***
Sementara di dalam kamar mandi, Tubuh Wina gemetar menahan risih karena mulutnya dibekap oleh Darius. Kerisihan Wina semakin jadi, karena Darius menempelkan tubuhnya dari belakang tubuh Wina dalam keadaan sama sekali tak mengenakan pakaian. Ia telanjang dan basah, dikarenakan saat Wina memasuki kamar mandi, Darius sedang mandi di bawah shower dan langsung menangkap tubuh Wina saat berteriak tadi. Wina mencakar lengan Darius yang masih kokoh membekap mulutnya. Sontak Darius melepaskan tangannya. Lagipula, para Pelayan tampaknya sudah pergi dari kamar. "Tolong! kenakanlah handuk segera, Tuan!" ucap Wina menutup matanya. "Kenapa? lagipula kau sudah melihatnya!" ucap Darius santai melangkah menuju shower. "Kalau begitu, mandilah segera! aku akan keluar." ucap Wina langsung melangkah menuju pintu keluar. Namun Darius yang melihat Wina sudah sampai ke pintu, langsung meloncat dan melangkah lebar mendekati Wina. "Kau mau kemana?!" tanya Darius menahan pintu. "Ampun! pakailah handuk itu, Tuan!" ucap Wina menundukkan wajahnya dan menutupi matanya dengan tangan demi melihat Darius yang telanjang bulat sedang berdiri di pintu menahannya keluar. "Tidak! kau harus terbiasa denganku yang seperti ini." ucap Darius menyeringai. "Apa Anda gila?! aku bukanlah Andrea Isterimu!" ucap Wina menjauhi Darius dan meraih handuk dari almari gantung di sudut kamar mandi. Darius mengunci kamar mandi, ia melangkah mendekati Wina yang berusaha menjauhinya dan menundukkan wajahnya agar tak bisa melihat ke arah Darius. "Berikan handuk itu!" pinta Darius melangkah semakin dekat. "Ini! ambillah!" ucap Wina tanpa menoleh. Darius meraih handuk putih yang masih terlipat rapi itu. Kemudian melilitkannya di pinggangnya sembari melihat ke arah Wina. "Sudah! aku sudah mengenakan handuk. Tak bisakah kau melihat ke arahku?" tanya Darius kesal. "Untuk apa? kalau Anda sudah selesai, keluarlah dari kamar mandi!" ucap Wina seraya melambaikan punggung tangannya sebagai isyarat mengusir Darius dari sana. "Aku bahkan baru memulai untuk mandi." ucap Darius seraya berkacak pinggang. Wina mencoba menegakkan kembali wajahnya. Sesaat kemudian ia merasa sesak demi melihat pemandangan di depannya. Darius yang ada di depannya dengan jarak tak lebih dari satu meter seolah memamerkan tubuh atletis berbulunya di depannya. Handuk yang ia kenakan di atas lutut itu malah semakin menambah kesan seksi dan maskulin. Bagaimana tidak? rambut dan jambang yang basah, bulir-bulir air yang masih menempel di seluruh permukaan kulitnya menambah segar dan gagah tubuh yang dipenuhi bulu-bulu itu. "Kenapa Anda malah mandi di sini? bukankah semalam Anda mengatakan kalau akan tidur di Kamar Tamu saja?" tanya Wina mencoba tenang. "Peralatan mandiku, semuanya di sini. Jadi, aku memilih mandi di sini selagi kau tidur. Lagipula, mana kutahu kau masuk begitu saja. Bibi Noni bahkan tahu aku sedang ada di dalam kamar mandi ini." ucap Darius sembari melangkah kembali ke pancuran shower. "Apa?! Pelayan Senior itu tahu Anda ada di dalam?" tanya Wina kesal. "Ya! bisakah kau ke sini sebentar?!" tanya Darius sambil duduk berjongkok di bawah Shower. "Untuk apa?" tanya Wina sangsi. "Tolong gosoklah punggungku dengan sabun. Sudah lama aku tak menggosok punggungku, karena Isteriku Andrea sudah lama tiada." ucapmya sembari menunjuk-nunjuk ke punggungnya. "Apa?!" ucap Wina tak percaya. Wina membalikkan badannya, ia mencoba membuka pintu, namun pintu telah dikunci. Wina tak mengerti cara membuka kunci pintu itu. "Ayolah! aku berjanji tidak akan melakukan pelecehan terhadapmu. Sudah lama punggungku terasa gatal." ucap Darius mendengus kesal. "Anda pasti tahu fungsi spons yang memiliki gagang itu! kenapa tak gunakan itu saja?" tanya Wina bersandar di pintu. "Ayolah! aku tak terbiasa menggunakan itu. Kalau kau tak bersedia, maka sampai malam aku dan kau akan terkunci di kamar mandi