Share

2. Take Me Out, Rasul!

“Kak Rasul! Turunin Zahra sekarang!!” teriak Zahra sembari terus memukul punggung Rasul yang membawanya keluar dari tempat acara itu.

Rasul menurunkan Zahra dengan perlahan lalu mencengkeram pergelangan tangan kanan Zahra dan sedikit membungkuk untuk menatap istrinya yang lebih pendek darinya itu.

“Kak Rasul sengaja ikut acara itu untuk tebar pesona dengan semua wanita cantik di sana, hah?! Baru saja dua jam yang lalu Kak Rasul mengucapkan akad, sudah mau mengucap akad lagi, hm?!” cecar Zahra dengan mata melotot yang nyaris keluar dari tempatnya.

“Lalu kenapa kamu ada di belakang podium, Zahra? Hendak mencari pria yang akan menyebut namamu dalam akad lagi?” sindir Rasul.

“Jangan memutar balikkan fakta, Kak! Zahra ada di sana karena Kak Rasul mengejar Zahra sampai ke sini!” omel Zahra sembari mengalihkan pandangannya dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Rasul yang tampak kuat menguncinya.

Rasul dengan cepat melepas cengkeraman tangannya namun beralih pada pinggang Zahra dan mendorongnya mendekat.

Jantung Zahra berpacu amat cepat saat itu juga, matanya bahkan tak bisa jenak menatap mata indah milik Rasul yang sekarang terus mengamati gerak-geriknya yang mencoba kabur itu.

“Dengarkan saya, Zahra. Saya bahkan merelakan uang lima juta dalam tabungan saya untuk memaksa mereka memperbolehkan saya ikut dan menjadi urutan pertama. Kamu pikir ini petak umpet premium hingga saya harus membayar mahal hanya untuk menjemput istri saya sendiri?” bisik Rasul tepat di hadapan Zahra.

Saat wanita itu merasa tangan Rasul melemah, dengan cepat ia mendorong Rasul lalu hendak berlari. Tetapi sayangnya, salah satu manik gaunnya tersangkut pada jas milik Rasul dan membuat keduanya seolah tengah berdansa di tengah koridor mall itu.

Rasul tersenyum seringai sembari menahan tubuh istrinya yang nyaris jatuh ke belakang itu. Sementara Zahra mulai panik, Rasul perlahan membenahi posisi berdiri sang istri agar kembali seimbang.

“Kalau kamu memaksa kabur lagi, saya akan terus mengumumkan kehilanganmu di seluruh pengeras suara mall ini, Zahra.”

“Zahra malas pergi ke acara! Bosan, Kak! Zahra sudah bilang, setidaknya untuk pernikahan kita, Kak Rasul berhenti dulu memberi materi. Tetap saja Kak Rasul menerima ajakan host dan memberikan materi lalu meninggalkan Zahra di pelaminan sendiri. Apa salah Zahra kabur sekarang?” omel Zahra.

Tangan Rasul perlahan melepaskan manik gaun Zahra yang tersangkut pada kancing jasnya sambil terus diam-diam tersenyum mendengar keluhan yang sang istri katakan. Tak begitu berat sebenarnya keluhan Zahra, tetapi hal itu menjadi masalah serius saat mempelai wanita tak ada lagi di pelaminan usai materi yang diberikan sang suami untuk para tamu undangan.

“Saya sudah selesai, Zahra. Saya akan duduk bersamamu di pelaminan setelah ini. Saya janji.”

“Bohong! Lagi pula Zahra sudah tidak berselera lagi duduk di sana. Kalau dipikir-pikir mall ini jauh lebih asyik daripada hanya duduk dan melihat tamu undangan melintas dan makan enak. Zahra juga lapar, tapi makan di sana tak bisa sepuas biasanya. Harus jaga make up, harus pura-pura elegan, huh melelahkan!”

“Baiklah, bagaimana dengan ice cream?” tawar Rasul seketika membuat Zahra kembali tersenyum dan mengangguk setuju setelahnya.

“Kenapa kamu sangat mudah dibujuk dengan ice cream, Zahra? Saya takut kamu akan hilang saat seorang penjahat memberimu ice cream sebagai pancingan mereka!” kekeh Rasul sembari menggandeng tangan istrinya dan mulai berjalan meninggalkan kawasan live ‘Take Me Out, Sir!’ itu.

