***
"Tuan, apa yang Anda lakukan?! saya bukan Isteri Anda, Tuan!" ucap Wina berontak. Namun seperti kesetanan, Darius tak memperdulikan ucapan Wina. Ia malah naik ke atas tempat tidur, mengangkangi Wina dan buru-buru melepaskan kemeja putihnya. Kemeja itu ia lemparkan sembarang saja ke lantai. Kini Darius telah bertelanjang dada, tubuh atletis berbulu itu kini terpampang nyata di hadapan Wina. Wina mendelik, ia tak percaya dengan apa yang akan dilakukan oleh Darius setelah ini. Jantung Wina seakan hendak jatuh, darahnya berdesir kencang. "Tuan, tolong jangan lakukan apapun lagi! jangan ambil kesucian saya, Tuan." isak Wina kini mulai menangis. Darius mulai merangkak di atas tubuh Wina. Ia mendekatkan wajahnya di atas wajah Wina. Nafas Darius terdengar memburu, ia mendengus menghirup udara dari leher jenjang Wina. "Bagaimana bisa kau seidentik ini dengan dia? bahkan aroma khas tubuhmu juga sama." ucap Darius dengan nafas memburu. Wina berusaha menepis wajah Darius dari wajahnya dengan tangannya. Namun Darius langsung meraih tangan Wina dan menindihnya dengan tangannya. "Tuan! Anda sudah keterlaluan! sadarlah! Isteri Anda telah meninggal setahun yang lalu." bentak Wina seraya menutup matanya dan menolehkan wajahnya ke samping, saat Darius mengendus telinga dan anak rambut bagian belakangnya. Wina tak mendapat jawaban apa-apa dari Darius. Malah serangannya semakin menjadi-jadi. Kini jemari Darius bahkan sudah menyasar ke bagian belahan dada Wina yang sekal dan padat. Wina menutup matanya, pasrah sudah ia. Melawanpun seolah tak ada guna, tubuh mungilnya takkan mampu melawan tubuh berotot Darius. Namun, seiring kepasrahan Wina, perlahan ada perasaan hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Pemandangan di luar balkon menampakkan gerimis yang mulai turun di dini hari ini, aliran hawa dingin dari AC dan hangatnya tubuh Darius menjadikan sebuah padu padan yang romantis dan syahdu. Saat ia saling tatap dengan Darius, dan memandang seluruh wajah dan sebagian dari dada telanjang Darius, Wina melihat ketampanan dan keperkasaan Darius dalam sekejab. Wina memejamkan matanya, ia mulai melemaskan seluruh tubuhnya, ada kerelaan seketika menyeruak seiring libido yang mulai terpancing keluar. Wina seakan menginginkan perlakuan lebih dari Darius. Gairahnya malu-malu keluar menunjukkan keinginan akan sentuhan jari jemari Darius yang kian menari di dadanya. "Kau menginginkannya?" bisik Darius menatap mata Wina seolah mencari jawaban. Wina terdiam, ia memejamkan matanya. Darius mulai mendekatkan bibirnya ke bibir Wina, nafas yang mendengus memburu dari hidung Darius, terasa hangat namun sekaligus membuat sesak. Wina membuka bibirnya sedikit, seakan mengerti bahwa Darius akan melekatkan bibirnya. Namun, Wina seakan dibiarkan menunggu lama, Darius tak kunjung mencumbunya. Wina membuka matanya, ia melihat Darius masih menatapnya, namun dengan senyuman sinisnya. "Aku sudah menduganya! kau sama saja dengan Andrea!" ucap Darius tersenyum menang. Wina terhenyak, ia langsung berontak seperti sebelumnya. Namun, Darius tak menahan rontakan