Share

3. Menilik Masa Lalu

Zahra tampak segera membalik tubuhnya dan mulai mengamati wajah Rasul dengan tatapan selidiknya. Sementara itu, Rasul malah bangkit tampak santai dengan bibir yang sedikit ia majukan bergaya seolah sedang mengambek.

“Kenapa Kak Rasul memulai itu lagi? Zahra sudah pernah bilang kami hanya teman bukan?” tutur Zahra sedikit ketus.

“Lihat sendiri ‘kan siapa yang selalu ketus setiap pembahasan ini dimulai. Lagi pula saya hanya bertanya. Kenapa kamu jadi kesal begitu?” tutur Rasul kini malah mulai berjalan meninggalkan Zahra yang tampak semakin geram.

“Kak Rasul!!” teriak Zahra lalu segera mengangkat gaunnya yang menjuntai agar tak menghalangi jalan cepat mengejar sang suami itu.

“Kak Rasul sendiri yang sudah memberikan izin pada Zahra untuk mengundangnya, ‘kan? Kenapa sekarang seolah tak setuju karena Zahra mengundangnya?” omel Zahra berusaha menahan Rasul semakin menjauhinya.

“Iya, Sayang. Saya tidak marah, saya hanya bertanya. Karena kamu sudah mengundangnya, jadi apa dia sudah datang? Saya ‘kan hanya tanya seperti itu.”

Zahra menghembuskan napasnya berat lalu memilih diam dan menggandeng suaminya itu untuk berjalan ke arah gedung tempat pernikahannya berada. Rasul yang melirik ke arah Zahra sebentar lalu menyunggingkan senyumnya tipis.

Beberapa waktu lalu, tepatnya saat pertemuan keduanya sebelum akhirnya diputuskan untuk menikah, Zahra sempat mengakui bahwa ada seorang pemuda yang cukup dekat dengannya saat bangku sekolah. Dan setelahnya, pembahasan mengenai pemuda itu selalu mengundang emosi ringan.

“Kok pertanyaan saya tidak dijawab?” tanya Rasul tanpa menoleh ke arah Zahra.

Wanita itu sontak menoleh meskipun dengan cepat kembali mengalihkan pandangannya dari Rasul. Tak langsung menjawab, Zahra malah mengencangkan lingkaran tangannya pada tangan Rasul.

“Nanti Kak Rasul lihat saja sendiri, dia sudah datang atau belum. Lagi pula mana mungkin Zahra bisa tahu juga jika Zahra tidak ada di sana, hm?” tuturnya.

Kini keduanya telah kembali ke gedung resepsi yang sengaja Rasul sewa untuk acara pernikahannya hari itu. Usai sedikit memperbaiki riasan juga makan menu incaran Zahra, keduanya kembali ke panggung mempelai.

Di saat yang bersamaan saat Rasul dan Zahra duduk kembali di kursi mempelai, seorang pemuda yang tengah menggandeng tangan seorang wanita berjalan memasuki gedung.

Mata Zahra sedikit menyipit sebelum akhirnya sedikit terbelalak saat melihat siapa pemuda yang berjalan ke arah panggung mempelai itu.

“Ada apa, Zahra? Semuanya baik-baik saja?” tanya Rasul sambil turut melihat apa yang sedang istrinya itu pandang. “Ada masalah dengan sepasang kekasih itu?” imbuhnya kini mengubah pandangan ke arah Zahra yang akhirnya mengangguk tipis.

“Itu tamu yang Kak Rasul tanyakan tadi. Dia pemuda yang sempat Zahra katakan kemarin. Tapi entah siapa wanita di sebelahnya!” pekik Zahra.

“Jadi itu yang namanya Sabit?” celetuk Rasul sedikit kencang.

“Kak Rasul! Jangan keras-keras!” pekik Zahra tampak mencubit pinggang sang suami yang langsung meringis dan memegangi pinggang bekas cubitan Zahra itu.

Pemuda dengan tinggi yang tak jauh berbeda dengan tinggi Rasul itu naik bersama sang wanita yang mengenakan pakaian cokelat senada dengan miliknya dengan elegan.

Pemuda itu tampak sedikit menyunggingkan senyum yang terkesan menunjukkan ia jarang tersenyum karena bentuk senyumnya yang sedikit aneh.

Happy wedding ya, Zahra dan Rasul!” pekik Sabit sembari menyalami tangan Rasul dan wanita di sebelahnya menyalami tangan Zahra.

