LOGINSuasana kereta bawah tanah pagi itu ramai seperti yang biasa. Tentu saja, sebab hari ini masih hari kerja, di mana orang-orang sibuk menuju tempat kerja melalui transportasi kereta bawah tanah.
Katherine, seorang wanita yang mencari tempat duduk mendesah lelah sebab tak dapat tempat duduk. Ia berdiri, tangannya menggapai pegangan di atas kepalanya.
Ia mendesah lega saat sampai tujuannya, segera keluar dari dalam kereta tersebut. Ia melewati pintu penghalang yang terbuka setelah menempelkan
accescarddi dompetnya. Melangkahkan kaki yang dibalut heels hitam setinggi 5cm.Ini hari ketiga Kate menjadi bagian orang-orang berpakaian rapi yang keluar dari stasiun kereta bawah tanah. Setelah sekian lama mencari pekerjaan, empat hari lalu Kate diterima di sebuah perusahaan besar, mendapatkan posisi sebagai sekretaris Direktur.
Entah perbuatan baik apa yang dilakukannya, sampai Kate, nama panggilan wanita itu, bisa mendapatkan posisi yang sangat bagus dengan gaji yang sangat cukup untuknya. Setelah sebelumnya, Kate bekerja sebagai kasir mini market dengan gaji yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Masih di perjalanan menuju kantor, saat Kate hendak menyebrang jalan kecil saat berbelok, dengan terburu-bur tanpa melihat ke kanan dan kiri, ia menyebrang begitu saja sampai abai dengan sebuah mobil sedan berwarna hitam datang dari tikungan dan suara klakson yang nyaring mengagetkannya.
"Ya Tuhan". Kate terkejut, tubuh luruh, tatapannya terpaku pada plat nomor putih tepat di depan matanya.
Hampir saja, hampir Kate tertabrak. Kesadarannya pulih saat sebuah suara bertanya dengan nada khawatir. "Nona, tidak apa-apa?"
Kate menengadah, menatap seorang pria berpakaian rapi yang menunduk memeriksanya.
"Nona?" panggilnya lagi karena Kate hanya diam.
Kate menemukan dirinya terduduk. Saking kagetnya, dia tidak sadar jika dirinya terjatuh. Kate menerima uluran tangan lelaki itu, ia bangun sembari menepuk bagian belakang roknya.
"Apa kita perlu ke rumah sakit?"
"Aku baik-baik saja." Kate melihat waktu di ponselnya.
“Sungguh?” katanya meyakinkan.
"Saya juga minta maaf," kata Kate lantas berlalu pergi meninggalkan pria itu.
Kate sadar betul dirinya juga salah karena menyebrang sembarangan. Namun ia juga sadar jika terlalu lama di sana, dia bisa terlambat masuk kerja, hal terakhir yang tidak diinginkannya. Kate tidak bisa dipecat begitu saja karena terlambat.
Tanpa Kate sadari, di dalam mobil yang hampir menabraknya itu, ada seorang lelaki yang matanya terus mengawasi dari dalam. Senyumnya menyungging dan kemudian dia bermonolog pelan, “Katherine...”
Jika saja tak harus segera menghadiri rapat penting, dia sudah akan keluar untuk sekedar memastikan rasa penasarannya.
"Maaf atas kejadian barusan, pak," ujar pria tadi setelah kembali di balik stirnya. Dan melajukan mobilnya meninggalkan jalanan itu.
***
Kate menghembuskan napas lega seraya melirik jam tangan. Untunglah masih ada lima menit lagi sebelum atasannya datang.
Atasannya bukan tipe pria kejam yang menyeramkan dan otoriter. Nicholas, nama atasannya, pria tampan dengan tatapan datar namun tegas. Jenis pria yang kaku dan workholic. Yang sangat ditakuti oleh hampir seluruh karyawannya. Takut karena jika pria itu sudah mengambil keputusan, tidak akan ada yang bisa membantahnya.
Seperti dua hari lalu saat Nicholas memecat seorang manajer di perusahaannya yang sudah membuat pria itu dan beberapa karyawan lain menunggu selama satu jam di ruang meeting.
Oh, Kate tidak mau bernasib sama karena terlambat. Ya walaupun sepertinya Kate tidak akan pernah sampai terlambat selama satu jam demi menuntaskan nafsunya. Yah, menajer yang dipecat ternyata selain memiliki performa buruk, juga sering membawa masuk wanita simpanannya. Dan hari itu dia lupa waktu saat bermain dengan wanita simpanannya.
Sosok Nicholas muncul seiring dengan bunyi lift yang terbuka. Lelaki itu berjalan, setiap langkahnya penuh wibawa.
"Selamat pagi, pak".
"Pagi, Kate. Jadwalku hari ini?" Seperti biasa, setiap kali baru datang yang akan ditanyakan pria ini adalah jadwalnya.
