Bukan Dini namanya kalau mudah putus asa. Tipikal Dini dan Puspa yang memang sejak kecil sudah hidup bersama, sangatlah jauh berbeda.. Puspa lebih sabar dan nrimo dibandingkan Dini. Puspa juga lebih dewasa bukan karena usianya, tetapi memang modelnya sejak dulu sudah seperti itu. Beda dengan Dini yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Dini pun termasuk anak yang nekat dan berani. Di sekolah, tidak ada yang berani meledek apalagi mem-bully gadis itu karena dianggap tidak punya ayah dan tidak mirip dengan mamanya. Dini membaca pesan dari Puspa, hanya dibaca saja, tanpa niat ingin membalas. Rasanya lucu sekaligus seru karena berhasil mengerjai sang Kakak. Semangt bekerjanya pun naik berkali-kali lipat karena perutnya yang kenyang dan kepuasan emosi yang tersalurkan. Lalu bagaimana sikap Puspa? Wanita itu mendengkus kesal menyaksikan pesannya hanya dibaca saja tanpa dibalas. Ia melanjutkan pekerjaannya, mencoba melupakan kesialan hari ini. Pukul lima sore, Puspa sudah siap-siap ingin pulan
"Dih, terserah saya mau beli baju apa, gak pakai uang Teteh juga. Lagian kalau saya mau minjem punya Teteh, saya gak mungkin bisa pakai karena kebesaran. Jadi saya beli baru, memangnya gak boleh?" Dini membela diri. Wajahnya sama sekali biasa aja, tidak seperti orang yang sedang dituduh melakukan kesalahan. "Udah, ah, orang baru pulang udah diributin aja! Capek!" Belum sempat Puspa membuka mulut, Dini sudah melepaskan cengkeraman pada lengannya dan berlalu dari hadapan Puspa. Pintu kamar dibanting oleh gadis itu. Puspa hanya bisa menghela napas sambil mengurut dadanya. Memang benar apa yang dikatakan Dini, mungkin hanya dia saja yang terlalu berlebihan. Siapapun berhak membeli baju yang ia suka, meskipun baju itu mirip dengan baju orang lain. "Dini sudah pulang?" Bu Suci keluar dari kamar setelah salat Isya. "Sudah, Ma." Puspa mengunci pintu kembali. "Sudah kamu tanyakan soal baju itu?" tanya Bu Suci lagi penasaran. "Sudah, Ma, gak papa deh, memang mungkin Dini senang baju yang
Puspa sudah berada di kantin kantor bersama dengan Rian. Pria itu meminta penjelasan dari Puspa ada apa sebenarnya dengan Dini. Kejadian pagi ini membuatnya kaget, syok, sekaligus malu karena sudah salah merangkul wanita yang ia kira adalah Puspa. Untung saja tidak ada orang lain selain mereka bertiga, tetapi tetap saja ia merasa tidak enak hati dengan Puspa dan Dini. "Sayang, aku bener gak tahu," kata Rian setelah pelayan membawakan dua gelas teh manis ke meja mereka. "Aku gak nyalahin kamu, Mas. Mungkin bukan hanya kamu, tapi teman-teman yang lain pun di atas sana bisa jadi salah panggil juga. Dini memang sengaja melakukannya. Dia menyukai kamu dan berharap kamu menoleh padanya dengan dia memakai baju yang sama dengan punyaku. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa baju dan rok yang sama." Rian melotot tidak percaya. "Ya ampun, untuk apa? Memang kalian tidak satu ukuran badan. Adik kakak saling pinjam baju kurasa itu juga biasa, t-tapi .... ""Tapi kalau lebih dari banyak baju yang
Gadis itu duduk dengan tubuh gemetar setelah dibentak oleh Rian. Ia sama sekali tidak menyangka Rian bisa sekasar itu, padahal di depan tetehnya dan mamanya, Rian begitu manis dan sopan. Apakah ini tabiat asli lelaki itu? Atau semua ini ia lakukan atas permintaan Teh Puspa? Gila! jika sampai Teh Puspa membalasku hanya karena fried chicken, benar-benar wanita ular. Pantaslah Banget Ramon punya istri lebih dari satu, ternyata Teh Puspa tidak lebih baik dari Ayu. Dini terus saja bermonolog sambil menatap monitor komputer yang berkabut karena terhalang air matanya. Tangannya dengan kuat menggenggam gelas berisi air putih. Kesal, marah, kecewa, terkejut, dan paling utama malu dengan Bu Susan. "Ya ampun, gue kira kakaknya yang licik, ternyata adeknya juga. Kalian ini benar-benar sodara yang kompak," sindir Miska saat ia melewati meja Dini. Gadis itu tidak mau menyahut. Kalimat pedas yang dilontarkan Miska ia anggap angin lalu karena banyak juga di kantor yang tidak begitu suka dengan Mis
