Di dalam kamar air mata ini pun terasa tumpah, hatiku benar-benar hancur, mungkin tidak akan seperti ini rasanya, jika aku tidak mencintai Mas Nando, tapi aku mencintai suamiku, entah kapan cinta ini mulai tumbuh dan bersemi di hatiku aku pun tidak tau hal itu. mungkin saja saat ijab qobul terucap, ataukah karena semalam di perlakukan dengan baik oleh Mas Nando. atau bisa jadi karena senyumannya. entahlah apa yg membuatku bisa mencintai suamiku.
Yang pasti saat ini aku benar - benar kecewa dengan perilaku Mas Nando. Dia tidak menghargaiku sama sekali. bahkan pertama kali aku masuk rumah ini pun harga diriku merasa diinjak-injak dengan ulahnya yang membawa perempuan itu kerumahnya, padahal di sini ada aku. Dia anggap apa aku ini.
Mas Nando sama sekali tidak bisa menjaga perasaanku, untuk apa aku tinggal di sini, untuk melihat mereka yang pamer kemesraan. Aku harus pergi dari sini, tapi aku akan pergi ke mana? kembali ke rumah Ayah, itu tidak mungkin. Masalah ini akan menjadi semakin parah saat Ayah tahu aku kembali pulang dengan keadaan tersakiti seperti ini, sebisa mungkin aku harus tetap menyembunyikan aib suamiku dengan tidak menceritakan masalah ini ke siapa pun, termasuk orang tua angkatku. Mereka tidak boleh mengetahui hal ini, bisa hancur semuanya kalau mereka tahu laki-laki pilihan Ayah adalah bukan yang terbaik untukku.
Aku hanya bisa menangis, tidak bisa berpikir jernih lagi. yang terlintas di pikiranku hanyalah adegan mesra mereka tadi, yang saat ini mengotori pikiranku, aku tidak bisa berbuat apa -apa untuk menyelamatkan rumah tanggaku ini, apa yang harus hamba lakukan Ya Allah. Aku memohon pertolongan kepada Allah, aku pun mencoba untuk menenangkan diriku, meredam semua emosiku. Tidak seharusnya aku seperti ini. Aku harus kuat, aku harus bisa merebut hati suamiku. Pokoknya harus bisa. Aku tidak boleh kalah begitu saja sebelum berperang. aku tidak boleh kalah dari Alesha.
Allah berfirman : "Dan Pergauli lah Istri-istrimu dengan baik, lalu jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin engkau tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa: 19)
----------------
Tidak ada satu pun di dunia ini wanita yang ingin disakiti dan dikhianati, semua wanita ingin mendapatkan kebahagiaan, kasih sayang juga rasa kedamaian di dalam dirinya, begitu juga denganku, aku ingin bisa dicintai oleh suamiku, apa aku salah meminta hak, meski suamiku telah membuat kesepakatan itu dan aku pun terpaksa menyetujuinya. Namun, paling tidak selama pernikahan ini masih berlangsung aku ingin menjalaninya dengan penuh kebahagiaan, aku ingin dianggap sebagai istri, aku ingin suamiku bisa memperlakukanku dengan baik, untuk apa dia menikahiku kalau kami pun harus terlihat asing.
Semua hanya karena ambisinya, kegilaannya dengan harta dan kekayaan. Aku tidak habis pikir, kenapa suamiku sangat menginginkan kekayaan dari keluarganya itu, padahal pekerjaan juga sudah cukup bagus, sudah memiliki rumah yang cukup besar, dia sudah memiliki segalanya, yang ia butuhkan hanyalah seorang istri yang bisa mengarahkan ke jalan yang benar, aku ingin menjadi istri yang seperti itu, bisa merubah Mas Nando menjadi lebih baik dan bisa menyadari semua kesalahannya itu.
Suamiku telah menodai kepercayaanku, bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua dan memaklumi segala perlakuannya terhadapku, aku bukan wanita bodoh yang bersedia harga diriku diinjak-injak oleh suamiku, tapi aku bisa apa, dalam agama aku mempunyai tanggung jawab untuk menasihati dan mengarahkan suamiku ke jalan yang benar. Namun, kesepakatan yang dibuat suamiku, bagaimana aku bisa menentang semua kesepakatan itu.
