Zahra tampak segera membalik tubuhnya dan mulai mengamati wajah Rasul dengan tatapan selidiknya. Sementara itu, Rasul malah bangkit tampak santai dengan bibir yang sedikit ia majukan bergaya seolah sedang mengambek.
“Kenapa Kak Rasul memulai itu lagi? Zahra sudah pernah bilang kami hanya teman bukan?” tutur Zahra sedikit ketus.
“Lihat sendiri ‘kan siapa yang selalu ketus setiap pembahasan ini dimulai. Lagi pula saya hanya bertanya. Kenapa kamu jadi kesal begitu?” tutur Rasul kini malah mulai berjalan meninggalkan Zahra yang tampak semakin geram.
“Kak Rasul!!” teriak Zahra lalu segera mengangkat gaunnya yang menjuntai agar tak menghalangi jalan cepat mengejar sang suami itu.
“Kak Rasul sendiri yang sudah memberikan izin pada Zahra untuk mengundangnya, ‘kan? Kenapa sekarang seolah tak setuju karena Zahra mengundangnya?” omel Zahra berusaha menahan Rasul semakin menjauhinya.
“Iya, Sayang. Saya tidak marah, saya hanya bertanya. Karena kamu sudah mengundangnya, jadi apa dia sudah datang? Saya ‘kan hanya tanya seperti itu.”
Zahra menghembuskan napasnya berat lalu memilih diam dan menggandeng suaminya itu untuk berjalan ke arah gedung tempat pernikahannya berada. Rasul yang melirik ke arah Zahra sebentar lalu menyunggingkan senyumnya tipis.
Beberapa waktu lalu, tepatnya saat pertemuan keduanya sebelum akhirnya diputuskan untuk menikah, Zahra sempat mengakui bahwa ada seorang pemuda yang cukup dekat dengannya saat bangku sekolah. Dan setelahnya, pembahasan mengenai pemuda itu selalu mengundang emosi ringan.
“Kok pertanyaan saya tidak dijawab?” tanya Rasul tanpa menoleh ke arah Zahra.
Wanita itu sontak menoleh meskipun dengan cepat kembali mengalihkan pandangannya dari Rasul. Tak langsung menjawab, Zahra malah mengencangkan lingkaran tangannya pada tangan Rasul.
“Nanti Kak Rasul lihat saja sendiri, dia sudah datang atau belum. Lagi pula mana mungkin Zahra bisa tahu juga jika Zahra tidak ada di sana, hm?” tuturnya.
Kini keduanya telah kembali ke gedung resepsi yang sengaja Rasul sewa untuk acara pernikahannya hari itu. Usai sedikit memperbaiki riasan juga makan menu incaran Zahra, keduanya kembali ke panggung mempelai.
Di saat yang bersamaan saat Rasul dan Zahra duduk kembali di kursi mempelai, seorang pemuda yang tengah menggandeng tangan seorang wanita berjalan memasuki gedung.
Mata Zahra sedikit menyipit sebelum akhirnya sedikit terbelalak saat melihat siapa pemuda yang berjalan ke arah panggung mempelai itu.
“Ada apa, Zahra? Semuanya baik-baik saja?” tanya Rasul sambil turut melihat apa yang sedang istrinya itu pandang. “Ada masalah dengan sepasang kekasih itu?” imbuhnya kini mengubah pandangan ke arah Zahra yang akhirnya mengangguk tipis.
“Itu tamu yang Kak Rasul tanyakan tadi. Dia pemuda yang sempat Zahra katakan kemarin. Tapi entah siapa wanita di sebelahnya!” pekik Zahra.
“Jadi itu yang namanya Sabit?” celetuk Rasul sedikit kencang.
“Kak Rasul! Jangan keras-keras!” pekik Zahra tampak mencubit pinggang sang suami yang langsung meringis dan memegangi pinggang bekas cubitan Zahra itu.
Pemuda dengan tinggi yang tak jauh berbeda dengan tinggi Rasul itu naik bersama sang wanita yang mengenakan pakaian cokelat senada dengan miliknya dengan elegan.
Pemuda itu tampak sedikit menyunggingkan senyum yang terkesan menunjukkan ia jarang tersenyum karena bentuk senyumnya yang sedikit aneh.
“Happy wedding ya, Zahra dan Rasul!” pekik Sabit sembari menyalami tangan Rasul dan wanita di sebelahnya menyalami tangan Zahra.
