เข้าสู่ระบบ"Aku sudah bukan pelacurmu lagi, Mr. Campbell".
Kate masih memalingkan wajahnya dari Matt. Sementara dada Kate naik turun karena emosi.
Namun hal itu malah memicu hal lain bagi Matt. Kabut gairah di matanya semakin tebah, terlebih saat Matt mengarahkan pandangannya pada dada Kate yang naik turun, lalu naik ke leher jenjangnya, dan berakhir di bibir berwarna merah muda.
Sial! Umpat Matt dalam hati. Matt tak bisa menahannya lagi.
Tak peduli dengan ucapan Kate. Detik berikutnya Matt menyambar bibir Kate yang bergetar, melumatnya dengan kasar dan menuntut.
Kate tidak bisa menghindar, karena tangan Matt yang tadinya berada di pinggang Kate, kini menahan kepalanya. Ciuman sepihak yang sangat buas seolah tengah menyalurkan rasa frustasi membuat Kate tak berkutik, tak sampai sana, ciuman Matt turun menjelajahi leher jenjang Kate dan menggigit kulit leher wanita itu. Lalu kembali menguasai bibirnya secara membabi buta.
Kate yakin, decapan itu pastilah terdengar sampai luar bilik toilet. Mengingat itu, Kate menggigit bibir bawah Matt agar pria itu melepaskannya.
Namun yang ada Kate malah menjerit tertahan karena Matt membalas gigitan Kate. Kate pun membuka mulutnya, tidak menyiakan usahanya, segera lidah Matt menerobos masuk kedalam mulut Kate, menyusuri rongga-rongga mulut wanita itu, bibirnya membelai bibir Kate yang berusaha untuk tak terpengaruh, ia menahan ajakan menggoda untuk ikut bergulat.
Kate terdiam ia tidak bisa melakukan apa-apa karena Matt masih mencengram kedua tangannya.
Dan saat Matt merasa Kate sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan, atau bahkan untuk mendorong tubuhnya. Matt melepaskan cekalan tangannya.
Kepala Kate mendadak pusing dan berkunang-kunang, Kate bahkan tidak sadar jika posisi mereka sekarang ini sudah terduduk di atas tutup kloset, dengan dirinya yang duduk mengangkang di pangkuan Mat. Membalas lumatan Matt. Matt dan sentuhannya selalu berhasil menghipnotis Kate, atau mungkin tubuhnya yang mulanya menolak namun lama-kelamaan ketagihan.
Tanpa Kate mau, tubuhnya perlahan tidak bisa menolak sentuhan yang selalu dirindukannya. Kate mendesah kala tangan besar Matt mengelus dadanya dari balik kemeja.
Matt bahkan sudah melepaskan tiga kancing kemeja atasnya dan menelusupkan tangannya. Menggenggam dada Kate secara langsung tanpa kain yang menjadi penghalang.
Kate meraih sesuatu untuk menambatkan dirinya di tengah pusaran perasaan yang tak ia pahami, jemarinya terselip di antara helaian rambut Matt yang licin oleh pomade, dingin, namun terasa begitu nyata di tangannya.
Ia ingin menolak, tapi tubuhnya lebih dulu mengingat daripada pikirannya. Setiap jarak yang seharusnya ada, lenyap begitu saja. Udara di antara mereka menegang, waktu seperti berhenti di ambang kejatuhan.
"Sialan, Katya. Aku tak bisa menahannya. Sialan, ini di kamar mandi".
Kesadarannya kembali, menghantam seperti gelombang dingin. Kate sadar betapa jauh dirinya terseret ke dalam pusaran yang sama, pusaran yang dulu hampir menenggelamkannya.
Ia gigit bibir bawah Matt, dan berhasil membuat pria itu menghentikan lumatan buasnya. Napas keduanya memburu oksigen dengan rakus. Kate memang berhasil membebaskan bibirnya yang terasa perih karena Matt sempat menggigitnya.