Bu Suci menangis di kamarnya karena menyesali apa yang telah ia lakukan pada Dini. Sebuah tamparan di pipi gadis itu, hingga wajah Dini terlempar cukup kuat dan ada setitik darah di sudut bibirnya. Selama kurang lebih dua puluh tahun ia mengurus dan merawat Dini bagaikan anak sendiri, belum pernah sekali pun ia memarahi gadis itu, apalagi menamparnya dengan kuat seperti tadi. Bu Suci merasa kesal pada diri sendiri, sehingga memilih menangis di kamar. Puspa menekan kenop pintu kamar mamanya dengan perlahan. Lehernya memanjang untuk melihat keadaan mamanya yang ternyata belum tidur dan masih menangis. Di tangannya membawa satu cangkir susu putih khusus untuk tulang orang berusia senja. "Ma, pasti belum minum susu'kan? Ini susunya." Bu Suci bergeming. Ia sama sekali tidak menoleh pada Puspa. "Mama jangan khawatir, Dini sudah saya obati bibirnya. Sebentar lagi juga sembuh. Malam ini biarkan Dini berdamai dengan dirinya sendiri, besok baru Mama dan Dini berbicara baik-baik. Dini masih
"Semua, Om? Celana dalamnya juga?" tanya Dini dengan wajah panik. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi dahi dan juga lehernya. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu mengangguk. "Jangan canggung, biasa aja. Semua ini memang bagian dari ritual pemikat. Coba katakan pada Om, siapa nama lelaki itu?" Dini semakin terperangah. Ia belum menceritakan apapun pada ayah temannya ini, tetapi bagaimana bisa pria di depannya ini tahu?"Rian, Om." Dini menjawab sambil melepas kancing kemejanya satu per satu. Pria bernama Miko sedikit menjauh, lalu berjalan ke arah meja, seperti ingin mengambil sesuatu dari laci. "Bin nya kamu tahu tidak?" tanya Miko lagi. Gadis itu menggeleng jujur. "Ada fotonya?" tanya pria itu lagi. "Ada, Om, di dalam tas, sebentar." Tangannya gemetar untuk mengambil dompet di dalam tas ransel yang ia pakai. Di dalam dompet itu ada foto Rian yang sengaja ia potret saat pria itu berkunjung ke rumahnya. Jauh sebelum Teh Puspanya kembali ke rumah. "Ini, Om." Dini menyera
Puspa tidak berani meneruskan menguping. Ia memilih masuk ke kamar dengan berjuta tanya di kepala. Ada apa dengam Dini? Apa adiknya melakukan ...ah, ya ampun, Puspa. Ayolah, Dini sudah besar. Kamu gak boleh mencampuri urusan pribadinya.Sepanjang malam ia terjaga karena memikirkan Dini. Dia saja tidak berani melakukan masturbasi, ini Dini masih single dan perawan pula. Tidak, jangan sampai ia terobsesi pada Rian, sehingga ia menyentuh tubuhnya sendiri sambil memikirkan Rian yang menyentuhnya. Puspa merasa kepalanya semakin sakit. Lekas ia mengambil obat sakit kepala di laci lemari, lalu ia minum cepat. Ia harus seger tidur agar besok pagi tidak kesiangan lagi.Keesokan paginya, Dini tengah berbincang ramai dengan Bu Suci, menceritakan teman kampusnya yang gagal meneruskan kuliah karena belum bayaran. Sesekali suara tawa gadis itu terdengar sampai ke kamar Puspa, begitu juga dengan suara tawa Bu Suci.Tumben Dini belum berangkat. Pikir Puspa yang kebetulan baru juga keluar kamar. "La
"Apa, Ramon kecelakaan? Kamu yakin dia tidak sedang drama?""Mas, aku rasa kecelakaan tidak mungkin bisa dimasukkan kategori drama. Terlalu banyak uang yang dikeluarkan Ramon jika dia benar bersandiwara. Mas, tolong mengerti, aku hanya ingin menjenguk Ramon, itu pun karena Robi yang terus merengek." "Ya sudah, terserah kamu saja. Aku larang juga kamu tetap pergi.""Tentu saja, karena ini sifatnya aku memberitahu, bukan meminta ijin. Kita belum menikah dan aku tidak mau lebay meminta ijin untuk urusan yang berkaitan dengan Robi. Aku pergi besok pagi."Puspa menutup panggilannya. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di atas kasur, lalu meraih tas ransel yang ada di atas lemari. Ia memasukkan beberapa potong pakaian Robi dan juga stel pakaian untuk pulang, dan juga daster terusan satu buah, tidak lupa juga dalaman. Jika kondisi Ramon tidak begitu payah, ia akan menginap satu malam saja di sana.Azan magrib pun tiba. Suara motor Dini terdengar nyaring saat kendaraan roda dua itu sudah ber