Kate keluar dari kubikel kerjanya, mengikuti Nicholas yang berjalan menuju ruangan, masuk dan duduk di kursi kerja setelah membuka jas dan menyampirkannya di gantungan.
"Di mana meeting siang ini?" pertanyaan Nicholas mengalihkan pikiran kecil Kate.
Berdiri di depan meja kerja Nicholas, Kate memeriksa lagi ipad di tangannya. "Siang ini Pak Nicholas ada meeting di Hotel Campbell..." Kalimat Kate terpotong seketika, ia baru menyadari jika dirinya mengenali nama hotel tersebut. Kate kembali melihat Ipadnya, dan pandangannya terpaku pada layar tersebut sampai tidak sadar jika ia dipanggil atasanya.
"Katherine?"
Kate tersadar dari lamunan singkatnya. "Ah, iya Pak."
"Jam berapa meeting dengan Mr. Campbell?"
"Setengah jam lagi, pak". Mereka harusnya bertemu sore ini, namun sekretaris dari pria bernama Mr. Campbell menjadwal ulang pertemuan, yang untungnya sang atasan tidak keberatan sebab tidak banyak jadwal keluar hari ini.
"Kita berangkat sekarang kalau begitu". Memakai lagi jasnya. Kate mengikuti Nicholas keluar ruangan lalu masuk kedalam lift yang membawa mereka sampai loby.
Dalam perjalanannya menuju mobil yang sudah menunggu di depan, Kate masih memikirkan kemungkinan jika nama hotel yang akan mereka datangi itu adalah hotel yang berbeda yang sering di kunjunginya dulu.
Kate melamun lagi, bayangan mengenai hotel dengan nama familiar itu menyeret Kate pada kenangan yang susah payah ia lupakan. Sial, bayangan wajah laki-laki mengerikan itu kembali muncul!
Pintu mobil yang terbuka menyentak Kate dari lamunan.
Ah, ternyata mereka sudah sampai.
Kate membuka pintu mobil, turun bersama Nicholas yang keluar dari pintu penumpang belakang. Kate menelan ludah gugup saat masuk melewati pintu loby yang dulu sering dilewatinya.
Berjalan mengikuti Nicholas menuju tempat rapat di salah satu ruangan di hotel ini. Namun seketika langkah Kate terhenti.
Dan mendadak saja ia merasa aliran darahnya berhenti di leher. Wajah Kate pusat pasi, dan saluran pernapasannya seolah tersendat, matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan kala ia bertatapan dengan pria yang berdiri di depannya menyambut kedatangannya, bukan dengan sambutan sopan, melainkan menghujaninya dengan tatapan tajam yang meremangkan bulu kuduknya.
***
Kedua mata Kate terpejam perlahan ketika bibir Matt memangut pelan bibirnya. Setiap sentuhan pria itu merayap di kulitnya, pelan, mantap, namun cukup kuat untuk menggoyahkan pertahanannya. Ciuman itu bukan sekadar pagutan, itu adalah godaan, sebuah tarikan halus yang menenggelamkan kesadarannya sedikit demi sedikit.Jari-jari Matt naik dari pinggangnya, menelusuri tubuh Kate seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang pernah ia sentuh dan ia rindukan selama ini. Sentuhan itu membuat napas Kate terhenti sejenak, dengan tubuh yang perlahan terasa ringan, nyaris melayang.sentuhan yang selalu berhasil membuatnya goyah. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam cara Matt memperlakukannya, dan ia benci mengakui bahwa ia menyukainya. Terlalu menyukainya.“Matt…” bisiknya, bukan teguran, lebih seperti keluhan yang terjatuh tanpa ia sengaja.Matt menautkan wajahnya lebih dekat, bibirnya kembali menyentuh sudut bibir Kate, pelan ia memperingati. “Don’t stop me,” katanya berat, napasnya hanga
Hari ini merupakan kepindahan Kate dan anak-anak ke rumah besar yang dibelikan Matt untuk mereka.Rumah itu seperti yang diingatnya beberapa waktu lalu, sangat besar dengan halaman yang luas dan interior yang membuat Kate sekali lagi tersenyum karena terpesona.Dulu rumahnya juga besar, halamannya pun luas dengan perabotan modern yang menambah keindahan di rumahnya. Tetapi Kate jelas ingat rumah orangtuanya dulu tidak semewah rumah yang dibeli Matt ini.Jello menggoyangkan tangannya membuat Kate menunduk untuk menatap sang anak. Senyum Jello menandakan jika anak itu suka dengan rumah ini, Kate ikut menyunggingkan senyumnya. "Jello suka?" tanya Kate memastikan.Jello mengangguk-angguk, gigi depan yang tunggal sampai terlihat kala bibirnya melebar senyum. Kate menaikan lagi pandangan untuk mencari Angel yang tadi digendong Matt. Kate dan Jello rupanya tertinggal dibelakang, mereka masih berdiri di ruang tamu. Kate menuntun Jello menjelajahi ruang lainnya tetapi Kate tidak melihat Angel
