Setelah sarapan pagi, kami pun bergegas untuk segera berangkat ke rumah Mas Nando yang ada di Jakarta, takut di jalan terjebak macet, jadi kami memutuskan untuk berangkat pagi.
Aku pun pamit dan menyalami ayah dan ibu angkatku serta Paman Sam,
"Ayah, Ibu, Nandini pamit tinggal di rumah Mas Nando ya," ucapku sembari menyalami mereka.
Mas Nando pun melakukan hal yang sama denganku
"Iya, Nandini. Hati-hati, Nak. Ibu akan selalu berdoa semoga keberkahan selalu tercurahkan di kehidupan rumah tangga kalian," ucap Ibu sembari memelukku erat.
"Iya, Ibu. Terima kasih banyak, Ibu telah menyayangiku, nandini pasti akan merindukan Ibu."
"Iya, Nak. Ibu juga pasti akan selalu merindukan kamu, seringlah datang ke sini untuk sekadar mengunjungi kami ya, Nak, ajaklah suamimu untuk ikut serta," ucap Ibu sembari membelai hijab yang kukenakan.
"Iya, Bu itu pasti, saya pasti mengizinkan Nandini untuk sering ke mari, bahkan saya yang akan mengantarnya saat Nandini merindukan kalian," sahut Mas Nando yang menjawab ucapan ibu. Benarkah begitu atau ini hanya sandiwaranya. Entahlah aku tidak ingin larut memikirkan hal itu.
"Paman Sam, Nandini pamit ya, Nandini pasti juga akan merindukan Paman," ucapku sembari mengulurkan tanganku bersalaman dengan Paman Sam.
"Iya, Nandini. Kamu jadi istri yang nurut ya, jangan membantah apa pun perintah suamimu, asalkan itu perintah yang sesuai dengan syari'at," ujar Paman Sam menasihatiku.
"Iya, Paman, terima kasih ya. Nandini pasti juga akan rindu dengan bubur ayam buatan Bibi," ucapku dengan lembut sembari tersenyum mengingat pasti aku akan rindu masakan ibu dan bubur ayam buatan bibi.
"Kamu ini, kalau rindu ya kamu bisa datang ke rumah Paman, pasti Bibi kamu akan siap membuatkan bubur ayam kesukaanmu itu," ujar Paman sembari tersenyum lebar.
"Iya, Paman Sam, insyaallah Nandini akan sering mengunjungi Paman di rumah," ucapku dengan tersenyum semringah.
"Nak Nando, jaga putri Ayah baik-baik ya, jangan sakiti putri Ayah," ujar Ayah yang berharap Mas Nando bisa memperlakukanku dengan baik.
"Iya, Ayah, pasti Nando jagain Nandini dengan sebaik mungkin, Nando juga tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menyakiti hati Nandini. Nando pamit membawa Nandini tinggal di rumah Nando ya Ayah," ucap Mas Nando. Entah apa perkataannya itu dari hati ataukah hanya pelengkap sandiwaranya saja.
"Iya, Ayah nitip Nandini ya, Nak Nando," ujar Ayah sembari mengusap air matanya. Aku tahu ayah pasti berat melepasku untuk tinggal bersama Mas Nando.
"Baik, Ayah. ya sudah Nando sama Nandini berangkat dulu ya Ayah, Ibu, Paman Sam. Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Kami pun memasuki mobil milik Mas Nando yang sudah terparkir di depan rumah, sembari melambaikan tangan ke arah keluargaku. Aku pun terdiam, begitu juga dengan Mas Nando yang tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Selama perjalanan menuju rumah Mas Nando pun kami hanyut dalam diam, hanya terdengar suara musik yang sedang Mas Nando putar.
Sesampai di Rumah Mas Nando, aku langsung merebahkan diriku di atas sofa, Bi Inah pun menyodorkan minuman untukku.
"Terima kasih banyak ya, Bi," ucapku lembut.
"Iya, sama-sama Non," jawab Bi Inah singkat sembari kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Sementara itu Mas Nando yang duduk di sebelahku. Namun, agak menjauh, memandang ke langit-langit rumah sembari mendesah, apa yang sedang ia pikirkan.
