"Maafkan Abang, Puspa, Abang gak tahu kalau di samping Abang itu, Ayu. Lagian kamu kenapa milih nonton film horor? Sudah tahu Abang takut." Bang Ramon masih saja membela diri. Padahal aku lihat sendiri dengan jelas suamiku bersembunyi di balik tubuh Ayu. Entah sengaja atau tidak, pokoknya aku tidak terima.
Aku masih saja melipat kedua tangan di dada dengan kesal. Kupalingkan wajah tak ingin menatap Bang Ramon yang duduk persis di depanku.
"Puspa, kamu kalau mau marah, lebih baik kita pulang saja, daripada pesan makanan, bukan makanannya yang kamu telan, tapi sendoknya." Aku tahu Bang Ramon sedang mencoba membuat lelucon agar rasa marahku berkurang, tetapi aku terlanjur kesal dengan suamiku.
"Aku lapar, Bang," rengekku.
"Ya sudah kalau mau makan, wajah kamu jangan cemberut terus. Lagian, sudah bagus memilih film romantis, malah film horor yang kamu pesan. Ayu itu sukanya film horor." Kalimat terakhir Bang Ramon membuatku yang menunduk, akhirnya mengangkat wajah.
"Darimana Abang tahu Ayu suka film horor? Heh? Memangnya Abang kenal Ayu?!"
"Ck, ya ampun, wanita ini, jika mood-nya sedang jelek, maka apapun yang keluar dari bibir ini salah. Ya jelas dia suka horor, Ayu itu masih muda, anak muda jaman sekarang pasti sukanya horor." Aku menelisik wajah suamiku dengan teliti. Tidak tampak raut gugup atau apapun yang mencurigakan. Mungkin memang hanya aku yang terlalu berlebihan dengan kejadian hari ini.
"Abang dapat bonus berapa?" tanyaku saat kami sedang menikmati makan malam di restoran sushi.
"Empat juta, Sayang. Dua juta nanti Abang kasih kamu, dua juta lagi Abang nambahin tabungan untuk beli mobil seken ya." Aku pun mengangguk. Ingin sekali memang kami berdua ini memiliki mobil, tetapi kami sadar, bahwa belum waktunya karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Bang Ramon tidak mau beli mobil secara kredit, ia ingin beli cash, walaupun seken tak mengapa.
"Memangnya kenapa, Puspa? Kamu mau belikan emas lagi uangnya?" tanya Bang Ramon padaku. Aku menggeleng pelan.
"Bang, tahu tidak, tadi pagi aku jemur cucian dan melihat jemuran Ayu yang baju dan celana panjangnya sama seperti punyaku. Baik warna, motif, model, dan juga merk," kataku berbisik dengan penuh semangat.
Huk! Huk! Huk!
Bang Ramon tersedak. Dengan gerak cepat, aku memberikannya air mineral yang ada di depannya. Matanya berair dan aku tahu rasanya pasti sangat sakit.
"Kenapa, Bang?" tanyaku dengan polosnya.
"Bersin, Dek, kamu tahu Abang tersedak, masa nanya kenapa? Sakit nih!" Wajahnya merah karena merasa tenggorokannya terasa gatal sekaligus sakit. Bang Ramon paling tidak bisa tersedak, karena jika sudah tersedak, maka batuknya tidak akan berhenti bahkan sampai suamiku itu terpipis di celana.
Huk! Huk! Huk!
"Obat Abang bawa gak?" tanyaku panik. Bang Ramon menggeleng dengan wajah merah.
"Permisi, Mbak, Mas, maaf, kebetulan saya mau pulang dan lihat suami Mbak sedang batuk-batuk. Mungkin ini bisa meredakan batuknya, Mbak. Obat ini saya konsumsi juga jika saya batuk tidak bisa berhenti. InsyaAllah dosisnya aman dan bisa Mbak beli di apotek." Kenapa harus Ayu lagi yang muncul? Aku sebenarnya tidak menerima kebaikan gadis itu karena rasa kesal yang masih menggumpal di hati. Namun melihat suamiku masih terus saja batuk-batuk, aku pun tidak punya pilihan. Baru ingin kuraih obat itu dari tangan Ayu, suamiku sudah lebih dahulu menyambarnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Baik, saya duluan ya, Mbak, Mas." Ayu pun berlalu begitu saja dari hadapan kami setelah berpamitan. Bang Ramon seketika itu juga berhenti batuk.
"Kamu mau cerita apa tadi?" tanya Bang Ramon kembali. Namun aku sudah tidak berminat meneruskan ceritaku. Bola mataku masih memperhatikan wajah Bang Ramon yang sudah mulai mencair dari ketegangan karena batuk rejan tadi.
