"Mbak, sepertinya baju saya yang motif macan tutul ada di sini ya? Soalnya baju Mbak terbang ke teras rumah saya juga." Ayu menunjukkan baju motif macan tutul yang sudah kering ada di tangannya.
Tebakanku benar, baju macan tutul ini adalah milik Ayu, sedangkan punyaku yang kini masih berada di tangan Ayu.
"Ini sudah saya setrika, Mbak, saya juga gak tahu tadi, main ambil saja dari teras. Saat mau saya gantung, kenapa berbeda? Maaf ya, Mbak!" Ayu pun memberikan baju macan tutul yang sudah rapi setrika dan wangi pula.
"Ya ampun, Ayu, maaf ya. Baju kamu ada di ember cucian, baru mau saya kucek, ini masih di ember." Aku pun menunjukkan rendaman kain macan tutul yang sama pada gadis itu.
"Gak papa, Mbak, biar saya kucek di rumah saja. Saya pinjam dulu embernya ya, nanti saya kembalikan, permisi." Aku pun mengangguk, lalu menutup pintu setelah Ayu kembali berjalan menuju rumahnya.
"Benar, Bang, itu baju Ayu," kataku pada Bang Ramon sembari menyimpan baju yang sudah rapi ke dalam lemari.
"Bang, kenapa?" Kulihat Bang Ramon tergugu di tempat tidur dan tidak menyahut ucapanku.
"Gak papa, Abang mau mandi dulu ya."
"Mandi bareng yuk!" Aku pun bersemangat menarik lengan lelaki kesayanganku itu masuk ke kamar mandi.
Bang Ramon tidak banyak bicara lagi setelah kami mandi bersama. Suamiku itu juga tidak keluar rumah untuk menikmati secangkit kopi dan mengisap sebatang rokok. Biasanya, sehabis makan malam, ia pasti duduk di teras, berbincang dengan para suami tetangga yang senang berkumpul di teras rumahku. Tepatnya rumah peninggalan mertuaku.
Selesai mencuci piring bekas makan, aku pun duduk di samping Bang Ramon untuk menemaninya menonton televisi. Risoles pemberian Ayu kembali aku hidangkan dengan segelas air putih hangat.
"Abang gak enak badan? Kenapa diam saja?" tanyaku sambil memperhatikan raut wajahnya.
"Gak papa, memangnya kenapa?" tanyanya balik.
"Tumben gak cerewet. Tumben juga gak nongkrong di depan sama Bapak-bapak."
"Lagi males, Pa. Duh, mana siaran televisi tidak ada yang seru, Abang tidur saja ya. Kamu jangan lupa kunci pintu sebelum tidur." Baru aku membuka mulut untuk menjawab pesannya, Bang Ramon sudah beranjak dari tempat duduknya dan langsung berjalan masuk ke dalam kamar.
Aku menghela napas, sambil mengangkat bahu. Entah kenapa suamiku sore ini? Padahal tadi sepulang bekerja sampai kami tawuran di kamar dan kamar mandi, ia baik-baik saja. Apa karena kebanyakan? He he he... Aku merasa wajahku menghangat bila mengingat pertarungan tadi sore. Suamiku memang terbaik. Selama menikah dengannya suamiku selalu memberikan yang terbaik bagiku, baik urusan dapur, perhatian, dan yang paling utama urusan ranjang.
Setelah mengunci pintu, aku pun menyusulnya ke kamar. Ternyata Bang Ramon belum tidur, ia sedang bermain ponsel sambil bersandar pada bantal yang ditumpuk tiga baris.
"Abang mau aku kerokin? Kalau tidak enak badan, minum tolak angin, lalu dikerok, pasti besok langsung segar. Gimana?"
"Gak usah, Pa, ini juga saya mau tidur. Yuk, matikan lampunya, kita tidur sekarang." Aku masih tidak percaya dengan ajakan suamiku barusan. Setahun lebih dua bulan kami sudah menjalani biduk rumah tangga, belum pernah sekali pun ia tidur di bawah jam sembilan malam. Sekarang baru jam delapan lebih lima belas menit dan ia sudah mengajakku ke alam mimpi. Benar-benar aneh. Ada apa?
Keesokan paginya, aku selalu bangun lebih dulu. Aku memutar mesin cuci, sambil menyapu da membereskan rumah. Setelah mesin cuci berhenti berputar, aku pun pergi ke warung sayuran untuk membeli bahasa masakan.
"Pagi, Mbak," sapa Ayu dengan ramah.
"Pa... gi. " Aku kembali dibuat terdiam dengan baju yang ia kenakan. Sebuah setelan piyama berwarna merah maron, sama persis dengan punyaku di rumah. Untung saja aku tidak memakainya semalam. Kami berjalan bersisian sejak keluar dari rumah sampai di warung sayuran.
Aku memilih ikan, sayur langsung sup dan juga baso. Tak lupa tahu yang siap goreng untuk suamiku.
"Masa apa, Yu?" tanyaku berbasa-basi.
"Masak yang simple saja, Mbak. Tahu cabe garam. Saya bisa nambah berkali-kali jika masak itu. Simple tapi nikmat. Coba saja Mbak, siapa tahu suami suka. Apalagi buat sarapan gini."
"Cara masaknya?" tanyaku penasaran.
"Cuma tahu putih yang dipotong dadu besar, balut di tepung bumbu serbaguna, Teman-teman sebentar, lalu goreng. Bumbunya cuma bawang putih, cabai rawit, iris dan daun bawang, sama garam. Setelah digoreng tahunya, lalu masukan ke dalam tulisan bumbu tadi. Siap deh!"
"Wah, resep yang simpel ya. Aku mau coba juga ah!" Aku pun mengikuti resep yang Ayu ajarkan.
Saat aku sampai di rumah, Bang Ramon sedang mandi. Lekas aku mencoba resep yang diajarkan Ayu. Untunglah nasi sudah matang dan sarapan pagi ini tidak ribet. Semua sudah tertata rapi di meja makan saat suamiku keluar kamar dengan memakai seragam kerjanya.
"Wah, tahu crispi," gumamnya dengan mata berbinar. Langsung saja ia duduk dan mengambil piring. Aku membantunya mengisi nasi ke dalam piring dan juga tahu yang ku masak tadi.
Bang Ramon mengambil satu potong tahu, lalu ia masukkan ke dalam mulut.
"Hhmm... enak!" Matanya berbinar bahagia sambil terus mengunyah tahu buatanku. Aku pun tak sabar untuk mencicipi tahu crispi garam itu dan ternyata rasanya sangat enak.
"Ini tuh, tahu favorit saya, Pa. Simpel masaknya dan enak. Apalagi makannya dengan nasi hangat. Terima kasih, istriku," kata Bang Ramon dengan senyuman amat lebar padaku, lalu melayangkan satu kecupan di pipi kananku.
"Wah, saya harus berterima kasih tetangga nih, karena ini tadi resep dari Ayu."
Byur!
Huk! Huk!
Bang Ramon tersedak.
Bersambung
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal