Share

Part 6. Kost Rasa Hotel

Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana.

Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor.

Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul.

“Ini kost?” Aku bertanya memastikan.

Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang.

“Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil.

Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya.

“Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan.

Aku hanya mengangguk setuju.

“Untuk tidur juga sudah disediakan. Bantal dan selimut yang lebih bagus dari ini.” Ia kembali menerangkan.

Aku hanya mengangguk setiap kali ia menjelaskan. Apalagi yang bisa kulakukan? Bukankah yang ia tawarkan adalah sebuah kemewahan yang sangat aku inginkan?

“Pilih barang yang masih ingin kau pakai.” Sergio memberikan instruksi.

Aku terdiam sejenak. Rasanya sayang jika dibuang. Meskipun sudah tidak terlihat baru, tapi barang-barang itu adalah saksi bisu ketika aku melewati masa-masa sulit di tempat sebelumnya.

“Sisanya akan aku bawa ke tempat pembuangan.” Sergio seolah memberikan instruksi agar aku lekas memilih barang yang diinginkan.

Aku terdiam sejenak, lalu menghela napas dalam. “Buang saja semua.” Aku menjawab dengan berat.

Aku ingin meninggalkan jejak Dinda, ingin memulai hidup baru dengan nama Cindy.

“Baiklah.” Lelaki bertubuh tegap itu kembali memasukkan semua barang ke bagasi.

Sergio memandu jalan menuju bangunan yang mirip dengan rumah mewah itu. Aku mengikuti di belakang dengan menjinjing beberapa paper bag.

Ruang pertama yang kami masuki ketika melewati pintu layaknya sebuah lobi. Ada sofa dan meja yang tertata dengan rapi di sana. Tanpa ada ruang pembatas.

Maju sedikit lebih jauh ke arah kanan, ada tangga yang menjembatani kami menuju lantai atas. Lelaki berkaos hitam itu berjalan layaknya sudah hapal setiap inci bagian dari bangunan ini.

Sergio memang tidak mengenakan seragam dengan lengkap ketika ia menemuiku. Hanya mengenakan celana army, dengan atasan kaus hitam. Mungkin akan diganti ketika ia kembali ke kantor nanti.

“Ini kamarmu.” Sergio berucap ketika ia berhenti di depan pintu nomor 25.

Sebuah kartu ia keluarkan dari kantung. Hanya dengan menggesek, pintu bisa dibuka tanpa membutuhkan kunci lagi.

Aku mengekor di belakang setelah ia masuk lebih dulu. Kartu itu ia letakkan di sebuah tempat kecil yang membuat lampu langsung menyala saat itu juga. Semuanya dirancang secara mesin dan otomatis.

Menakjubkan!

Kamar yang Sergio berikan layaknya sebuah hotel. Sebuah ranjang yang begitu empuk. Dua buah bantal, juga sebuah guling yang bersih tertata rapi di sana. Aku suka saat duduk di tepian ranjang, sebab kasurnya langsung naik dan turun dengan lembat.

Kuempaskan tubuh dengan kasar. Ingin merasakan keempukan dari ranjang. Sungguh, ini sangat nyaman! Jauh lebih nyaman daripada sekadar berbaring di atas kasur lantai.

Kamar ini dilengkapi AC, televisi, lemari, juga meja rias.

“Kau bisa mandi di sini.” Sergio menunjukkan sebuah ruangan di dalam kamar. Ia membukakan pintu dan memperlihatkan isi di dalam sana.

Aku bangkit berdiri, beranjak untuk melihat.

Ini mimpi?

Kutampar pipi kanan untuk memastikan bahwa ini adalah sebuah kenyataan.

Kamar mandi yang sejak dulu kuimpikan, akhirnya bisa kumiliki. Ada shower, juga kaca besar di sana. Peralatan mandi sudah tertata dengan rapi. Kurasa itu masih baru dan bersih. Aroma kamar mandi juga tidak ada pesing-pesingnya. Yang ada malah aroma apel yang menyegarkan.

Ada toilet duduk juga. Dilengkapi dengan tisu toilet juga semprotan air.

“Kau bisa menunjukkan padaku bagaimana cara memakainya?” Aku bertanya dengan ragu. Merasa malu karena tidak tahu.

Sergio tertawa tipis, kemudian menjelaskan padaku bagaimana cara menyalakan shower, bagaimana cara menyetel air panas atau dingin, bagaimana cara menggunakan toilet duduk.

Ah, jika toilet duduk aku bisa memakainya. Karena ada di tempat bekerja. Setiap hari aku diminta untuk membersihkan. Hanya saja tidak ada shower di sana.

“Tinggalkan kamar dulu, akan kutunjukkan dapur juga rooftoop untuk bersantai.” Sergio mengajakku untuk keluar. Ia mengajari agar jika ingin keluar selalu membawa kartu kamar. Sebab, pintu hanya bisa dibuka dari dalam atau dari luar jika menggunakan kartu.

Aku mulai paham meskipun belum seutuhnya.

Kami berjalan ke bawah. Dapur ada di lantai paling dasar.

Kurasa ini adalah kost paling mewah yang pernah kutahu. Dapurnya sungguh bersih dengan peralatan yang lengkap. Di sana juga ada dua buah kulkas.

“Kau bisa menyimpan bahan makanan di sini. Tapi tidak saya sarankan, sebab akan bebas dipakai oleh penghuni lainnya.” Sergio memberi peringatan.

Setelah menunjukkan dapur, kami berjalan menuju lantai paling atas. Di sana, tidak ada kamar sama sekali. Hanya sofa dengan meja untuk ruangan seluas itu. Ada banyak sofa yang ditata dengan sangat indah.

“Jika ada tamu bisa dibawa ke sini.” Ia menjelaskan.

Aku mengangguk paham. Ada lampu-lampu kecil yang digantung di sekitaran plafon, membentang dari satu sudut ke sudut lain. Bunga hias yang ada di sana juga bunga hidup, bukan bunga mati.

Setiap meja yang dilingkari oleh sofa juga diberikan hiasan berupa bunga. Ruang ini juga diberikan AC. Meskipun mata bisa memandang dengan jelas ke luar sana, tidak ada celah sama sekali bagi angin untuk masuk. Sebab, itu adalah kaca. Kaca yang begitu bening, seolah tidak ada penghalangnya.

Kukira rooftoop yang dimaksud adalah atap seperti biasanya. Ternyata tidak, aku salah.

“Kau sangat paham tentang bangunan ini.” Entah itu pujian atau pernyataan, aku tidak tahu. Sebab terlalu takjub dengan apa yang aku dapatkan.

“Saya pemilik dari kost ini.” Sergio tertawa kecil.

Waw!

“Sungguh?” Aku bertanya tidak percaya.

Untuk usia semuda dirinya, mustahil bisa memiliki bangunan semewah ini. Apalagi ia hanya bekerja sebagai polisi. Yang kutahu gajinya tidak terlalu banyak. Kecuali dia terlahir dari keluarga kaya-raya. Wajar saja, sebab ia memulai dari nol yang berbeda.

“Berapa biasa sewa per bulan?” Aku bertanya seraya menatapnya dengan dalam. Jantung berdebar dengan sangat cepat, menunggu jumlah nominal yang akan keluar dari mulutnya. Takut jika tidak akan sanggup untuk membayar.

Sergio menarik napas dalam. Kemudian membalas menatapku dengan lebih dalam lagi.

“Kau tidak perlu membayar biaya sewa, asal kau mau menjadi simpanan saya.” Ia berucap dengan menatap sangat dalam. Teramat dalam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status