"Bang, aku merasa semua ini sangat aneh. Mulai dari semua baju, sepatu, sampai aksesoris rambut yang sama denganku. Apa Abang yakin tidak mengenal Ayu sebelumnya?"
Bersambung
Yakin gak penasaran lanjutannya? Cuz, ramaikan komentar dan jangan lupa tekan tanda bintang dan sumbangan gemnya, Kakak. Terima kasih
"Ha? Kenal Ayu sebelumnya? Maksud kamu?" Ramon menatap wajah istrinya dengan penuh tanda tanya."Yah, aneh aja sih, kayaknya dia sengaja ngikutin kita gitu. Lagian, di mana ada Abang, pasti dia ada. Aku curiga, apa jangan-jangan Abang dan Ayu adalah selingkuhan?""Sayang, kalau sudah mengantuk, mending kita pulang yuk! Mandi air hangat sampai di rumah, dibersihkan kepala sampai jempol kaki, lalu salat isya, biar bisikan setan itu tidak menempel terus di kepala istri Abang ini. Ayo, lekas habiskan makanannya, kita pulang!""Tapi aku belum beli baju, Bang," rengekku pada Bang Ramon. Aku tidak mau bajuku besok sama lagi dengan baju Ayu. Benar-benar memalukan jika diketahui oleh ibu-ibu tetangga."Jangan beli di mal ini, nanti Ayu lihat, baju kamu dia contek lagi, belinya besok saja di mal yang lain. Masih ada waktu." Aku pun mengantuk setuju. Ucapan suamiku ada benarnya. Ia tidak mungkin ju
"Maafin Abang, Puspa, Abang kaget!" Rengek Bang Ramon sambil memeluk tubuhku yang menegang kaku. Aku masih terisak, tidak bisa menjawab ucapan maafnya. Semua terlalu mengejutkan bagiku. Suamiku yang terkenal manis, walau tidak terlalu romantis, selalu memperlakukanku dengan baik, belum pernah sama sekali bersikap seperti orang lain yang tidak aku kenali."Kenapa harus kaget? Bukankah di rumah ini hanya ada aku dan Abang. Memangnya Abang kira, siapa yang memeluk Abang?" cecarku dengan diiringi is akan pedih."Apa yang sedang apa pikirkan? Bukannya baru saja dapat bonus? Tetapi Abang seperti tertekan, sehingga memperlakukanku seperti orang lain," tanyaku lagi. Bang Ramon mendesah berat, ia mengurai pelukannya, lalu berbalik badan untuk meneruskan memakai pakaiannya."Aku hanya kaget saja, kamu tidak perlu terlalu berlebihan. Kurangi membaca novel online tentang perselingkuhan, karena hal-hal seperti itu yang a
Mobil Pak Wahyu melaju cukup kencang menuju klinik terdekat. Di dalamnya ada Bang Ramon yang membawa Ayu yang tengah pingsan, serta ada satu ibu-ibu tetangga lainnya yang menemani. Semua panik, termasuk pun aku.Tas yang sudah kubawa tadi, ku lemparkan begitu saja masuk ke dalam rumah melalui jendela depan yang memang belum dipasang teralis besi. Kunci motor ada di saku celanaku, tentu saja hal ini membuatku memutuskan untuk mengejar suamiku sampai di klinik. Semoga aku tidak kehilangan jejaknya.Mobil Toyota milik Pak Wahyu berada di parkiran klinik dua puluh empat jam yang cukup luas. Aku pun ikut memarkirkan motorku di area parkir khusus motor. Dengan berlari aku masuk ke dalam klinik untuk bertanya keberadaan suamiku."Maaf, Sus, pasien wanita yang dibawa dengan mobil di depan itu, ada di mana ya?" tanyaku pada petugas yang berjaga di meja pendaftaran."Oh, sedang diperiksa di dalam,
"Katakan Ayu, kenapa malah diam? Ada hubungan apa kamu dengan suamiku? Apa kalian berselingkuh di belakangku? Sudah berapa lama? Apa kalian punya anak dari perselingkuhan ini? Katakan!" Aku tak sanggup berdiri tegak, tubuhku limbung begitu saja karena terlalu emosi pada suami dan juga gadis bernama Ayu. Bu Rika menahan tubuhku, lalu membisikkan kalimat sabar."Sayang, kamu salah paham! Bukan seperti itu." Bang Ramon masih mencoba membela diri. Namun aku tidak percaya begitu saja, aku tidak mau diselingkuhi. Pantang bagiku berbagi ranjang dengan wanita lain."Di mana letak salah pahamnya? Kalian ini saling kenal dan aku mendengar apa yang kamu katakan pada Ayu. Kamu mengkhawatirkan gadis ini, Bang, kamu menyukainya, kalian berselingkuh! Aku membencimu! Aku membenci kalian berdua!" Teriakku dengan sekuat tenaga hingga membuat Ayu semakin menangis sampai sesegukan. Aku tidak peduli, jika bisa kucakar, maka akan kucakar wajah drama