“Terima kasih sudah datang ya, Sabit!” Zahra tampak tersenyum sebentar sebelum akhirnya menoleh ke arah sang suami dan hendak mengenalkan keduanya.
“Kak Rasul, kenalkan ini teman Zahra, Sabit! Dan ini..,”
“Ah iya, Melodi! Dia kekasihku! Maaf belum sempat memberi tahumu, Zahra! Berita pernikahanmu membuatku juga ingin memberikanmu kejutan! Semoga langgeng terus ya!” aku Sabit.
“Ahh, begitu! Saya paham! Terima kasih untuk kehadiran dan doa-doanya, Sabit dan Melodi! Sebelumnya, mungkin kita bisa berfoto dulu? Sebelum menikmati hidangan yang ada?” tawar Rasul sembari menunjuk kamera di seberang bawah panggung yang mereka pijak.
Satu foto berhasil diambil lalu sepasang kekasih itu turun dari panggung dan menuju bagian hidangan untuk para tamu. Sementara Rasul mengamati tingkah Zahra, Zahra malah tampak terus menghunjamkan pandangannya ke arah kepergian Sabit dan kekasihnya.
“Kenapa memandangi mereka seperti itu? Kamu cemburu?” bisik Rasul tepat di sebelah telinga Zahra.
“Mana ada cemburu. Zahra cuma penasaran, dimana Sabit bertemu wanita seperti dia? Aku rasa terakhir kali dia cerita perihal gebetannya bukan dia, deh! Atau jangan-jangan dia sengaja menyewa pacar bayaran agar tidak datang sendirian ke sini?” cibir Zahra.
“Jangan mengolok seperti itu, Zahra! Dia masih bagus akhirnya datang ke undangan. Daripada kamu, tidak mau datang ke pernikahan kawan karena tak punya pasangan!”
“Ih, Kak Rasul tahu dari mana?!”
“Sudah pasti Ibu! Dari mana lagi? Kamu tidak bisa berbohong lagi, Zahra. Semua tentangmu sudah saya ketahui! Termasuk kapan terakhir kali kamu olahraga!” kekeh Rasul lalu meninggalkan sang istri duduk terlebih dahulu.
Wajah Zahra menegang, dahinya mengerut bahkan dengan cepat ia duduk dan menepuk paha sang suami dengan cukup kencang meskipun suaranya tak begitu kentara karena musik cukup kencang.
“Zahra, sakit, lho! Kamu kok pegang-pegang saya, sih! Nggak canggung sama saya? Kita baru ketemu dua kali lho, Zahra! Kamu seagresif ini rupanya?” bisik Rasul sembari memasang tampang serius.
“Kak Rasul!!” pekik Zahra seketika membuat Rasul terkekeh melihat emosi labil istri kecilnya itu.
Keduanya memang baru bertemu dalam hitungan jari, namun kecanggungan keduanya hilang ketika pernikahan ini diputuskan atas dasar suka dengan suka dengan penuturan kesiapan antara keduanya.
“Pasti terakhir saat ujian praktik SMA bukan?” kekeh Rasul.
“Ashhh, Ibu!” geram Zahra seolah kenyataan yang diberikan Rasul tepat dengan kenyataan yang terjadi.
“Biarin! Daripada Kak Rasul, pasti sering respons para wanita cari perhatian yang pakai alibi mau belajar agama biar dekat dengan Kak Rasul! Iya ‘kan?! Tuh, salah satunya yang duduk di pojok!” sergah Zahra langsung melempar tatapan ke sisi lain ruangan dan kembali mengalihkan pandangannya.
Rasul mengubah pandangannya ke arah Zahra melempar pandangannya beberapa waktu lalu. Seorang wanita dengan gamis berwarna sage duduk menikmati es buah yang disajikan sang pelayan hidangan dengan elegan.
Seketika senyuman Rasul mengembang hingga tanpa sadar membuat mata Zahra menyipit ketus memandangnya. Wanita di sebelahnya seolah tengah terbakar api cemburu saat Rasul terus melihat ke arah wanita yang ia maksud dengan senyum manisnya.
“Tuh ‘kan bener!! Kak Rasul tega senyum-senyum ke wanita lain padahal istrinya di sini?!” Dengan cepat tangan Zahra meraup muka Rasul dan memutar menghadap ke arahnya lalu menarik bibir Rasul agar tersenyum hanya kepadanya.
Rasul meraih tangan Zahra lalu memangku tangan itu dan menatap wajah Zahra dengan serius, “Kenapa? Memang saya tidak boleh tersenyum kepadanya?”
Wajah Zahra seketika berubah ketus saat mendengar pertanyaan yang Rasul berikan kepadanya. Tangan yang awalnya dipegang Rasul pun dibuatnya mengendur“Saya hanya bercanda, Zahra. Saya hanya tidak menyangka akan dapat kecemburuan sebesar itu darimu. Besok, saya kenalkan pada seluruh tim kerja saya supaya kamu tidak salah paham lagi. Okey? Jadi, bisakah sekarang jangan mengambek?” tutur Rasul.Akhirnya acara pernikahan hari itu usai. Namun, seperti yang diketahui jika Rasul cukup aktif dengan media sosialnya dalam berdakwah dan memberi motivasi, acara perayaan tidak akan berhenti sampai di situ saja.Tetapi setidaknya, siang itu acara telah usai dan keduanya akan mulai tinggal berdua di apartemen milik Rasul yang berada tepat di pusat kota.Bukannya kembali ramai seperti yang mereka lakukan di mall dan gedung pernikahan tadi, keduanya kini malah tampak canggung dan saling terdiam satu sama lain.“Ehm!” deham Rasul berusaha mencairkan suasana meskipun itu malah membuat keduanya kian teng
“Kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti ini, Zahra? Ada masalah dengan pembicaraan kita sebelumnya? Atau ada sesuatu yang mengganjal tentang tindakan saya barusan?” tanya Rasul yang jelas terkejut atas apa yang Zahra katakan.Akad baru saja diucap pagi tadi tetapi sekarang sang istri malah ragu atas pernikahan keduanya. Bagaimana mungkin suasana hati beralih begitu cepat? Apakah mungkin memang istrinya selabil itu?“Kak Rasul tidak merasakannya? Semuanya baru terungkap beberapa saat lalu. Zahra jadi takut jika ini bukan keputusan yang benar untuk menikah secepat ini, Kak!” Zahra menundukkan pandangannya sementara jari jemarinya terus asik bermain di bawah mukanya.“Zahra, saya tidak paham. Apa maksudmu? Bisa tolong jelaskan apa yang membuat kamu tiba-tiba ragu?” tanya Rasul lagi.Zahra kini mengangkat kepalanya dan membawa satu kakinya ke atas sofa demi bisa menatap sang suami dengan lurus. Tangannya pun, meski dengan cukup gemetar akhirnya menggenggam salah satu tangan Rasul.“Kak Rasu
“Kak Rasul!!” teriak Zahra bersamaan dengan Rasul yang tampak terkejut dan tersentak menjauh dari sisi kompor. “Astagfirullah Kak Rasul!!” teriak Zahra lagi lalu dengan cepat berlari ke arah Rasul dan mematikan kompor yang telah mengeluarkan asap gosong dari setiap sisi pan yang Rasul gunakan untuk menggoreng telur mata sapi. Mata Rasul melotot melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Telur yang beberapa waktu lalu berniat ia angkat agar tak gosong sekarang telah kering dan tampak buruk rupa, bahkan pan baru hadiah pernikahan mereka kini tampak telah hangus. “Kak Rasul kenapa, sih? Melamun? Atau tidak tahu cara mematikan kompor? Kenapa telurnya dibiarkan sampai gosong? Kalau nanti kompornya panas, terus gasnya meledak dan kita mati terpanggang di sini bagaimana, Kak? Kak Rasul mau ada berita tentang kita pakai headline ‘Sehari nikah dua pasangan ini ditemukan gosong?’ Hmm?!” cecar Zahra tak berhenti mengomel. Rasul tak menjawab dan seketika menarik Zahra mendekatinya lalu me
“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul. Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu. “Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel. Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami. “Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra. Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya. “Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahr
“Hah?” celetuk Zahra blak-blakan. Wajah Rasul yang awalnya memasang tampang bahagia seketika berubah datar. “Kamu tidak merasa saya tampan begitu? Tidak ingin memuji suamimu ini? Saya sudah memuji kamu tapi kamu tidak? Kamu benar-benar tidak merasa saya tampan, Zahra?” ujar Rasul. “Ohh, jadi mau balasan? Enggak sih, Kak! Malahan Zahra merasa setelah menikah kak Rasuk jadi jelek! Tidak setampan dulu sebelum menikah dengan Zahra. Padahal kita ‘kan baru menikah sehari. Apa memang kak Rasul aslinya jelek ya? Terus Zahra kena pelet akhirnya nikah, eh habis nikah ternyata jelek!” papar Zahra. “Jahat kamu, Zahra!” putus Rasul lalu dengan cepat dan tanpa menunggu balasan dari Zahra pemuda itu langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Zahra yang terkejut atas tingkahnya sendiri dalam mobil. “Tunggu! Apa ini tadi? Dia mengambek? Astaga, apa dia memang semanja ini? Oh my God! Seorang Rasul Asyraf ternyata manja? Oh my God! Lucu banget, sih! Suami siapa! Aha! Suami akulah!” kekeh Zahra lalu
Wajah Zahra seketika mengerut, ia bahkan hingga memundurkan tubuhnya dari Rasul saat mendengar bisikan Rasul yang terkesan menjadi sebuah ancaman itu. “Apa? Kenapa gitu? Kenapa Zahra tidak boleh ikut ke kantor? Karena kak Rasul ingin berduaan dengan kak Alimah?” sahut Zahra seolah tanpa dosa. “Karena kamu! Baru sehari saya ajak kamu bertemu dengan rekan kantor saya, tapi lihat! Kamu sudah bilang ada yang tampan! Beraninya kamu memuji pemuda lain di depan suamimu sendiri!” omel Rasul. Bukannya menciut karena omelan sang suami, Zahra malah tampak tersenyum tipis, raut wajahnya seolah tengah meledek kecemburuan kekasihnya itu. “Ehmm, jadi kak Rasul cemburu? Uhh, ternyata seorang Rasul Asyraf selain manja cemburuan juga?” kekeh Zahra. “Kalau kamu terus ledek saya, saya akan benar-benar kabulkan ancaman saya supaya kamu tidak perlu bertemu dengan rekan kantor saya, Zahra!” ancam Rasul. Zahra seketika melingkarkan tangannya pada tangan kanan Rasul. Dengan cepat pula ia menyandarkan ke
Benar saja, setelah separuh teh itu habis dan Zahra usai membantu sang ibu di dapur untuk sekadar berbenah rumah, Rasul kini berada di dalam kamar Zahra bersama sang pemilik kamar. Pemuda itu tampak melihat sekitar kamar sang istri. Kadang tatapannya sedikit serius, kadang tersenyum, dan tiba-tiba terkekeh. “Kenapa harus menatap seperti itu sih, Kak? Kak Rasul masuk ke sini ‘kan untuk membantu Zahra bukan melakukan inspeksi pada kamar Zahra. Jadi tidak perlulah sok serius jadi pengamat seperti itu!” keluh Zahra. Rasul kini mengubah pandangannya ke arah Zahra lalu perlahan duduk ke ranjang. Pemuda itu mendongakkan kepalanya dam menatap Zahra yang berdiri di hadapannya. “Saya tidak sedang inspeksi kok! Cuma lihat-lihat saja! Jadi ini kamar istri saya sebelum bertemu dengan suaminya? Ini pasti juga menjadi saksi bisu dia mengagumi saya. Iya ‘kan?” goda Rasul. “Idih! Apaan, sih!” Zahra segera memalingkan wajahnya lalu menuju lemari. Sudah pasti ia ingin menghalau rasa salah tingkah a
Rasul seketika melepaskan kecupannya ia menunduk dan menatap wajah Zahra yang telah mendongak lebih dulu menatapnya. “Kak Rasul jangan tidur dulu, ya! Temani Zahra di dapur. Zahra nggak mau sendirian. Nanti Zahra bikinin mie, deh! Ya?” rengek Zahra sembari menarik kedua sisi baju koko Rasul. “Emm, gimana ya? Tapi saya ngantuk banget, Zahra.” Rasul berlaga menguap. Jujur saja pemuda itu sangat ingin menemani sang istri. Namun bukan Rasul namanya jika tidak menggoda Zahra dan membuat gadis itu sedikit kesusahan. “Ayolah, Kak! Kalau kak Rasul punya telur, nanti Zahra bikinin telur mata sapi juga, deh! Ayah waktu itu pernah bilang telur mata sapi buatan Zahra lebih enak karena tepiannya nggak kering! Dijamin enak, deh! Yah! Mau yaa? Pleasee!” pekik Zahra lalu kini tangan wanita itu yang masih tertutup mukena seluruhnya memeluk erat Rasul. Bahkan kepala Zahra tampak bersandar pada dada Rasul. Seketika pemuda itu meneguk salivanya akibat terlalu terkejut dengan apa yang Zahra lakukan.