“Kak Rasul! Turunin Zahra sekarang!!” teriak Zahra sembari terus memukul punggung Rasul yang membawanya keluar dari tempat acara itu.
Rasul menurunkan Zahra dengan perlahan lalu mencengkeram pergelangan tangan kanan Zahra dan sedikit membungkuk untuk menatap istrinya yang lebih pendek darinya itu.
“Kak Rasul sengaja ikut acara itu untuk tebar pesona dengan semua wanita cantik di sana, hah?! Baru saja dua jam yang lalu Kak Rasul mengucapkan akad, sudah mau mengucap akad lagi, hm?!” cecar Zahra dengan mata melotot yang nyaris keluar dari tempatnya.
“Lalu kenapa kamu ada di belakang podium, Zahra? Hendak mencari pria yang akan menyebut namamu dalam akad lagi?” sindir Rasul.
“Jangan memutar balikkan fakta, Kak! Zahra ada di sana karena Kak Rasul mengejar Zahra sampai ke sini!” omel Zahra sembari mengalihkan pandangannya dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Rasul yang tampak kuat menguncinya.
Rasul dengan cepat melepas cengkeraman tangannya namun beralih pada pinggang Zahra dan mendorongnya mendekat.
Jantung Zahra berpacu amat cepat saat itu juga, matanya bahkan tak bisa jenak menatap mata indah milik Rasul yang sekarang terus mengamati gerak-geriknya yang mencoba kabur itu.
“Dengarkan saya, Zahra. Saya bahkan merelakan uang lima juta dalam tabungan saya untuk memaksa mereka memperbolehkan saya ikut dan menjadi urutan pertama. Kamu pikir ini petak umpet premium hingga saya harus membayar mahal hanya untuk menjemput istri saya sendiri?” bisik Rasul tepat di hadapan Zahra.
Saat wanita itu merasa tangan Rasul melemah, dengan cepat ia mendorong Rasul lalu hendak berlari. Tetapi sayangnya, salah satu manik gaunnya tersangkut pada jas milik Rasul dan membuat keduanya seolah tengah berdansa di tengah koridor mall itu.
Rasul tersenyum seringai sembari menahan tubuh istrinya yang nyaris jatuh ke belakang itu. Sementara Zahra mulai panik, Rasul perlahan membenahi posisi berdiri sang istri agar kembali seimbang.
“Kalau kamu memaksa kabur lagi, saya akan terus mengumumkan kehilanganmu di seluruh pengeras suara mall ini, Zahra.”
“Zahra malas pergi ke acara! Bosan, Kak! Zahra sudah bilang, setidaknya untuk pernikahan kita, Kak Rasul berhenti dulu memberi materi. Tetap saja Kak Rasul menerima ajakan host dan memberikan materi lalu meninggalkan Zahra di pelaminan sendiri. Apa salah Zahra kabur sekarang?” omel Zahra.
Tangan Rasul perlahan melepaskan manik gaun Zahra yang tersangkut pada kancing jasnya sambil terus diam-diam tersenyum mendengar keluhan yang sang istri katakan. Tak begitu berat sebenarnya keluhan Zahra, tetapi hal itu menjadi masalah serius saat mempelai wanita tak ada lagi di pelaminan usai materi yang diberikan sang suami untuk para tamu undangan.
“Saya sudah selesai, Zahra. Saya akan duduk bersamamu di pelaminan setelah ini. Saya janji.”
“Bohong! Lagi pula Zahra sudah tidak berselera lagi duduk di sana. Kalau dipikir-pikir mall ini jauh lebih asyik daripada hanya duduk dan melihat tamu undangan melintas dan makan enak. Zahra juga lapar, tapi makan di sana tak bisa sepuas biasanya. Harus jaga make up, harus pura-pura elegan, huh melelahkan!”
“Baiklah, bagaimana dengan ice cream?” tawar Rasul seketika membuat Zahra kembali tersenyum dan mengangguk setuju setelahnya.
“Kenapa kamu sangat mudah dibujuk dengan ice cream, Zahra? Saya takut kamu akan hilang saat seorang penjahat memberimu ice cream sebagai pancingan mereka!” kekeh Rasul sembari menggandeng tangan istrinya dan mulai berjalan meninggalkan kawasan live ‘Take Me Out, Sir!’ itu.
“Kalau begitu, Kak Rasul harus selalu ada di dekat Zahra supaya bisa menangkis para penjahat yang akan menculik Zahra!” Wanita itu kini melingkarkan tangannya ke tangan Rasul dan mulai menyandarkan kepalanya pada lengan pemuda itu.
Bukannya kembali ke acara pernikahan mereka, kini keduanya malah ada di salah satu ruko ice cream yang ada di mall dan asik memakannya sembari bersenda gurau satu sama lain.
“Kak Rasul tidak memberi kabar pada keluarga? Bagaimana jika mereka mencari nanti?” tanya Zahra sembari memasukkan satu sendok kecil ice cream gelato ke dalam bibir mungilnya.
Rasul membuka ponselnya dan melirik jam yang ada di layar sebelum menunjukkan sebuah pesan yang ia kirimkan kepada sang ibu alias mertua Zahra.
[Ibu, Rasul sudah menemukan Zahra. Tetapi ada masalah dengan sesuatu di sini, mungkin kami akan kembali saat acaranya telah usai. Ibu tidak perlu khawatir, kami berdua aman. Tolong sampaikan permintaan maaf Rasul dan Zahra kepada seluruh keluarga ya, Bu!]
Senyum melebar di bibir Zahra lalu melirik ke arah sang suami.
“Kita kembali saja, deh! Lagi pula ceramah Kak Rasul sudah selesai juga! Ada satu makanan yang ingin Zahra coba di sana dan belum merasakan sedikit pun! Sebelum menu itu habis, kita harus mengambilnya!” pekik Zahra.
“Saya bingung denganmu, Zahra. Apakah kamu selalu selabil ini? Tadi kamu bilang tidak mau kembali, sekarang memaksa kembali. Bagaimana jika kamu membagi otak dan hatimu agar saya tidak seperti orang bingung yang memahami semua keinginanmu?”
Zahra tampak memutar bola matanya lalu melepas tangannya yang melingkari tangan Rasul. Napas panjang ia tarik lalu dihempaskan dengan sedikit kasar.
“Siapa suruh Kak Rasul langsung menikahi Zahra hanya dengan dua kali pertemuan! Pertemuan keluarga pula, mana bisa kita saling mengenal secepat itu? Lagi pula memang Kak Rasul percaya bahwa Zahra sangat mencintai Kak Rasul?”
“Tentu! Ibu bilang, putrinya tampak terus tersenyum dan bergaya di depan cermin dengan gaun pengantinnya semalam sebelum pernikahan kita. Bukankah kamu sangat antusias dengan pernikahan kita, Zahra?” sahut Rasul lagi-lagi membuat Zahra seolah kalah telak.
“Aishh, ibu selalu saja membocorkan sesuatu yang tidak semestinya diketahui orang lain!” cibir Zahra.
Rasul menggeser tubuhnya dan kini menghadap ke arah Zahra yang menusuk-nusuk gelas ice cream-nya dengan emosi yang cukup parah.
“Tapi ada satu hal yang saya tidak tahu. Kenapa kamu mesti memanggil saya dengan sebutan 'Kak'? Ya, jika sebelum pernikahan mungkin oke, tapi sekarang saya bukan orang lain bagimu, Zahra. Saya suamimu. Tidak bisakah memanggil saya dengan sebutan yang lain?” tutur Rasul.
“Baiklah, misalnya?” sahut Zahra kini memangku dagunya mencoba menatap mata Rasul dengan intens.
“Sayang, Honey, Cinta, Suamiku, Hidupku, atau Belahan Jiwaku!”
“Ih! No! Zahra tidak mau memanggil dengan semua sebutan itu! Sangat lembek!” olok Zahra seolah tanpa dosa.
“Lembek apanya? Bagus kok! Kalau kamu tidak mau memilih, biar saya yang pilihkan! Bagaimana dengan—”
“Kak Rasul!” sela Zahra cepat. “Yap! Setuju!!” pekiknya lagi lalu menjabat tangan sang suami seolah tengah membuat sebuah kesepakatan penting.
“Hei! Mana bisa seperti ini!” pekik Rasul.
“Bisa! Buktinya, kita sudah menyetujuinya barusan!” kekeh Zahra. “Ayo kembali ke acara pelaminan kita, Kak Rasul!” kekeh Zahra lalu bangkit dari posisi duduknya.
“Kenapa terburu? Apa mantan kekasihmu itu sudah mengabari kedatangannya, hm?”
Zahra tampak segera membalik tubuhnya dan mulai mengamati wajah Rasul dengan tatapan selidiknya. Sementara itu, Rasul malah bangkit tampak santai dengan bibir yang sedikit ia majukan bergaya seolah sedang mengambek.“Kenapa Kak Rasul memulai itu lagi? Zahra sudah pernah bilang kami hanya teman bukan?” tutur Zahra sedikit ketus.“Lihat sendiri ‘kan siapa yang selalu ketus setiap pembahasan ini dimulai. Lagi pula saya hanya bertanya. Kenapa kamu jadi kesal begitu?” tutur Rasul kini malah mulai berjalan meninggalkan Zahra yang tampak semakin geram.“Kak Rasul!!” teriak Zahra lalu segera mengangkat gaunnya yang menjuntai agar tak menghalangi jalan cepat mengejar sang suami itu.“Kak Rasul sendiri yang sudah memberikan izin pada Zahra untuk mengundangnya, ‘kan? Kenapa sekarang seolah tak setuju karena Zahra mengundangnya?” omel Zahra berusaha menahan Rasul semakin menjauhinya.“Iya, Sayang. Saya tidak marah, saya hanya bertanya. Karena kamu sudah mengundangnya, jadi apa dia sudah datang? S
Wajah Zahra seketika berubah ketus saat mendengar pertanyaan yang Rasul berikan kepadanya. Tangan yang awalnya dipegang Rasul pun dibuatnya mengendur“Saya hanya bercanda, Zahra. Saya hanya tidak menyangka akan dapat kecemburuan sebesar itu darimu. Besok, saya kenalkan pada seluruh tim kerja saya supaya kamu tidak salah paham lagi. Okey? Jadi, bisakah sekarang jangan mengambek?” tutur Rasul.Akhirnya acara pernikahan hari itu usai. Namun, seperti yang diketahui jika Rasul cukup aktif dengan media sosialnya dalam berdakwah dan memberi motivasi, acara perayaan tidak akan berhenti sampai di situ saja.Tetapi setidaknya, siang itu acara telah usai dan keduanya akan mulai tinggal berdua di apartemen milik Rasul yang berada tepat di pusat kota.Bukannya kembali ramai seperti yang mereka lakukan di mall dan gedung pernikahan tadi, keduanya kini malah tampak canggung dan saling terdiam satu sama lain.“Ehm!” deham Rasul berusaha mencairkan suasana meskipun itu malah membuat keduanya kian teng
“Kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti ini, Zahra? Ada masalah dengan pembicaraan kita sebelumnya? Atau ada sesuatu yang mengganjal tentang tindakan saya barusan?” tanya Rasul yang jelas terkejut atas apa yang Zahra katakan.Akad baru saja diucap pagi tadi tetapi sekarang sang istri malah ragu atas pernikahan keduanya. Bagaimana mungkin suasana hati beralih begitu cepat? Apakah mungkin memang istrinya selabil itu?“Kak Rasul tidak merasakannya? Semuanya baru terungkap beberapa saat lalu. Zahra jadi takut jika ini bukan keputusan yang benar untuk menikah secepat ini, Kak!” Zahra menundukkan pandangannya sementara jari jemarinya terus asik bermain di bawah mukanya.“Zahra, saya tidak paham. Apa maksudmu? Bisa tolong jelaskan apa yang membuat kamu tiba-tiba ragu?” tanya Rasul lagi.Zahra kini mengangkat kepalanya dan membawa satu kakinya ke atas sofa demi bisa menatap sang suami dengan lurus. Tangannya pun, meski dengan cukup gemetar akhirnya menggenggam salah satu tangan Rasul.“Kak Rasu
“Kak Rasul!!” teriak Zahra bersamaan dengan Rasul yang tampak terkejut dan tersentak menjauh dari sisi kompor. “Astagfirullah Kak Rasul!!” teriak Zahra lagi lalu dengan cepat berlari ke arah Rasul dan mematikan kompor yang telah mengeluarkan asap gosong dari setiap sisi pan yang Rasul gunakan untuk menggoreng telur mata sapi. Mata Rasul melotot melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Telur yang beberapa waktu lalu berniat ia angkat agar tak gosong sekarang telah kering dan tampak buruk rupa, bahkan pan baru hadiah pernikahan mereka kini tampak telah hangus. “Kak Rasul kenapa, sih? Melamun? Atau tidak tahu cara mematikan kompor? Kenapa telurnya dibiarkan sampai gosong? Kalau nanti kompornya panas, terus gasnya meledak dan kita mati terpanggang di sini bagaimana, Kak? Kak Rasul mau ada berita tentang kita pakai headline ‘Sehari nikah dua pasangan ini ditemukan gosong?’ Hmm?!” cecar Zahra tak berhenti mengomel. Rasul tak menjawab dan seketika menarik Zahra mendekatinya lalu me