Kate mengutuk dirinya yang sempat terbuai, hingga tak sadar dengan posisinya yang mendominasi. Kate mengentakan dirinya, turun dari pangkuan Matt. Segera membuka pintu bilik toilet, namun sebelum itu, dia berkata memperingati, "Jangan memperlakukanku seperti dulu, Mr. Campbell. Aku sudah bukan perempuan yang sama lagi." Setelah mengatakan itu dengan suara bergerar. Lalu pergi dari bilik toilet terkutuk itu.
Menghapus air mata yang keluar. Nyatanya, dia sendiri yang terbuai dan tubuhnya tak menolak diperlakukan bak pelacur. Kate membenci tubuhnya yang selalu merespon setiap sentuhan Matt. Yah memang, jika terkadang Kate sering merindukan sentuhan pria itu, namun itu dulu. Dulu saat dia belum terlalu membenci Matt karena pria itu sangat pengecut.
Setelah merasa bisa menguasai diri dari kejadian barusan, Kate kembali ke ruangan di mana atasannya pasti menunggunya dengan bertanya-tanya.
Sudah berapa lama dirinya di toilet?
Ia takut Nicholas mencurigainya. Kate harus merancang alasan yang akan diberikan jika Nicholas bertanya.
Mungkin sakit perut, atau mual karena tadi dia salah makan. Yah, itu sepertinya alasan yang masuk akal.
***
Kedua mata Kate terpejam perlahan ketika bibir Matt memangut pelan bibirnya. Setiap sentuhan pria itu merayap di kulitnya, pelan, mantap, namun cukup kuat untuk menggoyahkan pertahanannya. Ciuman itu bukan sekadar pagutan, itu adalah godaan, sebuah tarikan halus yang menenggelamkan kesadarannya sedikit demi sedikit.Jari-jari Matt naik dari pinggangnya, menelusuri tubuh Kate seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang pernah ia sentuh dan ia rindukan selama ini. Sentuhan itu membuat napas Kate terhenti sejenak, dengan tubuh yang perlahan terasa ringan, nyaris melayang.sentuhan yang selalu berhasil membuatnya goyah. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam cara Matt memperlakukannya, dan ia benci mengakui bahwa ia menyukainya. Terlalu menyukainya.“Matt…” bisiknya, bukan teguran, lebih seperti keluhan yang terjatuh tanpa ia sengaja.Matt menautkan wajahnya lebih dekat, bibirnya kembali menyentuh sudut bibir Kate, pelan ia memperingati. “Don’t stop me,” katanya berat, napasnya hanga
Hari ini merupakan kepindahan Kate dan anak-anak ke rumah besar yang dibelikan Matt untuk mereka.Rumah itu seperti yang diingatnya beberapa waktu lalu, sangat besar dengan halaman yang luas dan interior yang membuat Kate sekali lagi tersenyum karena terpesona.Dulu rumahnya juga besar, halamannya pun luas dengan perabotan modern yang menambah keindahan di rumahnya. Tetapi Kate jelas ingat rumah orangtuanya dulu tidak semewah rumah yang dibeli Matt ini.Jello menggoyangkan tangannya membuat Kate menunduk untuk menatap sang anak. Senyum Jello menandakan jika anak itu suka dengan rumah ini, Kate ikut menyunggingkan senyumnya. "Jello suka?" tanya Kate memastikan.Jello mengangguk-angguk, gigi depan yang tunggal sampai terlihat kala bibirnya melebar senyum. Kate menaikan lagi pandangan untuk mencari Angel yang tadi digendong Matt. Kate dan Jello rupanya tertinggal dibelakang, mereka masih berdiri di ruang tamu. Kate menuntun Jello menjelajahi ruang lainnya tetapi Kate tidak melihat Angel
