MasukSetiap malam Kate memanjat doa, membujuk Tuhan agar memaafkan khilafnya. Dan meminta agar melindunginya dengan ketenangan. Namun, apakah doanya hanya bertahan empat tahun?
Sejak kedua orang tuanya pergi untuk selamanya, hidup Kate seolah kehilangan warna. Hari-harinya hanyalah serpihan waktu yang jatuh satu per satu, dingin, sunyi, dan tanpa cahaya.
Ia pernah punya mimpi, tapi kematian menggerusnya perlahan. Kini yang tersisa hanya perjuangan untuk bertahan, napas yang berat, langkah yang lelah, dan hati yang terus memanggul luka.
Ketika kemiskinan menelannya, Kate menunduk pada kenyataan paling pahit, menjual waktu, tenaga, bahkan harga dirinya demi sepotong harapan. Ia bekerja hingga tangan kapalan dan mata basah, melayani orang-orang yang tak tahu betapa setiap sen yang ia dapatkan adalah hasil dari pengorbanan yang tak terlihat.
Seolah kemiskinan saja tak cukup menelanjangi hidupnya, Kate harus menerima kabar buruk yang menghantam seperti badai di tengah laut yang nyaris tenang, adiknya ditahan dengan tuduhan penipuan.
Adik yang selama ini ia lindungi dengan sisa tenaga, terkurung di balik jeruji besi. Semua pengorbanan, semua doa yang ia bisikkan setiap malam, seakan tak cukup untuk menebus takdir yang bengis.
Demi menolong sang adik, Kate menukar kehormatan dirinya dengan kesepakatan gelap. Malam itu, harga dirinya meluruh bersama air mata yang tak sempat jatuh. Awalnya, ia pikir itu akan menjadi sekali saja, sekadar jalan pintas untuk membebaskan sang adik dari jeruji besi. Namun kehidupan selalu punya cara untuk menjerat.
Matt, lelaki dengan tatapan dingin dan sentuhan yang membuat logika runtuh, datang membawa kenyamanan semu yang tak pernah Kate rasakan seumur hidupnya. Ia memberinya kenyamanan, dan tidur tanpa lapar. Semua yang dulu sempat hilang, kembali ia rasakan, namun sebagai gantinya ia harus menyerahkan diri.
Dan di sanalah kelemahannya tumbuh. Kate ketagihan bukan pada tubuh Matt, tapi pada kebebasan dari penderitaan. Ia menikmati hari-hari tanpa harus mencuci piring di restoran, tanpa perlu memikirkan uang sewa, tanpa ketakutan setiap kali tagihan datang. Ia tahu ini salah. Ia tahu dirinya tenggelam semakin dalam. Namun di balik rasa jijik pada diri sendiri, ada rasa tenang yang tak bisa ia tolak.
Setiap malam, ketika Matt menelusuri wajahnya dengan jemari dingin itu, Kate menutup mata, bukan karena menikmati, tapi karena berusaha melupakan siapa dirinya sebelum malam pertama itu. Dan di dalam keheningan yang menyesakkan, ia sadar, bahwa ia telah menjual kehormatan sebagai wanita demi bertahan hidup.
Dan celakanya, ia tak menyesal sepenuhnya. Kate perlahan tunduk, bukan karena uangnya saja, melainkan juga sosok Matt yang membuatnya nyaman berada di dekat pria itu.
Lalu datanglah hari itu, hari ketika tubuh Kate memberi tanda yang tak bisa ia abaikan lagi. Kehidupan kecil tumbuh di dalam rahimnya. Kehidupan yang selama ini ia sembunyikan demi melindunginya dari lelaki pengecut.
Kembali pada dirinya kini yang termenung di dalam bilik toilet.
Setelah empat tahun lamanya, Kate merasa Tuhan mengabulkan doanya, namun apakah kini Tuhan akan menghukum Kate atas perbuatan masa lalunya?
Sungguh, bertemu dengan pria itu lagi, adalah hukuman bagi Kate.
Matt.
Matthew.
Adalah orang yang sama, pria yang sempat menjadi bagian perjalanan hidupnya. Pria brengsek yang ingin menyingkirkannya melalui orang.
Pria yang kini menghimpitnya dan mengunci kedua tangannya di atas kepalanya. Kate tidak bisa berkutik. "Apa yang anda lakukan," bentak Kate setengah menjerit. "Lepaskan, atau-"
"Atau apa?" tantang Matt jelas tak takut. Katya, pria itu memanggilnya. Nama yang terasa akrab empat tahun lalu.