ini." ucap Darius tersenyum. Wina kesal bukan kepalang. Ia mendengus dan melangkah terpaksa mendekati Darius yang masih duduk berjongkok di bawah shower. Wina meraih spons yang dipegang Darius sedari tadi, menuangkan cairan sabun dan mulai menggosok punggung berotot itu dengan kesal. "Aaakh! pelan-pelanlah, Wina! tanganmu begitu halus, namun cara menggosokmu seperti kuli kasar saja." ucap Darius mengeluh. "Ya! apa Anda tidak sadar? saya adalah Kuli Kasar di Pasar! membersihkan tumpukan piring kotor di Rumah Makan, menjemur jerami-jerami jika musim panen telah usai, membersihkan kandang ternak dan memotong kayu dengan kapak." ucap Wina kesal. Darius terdiam, ia sepertinya memikirkan sesuatu, atau malah seperti masa bodo dengan ucapan Wina dan menikmati gosokan di punggungnya. Beberapa menit kemudian, "Wina, apakah kau kesal dengan takdirmu?" tanya Darius memecahkan keheningan di antara mereka. "Apa maksud Anda?" tanya Wina mulai jengah dengan apa yang ia kerjakan. "Andrea menikmati hidupnya bergelimang harta, ia memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan maupun tidak. Sementara kau, hidup miskin dan malah bergelimang hutang." ucap Darius sembari menoleh ke samping. "Tidak! aku bersyukur dibesarkan oleh Kakek dan Nenekku. Meski jika benar mereka ternyata bukan Keluarga kandungku, tapi mereka memperlakukanku penuh kasih sayang. Aku malah menyesal berkali-kali mengeluh atau sesekali melawan perintah mereka, ternyata mereka lebih menyangangiku dibanding Orangtuaku sendiri." ucap Wina seperti mengenang kembali Kakek dan Neneknya, ia tak sadar bahwa tangannya berhenti menggosok punggung Darius. "Ah, sudahlah! aku merasa punggungku sudah bersih! menyingkirlah! apa jangan-jangan kau mau mandi bersama denganku?" ucap Darius berdiri seketika. Wina yang masih berjongkok, mendongak dan menatap Darius dengan tatapan kesal. Ia segera bangkit dan menyingkir dari tempat pancuran Shower. Ia berdiri membelakangi Darius, seolah enggan melihatnya mandi. Meski Darius kali ini mandi tidak dengan telanjang bulat, tapi masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Beberapa menit kemudian, "Aku sudah selesai, aku akan keluar." ucap Darius melangkah menjauhi Shower. Wina segera mengambilkan handuk baru yang tersusun dan terlipat rapi untuk Darius dari almari gantung. Ia memberikan handuk itu dengan wajah menoleh ke samping. Darius menerima handuk itu dengan tersenyum, ia kenakan dan pergi ke arah pintu. "Aku akan keluar, apa kau akan membiarkan pintu ini terbuka?" tanya Darius sambil membuka kunci pintu. "Ya, keluarlah!" ucap Wina menyusul Darius di pintu. Darius membuka pintu dan melangkah keluar. Wina yang ada di balik pintu langsung menutup pintu setelah tubuh Darius lolos dari mulut pintu. Namun, sebelum pintu benar-benar tertutup, Darius menahan daun pintu dengan kakinya. "Tunggu dulu!" cegat Darius seketika. "Apalagi?" tanya Wina kesal sembari mendongakkan wajahnya dari celah pintu. "Ada yang ingin kupastikan!" ucap Darius serius. "Apa?! tidak bisakah Anda menyanakannya nanti saja, Tuan?" tanya Wina mulai tak bisa menahan kesabarannya. "Aku ingin bertanya satu hal!" ucap Darius memasang wajah seriusnya. "Apa?!" tanya Wina penasaran. "Bagaimana menurutmu tubuh telanjangku tadi? apalah seksi? menggairahkan, bukan?" tanya Darius tersenyum. "Apa?!" tanya Wina syok. _____________***"Hah, sepertinya kau tak perlu berusaha lebih keras agar aku mengabulkan keinginanmu, Wina!" ucap Darius sambil menutup panggilan di ponselnya."Kenapa?""Bibi Wina mengancamku bahwa dia akan mendatangkan Polisi ke rumahku, Jika aku tak melepaskan Revan sekarang juga.""Hah! apa orang sepertimu takut dengan Polisi? luar biasa sekali, itu sama sekali bukanlah dirimu yang kukenal.""Tidak! hanya rasa malas saja memperumit keadaan. Lagipula, aku dan kau akan bersenang-senang, bukan?""Bersenang-senang apaan?""Kau dan aku akan berbulan madu, sayang!"Darius kembali menggenggam jemari Wina, dan menariknya ke mobil. Membuka pintu depan dan menaruh telapak tangannya ke atas kepala Wina dan menekan kepala Wina agar menunduk ke bawah untuk masuk ke dalam mobil."Kenapa kau selalu memaksa!?" ucap Wina kesal setelah tubuhnya berhasil masuk ke dalam mobil."Karna aku sangat senang jika kau kesal dan b