Kate menelan ludah kasar. Gugup merajai dirinya. Ia menarik napas, berusaha menstabilkan suaranya. Tetapi tidak ada kalimat yang bisa dia katakan pada adiknya.Kate menunduk, merasakan dadanya menghangat sekaligus berat—seolah ada sesuatu yang mulai retak dari dalam dirinya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Kalau… kalau hubungan itu tidak menyakitiku?”Keheningan menyusup di antara mereka. Jeda panjang. Sangat panjang.Sampai-sampai Kate bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum di telinganya, seperti menuntut jawaban yang bahkan ia sendiri takutkan.Akhirnya, Alan menghela napas pelan. Ada rasa pasrah, tapi juga kejujuran yang tidak pernah ia tutupi dari Kate. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tidak berhak melarang.”Kate memejamkan mata kuat-kuat. Sulit baginya mempercayai kata-kata itu keluar dari Alan, pria yang selama ini paling protektif, paling sering berdiri sebagai tembok antara dirinya dan rasa sakit dunia“Kitty…” suara Alan kembali muncul, le
"Hai, Ava. Mana si kembar?”“Uncle!” Jello langsung mendekat ketika wajah Alan muncul di layar ponsel Ava. Tangan mungilnya yang bebas dari cangkir susu melambai semangat.“Kau ditanya sedang apa,” ujar Ava sambil menahan tawa.“Jello minum susu,” jawab bocah itu polos.“Oh ya? Susu apa itu?” tanya Alan.“Susu manis,” balas Jello mantap.Alan mengangguk seolah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Lalu matanya bergerak mencari seseorang. “Mana kembaranmu?” Biasanya, jika Alan menelpon, selalu ada Angela dan Angelo berdampingan.“Angel sedang di toilet sama Kak Kate,” jawab Ava, masih memegang ponsel tanpa menampakkan wajahnya.Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng Angel dari kejauhan. Angelo menoleh cepat dan mengatakan pada kembarannya bahwa sang paman sedang menelepon.“Uncleeeee!” teriak Angel begitu ia muncul, lalu langsung berlari dan memanjat kursi di samping Jello.“Woosh, slow down, sweety,” ujar Alan sambil tertawa kecil, menggeleng melihat tingkahnya.Tanpa aba-
"Kau sudah bicara dengan Alan?" tanya Matt tanpa basa-basi, keluar dari kamar si kembar yang sudah terlelap di dalam. Ia mendekati Kate yang duduk di karpet ruang tengah, sedang menulis pengeluaran bulan ini.Tanpa melepas tatapan dari buku, Kate menggeleng pelan. "Belum sempat. Alan sangat sibuk beberapa hari ini.""Kalau begitu, biar aku yang bicara dengannya," ujar Matt cepat, suaranya datar tapi tegas. "Aku ingin kalian segera pindah."Kate mendongak. Ia menatap Matt dengan tatapan yang sulit diartikan. "Matt," panggilnya ragu. "Aku tak tahu apakah keputusan pindah itu tepat untukku dan anak-anak."Alis Matt terangkat. "Dan kenapa harus tidak tepat?""Karena ini terlalu mendadak," jawab Kate jujur, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku perlu memikirkan semuanya dengan matang."Matt memiringkan kepalanya sedikit. "Apa yang membuatmu ragu?"Kate terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu menekan. Tangannya saling menggenggam e
"Oke sekarang aku mengerti." Di belakang Kate pria itu berseru. Dan Kate hanya mendengkus tanpa menghentikan langkagnya."Rona membantuku mencari rumah untukmu dan anak-anak kita, Katya." Langkah Kate memelan saat informasi itu menelusup ke indera telinganya. Perlahan, tubuhnya berbalik. Menatap Matt yang tersenyum konyol ke arahnya. "Sudah cukup sekali saja aku menjadi seorang ayah dadakan." Matt membuat mimik wajah serius. "Karena bermain aman pun bisa kebobolan," lanjutnya yang sukses membuat pipi Kate entah mengapa memerah."Apa maksudmu?""Yah, kau tahu kita sering-""Bukan." Kate memotong, tak ingin semakin malu karena ucapan Matt. "Apa maksudmu membelikanku rumah? Dan dia bukan simpananmu?"Matt mendelik kesal. "Tuduhanmu itu." Jelas tak terima dituduh seperti itu oleh Kate. "Lagipula, kenapa aku harus mencari wanita lain jika sudah ada kau?""Jangan membuang waktuku Matthew." Di belakang mereka, Rona menginterupsi, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya."Tunggulah Ro