Aku pun masih dalam keadaan yang sama, keadaan yang sangat memilukan, bahkan tidak ada yang bisa mengerti perasaanku, segalanya tentang semua kesedihanku dulu pun ikut teringat dipikiranku, mungkin ini memang takdir yang harus kujalani.
Diriku yang semenjak kecil tidak pernah di anggap sebagai anak oleh orang tuaku, bahkan saat aku telah menjadi seorang istri, aku pun tidak dianggap sebagai istri, tidak diperlakukan selayaknya seorang suami memperlakukan istrinya. Semua hal itu menjadikanku wanita kuat, tapi di sisi lain hatiku sangat rapuh, harus merasakan lagi diri ini tak dianggap.
Sampai sekarang aku belum pernah lagi bertemu dengan ayah kandungku, bagaimana kabar ayah saat ini, apakah ayah masih mengingatku, atau aku telah dilupakan olehnya. membuang semua jauh-jauh tentangku, anak yang tak pernah dianggap.
Bahkan aku tidak mengetahui bagaimana wajah ibu kandungku, ayah kandungku tidak pernah memberitahuku akan hal itu. Meski dulu aku terus mencoba bertanya. Namun, ayah selalu memberikan alasan yang aku pun harus mengerti.
Pikiran tentang masa laluku pun terlihat jelas lagi di pikiranku, aku yang saat ini tengah lelah sedari tadi terus menangis kini hanya mencoba mengingat semua kejadian menyedihkan yang telah aku lalui, aku mencoba mengambil hikmah di balik kejadian-kejadian yang menimpaku.
Mungkin ini adalah rencana Allah, agar aku bisa menjadi wanita yang kuat dan tegar dalam menghadapi masalah seberat apa pun itu, Allah ingin membimbingku menjadi lebih baik, lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap. Aku terus mencoba menata hatiku kembali, menghapus semua luka yang menyayat bahkan merobek dinding hati. Aku mencoba untuk menyembuhkan luka hati ini, selalu kuucapkan istigfar agar aku tidak larut dalam kesedihan.
Hingga dering di ponselku berhasil mengagetkanku,
Aku mengambil ponsel yang ada di atas meja rias, kulihat seorang sahabat terbaikku. Annisa, ya, Annisa menghubungiku, aku pun segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Nandini." Terdengar ucapan salam dari Annisa lewat telepon genggam.
"Wa'alaikumussalam, ada apa Nis, tumben malem gini telepon?" tanyaku pada Annisa.
"Aku hanya ingin tau kabarmu saja, bagaimana apa kamu betah tinggal di rumah suamimu?" ujar Annisa menanyakan kabarku, mungkin dia sudah merasa kangen denganku.
"Baru juga sehari di sini, ya belum bisa bilang betah sih," ucapku ragu, memang sudah merasa tidak betah walaupun masih sehari tinggal di rumah Mas Nando.
"Tapi kamu baik-baik saja 'kan Dini?" tanyanya penasaran.
"Iya baik kok, Nis," ucapku dengan lembut dan mencoba menghapus peluh di pipiku.
"Syukurlah kalau kamu baik, tapi kok suara kamu agak serak gitu, seperti orang yang habis nangis, kamu beneran nggak kenapa-kenapa 'kan Din?" tanya Annisa yang sepertinya merasa khawatir denganku. Duh, ketahuan deh kalau aku memang habis nangis.
"Nggak papa kok Nis, aku baik-baik saja di sini. suaraku agak serak mungkin karena kecapekan aja," ujarku dengan ragu karena Annisa pasti sudah mulai curiga.
"Jangan bohongin aku, Din. Aku tau kamu, kalau kamu lagi nangis pasti kayak gini deh, suara kamu serak," kata Annisa yang tidak mempercayai perkataanku.
"Sudahlah, Nis, kamu jangan mengkhawatirkan aku, aku baik baik saja, beneran," ucapku meyakinkan Annisa, dan mencoba untuk menyembunyikan kesedihanku.
"Din, menurut feelingku kamu itu lagi nggak dalam keadaan yang baik," ujar Annisa yang enggan percaya semua perkataanku.