“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul. Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu. “Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel. Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami. “Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra. Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya. “Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahr
“Hah?” celetuk Zahra blak-blakan. Wajah Rasul yang awalnya memasang tampang bahagia seketika berubah datar. “Kamu tidak merasa saya tampan begitu? Tidak ingin memuji suamimu ini? Saya sudah memuji kamu tapi kamu tidak? Kamu benar-benar tidak merasa saya tampan, Zahra?” ujar Rasul. “Ohh, jadi mau balasan? Enggak sih, Kak! Malahan Zahra merasa setelah menikah kak Rasuk jadi jelek! Tidak setampan dulu sebelum menikah dengan Zahra. Padahal kita ‘kan baru menikah sehari. Apa memang kak Rasul aslinya jelek ya? Terus Zahra kena pelet akhirnya nikah, eh habis nikah ternyata jelek!” papar Zahra. “Jahat kamu, Zahra!” putus Rasul lalu dengan cepat dan tanpa menunggu balasan dari Zahra pemuda itu langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Zahra yang terkejut atas tingkahnya sendiri dalam mobil. “Tunggu! Apa ini tadi? Dia mengambek? Astaga, apa dia memang semanja ini? Oh my God! Seorang Rasul Asyraf ternyata manja? Oh my God! Lucu banget, sih! Suami siapa! Aha! Suami akulah!” kekeh Zahra lalu
Wajah Zahra seketika mengerut, ia bahkan hingga memundurkan tubuhnya dari Rasul saat mendengar bisikan Rasul yang terkesan menjadi sebuah ancaman itu. “Apa? Kenapa gitu? Kenapa Zahra tidak boleh ikut ke kantor? Karena kak Rasul ingin berduaan dengan kak Alimah?” sahut Zahra seolah tanpa dosa. “Karena kamu! Baru sehari saya ajak kamu bertemu dengan rekan kantor saya, tapi lihat! Kamu sudah bilang ada yang tampan! Beraninya kamu memuji pemuda lain di depan suamimu sendiri!” omel Rasul. Bukannya menciut karena omelan sang suami, Zahra malah tampak tersenyum tipis, raut wajahnya seolah tengah meledek kecemburuan kekasihnya itu. “Ehmm, jadi kak Rasul cemburu? Uhh, ternyata seorang Rasul Asyraf selain manja cemburuan juga?” kekeh Zahra. “Kalau kamu terus ledek saya, saya akan benar-benar kabulkan ancaman saya supaya kamu tidak perlu bertemu dengan rekan kantor saya, Zahra!” ancam Rasul. Zahra seketika melingkarkan tangannya pada tangan kanan Rasul. Dengan cepat pula ia menyandarkan ke
Benar saja, setelah separuh teh itu habis dan Zahra usai membantu sang ibu di dapur untuk sekadar berbenah rumah, Rasul kini berada di dalam kamar Zahra bersama sang pemilik kamar. Pemuda itu tampak melihat sekitar kamar sang istri. Kadang tatapannya sedikit serius, kadang tersenyum, dan tiba-tiba terkekeh. “Kenapa harus menatap seperti itu sih, Kak? Kak Rasul masuk ke sini ‘kan untuk membantu Zahra bukan melakukan inspeksi pada kamar Zahra. Jadi tidak perlulah sok serius jadi pengamat seperti itu!” keluh Zahra. Rasul kini mengubah pandangannya ke arah Zahra lalu perlahan duduk ke ranjang. Pemuda itu mendongakkan kepalanya dam menatap Zahra yang berdiri di hadapannya. “Saya tidak sedang inspeksi kok! Cuma lihat-lihat saja! Jadi ini kamar istri saya sebelum bertemu dengan suaminya? Ini pasti juga menjadi saksi bisu dia mengagumi saya. Iya ‘kan?” goda Rasul. “Idih! Apaan, sih!” Zahra segera memalingkan wajahnya lalu menuju lemari. Sudah pasti ia ingin menghalau rasa salah tingkah a