tangan Wina. Ia melepaskannya dengan mudah. Darius beranjak dari tubuh Wina, dan segera turun dari ranjang. "Apa maksudmu?!" tanya Wina merasa tersinggung. "Kenapa? kau kecewa?" tanya Darius sambil memungut kemejanya dari lantai. Wina terdiam, ada perasaan malu dan terhina bercampur aduk di benaknya. Seakan ia ingin menghilang saja dari hadapan Darius, atau setidaknya berandai-andai kejadian sebelumnya bisa terulang, maka takkan ia melakukan hal bodoh seperti tadi. "Aku akan keluar dan tidur di kamar tamu. Kau tidurlah di sini. Tak perlu canggung! ini juga kamar Saudarimu." ucap Darius sambil mengenakan kembali kemejanya. Darius bersiap keluar, ia melangkah ke arah pintu. Namun, Wina mencegatnya. "Tunggu!" ucap Wina menghentikan langkah Darius. Darius menoleh, "Ada apa? bukankah tadinya kau menginginkan aku menjauhimu?" tanya Darius menatap ke arah Wina yang masih mematung di ranjang. Wina menelan ludahnya, kerongkongannya kering serasa berat menyampaikan sepatah katapun. "Apa kau mencintai Andrea?" tanya Wina ragu. Darius kembali membalikkan badannya, ia tampak memikirkan pertanyaan Wina. "Tidak. Dia yang mencintaiku." ucap Darius tersenyum sinis. "Bohong!" ucap Wina sinis. "Sebegitu kecewanyakah kau karena aku enggan mencumbu bibirmu? apa kau ingin aku mengulanginya dan melakukan full service untukmu?" ucap Darius sambil melangkah mendekati ranjang. Wina langsung beringsut mundur. Ia memperlihatkan gestur penolakan dan keengganan atas ucapan Darius itu. "Silahkan keluar! tentu Anda menginginkan saya beristirahat malam ini. Agar besok pagi, Anda tak mendapati saya bermasalah dengan kantuk lagi." tegas Wina. Darius tersenyum. Ia kembali membalikkan badan ke arah pintu keluar. Ia menoleh sekali lagi pada Wina, menekan tuas gagang pintu dan langsung keluar dari kamar. Debar-debar jantung Wina masih terasa kencang. Desiran darahnya masih mengalir hangat namun membuatnya merinding. Ia merasakan gejolak birahi sekaligus kengerian bersamaan. Entahlah, tatapan mata Darius, rahangnya yang tegas dan bidang dadanya yang berbulu, masih membayang di benak Wina seolah tak mau hilang. Wina menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Menutupi seluruh tubuhnya sampai kepala dengan selimut. Ia kesal bukan kepalang. "Akkkhggh! apa yang kulakukan?! kenapa aku sebodoh itu?!" gerutu Wina kesal pada dirinya sendiri. *** Pagi, pukul tujuh tiga puluh menit. Matahari malu-malu menyembul dari ufuk timur. Hangat sinarnya seakan mengangkat semua kelembaban udara dingin yang menyelimuti semalaman ini. Decit-decit burung-burung berkicau di sela-sela pepohonan di halaman kediaman Darius. Pintu kamar terbuka, tiga orang Pelayan dengan pakaian serupa masuk ke kamar dimana Wina masih tertidur pulas di ranjang mewah itu. Meja berisikan sajian sarapan pagi didorong menuju meja bundar di tengah-tengah balkon. Wina membuka matanya perlahan, silau sinaran mentari pagi yang masuk dari jendela balkon yang tak ditutup semalaman, membuatnya memicingkan matanya seraya melirik ke arah tiga orang Pelayan yang sedang sibuk menyajikan sarapan di meja bundar