"Nis, kalau sudah waktunya nanti aku akan cerita, itu pasti, kamu nggak perlu khawatirkan aku, di sini aku bisa jaga diri dengan baik," ucapku dengan lembut, saat ini aku masih enggan untuk menceritakan semuanya pada Annisa.
"Tuh, kan bener, kamu pasti lagi ada masalah. Ya sudah, aku yakin kamu bisa menyelesaikan masalah itu sendiri, tapi jangan di pendam terus, Din karena nggak biasanya kamu kayak gini, aku selalu siap untuk kamu ajak berbagi suka dan dukamu Nandini, kalau kamu sudah siap buat cerita, kita ketemu, aku bisa jaga rahasia kok, Din, kamu kan tau aku gimana, aku nggak mau kalau kamu sampai berpikir keras lagi seperti dulu Din, kumohon kamu pikirkan baik-baik saran dariku," ujar Annisa yang memang ingin tau masalahku.
Annisa bukan sekadar sahabatku, dia adalah sahabatku dari kecil, kami sama-sama hidup di panti asuhan, yang saat ini juga menjadi anak angkat. Kami sudah seperti saudara, dia sahabat dalam suka dan duka, yang selalu bisa memberiku nasihat yang baik, aku juga selalu menuruti semua nasihatnya karena semua nasihatnya itu sungguh menghasilan kebaikan dalam hidupku.
"Aku kangen sama kamu Nis.""Iya sama Kei, aku juga udah ngerasa kangen aja nih sama kamu, bisa nggak kalau kita besok ketemu?" ujar Annisa mengajakku ketemuan. Ya, mungkin dengan bertemu Annisa bisa membuatku kembali bersemangat."Ketemu di mana Nis?" tanyaku."Ya, di tempat biasa aja, kamu bisa 'kan. Mas Nando tidak mengekang kamu 'kan Nandini?" ucap Annisa yang khawatir Mas Aldo melarangku pergi bertemu Annisa."Tidak kok, Nis. Mas Nando tidak akan melarangku untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi 'kan dia tau kalau kamu sahabat terbaikku, ya pasti dizinkan," ujarku mencoba menjelaskan, agar Annisa tidak curiga dengan Mas Nando."Bagus deh kalau gitu, berarti kita bisa ketemu kapan aja dong ya," ucap Annisa yang kelihatan sangat gembira, aku dan Annisa akan segera bertemu lagi."Iya Nis, itu pasti," ucapku dengan lembut."Oke deh, Nandini, besok aku tu
Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya."Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu."Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya,
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya
"Gimana Nandini, sudah siap buat cerita?" tanya Annisa. "Iya, Nis. Aku memang harus siap menceritakan masalahku ini ke kamu," ucapku dengan nada sedih. "Iya jangan dipendam sendiri, Nandini, siapa tau saja aku bisa bantu kamu selesaikan masalah yang sedang kamu hadapin itu," ujar Annisa. "Iya, Nis. Makasih ya, kamu selalu bisa membuatku sedikit lebih tenang," ucapku "Iya, Nandini. Kita ini bukan sekadar sahabat, tapi kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku, jadi masalah yang sedang kamu hadapi itu juga masalahku, sedangkan kebahagiaan yang kamu rasakan itu juga kebahagiaan yang aku rasakan. Aku nggak bisa lihat kamu sedih, Nandini. Kamu ini kan pengantin baru, seharusnya kamu bahagia, bukan malah sedih kayak gini," ucap Annisa yang mampu membuat hatiku sedikit lebih tenang. "Iya, Nis." "Apa kamu sedang bertengkar dengan Mas Nando, Nandini?" tanya Annisa. "Iya, Nis," jawabku dengan tertunduk, berusaha menata hati agar tidak samp