“Kalau begitu, Kak Rasul harus selalu ada di dekat Zahra supaya bisa menangkis para penjahat yang akan menculik Zahra!” Wanita itu kini melingkarkan tangannya ke tangan Rasul dan mulai menyandarkan kepalanya pada lengan pemuda itu.

Bukannya kembali ke acara pernikahan mereka, kini keduanya malah ada di salah satu ruko ice cream yang ada di mall dan asik memakannya sembari bersenda gurau satu sama lain.

“Kak Rasul tidak memberi kabar pada keluarga? Bagaimana jika mereka mencari nanti?” tanya Zahra sembari memasukkan satu sendok kecil ice cream gelato ke dalam bibir mungilnya.

Rasul membuka ponselnya dan melirik jam yang ada di layar sebelum menunjukkan sebuah pesan yang ia kirimkan kepada sang ibu alias mertua Zahra.

[Ibu, Rasul sudah menemukan Zahra. Tetapi ada masalah dengan sesuatu di sini, mungkin kami akan kembali saat acaranya telah usai. Ibu tidak perlu khawatir, kami berdua aman. Tolong sampaikan permintaan maaf Rasul dan Zahra kepada seluruh keluarga ya, Bu!]

Senyum melebar di bibir Zahra lalu melirik ke arah sang suami.

“Kita kembali saja, deh! Lagi pula ceramah Kak Rasul sudah selesai juga! Ada satu makanan yang ingin Zahra coba di sana dan belum merasakan sedikit pun! Sebelum menu itu habis, kita harus mengambilnya!” pekik Zahra.

“Saya bingung denganmu, Zahra. Apakah kamu selalu selabil ini? Tadi kamu bilang tidak mau kembali, sekarang memaksa kembali. Bagaimana jika kamu membagi otak dan hatimu agar saya tidak seperti orang bingung yang memahami semua keinginanmu?”

Zahra tampak memutar bola matanya lalu melepas tangannya yang melingkari tangan Rasul. Napas panjang ia tarik lalu dihempaskan dengan sedikit kasar.

“Siapa suruh Kak Rasul langsung menikahi Zahra hanya dengan dua kali pertemuan! Pertemuan keluarga pula, mana bisa kita saling mengenal secepat itu? Lagi pula memang Kak Rasul percaya bahwa Zahra sangat mencintai Kak Rasul?”

“Tentu! Ibu bilang, putrinya tampak terus tersenyum dan bergaya di depan cermin dengan gaun pengantinnya semalam sebelum pernikahan kita. Bukankah kamu sangat antusias dengan pernikahan kita, Zahra?” sahut Rasul lagi-lagi membuat Zahra seolah kalah telak.

“Aishh, ibu selalu saja membocorkan sesuatu yang tidak semestinya diketahui orang lain!” cibir Zahra.

Rasul menggeser tubuhnya dan kini menghadap ke arah Zahra yang menusuk-nusuk gelas ice cream-nya dengan emosi yang cukup parah.

“Tapi ada satu hal yang saya tidak tahu. Kenapa kamu mesti memanggil saya dengan sebutan 'Kak'? Ya, jika sebelum pernikahan mungkin oke, tapi sekarang saya bukan orang lain bagimu, Zahra. Saya suamimu. Tidak bisakah memanggil saya dengan sebutan yang lain?” tutur Rasul.

“Baiklah, misalnya?” sahut Zahra kini memangku dagunya mencoba menatap mata Rasul dengan intens.

Sayang, Honey, Cinta, Suamiku, Hidupku, atau Belahan Jiwaku!”

“Ih! No! Zahra tidak mau memanggil dengan semua sebutan itu! Sangat lembek!” olok Zahra seolah tanpa dosa.

“Lembek apanya? Bagus kok! Kalau kamu tidak mau memilih, biar saya yang pilihkan! Bagaimana dengan—”

“Kak Rasul!” sela Zahra cepat. “Yap! Setuju!!” pekiknya lagi lalu menjabat tangan sang suami seolah tengah membuat sebuah kesepakatan penting.

“Hei! Mana bisa seperti ini!” pekik Rasul.

“Bisa! Buktinya, kita sudah menyetujuinya barusan!” kekeh Zahra. “Ayo kembali ke acara pelaminan kita, Kak Rasul!” kekeh Zahra lalu bangkit dari posisi duduknya.

“Kenapa terburu? Apa mantan kekasihmu itu sudah mengabari kedatangannya, hm?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status