LOGINPagi itu, usai debat semalam dengan Amara, Thana masuk ke ruangannya dan langsung bersiap untuk berbaris bersama seluruh manager yang ada di perusahaan. Hari ini akan ada inspeksi bulanan dari CEO.
Thana yang baru menjabat sebagai Manager Divisi Kreatif tentunya cukup tegang tetapi dia sudah berusaha maksimal mempelajari seluruh materi dan keadaan. “Semuanya berbaris rapi Pak Sergio akan segera datang,” ucap Marlina, Manager Divisi Pemasaran, sembari merapikan make up yang dia pakai. Sergio Andreson berjalan santai dengan wajah dinginnya dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana keadaan perusahaannya pagi itu. Dia sedang melakukan rapat dan inspeksi bulanan bersama beberapa petinggi untuk melihat langsung bagaimana perkembangan bisnisnya, terutama beberapa koleksi baru yang diluncurkan oleh perusahaan. Terlihat beberapa pegawai mencuri-curi pandang untuk bisa melihat langsung bagaimana ketampanan Sergio yang sering mereka bicarakan itu. Hingga akhirnya Sergio berhenti dan membuat seluruh bawahannya yang mengekor dibelakangnya juga berhenti. “Siapa manager pemasaran?” tanya pria itu dengan suara beratnya. Marlina, selaku manager berjalan dengan penuh rasa bangga. “Saya, Pak Sergio, Marlina,” ujar wanita itu dengan nada centilnya sembari mengulurkan tangannya. Pria itu tidak bergeming, apalagi bersedia membalas uluran tangan wanita centil itu. “Kau dipecat mulai detik ini juga!” Seluruh orang disana mematung, termasuk Thana, begitu juga pegawai dari perusahaan inti yang mengekor di belakang Sergio. Wanita bernama Marlina itu ternganga tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “D-dipecat? A-apa saya salah dengar? Tapi kenapa? Apa saya melakukan kesalahan?” Sergio menatapnya dengan tajam, hanya dengan ekor matanya dan Marlina langsung menunduk dengan tangan bergetar. “Kau seorang Manager divisi pemasaran tetapi mendistribusikan barang saja tidak becus. Edisi terbaru seharusnya dipastikan untuk ada di setiap gerai tetapi data disini menunjukkan sebaliknya.” Wanita itu terdiam. Dia benar-benar sudah melakukan kesalahan dan tidak berpikiran jauh seperti itu. “P-pak sergio saya mohon jangan pecat saya, saya sudah lama bekerja disini dan mengabdi kepada perusahaan,” mohon Marlian sembari berlutut tetapi Sergio bahkan tak sudi untuk melihatnya. “Sudah bekerja lama dan kau bahkan tidak paham aturan dasar? Siapa yang mengangkat wanita ini menjadi manager? Datang ke ruangan saya setelah ini,” titah Sergio membuat pegawai intinya juga pucat pasi takut-takut departemennya juga kena semprot oleh Sergio. Thana hanya bisa menelan ludahnya susah payah. Pria itu bukanlah pria biasa. Bahkan manager saja dia pecat semudah menjentikkan jari. “Hhh, bagus deh dipecat, semua orang udah muak sama Bu Marlina,” sinis salah satu pegawainya membuat Thana kebingungan. “Saya ingatkan sekali lagi untuk seluruh pegawai dan atasan yang ada di perusahaan ini. Kalian harus tetap mempertahankan kualitas kalian jika masih ingin bekerja disini, ini baru awal, bekerjalah lebih keras,” ujar Sergio dan semuanya langsung mengangguk patuh. “Jo, Kita ke Mall sekarang, saya perlu melihat langsung koleksi terbaru kita disana!” titah Sergio kepada sekretaris pribadinya dan melanjutkan berjalan seakan tidak ada apa-apa. ** Setibanya di mall milik Andreson Corp itu, ada dua orang anak laki-laki kembar yang berdiri di luar