***Wina membuka matanya perlahan, dahinya berkerut saat menyadari dirinya sedang terbaring di ruangan asing namun familiar."Dimana ini?" gumamnya sambil memegang dahinya yang terasa pusing.Ia melihat di punggung tangannya tertancap jarum infus, sementara saat ia menggerakkan tangannya yang satunya, ia merasa ada yang menahan. Ia menoleh, dan melihat seorang Pria tengah tertidur sambil duduk di sisi ranjangnya dengan memegang sebalah tangannya."Tuan Darius? kenapa dia malah tertidur di sini?"Wina memperhatikan sosok pria yang tertidur di sisinya itu. Sosok yang selalu membuatnya stress dan marah. Sosok yang ia benci itu malah duduk tertidur seakan sedari tadi menungguinya sampai sadar."Kalau diperhatikan sedang tertidur begini, kenapa wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan wajah seorang yang begitu mengesalkan? bengis dan kejam? dia tampak polos saat tidur." batin Wina memperhatikan wajah Darius yang sedang tertidur.
*** Drrttt..., drttttt, drtttt! Bibi Noni meraih ponselnya dari saku dressnya. Ia melepaskan pelukannya dari Andrea yang sudah mulai tenang dan berbaring di tempat tidur. Bibi Noni beranjak dari sisi ranjang, melangkah menjauhi Andrea untuk mengangkat panggilan telfon itu. "Ada apa? kenapa kau baru menghubungiku sekarang? kau tak tahu, di sini banyak sekali drama yang telah terjadi!" ["Maafkan aku, Bibi. Sekarang aku ada di sekitar rumah besar. Bisakah Bibi datang kemari?"] "Kau gila? aku sudah katakan bahwa di sini banyak sekali drama dan huru hara yang baru saja terjadi." ["Apa itu, Bibi?"] "Wina dinyatakan hamil, Andrea dan Draius berhubungan intim, Wina berkali-kali pingsan dan sekarang dia dilarikan ke Rumah Sakit oleh Darius. Dan Andrea yang mengetahui itu mengamuk dan menggila." ["Hamil? se, sejak kapan?"] "Kenapa? apa kau curiga bahwa itu anakmu?" ["Apa maksud, Bibi?"] "Bahkan Darius curiga bahwa janin yang sekarang dikandung oleh Wina, bukanlah darah dagi
***Cklek!Pintu dibuka, Wina masuk ke kamar utama setelah uring-uringan di ruang tamu dan taman. Satu tempatpun tak ada yang membuatnya merasa cocok. Perasaan pusing dan mual serta tak nyaman, kerap ia rasakan di setiap langkah di rumah besar itu.Saat dirinya telah berada di dalam kamar, matanya kemudian mengitari sekitar. Perasaan kagum dan heran ia rasakan saat melihat keadaan kamar saat itu. Semua perabotan kamar telah diganti, termasuk ranjang tidur. Yang awalnya memakai dipan model klasik dengan ukiran yang berat khas Jepara. Kini berubah menjadi ranjang minimalis namun tetap tampak mewah. Semua prabotan seolah dimodernisasi. Yang sebelumnya menggunakan perabotan klassik dengan ukiran-ukiran berat dan rumit, sekarang berubah menjadi serba modern dan minimalis."Aku hanya berada di luar kamar selama dua jam. Kapan mereka memperbarui kamar ini? aku tak melihat ada mobil pengangkutan yang membawa perabotan-perabotan ini semua? atau, apakah aku
*** Andrea mendongak ke atas jendelanya. Ia melihat bulan tepat berada di atas kepalanya. "Aku bosan melihat bulan, kapan aku bisa menatap matahari yang bersinar di kepalaku? pasti sangat silau dan panas sekali." Andrea melangkah pelan, gemericik air di kolam ikan koi yang berada di sampingnya, seolah mengiringi alunan lagu berjudul Yours dari alat pemutar musik di sisi kirinya mengalun lembut. Suara merdu dari Jin BTS sangat sopan masuk ke telinga dan membuat berwarna ruangan yang sebelumnya sangat sepi itu. Every night I see you in my heart {setiap malam aku lihat dirimu dalam hati ku} Every