“Terima kasih sudah datang ya, Sabit!” Zahra tampak tersenyum sebentar sebelum akhirnya menoleh ke arah sang suami dan hendak mengenalkan keduanya.

“Kak Rasul, kenalkan ini teman Zahra, Sabit! Dan ini..,”

“Ah iya, Melodi! Dia kekasihku! Maaf belum sempat memberi tahumu, Zahra! Berita pernikahanmu membuatku juga ingin memberikanmu kejutan! Semoga langgeng terus ya!” aku Sabit.

“Ahh, begitu! Saya paham! Terima kasih untuk kehadiran dan doa-doanya, Sabit dan Melodi! Sebelumnya, mungkin kita bisa berfoto dulu? Sebelum menikmati hidangan yang ada?” tawar Rasul sembari menunjuk kamera di seberang bawah panggung yang mereka pijak.

Satu foto berhasil diambil lalu sepasang kekasih itu turun dari panggung dan menuju bagian hidangan untuk para tamu. Sementara Rasul mengamati tingkah Zahra, Zahra malah tampak terus menghunjamkan pandangannya ke arah kepergian Sabit dan kekasihnya.

“Kenapa memandangi mereka seperti itu? Kamu cemburu?” bisik Rasul tepat di sebelah telinga Zahra.

“Mana ada cemburu. Zahra cuma penasaran, dimana Sabit bertemu wanita seperti dia? Aku rasa terakhir kali dia cerita perihal gebetannya bukan dia, deh! Atau jangan-jangan dia sengaja menyewa pacar bayaran agar tidak datang sendirian ke sini?” cibir Zahra.

“Jangan mengolok seperti itu, Zahra! Dia masih bagus akhirnya datang ke undangan. Daripada kamu, tidak mau datang ke pernikahan kawan karena tak punya pasangan!”

“Ih, Kak Rasul tahu dari mana?!”

“Sudah pasti Ibu! Dari mana lagi? Kamu tidak bisa berbohong lagi, Zahra. Semua tentangmu sudah saya ketahui! Termasuk kapan terakhir kali kamu olahraga!” kekeh Rasul lalu meninggalkan sang istri duduk terlebih dahulu.

Wajah Zahra menegang, dahinya mengerut bahkan dengan cepat ia duduk dan menepuk paha sang suami dengan cukup kencang meskipun suaranya tak begitu kentara karena musik cukup kencang.

“Zahra, sakit, lho! Kamu kok pegang-pegang saya, sih! Nggak canggung sama saya? Kita baru ketemu dua kali lho, Zahra! Kamu seagresif ini rupanya?” bisik Rasul sembari memasang tampang serius.

“Kak Rasul!!” pekik Zahra seketika membuat Rasul terkekeh melihat emosi labil istri kecilnya itu.

Keduanya memang baru bertemu dalam hitungan jari, namun kecanggungan keduanya hilang ketika pernikahan ini diputuskan atas dasar suka dengan suka dengan penuturan kesiapan antara keduanya.

“Pasti terakhir saat ujian praktik SMA bukan?” kekeh Rasul.

“Ashhh, Ibu!” geram Zahra seolah kenyataan yang diberikan Rasul tepat dengan kenyataan yang terjadi.

“Biarin! Daripada Kak Rasul, pasti sering respons para wanita cari perhatian yang pakai alibi mau belajar agama biar dekat dengan Kak Rasul! Iya ‘kan?! Tuh, salah satunya yang duduk di pojok!” sergah Zahra langsung melempar tatapan ke sisi lain ruangan dan kembali mengalihkan pandangannya.

Rasul mengubah pandangannya ke arah Zahra melempar pandangannya beberapa waktu lalu. Seorang wanita dengan gamis berwarna sage duduk menikmati es buah yang disajikan sang pelayan hidangan dengan elegan.

Seketika senyuman Rasul mengembang hingga tanpa sadar membuat mata Zahra menyipit ketus memandangnya. Wanita di sebelahnya seolah tengah terbakar api cemburu saat Rasul terus melihat ke arah wanita yang ia maksud dengan senyum manisnya.

“Tuh ‘kan bener!! Kak Rasul tega senyum-senyum ke wanita lain padahal istrinya di sini?!” Dengan cepat tangan Zahra meraup muka Rasul dan memutar menghadap ke arahnya lalu menarik bibir Rasul agar tersenyum hanya kepadanya.

Rasul meraih tangan Zahra lalu memangku tangan itu dan menatap wajah Zahra dengan serius, “Kenapa? Memang saya tidak boleh tersenyum kepadanya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status