toko itu dan terlihat berdiskusi dengan serius. Sergio terlihat mengamati dari jarak yang tidak terlalu jauh. Awalnya dia ingin segera masuk namun dia urungkan. “Lihat tas berwarna putih dengan mutiara itu, Mommy pasti sangat menyukainya,” ujar anak laki-laki itu kepada kembarannya. “Mommy mungkin akan suka tetapi kita tidak bisa membelinya, Elio, uang tabungan kita tidak akan cukup ini merk yang sangat terkenal,” jawab anak laki-laki itu. Elio menghembuskan napasnya pelan. “Apakah semahal itu? Memangnya berapa uang tabungan kita kau sudah menghitungkan dengan benar?” Enzo mengangguk. “Mommy pasti akan menerima hadiah apapun jika kita memberikannya dengan tulus, tidak harus tas bermerk ini.” “Tapi…Enzo, tas ini pasti terlihat sangat cantik jika mommy yang memakainya,” cicit Elio. “Bagaimana kalau tidak masuk dan tanyakan dulu?” ajak Elio. Sergio melihat dan mendengar seluruh percakapan anak kembar itu dengan bibir sedikit terangkat. “Pak Sergio apa anda ingin kami mengusir kedua anak nakal itu?” celetuk salah satu pegawai di belakangnya yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Sergio. “Kalian semua bisa pergi, inspeksi kita lanjutkan besok saja,” ujar Sergio dan ketika seluruh pegawainya bubar, hanya Jo yang mengekor di belakangnya. “Elio dengar aku, tas ini letaknya paling depan, ini pasti koleksi terbaru dan itu pasti mahal,” ujar Enzo membuat Sergio semakin tertarik untuk mendekat. Kenapa anak kecil ini bahkan lebih pintar dari manajer toko yang dia pecat tadi? “Tapi gak ada salahnya bertanya, atau kita bisa melihat model lain yang lebih murah, apa kau malu untuk menawar harganya? Ini demi Mommy, untuk hadiah ulang tahunnya kita harus berusaha sedikit,” ujar Elio lagi. Enzo menghela napasnya. “Elio, di mall tidak bisa menawar harganya sudah pasti.” Sergio berdehem pelan dibelakang keduanya hingga membuat kedua anak kembar itu terkejut. “Berapa uang tabungan yang kalian punya untuk membeli tas itu?” tanya Sergio sembari berjongkok untuk menyamai tingginya. Jo yang melihat kejadian itu cukup terkejut karena selama ini bosnya ini tidak suka membuang waktu apalagi untuk anak-anak. Enzo dan Elio saling tatap ketika melihat pria tampan dengan pakaian jas rapi itu. “Om kebetulan sekali apa Om sering berbelanja disini? Apa om tau kisaran berapa harga tas disini? Kakaku mengatakan ini mahal,” ujar Elio. Sergio terkekeh pelan. “Harga tas disini sangat mahal,” jawab Sergio jujur. Tentu saja, dia adalah pemilik brand ini dan seluruh koleksi tasnya dan dia tahu betul tabungan anak kecil ini tidak akan mampu untuk membelinya. Dilihat dari seragamnya pasti kedua anak ini berasal dari sekolah internasional tepat di belakang mall ini, tidak salah lagi. “Ck, sudah kukatakan, ayo, lebih baik kita belikan hadiah lain untuk Mommy. Lagipula sebentar lagi nenek pasti tiba untuk menjemput kita pulang, ayo,” ajak Enzo dan Elio langsung cemberut. “Tapi om bisa menawar kepada pemilik toko ini untuk memberikan kalian diskon jika bisa menghitung harganya.” Ucapan Sergio membuat Enzo dan Elio berhenti. “Serius, Om? Om kenal dengan pemilik toko ini? Kebetulan sekali,” ujar Elio bersemangat. “Om ingin kami menghitung apa? Aku sangat suka matematika jadi pasti bisa.” Sementara Enzo masih terdiam. “Anggap harga tas ini 10 juta rupiah, jika toko ini memberikan diskon 35% berapa kalian harus membayar? Jika benar, om yang