"Oh ya, Nandini. Nanti kamu minta bantuan Bi Inah saja ya, untuk membawa semua barang bawaan kamu ini ke dalam, tadi aku sudah bilang Bi Inah untuk memasukkan barang-barang bawaan kamu ini ke kamar yang akan kamu tempati," ujar Mas Nando sembari beranjak berdiri.
"Iya, Mas, memangnya Mas Nando mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran.
"Masa baru saja sampai rumah sudah mau pergi lagi," gerutuku dalam hati.
"Ada urusan sebentar di luar, saya akan segera kembali, kamu nanti langsung istirahat saja dan jangan lupa makan, kamu bisa minta tolong Bi Inah untuk membuatkan makanan kesukaan kamu, anggap saja rumah ini seperti rumah kamu sendiri ya. Saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," ujar Mas Aldo yang langsung melangkahkan kakinya ke luar rumah.
"Wa'alaikumussalam, hati-hati, Mas."
Aku pun menanyakan letak kamarku ke Bi Inah dan Bi Inah pun dengan sigap langsung menunjukkan letak kamarku dan membantuku membawa barangku yang cukup banyak ini.
"Terima kasih banyak ya, Bi. Sudah bersedia membantu saya memasukkan barang-barang saya ini ke kamar," ucapku dengan lembut.
"Iya, sama-sama Non," ucap Bi Inah.
"Bi, tunggu sebentar," ucapku mencegah Bi Inah yang telah melangkahkan kakinya untuk ke luar dari kamar.
"Iya, ada yang bisa Bibi bantu lagi Non?" tanya Bi Inah.
"Jangan panggil saya dengan sebutan Non, ya, Bi. Panggil saja saya Nandini atau bisa juga Mbak Nandini," ucapku dengan lembut, enggan diriku dipanggil dengan sebutan yang asing kudengar. Aku tidak terbiasa dengan panggilan itu.
"Baik Mbak Nandini, kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk memanggil Bi Inah ya, selamat istirahat ya."
"Iya, Bi, terima kasih ya sudah membantu," ucapku dengan lembut.
"Iya, sama-sama Mbak, Bi Inah lanjutin pekerjaaan Bi Inah dulu ya, Mbak, nanti kalau Mbak nandini merasa lapar tinggal panggil saja Bi Inah ya," ucap Bi Inah seraya pamit untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Iya, Bi, sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya."
"Iya sama-sama," ucap Bi Inah sembari meninggalkanku sendirian di kamar yang cukup besar ini.
Aku pun mengemasi semua barangku dan menatanya rapi, memasukkan semua pakaianku ke dalam lemari yang cukup besar.
Setelah itu aku bergegas mandi, salat Dhuhur baru istirahat.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 16.00 sore. Aku pun bergegas bangun untuk mandi dan salat Ashar, setelah itu aku ke luar kamar untuk ke dapur, karena perutku sudah mulai lapar.
Aku pun berjalan menuju dapur, kumencari letak dapur, kucoba perhatikan sekeliling, dan kulihat suatu pemandangan yang membuat hatiku terasa nyeri sekali, kudapati Mas Nando duduk berdekatan sembari berpelukan dan sesekali kulihat Mas Nando mencium pipi wanita itu, hatiku terasa sakit sekali.
Wanita itu pasti Alesha, kenapa Mas Nando mengajak Alesha ke rumah, hatiku seketika itu hancur lebur berubah menjadi kepingan-kepingan yang tak ternilai harganya. Hatiku sakit melihat mereka bersama.
Padahal hari ini pertama kali memasuki tempat tinggal Mas Nando, tetapi dia tidak memperlakukanku dengan baik, bahkan dia sekarang malah tengah asyik bermesraan dengan wanita lain di depanku. Mas Nando sungguh sangat keterlaluan, aku merasa tidak terima diperlakukan seperti ini.
Bi Inah yang melihatku termenung pun mencoba mendekatiku.
"Mba Nandini," ucap Bi Inah dengan lembut mengagetkan lamunanku.
