Masuk
"Jangan lupa meminum pilnya!" Ucapan penuh peringatan itu ditunjukan pada seorang gadis yang setengah duduk menyender di kepala ranjang. Ucapan pria itu menarik fokus sang gadis dari ponselnya.
Menengadah kepala, mengangguk. Lalu menjawab, "Aku tak pernah lupa," katanya kemudian sembari membenarkan selimut yang merosot dalam melindungi tubuh polosnya. Kemudian, ia bertanya, “Tapi kalau aku lupa, bagaimana?"
Gerakan menarik risleting itu terhenti. Matthew, nama pria itu, berbalik dan menatapnya dengan tajam. “Kau melupakannya?”
Kate adalah nama sosok perempuan itu. Dia berparas jelita dengan wajah polos dan rambut agak berantakan. Dia kemudian menggeleng. “Tidak, tentu saja. Hanya saja…. Kita sering melakukannya. Dan kau tak pernah memakai pengaman.”
"Itulah kusuruh kau agar tak telat meminumnya."
“Kau tahu, bahwa pil saja tak menjamin 100%.”
Sang pria memutari ranjang, dengan langkah tegas menghampiri wanita itu. Berdiri tegap, bersedekap dada, menatap Kate dengan tatapan mengintimidasi. "Dan kau tahu aku tak menyukai plastik sialan itu.”
"Kau menyukai seks, tapi tak menyukai pengaman. Aneh.” Dengus Kate.
Tak aneh sebetulnya, karena tentu saja Matt tak suka menikmatakannya terhalang benda. Dan dua tahun lamanya Kate baru menyadari hal itu.
Matt duduk di pinggir ranjang, mengambil ponselnya sendiri dan mengecek pesan. "Akan lebih nikmat tanpa penghalang sialan itu. Bukankah kau setuju?" tanya Matt tanpa melepas pandangan dari layar ponsel.
Dan Matt tak menyadari tatapan aneh lainnya dari Kate. “Kau tahu, banyak yang hamil meski sudah meminum pil pencegah.”
Matt menoleh, hanya untuk memberikan tatapan mengingatkan, atau mungkin mengancam. “Kuharap bukan kau salah satunya.”
Kate menatap Matt dengan datar. Lalu mengedik bahu. "Aku membacanya di internet.”
“Beli pil yang paling bagus. Yang terbukti manjur. Aku tak mau menimbulkan masalah.” Pria itu berdiri hendak berbalik menuju kamar mandi, namun gerakannya terhenti.
“Apakah jika aku hamil, akan menjadi masalah bagimu?” tanya Kate masih dengan wajah datarnya.
“Tentu saja. Hubungan kita tak boleh menimbulkan masalah seperti itu. Lagi pula, aku membenci anak kecil. Mereka merepotkan.”
"Merepotkan yah?" Kate membeo, setengah melamun, dan tanpa ia sadari, di balik selimut, tangannya mengusap perut yang datar.
Hubungan yang terjalin selama dua tahun itu didasari oleh kebutuhan. Pria yang butuh kehangatan ranjang, dan perempuan yang butuh uang untuk bertahan hidup.
Tak pernah sekalipun keduanya melibatkan perasaan dalam hubungan yang saling menguntungkan itu. Maka tak pernah sekalipun perempuan itu lupa akan pil yang selalu ada di tasnya saat mereka bertemu.
Bukan hanya Matt, Kate pun tak berencana untuk menimbulkan masalah dengan kehamilan yang tak direncanakan dalam hubungan keduanya.
Tetapi, seminggu lalu saat sang pria baru pulang luar kota tiba-tiba menghubunginya, tanpa membuat janji terlebih dahulu, secara mandadak memintanya datang ke hotel biasa.
Karena sedang keluar rumah dan tak membawa pil saat menemui Matt yang tiba-tiba menyuruhnya datang. Tidak hanya sekali, Matt memintanya berkali-kali, seolah waktu seminggu tidak menyentuh Kate, ia bayar malam itu.
Kate, yang tidak pernah menolak sentuhan Matt. Lelaki itu selalu mampu membuatnya terbuai dan larut dalam permaianan, hingga membuat Kate melupakan sesuatu.