yang ada di tengah-tengah balkon. "Aku harus segera bangkit dari ranjang ini. Aku enggan diperlakukan lagi seperti semalam. Dibukakan baju, dimandikan, dipakaikan baju. Akh! apakah aku balita yang harus diurus seperti itu?" gumam Wina sambil turun dari ranjang. Wina mengendap-endap melangkah ke kamar mandi. Membuka perlahan pintunya dan, "Aaaaaaaaakh!" teriak Wina dari dalam kamar mandi. Para Pelayan kecuali Pelayan Senior sontak melihat ke belakang, mereka berlari menuju arah suara teriakan, yaitu di kamar mandi. Mereka menggedor-gedor kamar mandi dan menggoncang-goncang tuas gagang pintunya. "Ada apa, Nona? apa yang terjadi?" tanya salah seorang Pelayan dari luar pintu. Namun tak ada jawaban dari dalam. Pelayan Senior langsung menghampiri kedua Pelayan yang berusaha membuka pintu kamar mandi. Menarik tangan seorang Pelayan yang memegang gagang pintu dan menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. "Sudahlah, mungkin Nona tidak tahu kalau tuan Darius sedang mandi di dalam." ucap Pelayan Senior sembari melangkah menjauhi pintu kamar mandi. Kedua Pelayan itu saling menatap bingung, dan kemudian melangkah kembali mengikuti Pelayan Senior untuk mendorong meja saji ke luar pintu kamar. _____________***"Hah, sepertinya kau tak perlu berusaha lebih keras agar aku mengabulkan keinginanmu, Wina!" ucap Darius sambil menutup panggilan di ponselnya."Kenapa?""Bibi Wina mengancamku bahwa dia akan mendatangkan Polisi ke rumahku, Jika aku tak melepaskan Revan sekarang juga.""Hah! apa orang sepertimu takut dengan Polisi? luar biasa sekali, itu sama sekali bukanlah dirimu yang kukenal.""Tidak! hanya rasa malas saja memperumit keadaan. Lagipula, aku dan kau akan bersenang-senang, bukan?""Bersenang-senang apaan?""Kau dan aku akan berbulan madu, sayang!"Darius kembali menggenggam jemari Wina, dan menariknya ke mobil. Membuka pintu depan dan menaruh telapak tangannya ke atas kepala Wina dan menekan kepala Wina agar menunduk ke bawah untuk masuk ke dalam mobil."Kenapa kau selalu memaksa!?" ucap Wina kesal setelah tubuhnya berhasil masuk ke dalam mobil."Karna aku sangat senang jika kau kesal dan b
***Wina membuka matanya perlahan, dahinya berkerut saat menyadari dirinya sedang terbaring di ruangan asing namun familiar."Dimana ini?" gumamnya sambil memegang dahinya yang terasa pusing.Ia melihat di punggung tangannya tertancap jarum infus, sementara saat ia menggerakkan tangannya yang satunya, ia merasa ada yang menahan. Ia menoleh, dan melihat seorang Pria tengah tertidur sambil duduk di sisi ranjangnya dengan memegang sebalah tangannya."Tuan Darius? kenapa dia malah tertidur di sini?"Wina memperhatikan sosok pria yang tertidur di sisinya itu. Sosok yang selalu membuatnya stress dan marah. Sosok yang ia benci itu malah duduk tertidur seakan sedari tadi menungguinya sampai sadar."Kalau diperhatikan sedang tertidur begini, kenapa wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan wajah seorang yang begitu mengesalkan? bengis dan kejam? dia tampak polos saat tidur." batin Wina memperhatikan wajah Darius yang sedang tertidur.