Kate menelan ludah kasar. Gugup merajai dirinya. Ia menarik napas, berusaha menstabilkan suaranya. Tetapi tidak ada kalimat yang bisa dia katakan pada adiknya.Kate menunduk, merasakan dadanya menghangat sekaligus berat—seolah ada sesuatu yang mulai retak dari dalam dirinya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Kalau… kalau hubungan itu tidak menyakitiku?”Keheningan menyusup di antara mereka. Jeda panjang. Sangat panjang.Sampai-sampai Kate bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum di telinganya, seperti menuntut jawaban yang bahkan ia sendiri takutkan.Akhirnya, Alan menghela napas pelan. Ada rasa pasrah, tapi juga kejujuran yang tidak pernah ia tutupi dari Kate. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tidak berhak melarang.”Kate memejamkan mata kuat-kuat. Sulit baginya mempercayai kata-kata itu keluar dari Alan, pria yang selama ini paling protektif, paling sering berdiri sebagai tembok antara dirinya dan rasa sakit dunia“Kitty…” suara Alan kembali muncul, le
"Hai, Ava. Mana si kembar?”“Uncle!” Jello langsung mendekat ketika wajah Alan muncul di layar ponsel Ava. Tangan mungilnya yang bebas dari cangkir susu melambai semangat.“Kau ditanya sedang apa,” ujar Ava sambil menahan tawa.“Jello minum susu,” jawab bocah itu polos.“Oh ya? Susu apa itu?” tanya Alan.“Susu manis,” balas Jello mantap.Alan mengangguk seolah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Lalu matanya bergerak mencari seseorang. “Mana kembaranmu?” Biasanya, jika Alan menelpon, selalu ada Angela dan Angelo berdampingan.“Angel sedang di toilet sama Kak Kate,” jawab Ava, masih memegang ponsel tanpa menampakkan wajahnya.Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng Angel dari kejauhan. Angelo menoleh cepat dan mengatakan pada kembarannya bahwa sang paman sedang menelepon.“Uncleeeee!” teriak Angel begitu ia muncul, lalu langsung berlari dan memanjat kursi di samping Jello.“Woosh, slow down, sweety,” ujar Alan sambil tertawa kecil, menggeleng melihat tingkahnya.Tanpa aba-
"Kau sudah bicara dengan Alan?" tanya Matt tanpa basa-basi, keluar dari kamar si kembar yang sudah terlelap di dalam. Ia mendekati Kate yang duduk di karpet ruang tengah, sedang menulis pengeluaran bulan ini.Tanpa melepas tatapan dari buku, Kate menggeleng pelan. "Belum sempat. Alan sangat sibuk beberapa hari ini.""Kalau begitu, biar aku yang bicara dengannya," ujar Matt cepat, suaranya datar tapi tegas. "Aku ingin kalian segera pindah."Kate mendongak. Ia menatap Matt dengan tatapan yang sulit diartikan. "Matt," panggilnya ragu. "Aku tak tahu apakah keputusan pindah itu tepat untukku dan anak-anak."Alis Matt terangkat. "Dan kenapa harus tidak tepat?""Karena ini terlalu mendadak," jawab Kate jujur, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku perlu memikirkan semuanya dengan matang."Matt memiringkan kepalanya sedikit. "Apa yang membuatmu ragu?"Kate terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu menekan. Tangannya saling menggenggam e
"Oke sekarang aku mengerti." Di belakang Kate pria itu berseru. Dan Kate hanya mendengkus tanpa menghentikan langkagnya."Rona membantuku mencari rumah untukmu dan anak-anak kita, Katya." Langkah Kate memelan saat informasi itu menelusup ke indera telinganya. Perlahan, tubuhnya berbalik. Menatap Matt yang tersenyum konyol ke arahnya. "Sudah cukup sekali saja aku menjadi seorang ayah dadakan." Matt membuat mimik wajah serius. "Karena bermain aman pun bisa kebobolan," lanjutnya yang sukses membuat pipi Kate entah mengapa memerah."Apa maksudmu?""Yah, kau tahu kita sering-""Bukan." Kate memotong, tak ingin semakin malu karena ucapan Matt. "Apa maksudmu membelikanku rumah? Dan dia bukan simpananmu?"Matt mendelik kesal. "Tuduhanmu itu." Jelas tak terima dituduh seperti itu oleh Kate. "Lagipula, kenapa aku harus mencari wanita lain jika sudah ada kau?""Jangan membuang waktuku Matthew." Di belakang mereka, Rona menginterupsi, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya."Tunggulah Ro