Sentuhannya yang selalu membuat darahnya berdesir.
Pelukannya yang membuat seluruh tubuhnya nyaman dan merasa dilindungi.
Dan bahkan bibir tebal lelaki itu selalu membuat tidak bisa bernapas, menimbulkan hasrat dan Kate menginginkan lebih dari sekedar ciuman.
Malam itu Matt menggila, dan Kate menyeimbanginya. Mereka, mengobrak-abrik kamar hotel. Bukan saja di ranjang, kamar mandi, bahkan di tempat makan pun, mereka tidak berhenti.
Kate mendesah pasrah di bawah kungkungan tubuh besar Matt di atas meja makan. Menghiraukan perut yang mulai kelaparan demi hasrat yang ingin dituntaskan.
Untuk itulah Kate yakin, jika permainan mereka malam itu, menumbuhkan sesuatu di rahimnya.
"Emmmmh, Momy..." Pikirannya ditarik seketika dari bayangan bayangan erotis yang menyambanginya setiap kali mengingat lelaki itu. Kate menggeleng kepala, menatap wajah mungil yang merengek parau di sampingnya.
Makhluk mungil yang tumbuh dan lahir atas kesalahannya. Kesalahan yang akan Kate perbaiki dengan menjalani hidup yang lebih baik bersama mereka.
Yah, mereka.
Dua anak kembarnya.
Anak kembar yang salah satunya selalu mengingatkan Kate kepada lelaki itu.
***
Kedua mata Kate terpejam perlahan ketika bibir Matt memangut pelan bibirnya. Setiap sentuhan pria itu merayap di kulitnya, pelan, mantap, namun cukup kuat untuk menggoyahkan pertahanannya. Ciuman itu bukan sekadar pagutan, itu adalah godaan, sebuah tarikan halus yang menenggelamkan kesadarannya sedikit demi sedikit.Jari-jari Matt naik dari pinggangnya, menelusuri tubuh Kate seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang pernah ia sentuh dan ia rindukan selama ini. Sentuhan itu membuat napas Kate terhenti sejenak, dengan tubuh yang perlahan terasa ringan, nyaris melayang.sentuhan yang selalu berhasil membuatnya goyah. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam cara Matt memperlakukannya, dan ia benci mengakui bahwa ia menyukainya. Terlalu menyukainya.“Matt…” bisiknya, bukan teguran, lebih seperti keluhan yang terjatuh tanpa ia sengaja.Matt menautkan wajahnya lebih dekat, bibirnya kembali menyentuh sudut bibir Kate, pelan ia memperingati. “Don’t stop me,” katanya berat, napasnya hanga
Hari ini merupakan kepindahan Kate dan anak-anak ke rumah besar yang dibelikan Matt untuk mereka.Rumah itu seperti yang diingatnya beberapa waktu lalu, sangat besar dengan halaman yang luas dan interior yang membuat Kate sekali lagi tersenyum karena terpesona.Dulu rumahnya juga besar, halamannya pun luas dengan perabotan modern yang menambah keindahan di rumahnya. Tetapi Kate jelas ingat rumah orangtuanya dulu tidak semewah rumah yang dibeli Matt ini.Jello menggoyangkan tangannya membuat Kate menunduk untuk menatap sang anak. Senyum Jello menandakan jika anak itu suka dengan rumah ini, Kate ikut menyunggingkan senyumnya. "Jello suka?" tanya Kate memastikan.Jello mengangguk-angguk, gigi depan yang tunggal sampai terlihat kala bibirnya melebar senyum. Kate menaikan lagi pandangan untuk mencari Angel yang tadi digendong Matt. Kate dan Jello rupanya tertinggal dibelakang, mereka masih berdiri di ruang tamu. Kate menuntun Jello menjelajahi ruang lainnya tetapi Kate tidak melihat Angel
