***
“You b*tch!” ujar perempuan itu dengan wajah memerah marah.
Namira memekik kaget melihat apa yang terjadi di depannya, “Who are you? What’s wrong with you?”
“Do you know her?” Namira beralih bertanya kepada Alina.
Alina menggeleng tidak tahu. Dirinya juga bingung, apa gerangan yang terjadi, kenapa ia harus disiram air? Memang apa salahnya?
Perempuan itu disusul dengan dua perempuan lainnya dan bertanya kepada Alina, “Lo ya yang namanya Alina?”
“Dasar maba gak tahu diri, baru sehari ngirup udara kampus udah belagu mau ngerebut cowo orang!” ujar lainnya.
Alina masih tidak memahami apa yang terjadi. Hari ini ia sama sekali tidak mengobrol dengan pria manapun. Bahkan untuk urusan perkuliahan, Alina lebih memilih untuk membicarakannya dengan Namira.
“Jangan pura-pura polos deh lo. Bisa-bisanya lo ngasih surat yang isinya rayuan-rayuan receh dan murahan ke Mr. David. Dia tunangan gue!” pekik perempuan yang menampar Alina.
Alina semakin menganga dan bingung dengan apa yang terjadi di sini. Menulis surat? Terdengar sangat kuno, padahal ia memiliki nomor Mr. David. Kenapa harus surat? Surat apa? Siapa yang menulis? Apa ada yang mau memfitnah dia?
“Sialan,” Alina tersadar, kalau ini pasti perbuatan Seline. Hanya dia dan Allen yang bertemu dan masuk ke ruangan David hari ini. Pasti dia sengaja menjebak Alina dengan menulis surat itu dan mengatasnamakan dirinya.
“Apa lo bilang? Wah, gak sopan lu ya sama kating?” perempuan itu hendak menjambak rambut Alina. Tapi Alina dapat menangkis tangan itu.
Alina mendekatkan dirinya ke perempuan itu seraya berkata, “Bukannya lo duta kampus, ya Kak Alexa de Mils? Lo ga malu nampar adik tingkat dan teriak-teriak di kantin?” alina menekankan kata “kak”.
Perlakuan itu membuat Alexa sadar dan melihat sekelilingnya. Banyak gawai yang terangkat merekam kelakuannya barusan. Alexa merutuki perbuatannya sendiri dan melangkah mundur. Ia tidak bisa mempertaruhkan reputasinya hanya untuk hal sepele seperti ini.
“Satu lagi, kak Alexa. Gue ga pernah godain Mr. David, dan gue yakin itu bukan surat yang gue tulis. Ada orang lain yang ingin merayu Mr. David, lo cari sendiri,” ujar Alina tegas kepada Alexa.
Alexa diam, sebenarnya dia bukan orang yang mudah terpengaruh. Hanya saja, akhir-akhir ini hubungannya dengan David sangat tidak baik. Ia takut jika gagal menikah dengan David. Tidak hanya kandas, namun juga akan merugikan perusahaan papanya.
Alexa melenggang pergi, antara malu, sedih, khawatir dan marah bercampur jadi satu dalam dirinya. Entah apa yang dilakukan David jika mengetahui hal ini. Mungkin hubungan mereka akan lebih retak dan renggang.
Sedang Alina terduduk lemas di kursi kantin. Sebenarnya, ia sangat ciut karena Alexa berkepribadian kuat dan dominan. Sementara itu, perlakuan Seline padanya sangat keterlaluan. Alina tidak menyangka Seline akan bermain sekotor ini.
“Are you okay Alina?” tanya Namira yang tak tega melihat waja Alina memucat.
“No, this is crazy,” tukas Alina.
“Do you mind to tell me some?” Namira sempat tidak memahami apa yang terjadi. Alina kemudian menjelaskan tentang keluarganya serta Seline dan ibunya yang tidak berkelakuan baik padanya.
Namira kaget seraya mengatakan “Wow, tenang aja Alina, gue mihak elo. Kalo lo ada kesulitan, please call me without hesitate,” Alina tersenyum, tampaknya dia sudah menemukan teman yang akan menemaninya selama berkuliah di Law School.
Setelah membersihkan diri dan mengobrol, ada sosok laki-laki yang mendekat ke arah mereka berdua. “Hey, sorry ganggu. Kalian maba kan?” suara berat dari laki-laki itu membuat Alina dan Namira menoleh ke arahnya, kemudian mengangguk ragu.
“Oh, please. Jangan takut, gue Ronald anggota BEM. Gue mau nawarin kalian untuk ikutan, siapa tau berminat, kalian follow I* kami ya. Di sana nanti ada link form pendaftaran yang harus kalian lengkapi,” Alina dan Namira sedikit malas menanggapi. Di pikiran mereka sudah terbayang bagaimana mereka memelas dan mengatakan “Kak… risol mayo kak,” keduanya bergidik.
