"Lalu kenapa mereka menangis terus-terusan?"Bulan menjelaskan, "Anak-anak sekarang makin besar, sudah mulai mengenali orang. Begitu malam tiba, mereka cuma ingin bersama ibunya. Kalau nggak ketemu, ya pasti menangis. Itu wajar."Nikki pernah ikut kelas ibu hamil. Dia memahami kebutuhan fisik dan reaksi bayi pada tiap tahap tumbuh kembang. Namun ketika benar-benar menghadapinya, dia tetap merasa hal ini melampaui bayangannya.Melihatnya diam, tatapan Bulan jadi penuh iba dan rasa bersalah. Dia menghela napas, lalu menasihati dengan lembut, "Nyonya ... bagaimana kalau tunggu anak-anak sedikit lebih dewasa, setelah disapih, baru Anda kembali bekerja?"Nikki menunduk dan menatap si kakak yang ada dalam pelukannya sambil tetap terdiam. Dia tidak tahu apakah ini hanya pendapat Bulan atau sebenarnya pesan yang disampaikan Ralph lewat mulutnya.Namun, langkah ini sudah dia perjuangkan dengan susah payah. Kalau baru mulai saja sudah menyerah, dia bisa membayangkan Ralph akan semakin mengejek d
Di seberang sana, Ralph menutup telepon dengan kesal. Nikki juga hanya bisa meletakkan ponsel dengan perasaan suntuk.Setelah kembali ke meja kerjanya dan menatap draf proposal yang baru saja mulai menemukan arah, dia hanya bisa menyimpannya lalu mengirim ke e-mail, berniat melanjutkannya nanti malam di rumah.Dalam perjalanan pulang naik kereta bawah tanah, Nikki bersandar lelah di kursi. Sambil memandang lautan orang di dalam gerbong, pikirannya seketika melayang jauh. Baru satu hari bekerja, dia sudah merasakan betapa sulitnya hidup.Orang bilang, dari sederhana ke mewah itu mudah, tapi dari mewah kembali sederhana sangatlah sulit.Beberapa tahun terakhir bersama Ralph, meski dia berusaha menjaga jarak dan tidak terlalu larut, tetap saja tidak bisa menghindar dari segala kemewahan kalangan atas. Tanpa sadar, dirinya juga terbiasa dengan kenyamanan itu dan jadi agak manja.Hari ini dia harus membaca ekspresi orang, ikut tertawa dan berbasa-basi, bahkan kadang berpura-pura tuli dan bu
Wajah Ralph tampak dingin, suaranya kesal, "Kalau begitu kamu yang pergi tanyakan padanya. Aku juga ingin tahu alasannya."Harfi terdiam.Di kursi penumpang depan, Imran ikut menimpali, "Sekarang tren kesetaraan wanita sedang naik, mungkin Nyonya juga sudah terpengaruh, merasa jadi ibu rumah tangga penuh waktu itu nggak ada nilainya."Ralph menoleh dengan tajam, "Ternyata kamu cukup mengerti wanita.""Ng ... nggak ... aku cuma asal bicara," Imran buru-buru menyangkal.Setelah menatap punggung Nikki yang menghilang dari pandangan, Ralph baru menarik kembali tatapannya. "Jalan."Pukul tiga sore nanti dia harus menghadiri rapat di balai kota. Kebetulan lewat dekat kantornya Nikki, jadi dia tadi sempat menelpon dengan maksud menanyakan kabar. Siapa sangka, ternyata Nikki malah pulang di jam istirahat siang.Kalau memang tidak tenang meninggalkan anak, kenapa harus memaksakan diri? Sampai kelelahan dan tertidur di mobil, apa gunanya?Nikki bahkan tidak berani meminta sopir menurunkan tepat
Hari pertama masuk kerja, kehadiran Nikki membuat suasana di divisi perencanaan menjadi ramai. Manajer divisi adalah pria muda berusia 30-an, tinggi badan sedang, wajah juga biasa-biasa saja, tapi rambutnya disisir dengan pomade hingga mengilap. Gerak-geriknya penuh percaya diri, sampai-sampai entah kenapa membuat orang merasa agak ... berlebihan.Setelah memperkenalkan Nikki kepada semua orang, manajer itu membawanya ke bilik kerja, tersenyum ramah. "Nikki, ini meja kerjamu. Kalau ada pertanyaan bisa tanya ke rekan kerja atau boleh juga tanya langsung ke aku."Nikki menjawab dengan sopan, "Baik, terima kasih, Pak Tommy.""Ah, nggak usah sungkan. Oke, bereskan saja dulu!"Begitu Tommy pergi, rekan kerja di sebelah langsung mendekat untuk kepo, "Dengar-dengar kamu masih muda tapi sudah menikah?""Mm, iya.""Kalau begitu, kenapa si Monyet Tommy masih begitu rajin mendekatimu?""Mo ... monyet Tommy?" Nikki tidak mengerti.Rekan itu mengangguk ke arah manajer yang sudah berjalan jauh, "Ya,
Nikki melihat Ralph akhirnya mau berkompromi. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, lalu dia berkata dengan nada tulus, "Terima kasih. Semoga kamu mau menghargai pekerjaanku yang sepele ini dan untuk sementara menyembunyikan hubungan kita."Ralph tidak berkata apa-apa, kemungkinan besar itu juga berarti dia setuju.Malamnya, Ralph awalnya sudah tidur lebih dulu. Setelah mengurus kedua anak, Nikki kembali ke kamar utama dan ruangan sudah sunyi.Dia naik ke tempat tidur dengan ringan, bergerak hati-hati agar tidak membangunkan Ralph. Siapa sangka, baru saja dia berbaring, pria itu sontak berbalik dan menariknya masuk ke pelukan.Nikki terkejut. Seruannya yang tertahan segera dibungkam oleh bibir pria itu, lalu pakaiannya pun satu per satu terlepas. Apa yang Ralph ingin lakukan sudah jelas.Biasanya, Nikki masih akan malu-malu dan berusaha menolak sedikit. Namun, mungkin karena berterima kasih pada Ralph yang bersedia makan bersama sahabatnya atau karena Ralph mengizinkannya keluar
Makan malam itu berakhir dalam suasana yang aneh. Saat hendak pulang, Yuni masih terus-menerus meminta maaf. Nikki menenangkannya agar tak usah khawatir. Setelah cukup lama, Yuni baru merasa lega.Menatap mobil Bentley mewah itu yang perlahan melaju menjauh, Jovan menoleh pada istri dan anaknya. Senyumannya langsung hilang, "Lihat tuh, biasanya kamu ngomong sembarangan di depan anak, sekarang semua diikuti sama dia!""Padahal tadi aku ngobrol sama Pak Ralph cukup lancar, bahkan dia sudah setuju supaya salah satu anak perusahaan di bawahnya kerja sama dengan firma hukum kita. Sekarang gara-gara kalian, semuanya kacau ...."Yuni sadar dirinya salah, tak berani membantah. Dia hanya berkata dengan ragu, "Seharusnya nggak sampai separah itu, 'kan? Orang sehebat itu nggak mungkin sepicik itu.""Hmph! Justru orang seperti itu paling nggak mau dengar satu kata pun yang jelek tentang dirinya. Coba pikir, dalam hidup mereka, siapa sih yang nggak menyambut mereka dengan senyuman manis dan penuh p