Kate menelan ludah kasar. Gugup merajai dirinya. Ia menarik napas, berusaha menstabilkan suaranya. Tetapi tidak ada kalimat yang bisa dia katakan pada adiknya.Kate menunduk, merasakan dadanya menghangat sekaligus berat—seolah ada sesuatu yang mulai retak dari dalam dirinya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Kalau… kalau hubungan itu tidak menyakitiku?”Keheningan menyusup di antara mereka. Jeda panjang. Sangat panjang.Sampai-sampai Kate bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum di telinganya, seperti menuntut jawaban yang bahkan ia sendiri takutkan.Akhirnya, Alan menghela napas pelan. Ada rasa pasrah, tapi juga kejujuran yang tidak pernah ia tutupi dari Kate. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tidak berhak melarang.”Kate memejamkan mata kuat-kuat. Sulit baginya mempercayai kata-kata itu keluar dari Alan, pria yang selama ini paling protektif, paling sering berdiri sebagai tembok antara dirinya dan rasa sakit dunia“Kitty…” suara Alan kembali muncul, le
"Hai, Ava. Mana si kembar?”“Uncle!” Jello langsung mendekat ketika wajah Alan muncul di layar ponsel Ava. Tangan mungilnya yang bebas dari cangkir susu melambai semangat.“Kau ditanya sedang apa,” ujar Ava sambil menahan tawa.“Jello minum susu,” jawab bocah itu polos.“Oh ya? Susu apa itu?” tanya Alan.“Susu manis,” balas Jello mantap.Alan mengangguk seolah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Lalu matanya bergerak mencari seseorang. “Mana kembaranmu?” Biasanya, jika Alan menelpon, selalu ada Angela dan Angelo berdampingan.“Angel sedang di toilet sama Kak Kate,” jawab Ava, masih memegang ponsel tanpa menampakkan wajahnya.Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng Angel dari kejauhan. Angelo menoleh cepat dan mengatakan pada kembarannya bahwa sang paman sedang menelepon.“Uncleeeee!” teriak Angel begitu ia muncul, lalu langsung berlari dan memanjat kursi di samping Jello.“Woosh, slow down, sweety,” ujar Alan sambil tertawa kecil, menggeleng melihat tingkahnya.Tanpa aba-
"Kau sudah bicara dengan Alan?" tanya Matt tanpa basa-basi, keluar dari kamar si kembar yang sudah terlelap di dalam. Ia mendekati Kate yang duduk di karpet ruang tengah, sedang menulis pengeluaran bulan ini.Tanpa melepas tatapan dari buku, Kate menggeleng pelan. "Belum sempat. Alan sangat sibuk beberapa hari ini.""Kalau begitu, biar aku yang bicara dengannya," ujar Matt cepat, suaranya datar tapi tegas. "Aku ingin kalian segera pindah."Kate mendongak. Ia menatap Matt dengan tatapan yang sulit diartikan. "Matt," panggilnya ragu. "Aku tak tahu apakah keputusan pindah itu tepat untukku dan anak-anak."Alis Matt terangkat. "Dan kenapa harus tidak tepat?""Karena ini terlalu mendadak," jawab Kate jujur, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku perlu memikirkan semuanya dengan matang."Matt memiringkan kepalanya sedikit. "Apa yang membuatmu ragu?"Kate terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu menekan. Tangannya saling menggenggam e
"Oke sekarang aku mengerti." Di belakang Kate pria itu berseru. Dan Kate hanya mendengkus tanpa menghentikan langkagnya."Rona membantuku mencari rumah untukmu dan anak-anak kita, Katya." Langkah Kate memelan saat informasi itu menelusup ke indera telinganya. Perlahan, tubuhnya berbalik. Menatap Matt yang tersenyum konyol ke arahnya. "Sudah cukup sekali saja aku menjadi seorang ayah dadakan." Matt membuat mimik wajah serius. "Karena bermain aman pun bisa kebobolan," lanjutnya yang sukses membuat pipi Kate entah mengapa memerah."Apa maksudmu?""Yah, kau tahu kita sering-""Bukan." Kate memotong, tak ingin semakin malu karena ucapan Matt. "Apa maksudmu membelikanku rumah? Dan dia bukan simpananmu?"Matt mendelik kesal. "Tuduhanmu itu." Jelas tak terima dituduh seperti itu oleh Kate. "Lagipula, kenapa aku harus mencari wanita lain jika sudah ada kau?""Jangan membuang waktuku Matthew." Di belakang mereka, Rona menginterupsi, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya."Tunggulah Ro







