Kuempaskan tubuh dengan kasar. Ingin merasakan keempukan dari ranjang. Sungguh, ini sangat nyaman! Jauh lebih nyaman daripada sekadar berbaring di atas kasur lantai.

Kamar ini dilengkapi AC, televisi, lemari, juga meja rias.

“Kau bisa mandi di sini.” Sergio menunjukkan sebuah ruangan di dalam kamar. Ia membukakan pintu dan memperlihatkan isi di dalam sana.

Aku bangkit berdiri, beranjak untuk melihat.

Ini mimpi?

Kutampar pipi kanan untuk memastikan bahwa ini adalah sebuah kenyataan.

Kamar mandi yang sejak dulu kuimpikan, akhirnya bisa kumiliki. Ada shower, juga kaca besar di sana. Peralatan mandi sudah tertata dengan rapi. Kurasa itu masih baru dan bersih. Aroma kamar mandi juga tidak ada pesing-pesingnya. Yang ada malah aroma apel yang menyegarkan.

Ada toilet duduk juga. Dilengkapi dengan tisu toilet juga semprotan air.

“Kau bisa menunjukkan padaku bagaimana cara memakainya?” Aku bertanya dengan ragu. Merasa malu karena tidak tahu.

Sergio tertawa tipis, kemudian menjelaskan padaku bagaimana cara menyalakan shower, bagaimana cara menyetel air panas atau dingin, bagaimana cara menggunakan toilet duduk.

Ah, jika toilet duduk aku bisa memakainya. Karena ada di tempat bekerja. Setiap hari aku diminta untuk membersihkan. Hanya saja tidak ada shower di sana.

“Tinggalkan kamar dulu, akan kutunjukkan dapur juga rooftoop untuk bersantai.” Sergio mengajakku untuk keluar. Ia mengajari agar jika ingin keluar selalu membawa kartu kamar. Sebab, pintu hanya bisa dibuka dari dalam atau dari luar jika menggunakan kartu.

Aku mulai paham meskipun belum seutuhnya.

Kami berjalan ke bawah. Dapur ada di lantai paling dasar.

Kurasa ini adalah kost paling mewah yang pernah kutahu. Dapurnya sungguh bersih dengan peralatan yang lengkap. Di sana juga ada dua buah kulkas.

“Kau bisa menyimpan bahan makanan di sini. Tapi tidak saya sarankan, sebab akan bebas dipakai oleh penghuni lainnya.” Sergio memberi peringatan.

Setelah menunjukkan dapur, kami berjalan menuju lantai paling atas. Di sana, tidak ada kamar sama sekali. Hanya sofa dengan meja untuk ruangan seluas itu. Ada banyak sofa yang ditata dengan sangat indah.

“Jika ada tamu bisa dibawa ke sini.” Ia menjelaskan.

Aku mengangguk paham. Ada lampu-lampu kecil yang digantung di sekitaran plafon, membentang dari satu sudut ke sudut lain. Bunga hias yang ada di sana juga bunga hidup, bukan bunga mati.

Setiap meja yang dilingkari oleh sofa juga diberikan hiasan berupa bunga. Ruang ini juga diberikan AC. Meskipun mata bisa memandang dengan jelas ke luar sana, tidak ada celah sama sekali bagi angin untuk masuk. Sebab, itu adalah kaca. Kaca yang begitu bening, seolah tidak ada penghalangnya.

Kukira rooftoop yang dimaksud adalah atap seperti biasanya. Ternyata tidak, aku salah.

“Kau sangat paham tentang bangunan ini.” Entah itu pujian atau pernyataan, aku tidak tahu. Sebab terlalu takjub dengan apa yang aku dapatkan.

“Saya pemilik dari kost ini.” Sergio tertawa kecil.

Waw!

“Sungguh?” Aku bertanya tidak percaya.

Untuk usia semuda dirinya, mustahil bisa memiliki bangunan semewah ini. Apalagi ia hanya bekerja sebagai polisi. Yang kutahu gajinya tidak terlalu banyak. Kecuali dia terlahir dari keluarga kaya-raya. Wajar saja, sebab ia memulai dari nol yang berbeda.

“Berapa biasa sewa per bulan?” Aku bertanya seraya menatapnya dengan dalam. Jantung berdebar dengan sangat cepat, menunggu jumlah nominal yang akan keluar dari mulutnya. Takut jika tidak akan sanggup untuk membayar.

Sergio menarik napas dalam. Kemudian membalas menatapku dengan lebih dalam lagi.

“Kau tidak perlu membayar biaya sewa, asal kau mau menjadi simpanan saya.” Ia berucap dengan menatap sangat dalam. Teramat dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 70. Ending

    “Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 69. Pisah

    “Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Paet 68. Ditinggal Sendiri

    “Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 67. Larissa Hamil

    Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 66. Terbakar Api Cemburu

    “Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 65. Sesal

    Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status