time I do I end up crying {setiap aku melakukan sesuatu selalu berakhir dengan tangis} eodum soge neoreul bulleojumyeon {aku panggil dirimu dalam gelap} naegero deullyeooneun geon {apa yang telah didengar telinga ku}
***"Lantas, apa kau akan mendengarkanku?" tanya Bibi Noni dengan wajah tegang."Ya! tentu saja! bukankah selama ini aku selalu mendengarkanmu?! kita bahkan tak memiliki hubungan darah, namun kau seolah seorang yang lebih berharga bagiku dari orangtuaku sendiri."Bibi Noni tersenyum tipis,"Di saat kau dicampakkan oleh keluarga Mahesa, hanya aku Orangtua yang datang mendekatimu, memintamu kembali dan menginginkan keberadaanmu di rumah ini. Di saat kau membutuhkan Pahlawan saat kebakaran dahulu, hanya Andrea yang datang tanpa ragu, tanpa perduli akan nyawanya sendiri untuk menolongmu. Dan jangan lupakan Revan! dia juga sama dengan Andrea! banyak turun tangan untuk membantumu, Tuan!""Dan, apakah Anda ingin aku menyelamatkan ketiga orang itu, dan mengabaikan Wina?""Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita semua.""Bukankah Wina adalah Isteriku?""Kau bahkan bersetubuh dengan Andrea, Tuan! tanpa menikahinya! tegany
***Darius menahan amarahnya, ia tahan sampai enggan berdiri di sisi Wina lebih lama, ia memilih berdiri di balkon sembari matanya memandang ke bawah. Ia sedang menunggu Dokter pribadinya datang.Sementara Bibi Noni, mengompres kening Wina dengan senyuman tipis yang seolah tak bisa ia sembunyikan. Ia juga membersihkan tubuh Wina dengan mengusap-usapnya dengan air yang sudah dibubuhi antiseptik."Aku tak sabar ingin mendengar kepastian dari Dokter pribadi tuan Darius, bahwa kau benar-benar hamil, Wina." gumam Bibi Noni tersenyum. "Tapi kau hamil anak siapa? hmmmmm, ini pasti akan sangat menarik."Tak berapa lama kemudian, Dokter pribadi Darius tiba, ia masuk dan bertegur sapa dengan Darius. Bibi Noni permisi untuk keluar sambil membawa kembali nampan berisi handuk yang ia bawa sebelumnya."Bagaimana keadaan Isteri saya, Dokter?" tanya Darius tampak tak sabar setelah Dokter itu selesai memeriksa Wina."Apa Nyonya akhir-akhir ini te
***"Aku melihat foto Andrea di dompetmu, tadi.""Itu, itu foto yang sudah sangat lama di situ.""Waktu kita ada di gubuk malam itu, aku bertanya padamu apakah kau menyukai Andrea? kau tak menjawab. Apakah inilah jawaban sebenarnya?""Wina! Pencopet itu sudah lari sangat jauh!"Revan tak menghiraukan lagi pertanyaan Wina. Ia berlari kencang, entah itu karena benar-benar ingin mengejar Copet itu, atau menghindar dari cecaran pertanyaan Wina."Revan! tunggu! bisa-bisanya kau meninggalkanku!"Wina ngos-ngosan mengejar Revan yang sudah menghilang ditelan tikungan tajam. Dan saat ia sudah melewati tikungan itu, ia dapati Revan tengah meninju Pencopet itu.Buk! Bak!"Revaan!" teriak Wina.Revan menoleh sambil memegang kerah baju Pencopet itu."Wina! aku dapatkan Pencopet itu!""Ampuun, Kak! ampuuun!" mohon Pencopetan itu tak berdaya. Wajahnya kini lebam dan hidungnya berdarah.
***Wina dan Revan segera beranjak sebelum induk babi itu menyadari keberadaan mereka berdua di sekitar kandangnya. Mereka seolah diberi kesempatan waktu untuk berlari dari Anak Buah Darius dan serudukan induk babi itu"Sekarang kita kemana, Revan?""Entahlah! aku tak yakin akan berlari lewat jalan lintas di sana. Hanya saja, di hutan inipun sama saja! mereka, anak buah tuan Darius pasti akan kembali lagi ke sini.""Lantas, apa yang kau fikirkan sekarang?"Revan berkacak pinggang, matanya mengitari sekitar. Tiba-tiba matanya berbinar dan bibirnya tersenyum merekah. Ia melihat seorang Nelayan ikan lewat menggunakan sampan kayunya. Sepertinya Nelayan itu hendak pergi ke Pasar untuk menjual hasil tangkapannya."Ayo, Wina!""Kemana?"Wina mengikuti saja arah tarikan tangan Revan menuruni jalan menuju sungai."Pak! permisi, kami boleh menumpang?" seru Revan pada Nelayan yang sedang mengayuh itu.Nel