"Duh, kamu ini, jangan nyontek tetangga melulu. Udah baju sama, sekarang masakan pun kamu ikuti. Memangnya dia siapa? Pokoknya Abang gak mau kamu ikut-ikutan tetangga baru itu lagi!" Bang Ramon bangun dari duduknya dan tidak sempat menghabiskan teh manis yang sudah aku buatkan.
Kekesalannya pagi ini cukup membuatku kaget. Belum pernah sama sekali ia bersuara tinggi di depanku, tetapi pagi ini, hanya karena tahu krispi resep tetangga, ia begitu marah.
"Kata Abang makanan ini enak, kesukaan Abang, tapi kenapa tiba-tiba marah?" tanyaku keheranan.
"Pokoknya aku tidak mau kamu ikuti semua yang sama dengan wanita di sebelah ini!" Bang Ramon memakai jaketnya dengan serampangan. Aku tidak ingin membantah lagi. Apa yang diinginkan suamiku, maka harus aku ikuti. Mungkin ia juga kesal karena Ayu sepertinya tipe wanita yang julid.
"Ya sudah, maaf, jangan marah pagi-pagi atuh." Aku bergelayut manjalita di lengan kekar suamiku.
"Iya, maafin Abang juga."
"Permisi, Mbak, Mas." Suara Ayu mengejutkan kami berdua. Aku langsung berbalik cepat untuk melihat sosok tetangga yang kali ini entah ada perlu apa lagi denganku.
"Saya mau memulangkan ember yang kemarin, Mbak." Ayu menyerahkan ember yang kemarin ia pinjam. Aku tergugu tak bisa berkata-kata, saat pagi ini Ayu memakai baju kemeja kotak-kotak berbahan flanel berwarna coklat susu dipadupadankan dengan celana jeans dan bandana hitam yang menghiasi kepalanya.
Aku pun memiliki baju yang sama. Bang Ramon yang membelikannya untukku bukan lalu saat ia mendapatkan bonus. Lalu bandana hitam berbalut kain saten, aku pun kini tengah memakainya. Kenapa selalu sama?
"Mbak, kenapa? Ini, embernya mau tidak?" tegur Ayu sambil tertawa pendek saat melihatku termenung sambil menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Eh, iya, terima kasih," kataku dengan seringai tidak lazim.
"Saya belum kenalan sama suaminya, Mbak."
"Ah, iya, Bang Ramon nama suami saya. Bang, ini tetangga kita Ayu!" Aku menepuk punggung suamiku karena ia masih berbalik memunggungi kami berdua.
"Hhm!" hanya itu jawabnya sambil sibuk dengan risleting jaket yang ternyata rusak.
"Bang, kenapa?"
"Rusak risletingnya. Tolong ambilkan jaket yang satu lagi di lemari!"
"Masih di laundry, Bang." Suamiku berbincang denganku, tetapi ia belum juga mau berbalik menatap aku dan juga Ayu.
"Saya bisa membetulkan kancing jaket, apa mau saya bantu?" suara merdu Ayu membuatku menoleh, tetapi tidak dengan suamiku.
"Ga usah, Mbak, makasih!" Kata Bang Ramon dengan ketus.
"Baik kalau begitu, saya permisi dulu, Mbak, mau kuliah." Ayu pun pamit undur diri. Setelah suara motor Ayu terdengar menjauh, Bang Ramon berbalik, lalu ia dengan cepat naik ke atas motor.
"Bang, jaketnya gimana?"
"Nanti saja, biar aja begini." Bang Ramon langsung tancap gas hanya dengan memakain helem dan membawa tas ranselnya. Jaket yang rusak risletingnya tadi tidak jadi ia gunakan. Aku menghela napas, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil cucian dari mesin cuci yang sudah selesai berputar.
Posisi rumahku dan Ayu itu ada dalam satu pekarangan rumah. Ada enam rumah yang ada dalam satu pagar yang sama, termasuk rumahku. Menurut cerita Bang Ramon, tanah ini adalah tanah neneknya dan diperebutkan oleh para saudara. Sehingga ada yang menjual bagiannya, ada juga yang mempertahankan bagiannya. Bagian orang tua Bang Ramon dipertahankan karena mereka tidak mau pindah dari Kampung Kemis. Yah, Kampung Kemis adalah nama kelurahan tempat aku tinggal saat ini.
Aku menoleh ke kiri saat hendak menjemur cucian. Betapa kagetnya aku saat melihat ada empat baju basah menggantung dan juga celana kulot panjang plisket milik Ayu yang sama persis dengan punyaku.
Aku menutup mulut tidak percaya. Kuhampiri jemuran Ayu untuk memastikan bahwa mataku tidak rabun. Motif, warna, bahan, bahkan merk-nya pun sama. Tidak! Apa Ayu memiliki kelainan menyukai sesama jenis? Apa Ayu menyukaiku sehingga apapun yang aku pakai, dia juga pakai?
Ueek!
Bersambung
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S