akan mengantar kalian masuk untuk membeli tas ini,” ujar Sergio merasa tertarik. “Apa jaminannya om tidak berbohong jika kami benar menjawab?” tanya Enzo membuat Sergio merasa sangat terpukau, anak sekecil ini memiliki pola pikir yang mirip dengannya. Sergio berdiri dan masuk kedalam toko membuat manager toko terkejut tetapi Sergio mengangkat tangannya meminta mereka jangan mengganggu lalu Sergio mengambil tas putih koleksi terbaru itu dari dalam etalase dan membawanya keluar. “Lihat, om tidak berbohong, pemilik toko ini adalah teman om jadi diskonnya sangat besar, apalagi jika kalian bisa menjawabnya.” “Tujuh juta lima ratus, jawabannya,” ujar Enzo dan Elio secara bersamaan. Mata mereka langsung berbinar ketika Sergio benar-benar membawa tas itu keluar. Sergio tersenyum ketika keduanya bisa menjawabnya dengan benar. “Oke, sesuai janji, tas ini milik kalian, berikan saja uang tabungan kalian kepada Ibu di dalam itu dia akan menerimanya.” “Yeah!! Makasi banyak Om Tampan,” ujar Elio sambil meloncat-loncat kegirangan.“Elio inget ya rencana kita, ini kesempatan kita untuk membahagiakan mommy jangan sampai kita buat kesalahan,” ujar Enzo, mewanti-wanti kembarannya itu. Elio mengangguk paham, “Iya, aku paham kau tenang saja. Kita pastikan kali ini mommy bisa bahagia.” Enzo mengangguk dan tersenyum kearah Elio. Tetapi anak laki-laki itu malah termenung membuat enzo bertanya-tanya. “Ada apa?” tanya anak laki-laki itu, walau lebih pendiam tetapi Enzo sangat peka dan sensitif. Elio benar-benar terlihat sedih. “Jadi benar ya kata Daniel, sepertinya papa memang sudah berpisah dengan mommy dan tidak menginginkan kita lagi? Dan mommy juga bisa mencari pasangan lain?” Enzo ikut termenung juga, dia paham betul perasaan kembarannya itu. Walau sedih, Enzo berusaha menjadi kakak bagi Elio dengan merangkul pundaknya. “Kita harus yakin dengan keputusan mommy, Elio. Jika memang papa dan mommy sudah bercerai maka mungkin itu yang terbaik untuk kita semua,”
Thana mencuci wajahnya dengan kasar. Dia menatap kearah cermin di toilet itu dengan khawatir.Dia benar-benar berada dijalan buntu sekarang. Besar kemungkinan Enzo akan mendapatkan juara dan sebagai seorang Ibu, bukannya merasa bahagia tetapi Thana malah khawatir.Khawatir semuanya akan menyorotnya dan Sergio melihatnya ada disana. Thana tidak pernah menyangka akan ada kemungkinan seperti ini.Sergio benar-benar ada dimana-mana.“Halo, Ibu, ini Thana.”Suara ibunya terdengar bersemangat. “Gimana hasil lomba Enzo? Dapet juara dia Than?” tanya ibunya tetapi bukan itu masalah utama sekarang.“Baru aja selesai Bu sesi lombanya masih nunggu pengumuman sekarang,” jawab Thana seadanya.Dia bergerak mondar mandir di toilet itu. “Ibu daritadi gak tenang makan gara-gara kepikiran enzo terus, nanti kabarin Ibu ya, Than hasilnya gimana.”Thana mengiyakan. “Bu, aku sebenarnya ingin membi
“Mom? Kenapa sih dari tadi kayak gak nyaman gitu? Jangan-jangan mommy juga sama kayak Enzo tegang mikir hasilnya?” tanya Elio keheranan ketika keduanya sudah duduk di area makan didekat gedung acara itu.Thana sengaja mengajak putranya untuk keluar membeli es krim sementara dia merenungkan nasib hidupnya.Sergio Andreson, ah kenapa pria itu ada dimana-mana? Pertama di acara pembukaan taman bermain yang ternyata adalah milik pamannya dan sekarang apa keluarga Andreson juga memiliki hubungan dengan pemilik acara lomba ini?Thana dengan gerakan secepat kilat langsung membuka ponselnya dan berusaha mencari bisnis apa saja yang sebenarnya dilakukan oleh keluarga Andreson. Dan fakta mengejutkan dia dapatkan, bukan hanya donatur utama dari kegiatan ini tetapi lebih parahnya lagi adalah Keluarga Andreson yang ternyata menjadi pemilik Alexandria Internasional School atau AIS.Sekolah tempat Elio dan Enzo sekolah. Sekujur tubuhnya melemas, semua hal mem