"Iya Bi," jawabku dengan nada bicara yang penuh dengan kesedihan.
"Mbak Nandini mau makan, pasti sudah lapar 'kan?" tanya Bi Inah sembari menawarkan diriku untuk makan.
"Tidak Bi, rasanya sudah tidak lapar lagi," ucapku dengan lembut sembari menahan air mata yang seakan ingin segera keluar.
Tadi memang aku lapar, tapi melihat Mas Nando bersama Alesha membuat perutku sudah tidak merasakan rasa lapar lagi, hanya kesedihan yang mendalam lah yang kini tengah aku rasakan. Hatiku bagai dihujam tombak yang tepat mengenai sanubariku.
Nafsu makan pun jadi hilang. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar, untuk apa aku masih berada di sini melihat mereka pamer kemesraan.
"Aku ke kamar dulu ya, Bi," ucapku sembari beranjak kembali ke kamar.
"Loh Mba Nandini tidak jadi makan?" tanya Bi Inah yang mengerti akan kesedihan yang melanda hatiku.
"Tidak Bi, nanti saja," jawabku singkat sembari mempercepat langkahku kembali ke kamar.
Makanannya telah ia habiskan,aku menuangkan air minum di gelas dan aku berikan padanya."Ini Mas, minumnya.""Iya, makasih ya, sayang, kamu sudah melayaniku dengan baik," ujarnya sembari menerima segelas air minum dari tanganku."Iya, sama-sama, Mas. Meski rumah tangga kita tidak bisa berjalan dengan lama, setidaknya aku bisa membuat Mas Nando bahagia bersamaku, itu sudah cukup membuatku puas kok, Mas," jawabku dengan menunduk."Iya, makasih ya, Nandini. Maaf kalau aku belum bisa bahagiain kamu. Saat ini belum bisa mencintai kamu, tapi entah dengan perhatian kamu selanjutnya, mungkin saja bisa membuat hatiku luluh," ujar Mas Nando sembari menatapku lembut dan memberikan senyuman manisnya.Berarti aku masih ada kesempatan untuk memenangkan hatinya karena Mas Nando sendiri yang telah memberikan aku kesempatan itu."Aku akan pergunakan kesempatan itu dengan baik, Mas," jawabku sembari tersenyum manis."Iya Nandini.""Mana tadi kat
"Sudah azan Maghrib nih, Bi, sholat dulu yuk.""Iya Mba Nandini, ini Bibi juga mau ambil air wudu."Aku telah selesai menyetrika pakaian, sambil ngobrol nggak terasa capeknya. Aku pun bergegas mengambil air wudu dan menjalankan ibadah salat Maghrib, dilanjut dengan muroja'ah hafalan Al-Qur'an, sejak masalah menghampiriku aku tidak fokus untuk memuroja'ah hafalan. Sekarang aku ingin lebih fokus lagi untuk muroja'ah hafalanku, agar tidak terlupa.Setelah salat dan muroja'ah hafalan Al-Qur'an, aku bersiap untuk memasak makan malam. Mas Nando pasti suka aku masakin soto betawi, pulang kerja pasti dia belum sempat makan. Aku beinisitif untuk membuatkan soto betawi yang super lezat. Khusus untuk suamiku.Aku memasaknya sendiri, sebenarnya sih Bi Inah ingin membantuku tapi aku mencegahnya. Ini saatnya aku melaksanakan tugas-tugasku sebagai istri yang baik. Karena sejak masalah ini menghampiriku aku merasa aku belum melakukan tugasku sebagai seorang istri, yaitu
Tugas mengajar hari ini telah terselesaikan. Aku mencoba mengubungi Mas Nando. Ya, barangkali suamiku mau menjemputku, tapi lagi-lagi tidak diangkat olehnya. Aku pun mengirimkan pesan whatsapp.[Mas, aku akan pulang bersama Mas Aditia ya, aku harap kamu tidak marah padaku] isi pesan dariku.Aku langsung menghubungi Mas Aditia, dan langsung saja tersambung, memang orang ini selalu sigap jika aku membutuhkan bantuannya."Assalamualaikum Mas Aditia.""Wa'alaikumussalam, Iya, Mbak Nandini.""Bisa jemput saya sekarang, Mas?""Bisa kok Mbak, segera meluncur.""Baiklah, terima kasih banyak ya* Mas Aditia, saya tunggu di dekat gerbang kampus," ujarku."Iya sama-sama, Mbak Nandini, ini saya langsung meluncur ke sana.""Iya Mas Aditia, hati-hati ya. "Wassalamu'alaikum.""Iya, Mbak Nandini. Wa'alaikumussalam."Aku pun menutup teleponnya dan berjalan ke dekat gerbang kampus untuk menunggu Mas Aditia di sana.