Kate mencoba lepas, namun tenaga Matt bukan tandingannya. "Apa yang anda lakukan," bentak Kate setengah menjerit. "Lepaskan, atau-"
"Atau apa?" tantang Matt jelas tak takut.
"Atau aku akan berteriak".
Matt menyeringai. "Berteriaklah, kita lihat apakah akan ada orang yang datang." Menunggu wanita itu bertindak atas ucapannya. Dan seringainya semakin lebar kala Kate hanya diam dengan tatapan ketakutan.
"Setelah kabur dariku, kini kau bermain sekretaris-sekretarisan, hah?!"
Napas Kate terdengar patah-patah, bergerak tak nyaman kala merasakan napas pria itu di pipinya.
"Berapa Nick membayar tubuhmu?"
Pisau tak kasat mata menghujam dada Kate. Pancaran terluka di mata Kate tak membuat Matt iba. Malah ia kembali menghujam Kate dengan kata-kata. "Apa lebih besar dariku?"
"Pak Nicholas lebih terhormat dari anda, tuan". Satu air mata lolos membasahi wajah pucatnya.
Matt hanya berdecih.
Hidung mereka hampir menempel. Kate buru-buru memalingkan wajahnya ke kiri, bulir air mata kembali menetes di pipinya.
"Jangan kau pikir, dengan menangis kau akan terbebas dariku".
”Apa maumu?” tanya Kate parau, wajahnya masih berpaling dari Matt.
”Kau!” jawab Matt menyeringai, untung saja Kate tidak melihatnya, dia bisa bergidik ngeri. Mendengar jawaban Matt saja sudah membuat Kate menegang takut.
Matt berbisik. "Kau, aku mau kau sekarang!"
Mengenal Matt selama dua tahun, Kate tahu bahwa pria ini tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Matt ingin dirinya sekarang, maka akan pria itu wujudkan.
Dan jika dulu Kate tidak pernah bisa menolak pria ini. Maka lain halnya dengan keadaan sekarang. "Aku sudah bukan pelacurmu lagi, tuan!" kata Kate tajam.
***
Kedua mata Kate terpejam perlahan ketika bibir Matt memangut pelan bibirnya. Setiap sentuhan pria itu merayap di kulitnya, pelan, mantap, namun cukup kuat untuk menggoyahkan pertahanannya. Ciuman itu bukan sekadar pagutan, itu adalah godaan, sebuah tarikan halus yang menenggelamkan kesadarannya sedikit demi sedikit.Jari-jari Matt naik dari pinggangnya, menelusuri tubuh Kate seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang pernah ia sentuh dan ia rindukan selama ini. Sentuhan itu membuat napas Kate terhenti sejenak, dengan tubuh yang perlahan terasa ringan, nyaris melayang.sentuhan yang selalu berhasil membuatnya goyah. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam cara Matt memperlakukannya, dan ia benci mengakui bahwa ia menyukainya. Terlalu menyukainya.“Matt…” bisiknya, bukan teguran, lebih seperti keluhan yang terjatuh tanpa ia sengaja.Matt menautkan wajahnya lebih dekat, bibirnya kembali menyentuh sudut bibir Kate, pelan ia memperingati. “Don’t stop me,” katanya berat, napasnya hanga
Hari ini merupakan kepindahan Kate dan anak-anak ke rumah besar yang dibelikan Matt untuk mereka.Rumah itu seperti yang diingatnya beberapa waktu lalu, sangat besar dengan halaman yang luas dan interior yang membuat Kate sekali lagi tersenyum karena terpesona.Dulu rumahnya juga besar, halamannya pun luas dengan perabotan modern yang menambah keindahan di rumahnya. Tetapi Kate jelas ingat rumah orangtuanya dulu tidak semewah rumah yang dibeli Matt ini.Jello menggoyangkan tangannya membuat Kate menunduk untuk menatap sang anak. Senyum Jello menandakan jika anak itu suka dengan rumah ini, Kate ikut menyunggingkan senyumnya. "Jello suka?" tanya Kate memastikan.Jello mengangguk-angguk, gigi depan yang tunggal sampai terlihat kala bibirnya melebar senyum. Kate menaikan lagi pandangan untuk mencari Angel yang tadi digendong Matt. Kate dan Jello rupanya tertinggal dibelakang, mereka masih berdiri di ruang tamu. Kate menuntun Jello menjelajahi ruang lainnya tetapi Kate tidak melihat Angel