"Maksud kamu, aku harus perhatian gitu ke Mas Nando?""Iyalah, Keisya. Kamu masakin makanan kesukaan dia, atau kamu bisa rebusin air hangat untuk mandi saat dia pulang kerja, atau kamu cuci pakaiannya, memasangkan dasi, mengambilkan semua keperluannya saat kerja. hal sepele yang kamu lakukan itu pasti bisa meluluhkan hati suami kamu.""Apa kamu yakin hati Mas Nando bisa luluh, hanya karena diperhatikan seperti itu?" tanyaku sedikit ragu."Ya bisalah, asalkan kamu melakukannya dengan ikhlas." ujar Annisa mencoba meyakinkanku."Iya, Nis, kamu benar. Memang itulah yang seharusnya aku lakukan, tapi Mas Nando telah membuat kesepakatan, kalau aku dan dia akan terus menjadi seperti orang asing yang tidak saling kenal. Aku urusin keperluan dan kebutuhanku sendiri, begitu juga dengan dia. dan aku pun tidak berhak ikut campur urusan pribadinya," ucapku menjelaskan keraguanku tadi."Sudahlah, jangan mikirin kesepakatan, lagian 'kan Mas Nando yang membuat kese
Sesampai di rumah aku memberi salam dan tidak ada yang menjawabnya, mungkin Bi Inah sedang sibuk di belakang. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur, sembari memikirkan lagi tentang saran dari Annisa tadi.Apakah aku harus mengikuti saran dari Annisa dan mengabaikan semua kesepakatan yang dibuat oleh suamiku, ataukah aku harus tetap menuruti kesepakatan itu?"Kamu peduli padaku, tapi mencintai wanita lain."Mas Nando terlihat sangat memperdulikan aku, yang kulihat tiada kebencian yang dia rasakan. aku paham perasaanya, meski ego ini seakan menolak kebenaran yang nampak di mataku.Aku bingung dengan semua pikiran yang semakin membuatku kacau, ketakutan dan kegelisahan sering menghampiriku.Kali ini aku tidak akan tinggal diam, aku harus melakukan sesuatu yang membuat Mas Nando bisa melihatku yang sungguh-sungguh mencintainya. Aku pikirkan, aku cerna kembali setiap perkataan dan saran dari Annisa. Aku pikir saran
Aku hanya bisa diam, tak kusadari air mata ini pun terjatuh dan Mas Nando mengetahui hal itu, aku langsung mengusap air mataku. Saat aku mulai mengarahkan telapak tanganku tiba-tiba Mas Nando menghentikan tanganku lalu ia turunkan tangan ini di pangkuanku. Ia mengusap air mataku yang jatuh dengan tangannya, ia sapu lembut sampai tak tersisa lagi bekas air mata ini."Nandini, kenapa kamu menangis?" tanya Mas Nando lembut.Aku masih terdiam."Apa ada perkataanku yang melukai hatimu?" tanya Mas Nando sembari menatapku dengan lembut.Aku hanya menggelengkan kepala."Ngomong dong Kei, jangan buat aku khawatir, aku baru pulang kerja, aku kan juga ingin saat aku pulang kerja istriku bisa memanjakanku," ucapnya lembut sembari mengecup keningku.Mas Nando selalu bisa menenangkan hatiku saat dirinya menyakitiku. Bagaimana mungkin aku bisa membencinya. Sementara perlakuannya begitu manis di saat peduli dan mengkhawatirkanku, tapi dia terus saja membang
Rasa malu kesal dan tak berdaya campur jadi satu, aku ingin bisa lebih tenang dan bisa berpikir positif lagi, tanpa harus memikirkannya.Aku selalu disuruh mengerti, memaklumi, padahal jelas aku yang tertolak. Ingin rasanya diri ini memberontak. Namun, aku tak sanggup melakukan hal itu.Sangat tidak habis pikir kehidupan rumah tanggaku akan serumit ini, kupikir hidupku bisa jauh lebih baik. Namun, kenyataan memang terkadang berlainan dengan apa yang kita inginkan. Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi hambanya.Aku merasa suntuk, hidupku hampa, cinta dan sakit yang kurasakan, sepertinya aku butuh untuk refreshing sejenak, tetapi ke mana, dengan siapa? Aku tidak ingin terus-terusan merepotkan Annisa. Dia sudah sangat baik kepadaku, mungkin yang dikatakan ayah kemarin itu benar juga, pengantin baru memang butuh bulan madu, tapi mana mungkin Mas Nando menyetujui hal itu. Bukankah dia akan lebih senang berkencan dengan Aleesha.Setelah melakukan adegan itu