Share

3. Kecurigaan Puspa

"Duh, kamu ini, jangan nyontek tetangga melulu. Udah baju sama, sekarang masakan pun kamu ikuti. Memangnya dia siapa? Pokoknya Abang gak mau kamu ikut-ikutan tetangga baru itu lagi!" Bang Ramon bangun dari duduknya dan tidak sempat menghabiskan teh manis yang sudah aku buatkan.

Kekesalannya pagi ini cukup membuatku kaget. Belum pernah sama sekali ia bersuara tinggi di depanku, tetapi pagi ini, hanya karena tahu krispi resep tetangga, ia begitu marah.

"Kata Abang makanan ini enak, kesukaan Abang, tapi kenapa tiba-tiba marah?" tanyaku keheranan.

"Pokoknya aku tidak mau kamu ikuti semua yang sama dengan wanita di sebelah ini!" Bang Ramon memakai jaketnya dengan serampangan. Aku tidak ingin membantah lagi. Apa yang diinginkan suamiku, maka harus aku ikuti. Mungkin ia juga kesal karena Ayu sepertinya tipe wanita yang julid.

"Ya sudah, maaf, jangan marah pagi-pagi atuh." Aku bergelayut manjalita di lengan kekar suamiku.

"Iya, maafin Abang juga."

"Permisi, Mbak, Mas." Suara Ayu mengejutkan kami berdua. Aku langsung berbalik cepat untuk melihat sosok tetangga yang kali ini entah ada perlu apa lagi denganku.

"Saya mau memulangkan ember yang kemarin, Mbak." Ayu menyerahkan ember yang kemarin ia pinjam. Aku tergugu tak bisa berkata-kata, saat pagi ini Ayu memakai baju kemeja kotak-kotak berbahan flanel berwarna coklat susu dipadupadankan dengan celana jeans dan bandana hitam yang menghiasi kepalanya.

Aku pun memiliki baju yang sama. Bang Ramon yang membelikannya untukku bukan lalu saat ia mendapatkan bonus. Lalu bandana hitam berbalut kain saten, aku pun kini tengah memakainya. Kenapa selalu sama?

"Mbak, kenapa? Ini, embernya mau tidak?" tegur Ayu sambil tertawa pendek saat melihatku termenung sambil menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Eh, iya, terima kasih," kataku dengan seringai tidak lazim.

"Saya belum kenalan sama suaminya, Mbak."

"Ah, iya, Bang Ramon nama suami saya. Bang, ini tetangga kita Ayu!" Aku menepuk punggung suamiku karena ia masih berbalik memunggungi kami berdua.

"Hhm!" hanya itu jawabnya sambil sibuk dengan risleting jaket yang ternyata rusak.

"Bang, kenapa?"

"Rusak risletingnya. Tolong ambilkan jaket yang satu lagi di lemari!"

"Masih di laundry, Bang." Suamiku berbincang denganku, tetapi ia belum juga mau berbalik menatap aku dan juga Ayu.

"Saya bisa membetulkan kancing jaket, apa mau saya bantu?" suara merdu Ayu membuatku menoleh, tetapi tidak dengan suamiku.

"Ga usah, Mbak, makasih!" Kata Bang Ramon dengan ketus.

"Baik kalau begitu, saya permisi dulu, Mbak, mau kuliah." Ayu pun pamit undur diri. Setelah suara motor Ayu terdengar menjauh, Bang Ramon berbalik, lalu ia dengan cepat naik ke atas motor.

"Bang, jaketnya gimana?"

"Nanti saja, biar aja begini." Bang Ramon langsung tancap gas hanya dengan memakain helem dan membawa tas ranselnya. Jaket yang rusak risletingnya tadi tidak jadi ia gunakan. Aku menghela napas, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil cucian dari mesin cuci yang sudah selesai berputar.

Posisi rumahku dan Ayu itu ada dalam satu pekarangan rumah. Ada enam rumah yang ada dalam satu pagar yang sama, termasuk rumahku. Menurut cerita Bang Ramon, tanah ini adalah tanah neneknya dan diperebutkan oleh para saudara. Sehingga ada yang menjual bagiannya, ada juga yang mempertahankan bagiannya. Bagian orang tua Bang Ramon dipertahankan karena mereka tidak mau pindah dari Kampung Kemis. Yah, Kampung Kemis adalah nama kelurahan tempat aku tinggal saat ini.

Aku menoleh ke kiri saat hendak menjemur cucian. Betapa kagetnya aku saat melihat ada empat baju basah menggantung dan juga celana kulot panjang plisket milik Ayu yang sama persis dengan punyaku.

Aku menutup mulut tidak percaya. Kuhampiri jemuran Ayu untuk memastikan bahwa mataku tidak rabun. Motif, warna, bahan, bahkan merk-nya pun sama. Tidak! Apa Ayu memiliki kelainan menyukai sesama jenis? Apa Ayu menyukaiku sehingga apapun yang aku pakai, dia juga pakai?

Ueek!

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status