*** Drrttt..., drttttt, drtttt! Bibi Noni meraih ponselnya dari saku dressnya. Ia melepaskan pelukannya dari Andrea yang sudah mulai tenang dan berbaring di tempat tidur. Bibi Noni beranjak dari sisi ranjang, melangkah menjauhi Andrea untuk mengangkat panggilan telfon itu. "Ada apa? kenapa kau baru menghubungiku sekarang? kau tak tahu, di sini banyak sekali drama yang telah terjadi!" ["Maafkan aku, Bibi. Sekarang aku ada di sekitar rumah besar. Bisakah Bibi datang kemari?"] "Kau gila? aku sudah katakan bahwa di sini banyak sekali drama dan huru hara yang baru saja terjadi." ["Apa itu, Bibi?"] "Wina dinyatakan hamil, Andrea dan Draius berhubungan intim, Wina berkali-kali pingsan dan sekarang dia dilarikan ke Rumah Sakit oleh Darius. Dan Andrea yang mengetahui itu mengamuk dan menggila." ["Hamil? se, sejak kapan?"] "Kenapa? apa kau curiga bahwa itu anakmu?" ["Apa maksud, Bibi?"] "Bahkan Darius curiga bahwa janin yang sekarang dikandung oleh Wina, bukanlah darah dagi
***Cklek!Pintu dibuka, Wina masuk ke kamar utama setelah uring-uringan di ruang tamu dan taman. Satu tempatpun tak ada yang membuatnya merasa cocok. Perasaan pusing dan mual serta tak nyaman, kerap ia rasakan di setiap langkah di rumah besar itu.Saat dirinya telah berada di dalam kamar, matanya kemudian mengitari sekitar. Perasaan kagum dan heran ia rasakan saat melihat keadaan kamar saat itu. Semua perabotan kamar telah diganti, termasuk ranjang tidur. Yang awalnya memakai dipan model klasik dengan ukiran yang berat khas Jepara. Kini berubah menjadi ranjang minimalis namun tetap tampak mewah. Semua prabotan seolah dimodernisasi. Yang sebelumnya menggunakan perabotan klassik dengan ukiran-ukiran berat dan rumit, sekarang berubah menjadi serba modern dan minimalis."Aku hanya berada di luar kamar selama dua jam. Kapan mereka memperbarui kamar ini? aku tak melihat ada mobil pengangkutan yang membawa perabotan-perabotan ini semua? atau, apakah aku
*** Andrea mendongak ke atas jendelanya. Ia melihat bulan tepat berada di atas kepalanya. "Aku bosan melihat bulan, kapan aku bisa menatap matahari yang bersinar di kepalaku? pasti sangat silau dan panas sekali." Andrea melangkah pelan, gemericik air di kolam ikan koi yang berada di sampingnya, seolah mengiringi alunan lagu berjudul Yours dari alat pemutar musik di sisi kirinya mengalun lembut. Suara merdu dari Jin BTS sangat sopan masuk ke telinga dan membuat berwarna ruangan yang sebelumnya sangat sepi itu. Every night I see you in my heart {setiap malam aku lihat dirimu dalam hati ku} Every time I do I end up crying {setiap aku melakukan sesuatu selalu berakhir dengan tangis} eodum soge neoreul bulleojumyeon {aku panggil dirimu dalam gelap} naegero deullyeooneun geon {apa yang telah didengar telinga ku}
***"Lantas, apa kau akan mendengarkanku?" tanya Bibi Noni dengan wajah tegang."Ya! tentu saja! bukankah selama ini aku selalu mendengarkanmu?! kita bahkan tak memiliki hubungan darah, namun kau seolah seorang yang lebih berharga bagiku dari orangtuaku sendiri."Bibi Noni tersenyum tipis,"Di saat kau dicampakkan oleh keluarga Mahesa, hanya aku Orangtua yang datang mendekatimu, memintamu kembali dan menginginkan keberadaanmu di rumah ini. Di saat kau membutuhkan Pahlawan saat kebakaran dahulu, hanya Andrea yang datang tanpa ragu, tanpa perduli akan nyawanya sendiri untuk menolongmu. Dan jangan lupakan Revan! dia juga sama dengan Andrea! banyak turun tangan untuk membantumu, Tuan!""Dan, apakah Anda ingin aku menyelamatkan ketiga orang itu, dan mengabaikan Wina?""Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita semua.""Bukankah Wina adalah Isteriku?""Kau bahkan bersetubuh dengan Andrea, Tuan! tanpa menikahinya! tegany