“Hahaha, I can read your mind, girls. Tenang ya, kalian inget kan kita ada di Law School ternama di negeri ini. Sudah jelas banyak partner sponsor yang mau membiayai kita, bahkan beberapa diantaranya malah mengajukan proposal,” jawab laki-laki tersebut.
Alina dan Namira cengengesan dan mengangguk seadanya saja. Laki-laki itu kemudian berkata lagi. “Kalau gitu, gue pamit ya, gue Cuma mau nawarin itu ke kalian. Gue harap, kalian mau join, karena ini jadi ajang untuk expand network dan career path kalian di masa mendatang. So, don’t miss it, ladies,” Ronald berjalan menghampiri meja yang lainnya.
***
Alina merebahkan badannya ke kasur, masih memikirkan bagaimana ngerinya seorang Seline. Jelas dia akan merusak seluruh rencana dan kehidupannya yang tenang. Tadinya, rencana Alina hanya ingin pergi dengan tenang dan menjalani hidup sendiri. Alina sudah menyiapkan perbekalan. Namun, perilaku Seline dan ibunya sangat meresahkan. Memangnya, dia salah apa? Mengapa Alina sangat dibenci oleh keduanya.
Sejak kedatangan mereka ke rumah, Alina berusaha bersikap baik dan menerima bahwa papanya ternyata dapat mencintai wanita lain selain mamanya. Tidak berselang lama, mereka mengucilkan Alina, dan seolah mengambil alih semua perhatian yang selama ini dimiliki Alina. Bahkan, seorang papa yang dulu sangat mencintai Alina, sekarang tampak pudar dan tidak lagi memperhatikannya.
Sudah setengah jam Alina merenung dan larut dalam kesedihannya, tiba-tiba pintu kamar dipukul-pukul kasar. Alina kaget dan sontak berdiri takut. Dibalik pintu itu, papanya sedang berteriak marah dengan memanggil namanya berkali-kali.
“Alina!“
“Alina!”
“Keluar kamu!” mendengar Lesmana sedemikian marah, Alina bingung gelagapan. Dia takut sesuatu akan terjadi padanya, di sisi lain dirinya merasa tidak memiliki kesalahan apapun yang bisa membuat ayahnya murka.
“Alina! Papa tau kamu di dalam. Cepat buka atau papa dobrak sekarang!” Alina tidak punya pilihan lain selain membuka kunci kamarnya. Begitu kamar terdengar dibuka kuncinya, Lesmana mendorong pintu itu dan mengenai kepala Alina hingga jatuh ke lantai.
Belum sempat Alina memproses rasa sakit dan kebingungannya, tangan yang besar dan kuat itu menghantam pipi kanan Alina.
Plak!!
"Plakk!"“Papa! Kenapa papa tampar Alina! Salah Alina apa?” dengan suara lirih dan takut, Alina memberanikan diri untuk bertanya kepada Lesmana.“Masih bisa bertanya kamu?” dada Lesmana naik turun, wajah dan telinganya memerah marah. “Baru satu hari kamu berkuliah, kamu sudah memalukan!” bentak Lesmana sambil menunjuk ke arah Alina.“Kamu tahu Alina, Papa adalah alumni terhormat dan banyak kolega papa di sekolah itu. Bisa-bisanya kamu membuat papamu malu dengan merayu dosen!” mendengar hal itu, Alina langsung berani menatap kedua bola mata Lesmana. Di belakang papanya terdapat dua manusia terkutuk yang menahan senyum puasnya.“Papa, papa harus percaya, bukan Alina yang melakukan itu, pa. Alina dijebak, itu semua perbuatan Seline!” air mata Alina sudah menggenang, siap jatuh. Seline tidak goyah, senyumnya hilang dan menampakkan wajah sedih.“Alina, aku tau kamu ga suka dengan aku dan mama semenjak kami pindah ke sini. Tapi aku nggak sangka kamu nuduh aku kaya gitu di depan papa!” air m
Sehari sebelumnyaKesalahpahaman antara dirinya dan David membuat hubungan mereka semakin kaku. David sama sekali tidak menerima pesan dan pertemuan pribadi dari Alina. Padahal Alina sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa itu bukan salahnya. Alina sering menghubungi David karena ia sangat menyukai Hukum Pidana dan ingin mendiskusikan terkait hal itu.Setelah empat bulan, David akhirnya kembali mau membuka diskusi antara dirinya dan Alina. Akan tetapi, masih sebatas bertukar pesan. David juga tidak ingin membuat Alexa salah paham dengan dirinya dan Alina.Sekarang, Alina sangat membutuhkan surat rekomendasi dosen untuk mendaftar sebagai anggota BEM. Alina berusaha untuk menghubungi david untuk bertemu dan mendiskusikan surat rekomendasi, namun David menolak untuk bertemu.Setelah kelas usai, Alina berniat untuk mengejar David. Hasilnya tetap nihil, David sama sekali tidak mau bertemu secara personal dengan Alina. Alina kemudian terduduk lesu di depan kelasnya. Rasanya lelah dan ingin