“Enzo kenapa rotimu tidak habis kau makan?” tanya Elio sembari menatap kembarannya itu dengan raut wajah keheranan. “Kalau tidak habis, sini biar aku saja yang makan aku masih lapar.”Seperti biasa, tanpa menunggu jawaban dari Enzo, Elio sudah langsung mencomot roti di kotak bekal milik kakaknya itu dengan gerakan cepat.Enzo diam, dia mengalah walau dia tidak memakannya bukan karena tidak lapar, melainkan hal lain.Hari ini, Elio, Enzo, dan Thana ada di sebuah aula tempat lomba olimpiade matematika untuk tingkat nasional diadakan. Thana sengaja menyempatkan dirinya mengambil izin untuk menemani Enzo sesuai janjinya.Akan tetapi pagi-pagi seperti ini keduanya sudah ribut-ribut saja, memang selalu ada tingkahnya. Apalagi jika ada Elio.“Enak gini buatan mommy malah gak dihabisin.” Elio ngedumel sendiri sembari mengunyah roti lapis itu dengan rakus.Thana menyadari Enzo lebih diam dari biasanya dan beralih d
“Twinkle…..twinkle little star….up above the world so high,” gumam Thana sembari mengusap puncuk kepala Elio dan Enzo bergiliran. Wanita itu menyanyikan lagu tidur dan melihat kedua putranya terlelap dengan wajah lelah seharian sekolah dan les membuatnya juga ikut mengantuk.Namun ketukan dari pintu luar yang setengah terbuka itu membuat Thana menoleh. Ibunya berdiri diambang pintu dengan wajah yang sendu.Thana bergerak secara perlahan agar tidak membangunkan kedua putranya dan berjalan mendekatinya ibunya. “Nak, Ibu tidak bisa tidur, kita berbicara sebentar dibawah,” ajak Bu Wati dibalas anggukan oleh Thana.Bu Wati menyodorkan teh hangat yang dia buat dan beralih menatap putrinya itu dengan penuh kekhawatiran diwajahnya. Thana tahu apa yang sedang ibunya pikirkan dan diapun juga memikirkan hal yang sama.“Nak….masalah dengan Sergio, bagaimana kamu akan menghadapinya sekarang?” lirih Bu Wati. Tengah malam, suasana hening dan lampu yang temaram, benar-benar membuat Thana merasakan pe
Thana duduk dengan tidak nyaman disalah satu kursi di ruangan konferensi. Ada seluruh direktur, dan kepala manager dari berbagai macam divisi berkumpul untuk rapat evaluasi di kuarter ketiga tahun 2025 ini.Perutnya masih sakit ditambah Sergio yang duduk meja utama, menatapnya dengan tatapan tajam.Sergio sudah memberikan perintah agar Thana mengambil cuti tetapi wanita itu mau tidak mau harus hadir karena tidak tega meninggalkan Meira sendiri untuk mempresentasikan semua hasil kinerja divisi kreatif yang begitu banyak itu.Thana berusaha mengabaikan tatapan dan pesan Sergio, dia akan menjelaskannya pada pria itu nanti tetapi sekarang sudah segera giliran divisinya untuk presentasi.“Jadi seluruh dananya tidak tereliasasi sesuai plan sebelumnya? Apa yang timmu kerjakan kalau begitu selama 3 bulan ini?” sinis Sergio sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas meja.Terhitung sudah hampir 3 jam Sergio mengeluarkan kata-kata tajam itu karena dia selalu bisa saja menemukan kelalaian dari