"Sayang, ya ampun, syukurlah kamu sudah sadar," samar kudengar suara Bang Ramon ada di dekatku, tepat mataku terbuka dengan pelan. Lelaki itu menggenggam tanganku dengan erat, seolah-olah tak rela jika aku menghempaskan kembali tangannya, seperti waktu itu. Bagaimana aku bisa melakukannya, untuk bangun saja tubuhku benar-benar tidak bertenaga."Ini di mana?" tanyaku dengan suara parau."Kamu ada di klinik, Sayang." Aku terdiam sesaat, lalu tertawa pedih kemudian. Licik sekali suamiku yang membawaku ke klinik terdekat dari rumah kami, semua ini pasti karena ia ingin berdekatan dengan Ayu. Pasti itu, tidak salah lagi."Klinik yang sama dengan Ayu? Iya? Kalau begitu, aku ingin pulang saja. Aku tidak mau berdekatan dengan pelakor, ah... salah, jika kamu menikah dengan gadis itu terlebih dahulu, maka aku yang disebut pelakor ya, ha ha ha.... ""Sayang, sudahlah, Abang membawamu ke sini, karen
Aku sudah berada di rumah. Menurut penjelasan dokter kandungan tadi siang, kondisiku baik, begitu juga dengan janin yang kukandung, sehingga Bang Ramon memutuskan untuk membawaku langsung pulang ke rumah. Aku pun juga tidak ingin berlama-lama di klinik yang ada Ayu juga di dalamnya.Suamiku tengah di dapur, saat pulang tadi aku tiba-tiba menginginkan jus jambu merah, sehingga ia memutuskan untuk membuatkan jus untukku. Katanya biar lebih sehat.CklekPintu kamar terbuka."Halo bumil, ini jusnya," kata Bang Ramon dengan senyuman manisnya; masuk ke dalam kamar sambil membawa satu gelas jus jambu biji."Apa Abang pernah tersenyum semanis ini pada Ayu?" tanyaku penasaran. Aku tidak mau begitu saja mempercayai semua ucapan Bang Ramon, bisa saja kisah yang ia ceritakan hanya bualan belakang agar aku tidak mengamuk dan minta berpisah. Bagaimana mau berpisah? Saat ini aku te
POV Ayu"Aku sudah bilang sama kamu, sampai kamu tertutup tanah pun, suami tua kamu itu tidak akan pernah melihatmu. Sadar Ayu, kamu masih muda, baru ulang tahun ke-20 dan kamu mengharap suami kamu mau melirik ke arahmu? Tidak akan!" Aku hanya bisa menghela napas mendengar ocehan Wisnu. Hati ini milikku, Bang Ramon juga suamiku walau aku tidak dianggap ada. Bodo amat!"Ya biarin aja aku gak dilihat, yang penting aku bisa lihat. Biarin aku gak dianggap, yang penting aku masih menganggap Mas Ramon suami aku." Wajahku yang masih sangat pucat menjadi sedikit kemerahan karena kesal. Wisnu selalu saja membenci Mas Ramon, padahal aku dan mama tidak seperti itu."Terus sekarang, setelah Mbak Puspa tahu kamu istri pertama Mas Ramon, apa kamu yakin wanita itu tidak akan membenci kamu?" tanya Wisnu lagi padaku. Aku mengangkat bahu tidak yakin. Bisa iya benci, bisa iya tidak."Yang pasti Mbak Puspa gak suka aku tinggal di dekat rumahnya, tapi bodo a
Pov Ramon["Halo, assalamu'alaikum, ya, Sayang, ada apa telepon Abang siang-siang?"]["Abang ada di mana?"]["Abang di mal, ada pameran. Kenapa? Mau pesan donat J*o yang ada di mal?"]["Gak usah manis-manis, Bang, apa maksud Abang bayarin biaya perawatan Ayu? Segitu perhatiannya Abang sama bocah itu? Apa sebenarnya Abang mencintai gadis itu diam-diam? Hah!"]Terpaksa kujauhkan ponsel begitu mendengar suara amat nyaring milik Puspa. Aku berjalan sedikit menjauh dari meja pameran, mencari tempat sedikit sepi untuk menjelaskan pada Puspa.["Halo, Bang, kenapa diam?"]["Sayang, Abang gak ada niat apapun, Abang hanya kasihan saja. Masa enam ratus ribu saja Abang tidak keluar uang untuk Ayu? Abang janji hanya sekali ini saja membayar biaya perawatan Ayu. Kamu tolong mengerti ya, Puspa."]["Gak bisa! Pokoknya ua