ting tong ting tongSuara bel berbunyi nyaring, menandakan ada seseorang di balik pintu. Cepat-cepat pintu itu dibuka, dan menampakkan sosok laki-laki tinggi tampan mengenakan kemeja maroon dan celana kain. Laki-laki itu tersenyum pada sang pembuka pintu, kemudian melangkah masuk.“Allen! lo udah dateng?” Alina melonjak senang dan segera menghampiri sosok itu. Di hadapannya, Alina menggunakan dres merah beludru, benar-benar sangat serasi dipandang. Alina menggandeng Allen dan mendampinginya ke dalam suatu ruangan. Di sana, sudah terdapat tiga orang yang duduk di meja makan persegi panjang. Tentu Lesmana di ujungnya, diikuti Trisia dan Seline di sisi timur. Sedang Alina dan Allen akan duduk di sisi barat.Alina duduk di sebelah ayahnya, kemudian Allen berseberangan dengan Seline. Allen memandangi Seline yang sedang membuang muka, tak mau melihat ke arahnya. “Oke, sepertinya semua sudah berkumpul, mari kita berdoa sebelum makan,” kepala keluarga itu memimpin doa, dan yang lainnya menu
Menginjak semester 2, Alina disibukkan dengan kegiatan perekrutan BEM. Dirinya memutuskan untuk gabung di organisasi tersebut untuk memperluas relasinya. Kalau-kalau rencana pelarian Alina berhasil, dirinya tidak akan kesusahan untuk menemukan kolega.“Oke, tahapan seleksi akan berjalan selama satu bulan penuh. Kalian akan melalui proses wawancara, magang divisi, dan evaluasi. Semua ketentuan dan syarat sudah tertera di juknis,” Ronald menatap satu persatu mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.Setelah semua rangkaian pertemuan selesai, ketua rekrutmen BEM tersebut menghampiri Alina. “Hai Al. Akhirnya lo gabung BEM ya, gue apresiasi kemauan lo untuk mengubah masa depan,”.Alina malas menanggapi Ronald. Entah mengapa, dirinya merasa Ronald punya maksud lain ketika menghampirinya. “
Drrt.. drt.. Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah. Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan. Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, ka
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p
“Gue benci banget sama Ronald!” Alina menggebrakkan tangannya ke meja kelas. Namira yang duduk di sebelahnya berjingkat kaget. “Lo apa-apaan sih, Al. Baru masuk kelas udah jelek aja mood lo!” Namira heran dengan kelakuan Alina. Biasanya Alina bersikap tanpa emosi dan cenderung datar. Entah setan mana yang merasuki dirinya hari ini. Alina menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Ronald membuat perasaannya seperti di roller coaster. Setelah memberinya kehangatan yang nyaman, Ronald membawa hatinya pada puncak paling tinggi di lintasan. Namun layaknya roller coaster, perasaan tersebut cepat sekali terjun ke lintasan paling dasar. “Al? Lo gapapa kan? Emangnya Ronald ngapain lo lagi?” Namira memang mengetahui banyak hal tentang Alina. Karena saat ini, Alina sangat yakin Namira adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya. Namira tidak butuh keuntungan maupun pertolongan apapun dari Alina dan keluarganya. Keluarga Namira sudah cukup terpandang dan berpengaruh di negeri in
Setelah berlangsung beberapa lama, upacara kelulusan telah usai. MC kemudian memandu acara selanjutnya, yakni pertunjukkan dari mahasiswa aktif di Law School. Penampilan pertama dibuka oleh Seline dengan piano cantiknya. Seline memasuki panggung dan menunduk khidmat, tersenyum cerah kepada seluruh pasang mata yang menontonnya hari ini. Seline sangat percaya diri berjalan ke arah piano, kemudian duduk dengan anggun. Jari-jari lentiknya mulai menekan tuts dengan tempo yang cepat. Semua orang yang hadir adalah orang yang berada, mereka sering mendengarkan orkestra dan musik klasik lainnya. Mereka mengetahui lagu-lagu yang dibuat oleh pemusik profesional. Salah satunya adalah lagu yang dibawakan oleh Seline. Ketika sang piano mengeluarkan nada-nada yang mereka kenal, penonton terkejut bukan main. Mereka menganga takjub dengan kemampuan permainan Seline. Permainan piano tersebut adalah lagu yang terkenal, yakni La Campanella oleh Liszt. Permainan piano yang membutuhkan konsentrasi ekstr