"Tenang, Nandini. Kamu harus tetap semangat, alihkan dulu masalah yang membebani pikiran, konsentrasilah untuk mengajar," gumamku dalam hati, menyemangati diriku yang mulai down."Assalamualaikum Naharukis sa'id thalibul ilmi." Aku mengucapkan salam kepada para Mahasiswa."Wa'alaikumussalam, said mubarok Ustazah, Nandini." Mereka menjawab salamku dengan serempak, seperti biasanya."Kayfa halukuma?" Aku menanyakan kabar mereka."Alhamdulillah ala kulli hal.""Kayfa haluk Ustazah Nandini?" tanya salah satu mahasiswi yang bernama Zakia."Alhamdulillah ana bi khoir," jawabku sembari melempar senyum manis."Sudah bisa kita mulai proses belajarnya?" ujarku menanyakan kesiapan mereka."Sudah siap, Ustazah." Mereka menjawabnya dengan serempak."Baiklah mari kita mulai proses belajarnya hari ini kita awali dengan bacaan basmalahya.""Bismillahirrohmanirrohim ... selanjutnya kita berdoa agar diberikan ilmu yang berman
Aku masuk ke ruang kerjaku. Di ruangan itu telah banyak dosen yang sudah datang. Ya, memang aku agak kesiangan, biasanya aku selalu datang lebih dulu dari mereka semua. Aku yang datang kesiangan pun menjadi bahan candaan mereka. Ya, maklum aku 'kan pengantin baru."Assalamualaikum." Aku masuk ke ruang kerjaku dengan mengucapkan salam."Wa'alaikumussalam." Para dosen menjawab salam dengan serempak.Mereka semua langsung saja menatapku, aku yang berdiri di antara tatapan mereka pun menjadi sangat malu, bagaikan aku ini seorang artis saja yang penuh sorotan dan tatapan penggemar."Eheeemm, pengantin baru sudah mulai masuk kerja nih?" goda salah satu rekan kerjaku yang bernama Bu Yulistya,"Iya, nih, apa jangan-jangan maksain kerja nih," sahut Pak Nawawi dosen paling Killer di sini, tetapi kali ini malah bisa bercanda."Nandini, kamu minta perpanjang cuti kerja juga pasti dibolehin kok, mengingat pasti lagi asyik-asyiknya menikmati b
"Jika kau akan pergi, mengapa kau datang, jika aku mencintaimu apakah itu salahku?"***Keesokan harinya, aku sengaja tidak ke luar kamar terlebih dahulu, hari ini aku bersiap untuk mengajar, aku sudah rindu dengan para mahasiswi, aku berangkat kerja akan tetap meminta tolong Mas Aditia untuk mengantar.Keegoisan Mas Nando sungguh tidak wajar, dia terlalu posesif, tak seharusnya dia cemburu dengan Mas Aditia, dia tidak mencintaiku kenapa dia harus cemburu? Aneh bukan?Aku masih menunggu di kamar, aku tidak akan keluar dari kamar sebelum Mas Nando berangkat kerja. Aku malas untuk membahas hal yang sama, yang bisa membuat moodku hilang, aku harus semangat lagi untuk mengajar, harus fokus. Jangan karena masalah ini membuatku jadi sulit berkonsentrasi penuh pada pekerjaanku. Aku harus kembali bersemangat, demi masa depanku dan kebahagiaanku sendiri. Apa aku egois? Aku rasa tidak.Terdengar suara langkah kaki seperti sedang berjalan ke arah