Kate menelan ludah kasar. Gugup merajai dirinya. Ia menarik napas, berusaha menstabilkan suaranya. Tetapi tidak ada kalimat yang bisa dia katakan pada adiknya.Kate menunduk, merasakan dadanya menghangat sekaligus berat—seolah ada sesuatu yang mulai retak dari dalam dirinya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Kalau… kalau hubungan itu tidak menyakitiku?”Keheningan menyusup di antara mereka. Jeda panjang. Sangat panjang.Sampai-sampai Kate bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum di telinganya, seperti menuntut jawaban yang bahkan ia sendiri takutkan.Akhirnya, Alan menghela napas pelan. Ada rasa pasrah, tapi juga kejujuran yang tidak pernah ia tutupi dari Kate. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tidak berhak melarang.”Kate memejamkan mata kuat-kuat. Sulit baginya mempercayai kata-kata itu keluar dari Alan, pria yang selama ini paling protektif, paling sering berdiri sebagai tembok antara dirinya dan rasa sakit dunia“Kitty…” suara Alan kembali muncul, le
"Hai, Ava. Mana si kembar?”“Uncle!” Jello langsung mendekat ketika wajah Alan muncul di layar ponsel Ava. Tangan mungilnya yang bebas dari cangkir susu melambai semangat.“Kau ditanya sedang apa,” ujar Ava sambil menahan tawa.“Jello minum susu,” jawab bocah itu polos.“Oh ya? Susu apa itu?” tanya Alan.“Susu manis,” balas Jello mantap.Alan mengangguk seolah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Lalu matanya bergerak mencari seseorang. “Mana kembaranmu?” Biasanya, jika Alan menelpon, selalu ada Angela dan Angelo berdampingan.“Angel sedang di toilet sama Kak Kate,” jawab Ava, masih memegang ponsel tanpa menampakkan wajahnya.Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng Angel dari kejauhan. Angelo menoleh cepat dan mengatakan pada kembarannya bahwa sang paman sedang menelepon.“Uncleeeee!” teriak Angel begitu ia muncul, lalu langsung berlari dan memanjat kursi di samping Jello.“Woosh, slow down, sweety,” ujar Alan sambil tertawa kecil, menggeleng melihat tingkahnya.Tanpa aba-
"Kau sudah bicara dengan Alan?" tanya Matt tanpa basa-basi, keluar dari kamar si kembar yang sudah terlelap di dalam. Ia mendekati Kate yang duduk di karpet ruang tengah, sedang menulis pengeluaran bulan ini.Tanpa melepas tatapan dari buku, Kate menggeleng pelan. "Belum sempat. Alan sangat sibuk beberapa hari ini.""Kalau begitu, biar aku yang bicara dengannya," ujar Matt cepat, suaranya datar tapi tegas. "Aku ingin kalian segera pindah."Kate mendongak. Ia menatap Matt dengan tatapan yang sulit diartikan. "Matt," panggilnya ragu. "Aku tak tahu apakah keputusan pindah itu tepat untukku dan anak-anak."Alis Matt terangkat. "Dan kenapa harus tidak tepat?""Karena ini terlalu mendadak," jawab Kate jujur, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku perlu memikirkan semuanya dengan matang."Matt memiringkan kepalanya sedikit. "Apa yang membuatmu ragu?"Kate terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu menekan. Tangannya saling menggenggam e
"Oke sekarang aku mengerti." Di belakang Kate pria itu berseru. Dan Kate hanya mendengkus tanpa menghentikan langkagnya."Rona membantuku mencari rumah untukmu dan anak-anak kita, Katya." Langkah Kate memelan saat informasi itu menelusup ke indera telinganya. Perlahan, tubuhnya berbalik. Menatap Matt yang tersenyum konyol ke arahnya. "Sudah cukup sekali saja aku menjadi seorang ayah dadakan." Matt membuat mimik wajah serius. "Karena bermain aman pun bisa kebobolan," lanjutnya yang sukses membuat pipi Kate entah mengapa memerah."Apa maksudmu?""Yah, kau tahu kita sering-""Bukan." Kate memotong, tak ingin semakin malu karena ucapan Matt. "Apa maksudmu membelikanku rumah? Dan dia bukan simpananmu?"Matt mendelik kesal. "Tuduhanmu itu." Jelas tak terima dituduh seperti itu oleh Kate. "Lagipula, kenapa aku harus mencari wanita lain jika sudah ada kau?""Jangan membuang waktuku Matthew." Di belakang mereka, Rona menginterupsi, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya."Tunggulah Ro







